Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

Inheritance Law System: Considering the Pluralism of Customary Law in Indonesia Judiasih, Sonny Dewi; Fakhriah, Efa Laela
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 5, No 2 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (325.736 KB)

Abstract

AbstractCustomary inheritance law in Indonesia consists of unique and specific patterns that describe the values of traditional Indonesian society that are based on collective and communal culture. There are three types of customary inheritance system: patrilineal, matrilineal, and parental. Every system has a uniqueness that makes it different with others. These differences often cause disputes and problems. The problems are related especially to the status of men and women in relation to patriarchal and matriarchal systems. Settlement of inheritance is done through discussion, approval, or legal remedies. Judges decisions indicate that there is a renewal on the customary inheritance system in which men and women have equal opportunities to become inheritors of their parents. Abstrak Hukum waris adat di Indonesia terdiri dari pola unik dan spesifik yang menggambarkan nilai-nilai masyarakat tradisional Indonesia berdasarkan budaya kolektif dan komunal. Terdapat tiga macam sistem waris adat: patrilineal, matrilineal, dan parental. Setiap sistem memiliki perbedaan dan seringkali perbedaan tersebut menimbulkan sengketa dan masalah, terutama terkait dengan status laki-laki dan perempuan dalam hubungan sistem patriaki dan matriaki. Penyelesaian sengekta waris dilakukan melalui diskusi, persetujuan, atau upaya hukum. Putusan hakim mengindikasikan terdapat pembaharuan sistem waris adat di mana laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi ahli waris orang tua mereka.  DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v5n2.a6
WOMEN, LAW AND POLICY: CHILD MARRIAGE PRACTICES IN INDONESIA Judiasih, Sonny Dewi; Suparto, Susilowati; Afriana, Anita; Yuanitasari, Deviana
Jurnal Notariil Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Notary Department, Post Graduated Program, Warmadewa University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/jn.3.1.647.47-55

Abstract

Child marriages are common throughout Indonesia. This is due to a strong influence of Indonesian customs and religion that strongly influence the lives of its people. It is worth pointing that marriage age arrangements in Indonesian Marriage Law reinforces that legal age for men is 19 years and 16 years for women. The 2012 statistics show that Indonesia is the 37th highest in the world in child marriage, while at the Southeast Asian level, this country ranks second after Cambodia. The ranking went up dramatically since in 2016, based on UNICEF, Indonesia ranked the 7th in child marriage worldwide. This means that the practice of child marriage in Indonesia happens, especially to women at the age of 18 years, and there is no discrimination related to the age of marriage. Against this matter, there has been a file for judicial review that demands marriage age for men and women to be pegged at the age of 18 years. However, the Judge of the Constitutional Court, through Decision Number 30-74/PUU-XII/2014, states that age of marriage remains valid for the 19-year-old for man and 16-year-old for women. The struggle does not stop there because at this time, there a national movement of STOP CHILD MARRIAGE formed by civil organisations in cooperation with the Commission of Child Protection and Ministry of Woman Empowerment and Child Protection. This movement sees that the practice of child marriage is a national emergency problem that must be addressed seriously. Further, this movement demands immediate enactment of government regulation in favour of the law which must promptly revise the Marriage Law, especially related to the marriage age.
ASPEK HUKUM WAJIB BELAJAR SEBAGAI UPAYA PENGHAPUSAN PRAKTIK PERKAWINAN BAWAH UMUR DI INDONESIA Safira, Levana; Judiasih, Sonny Dewi; Rubiati, Betty; Yuanitasari, Deviana
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 3, No 2 (2019): JURNAL BINA MULIA HUKUM
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (452.598 KB)

Abstract

ABSTRAK Perkawinan bawah umur adalah perkawinan yang terjadi dibawah usia 18 tahun. Artikel ini menguraikan aspek hukum wajib belajar sebagai alat yang paling kuat untuk terhindar dari perkawinan anak. Indonesia memiliki kebijakan wajib belajar 9 tahun yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kemudian ditingkatkan masa waktu menduduki pendidikan menjadi 12 tahun melalui “Program Indonesia Pintar” yang merupakan janji politik era kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang dianalisis secara normative kualitatif. Hasil penelitian bahwa Indonesia belum memiliki payung hukum yang kuat terkait peningkatan wajib belajar menjadi 12 tahun, dalam kaitannya untuk megentaskan perkawinan bawah umur, wajib belajar baru mendukung pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam menentukan batas usia perkawinan bagi perempuan namun belum cukup untuk mengentaskan perkawinan bawah umur keseluruhan karena diketahui banyaknya pelangsungan perkawinan terjadi pada anak rentan usia 16-17 tahun. Terkait dengan masih banyaknya perkawinan bawah umur di Indonesia yang terjadi maka perlu didukung dengan dibuat aturan hukum yang mengatur peningkatan wajib belajar menjadi 12 tahun, sehingga adanya kebijakan yang mewajibkan seorang anak untuk menyelesaikan pendidikannya sampai dengan usia 18 tahun.Kata kunci: anak; pendidikan; pernikahan; wajib belajar.ABSTRACTChild Marriage is marriage that is conducted under the age of 18 years old. This article analyses the aspect law of compulsory education as the strongest tool to avoid child marriage. Indonesia has regulated compulsory education of 9 years in Act No. 20 of 2003 on National Education System which was gradually elevated to 12 years of compulsory education through “Program Indonesia Pintar” which was a political promise in the era of President Jokowi and Vice President Jusuf Kalla. The method used to approach was normative-juridicial and data obtained through library and field studies that were analyzed normative-qualitatively. The research concluded that Indonesia has not yet have a strong legal protection towards elevating compulsory education from 9 years to 12 years, in relation to erase child marriage, compulsory education only supports the implementation of Act No. 1 of 1974 on Marriage in determining the age limit of marriage for women but not yet enough to alleviate child marriage entirely knowing the number marriages vulnerably occur between children aging 16-17 years old. Relating to the number of child marriage in Indonesia it is necessary that a regulation to be made regulating the elevation of compulsory education to 12 years, resulting to a policy obligating children to finish their education to the age of 18.Keywords: child; compulsory education; education; marriage.DOI: https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n2.13
ASPEK HUKUM SURROGATE MOTHER DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA Judiasih, Sonny Dewi; Dajaan, Susilowati Suparto
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 1, No 2 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (315.271 KB)

Abstract

AbstrakSurrogate Mother, ibu yang menyewakan rahimnya, adalah seorang wanita yang mengandung anak yang benihnya berasal dari pasangan lain dan setelah wanita tersebut melahirkan, maka wanita tersebut akan memberikan anak tersebut kepada pasangan darimana benih tersebut berasal. Artikel ini menguraikan kedudukan surrogacy agreement menurut Hukum perjanjian di Indonesia dan status hukum anak yang lahir dari surrogate mother, pengaturan pelaksanaan surrogate mother di beberapa negara sebagai perbandingan dan untuk memahami dan mengkaji perlunya pengaturan surrogate mother di Indonesia. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang dianalisis secara normatif kualitatif. Hasil penelitian bahwa Indonesia belum memiliki aturan yang spesifik mengenai surrogate mother, dalam pelaksanaan surrogate mother yang terkait dengan surrogacy agreement tidak dimungkinkan dilakukan di wilayah hukum Indonesia, status anak yang lahir dari surrogate mother dalam kaitan dengan pengaturan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari surrogate mother, bukan anak dari orang tua yang menitipkan benih di rahim surrogate mother. Banyaknya praktik yang dilakukan oleh masyarakat terkait dengan surrogate mother, maka perlu dibuat aturan sebagai panduan dalam pelaksanaan surrogate mother yang dimaksudkan untuk ketertiban dan kepastian hukum. Kata Kunci: aspek hukum, surrogate mother, surrogacy. AbstractSurrogate mother is defined as woman carrying another person’s embryo and gives birth to a baby for the person who donors the embryo. The unique characteristic arises from who will be called as the parent. Surrogate mother exists because the wife usually obtain something wrong in her uterus thus cannot carrying a child, subsequently the role of the wife to carry and give birth is transferred to another woman, either voluntarily or because of the money. The purpose of this research is to comprehend and analyse the status of surrogacy agreement in Indonesian contract law; the status of child born through surrogacy; the regulations regarding surrogate mother implemented in several countries as comparison; lastly, to formulate a suitable regulation of surrogate mother in Indonesia. The method used by the author in discussing problems in this research is normative. Specifications research used is by analyzing juridical analysis or the problem based on the statutory provisions related to family law and contract law, literature, other sources related to this research. To obtain the necessary data through the study of literature and field studies were obtained for onward normative data is analyzed normative qualitatively. The results of the research are, Indonesia do not have specific regulationns regarding surrogate mother,thus surrogacy can not be implemented in Indonesia. In relation with Law Number 1 of 1974 concerning marriage, the status of child born through surrogacy is the legitimate child of the surrogate mother, not the intended parent. As a result of comparison with several countries, many countries reject and many accept the existence of surrogate mother. Lastly, due to rampant practice of surrogacy in the society, the writer concludes the government need to promptly draft a regulation as a guidance of surrogacy practice to maintain order and legal certainty in the society.Keywords: gestational surrogacy, legal status, surrogate mother, traditional surrogacy. DOI :   https://doi.org/10.23920/jbmh.v1n2.14 
PERTANGGUNGJAWABAN SUAMI ISTERI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HARTA BERSAMA PADA PERKAWINAN DENGAN PERJANJIAN KAWIN Inayatillah, Revi; Judiasih, Sonny Dewi; Afriana, Anita
ACTA DIURNAL Vol 1, No 2 (2018): ACTA DIURNAL, Volume 1, Nomor 2, Juni 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.658 KB)

Abstract

ABSTRAKPerkawinan yang sah tidak saja  membawa akibat ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita saja yang menyatu, akan tetapi terciptanya harta benda suami dan isteri dalam perkawinan. Salah satu bentuk harta benda perkawinan berupa harta bersama. Harta bersama merupakan harta benda yang diperoleh suami dan isteri selama perkawinan berlangsung, dengan tidak mempermasalahkan pihak mana yang menghasilkannya. Dengan adanya Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dibolehkannya perjanjian kawin dibuat setelah perkawinan berlangsung. Dapat menjadi masalah apabila terjadinya perjanjian kredit dengan jaminan harta bersama, yang dikemudian hari baru dibuat perjanjian perkawinan yang diperbolehkan dengan adanya putusan Mahkamah Kostitusi. Artikel ini merupakan hasil dari penelitian dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif kemudian dianalisis secara normatif kualitatif. Disimpulkan bahwa suami/istri tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila tidak menyatakan persetujuan dalam perjanjian kredit dengan jaminan harta bersama. Perjanjian kawin pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 belum memberikan kepastian hukum bagi pihak ketiga dikarenakan para pihak dikhawatirkan tidak beritikad baik dalam pembuatan perjanjian kawin. Untuk memberikan kepastian bagi pihak ketiga selaku pemberi fasilitas kredit bagi pasangan suami dan istri dan dapat dipertanggungjawabkan, maka pasangan suami istri seharusnya melakukan pendaftaran pencatatan perjanjian perkawinan guna memenuhi asas publisitas.      Kata kunci: harta bersama, perjanjian kawin, perjanjian kredit, perkawinanABSTACTLegitimate marriages not only bring the consequences of an inner bond between a man and a woman merely but the creation of the husband and wife’s property in the marriage. One form of marital property is a common property. Mutual property is a property acquired by a husband and wife during marriage, without questioning which party produces them. With the Constitution of the Constitution Number 69 / PUU-XIII / 2015, a marriage agreement was made after the marriage took place. It can be a problem when a credit agreement with a joint property collateral, which was later made a marriage agreement allowed with the verdict of the Constitutional Court. This article is a result of research using a normative juridical approach method then normatively analyzed qualitatively. It is concluded that husbands and wives can not be held accountable when not expressing consent in a credit agreement with the guarantee of common property that the spouse does not express agreement in a credit agreement with a joint property guarantee. The marriage agreement after the Constitutional Court Decision Number 69 / PUU-XIII / 2015 has not given legal certainty for third parties as the parties are feared not to have good faith in the making of a marriage agreement. To provide certainty for a third party as a credit facility for couples and spouses and to be accountable, spouses should register registration of marriage agreements in order to fulfill the publicity basis.Keywords: credit agreement, marriage, marriage agreement, mutual property
HAK WARIS ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN WARGA KAMPUNG ADAT CIREUNDEU DENGAN ORANG LUAR KAMPUNG ADAT CIREUNDEU DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM WARIS ADAT HC, Intan Netty; Judiasih, sonny Dewi; Nugroho, Bambang Daru
ACTA DIURNAL Vol 2, No 1 (2018): ACTA DIURNAL, Volume 2, Nomor 1, Desember 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.658 KB)

Abstract

ABSTRAKPerkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Ketuhanan yang maha esa. Perkawinan yang di lakukan oleh masyarakat adat penganut agama Sunda Wiwitan, tanpa di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam masyarakat disebut “Kawin di bawah Tangan”. Perkawinan yang tidak dianggap tidak pernah ada dan akibatnya pihak istri, anak dan keluarga dari pihak istri lainnya tidak dapat menuntut hak-haknya secara hukum kepada suami. Hal ini sudah disadari sepenuhnya oleh warga masyarakat adat kampung Cirendeu dan sampai saat ini pelaksanaan pernikahan masih dilangsungkan dengan mengacu kepada hukum adat.Konsekwensi dari sebuah perkawinan adalah adanya Anak, harta benda yang didapat dalam masa perkawinan serta pewarisan. Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui keabsahan perkawinan warga kampung masyarakat adat Cirendeu serta Perlindungan hukum dan kedudukan berdasarkan hukum waris adat terkait sengketa yang akan timbul menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang menekankan pada norma hukum dengan cara meneliti bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan pada tesis ini, kemudian spesipikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu peneliti menggambarkan dan memberikan penjelasan terhadap suatu peristiwa yang sedang diteliti dan membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat untuk memperoleh kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan bahwa Perkawinan yang dilakukan oleh Warga kampung adat cireundeu dengan warga luar kampung tidak Sah berdasarkan UU Perkawinan untuk Perlindungan hukum dan Kedudukan Anak yang dilahirkan dari Perkawinan tesebut berdasarkan Putusan MK No.46/PUU-XIII/2010 memberikan hak keperdataan terkait dengan Status anak, hak anak dan Waris serta Putusan MK No.97/PUU-XIV/2016 memberikan Perlindungan hukum dengan diperbolehkannya Pengisian Kolom Agama dengan Penghayat Kepercayaan sehingga Pernikahannya dapat dicatatkan serta implikasi terhadap kelahiran anak mendapat perlindungan hukum.Kata kunci: adat Cireundeu; perkawianan.ABSTRACTMarriage is internal and external bond between a man and a woman as husband and wife designed to establish a happy, lasting family (household) based on the One God. Marriage executed by traditional community adhering Sunda Wiwitan religion without any registry according to the current regulations and law is called “Marriage under Hand.” It is marriage considered never be present and, as a result, wife, children and family of other wife can’t sue for their legal rights to husband. This is realized completely by traditional Cireundeu village members and up to now the marriage is even implemented by referring to customary law. As a consequence of a marriage is the presence of children, property earned in period of marriage and inheritance. The aim of this study is to know the validity of a marriage in traditional Cireundeu village community member and legal protection and position based on traditional legacy law concerned with dispute emerging in Law Number 1 Year 1974 about Marriage. Method used in this study is normative juridical approach, the research placing pressure on legal norm by examining literatures related to problems in this thesis, while the specification of study used is analytical descriptive, the research describing and giving the explanation of an event under study and the construction of systematic, factual, accurate description to get conclusion. Based on the results of the study, it may be concluded that marriage established by traditional Cireundeu village member and outsider of the village is not valid based on Law of Marriage for Legal Protection and Child Position born by the marriage. The Decision of MK No. 46/PUU-XIII/2010 provide civil rights in relation to child status, child rights and legacy, and the Decision of MK No. 97/PUU-XIV/2016 provide legal protection by allowing the Filling in Religious Column by Confidence Lifer so that the marriage may be registered and have implications for the birth of child produce legal protection.Keywords: adat Cireundeu; Marriage.
DISPENSASI PENGADILAN: TELAAH PENETAPAN PENGADILAN ATAS PERMOHONAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR Sonny Dewi Judiasih; Susilowati Suparto; Anita Afriana; Deviana Yuanitasari
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 2 (2017): Juli - Desember 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (668.059 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v3i2.51

Abstract

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( UU Perkawinan) menyatakan bahwa perkawinan dapat dilakukan apabila laki-laki sudah berumur 19 tahun dan perempuan 16 tahun, tetapi dalam hal apabila akan dilakukan perkawinan di bawah usia tersebut, maka hal itu bisa dilakukan dengan memintakan dispensasi kepada pihak yang berwenang yaitu pengadilan atau pejabat lain yang terkait. Dengan adanya ketentuan tersebut menunjukan bahwa UU Perkawinan memperkenankan perkawinan di bawah usia 18 tahun, dan fakta menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda yang tinggi di dunia, yaitu ranking ke-37, sedangkan di tingkat ASEAN tertinggi kedua setelah Kamboja. Artikel ini merupakan bagian dari penelitian yang telah dilakukan secara yuridis normatif dan permasalahan yang akan diteliti adalah pelaksanaan dispensasi dan penelaahaan beberapa penetapan dispensasi ditinjau dari hukum acara perdata. Disimpulkan bahwa dispensasi untuk melakukan perkawinan di bawah umur merupakan kompetensi absolut dari Pengadilan Agama untuk orang beragama Islam dan Pengadilan Negeri untuk orang non muslim. Mengingat pihak yang akan melangsungkan perkawinan masih di bawah umur, maka permohonan dispensasi diajukan oleh orang tua. Atas dasar pertimbangan hakim maka hakim majelis akan menolak atau mengabulkan permohonan tersebut dalam bentuk penetapan.
STATUS PEWARISAN TRANSEKSUAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM WARIS ADAT MINANGKABAU Sonny Dewi Judiasih; Elycia Feronia Salim; Agitha Putri Andany Hidayat; Cynthia Kurniawan; Rifny Meirizka; Firsty Anandini
Jurnal Poros Hukum Padjadjaran Vol. 1 No. 2 (2020): JURNAL POROS HUKUM PADJADJARAN
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jphp.v1i2.248

Abstract

Abstrak Seiring perkembangan zaman, dewasa ini terdapat orang yang berkeinginan mengubah jenis kelaminnya yang disebut sebagai transeksual. Faktor yang menyebabkan seseorang menjadi transeksual selain dari faktor hormonal dapat juga terjadi karena pengaruh faktor lingkungan. Dalam hal ini akan menimbulkan masalah dalam segala aspek hukum dan bidang kehidupan salah satunya terkait dengan pewarisan bagi transeksual. Di Indonesia, eksistensi hukum adat terutama dalam hal waris masih diakui. Masyarakat adat khususnya adat Minangkabau yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma agama Islam tentunya menolak keberadaan transeksual di lingkungan mereka dan dengan ditolaknya keberadaan transeksual di Adat Minangkabau, transeksual tidak berhak dalam pewarisan dalam waris adat khususnya di Minangkabau. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui, menjelaskan dan menganalisis tentang pewarisan transeksual dalam Hukum Waris Adat Minangkabau. Kata Kunci : agama, hukum adat, hukum waris, transeksual Abstract Along with the times, there are people who wants to change their sex, which is called transsexual. Factor that cause a person to become transsexual aside from hormonal factors can also occur due to the influence of environmental factors. On the other hand returning to norms and religion is considered to violate the norms and values of custom and religion, in this case, it will cause problems in all aspects of law and life, one of which is related to inheritance for transsexual. In Indonesia, the existence of Adat Law esspecialy in heir matter still recognized. Indigenous peoples especially Adat Minangkabau, who uphold Islamic religious values and norms naturally reject the existence of transsexual in their environment. There fore, transsexual are not entitled to inhertitance in Adat Minangkau in inheritance. The purpose in this paper is to find out, explain, and analyze abput transsexual inhertitance in Minangkabau Adat Law. Keyword : adat law, inheritance adat law, religion, transsexual
HARTA BERSAMA SEBAGAI OBJEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DIKAITKAN DENGAN KESETARAAN KEDUDUKAN SUAMI DAN ISTERI DALAM HUKUM PERKAWINAN Sonny Dewi Judiasih
Indonesian Journal of Dialectics Vol 1, No 1 (2011)
Publisher : Sekolah PascaSarjana Unpad

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Matrimonial property has the economic value that can become a guarantee object for the credit contact, whereas the husband and wife bound in legal marriage have equal rights and obligations upon their matrimonial property. There was three identified problems as follows : (1)  is about the equal position between husband and wife based on principle of justice in credit contract which may lead to the liability in the settlement of their debt, (2) with regard to the legal certainty of their matrimonial property as a guarantee for their credit contract when a marriage was terminated, (3) a perspective of matrimonial property related to the development of national property law.This research applies juridical normative and descriptive analysis approaches. This research undertaken by library research and field research as the supporting data. For analysing data, it was used in normative qualitative method.The result of this research showed that, firstly, the equal of rights and duties between husband and wife on matrimonial property given the rights to conclude credit contract with matrimonial property as a gurantee object. Secondly, husband and wife that conclude credit contract with matrimonial property should fulfill for the payment of their debt as a legal certainly for creditors, no matter if the marriage was terminated. Thirdly, matrimonial property that is used as the guarantee object must be subjected as the unity property and as a part and parcel of their property as long as debts is paid. 
DISPENSASI PENGADILAN: TELAAH PENETAPAN PENGADILAN ATAS PERMOHONAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR Sonny Dewi Judiasih; Susilowati Suparto; Anita Afriana; Deviana Yuanitasari
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 2 (2017): Juli - Desember 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v3i2.51

Abstract

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( UU Perkawinan) menyatakan bahwa perkawinan dapat dilakukan apabila laki-laki sudah berumur 19 tahun dan perempuan 16 tahun, tetapi dalam hal apabila akan dilakukan perkawinan di bawah usia tersebut, maka hal itu bisa dilakukan dengan memintakan dispensasi kepada pihak yang berwenang yaitu pengadilan atau pejabat lain yang terkait. Dengan adanya ketentuan tersebut menunjukan bahwa UU Perkawinan memperkenankan perkawinan di bawah usia 18 tahun, dan fakta menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda yang tinggi di dunia, yaitu ranking ke-37, sedangkan di tingkat ASEAN tertinggi kedua setelah Kamboja. Artikel ini merupakan bagian dari penelitian yang telah dilakukan secara yuridis normatif dan permasalahan yang akan diteliti adalah pelaksanaan dispensasi dan penelaahaan beberapa penetapan dispensasi ditinjau dari hukum acara perdata. Disimpulkan bahwa dispensasi untuk melakukan perkawinan di bawah umur merupakan kompetensi absolut dari Pengadilan Agama untuk orang beragama Islam dan Pengadilan Negeri untuk orang non muslim. Mengingat pihak yang akan melangsungkan perkawinan masih di bawah umur, maka permohonan dispensasi diajukan oleh orang tua. Atas dasar pertimbangan hakim maka hakim majelis akan menolak atau mengabulkan permohonan tersebut dalam bentuk penetapan.