Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PERFORMA REPRODUKSI TIGA GENERASI IKAN CUPANG ALAM (Betta imbellis Ladiges, 1975) DI LINGKUNGAN TERKONTROL Eni Kusrini; Petrus Harry Tjahjo Sudibja; Fatiya Kharimah; Rudhy Gustiano
Jurnal Riset Akuakultur Vol 15, No 4 (2020): (Desember, 2020)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (126.738 KB) | DOI: 10.15578/jra.15.4.2020.215-220

Abstract

Ikan cupang alam (Betta imbellis Ladiges, 1975) merupakan salah satu jenis ikan cupang asli Indonesia yang belum banyak dibudidayakan. Dalam pengembangan budidayanya, kemampuan reproduksi antar generasi masih perlu dikaji lebih mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk menguji keragaan reproduksi tiga generasi ikan cupang alam. Perlakuan berupa induk generasi awal hasil tangkapan dari alam (G-0), generasi pertama (G-1), dan generasi kedua (G-2). Setiap generasi menggunakan tiga pasang induk, dan setiap pasang berlaku sebagai ulangan. Pemijahan secara alami menggunakan wadah baskom berdiameter 40 cm yang dilengkapi dengan shelter penempel telur. Pengamatan meliputi fekunditas, diameter telur, derajat pembuahan, dan derajat penetasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan generasi tidak berpengaruh terhadap parameter diameter telur fekunditas dan derajat pembuahan (P>0,05). Namun berbeda nyata (P<0,05) dalam daya tetas antara generasi hasil domestikasi (G-1 dan G-2) dengan generasi awal (G-0).The wild-type fighting fish (Betta imbellis Ladiges, 1975) is a native species of Indonesia that has not been widely cultivated. In order to cultivate this species, the reproductive performance between generations of the fish needs to be studied. This study aimed to examine the reproductive performance of three generations of wild-type Betta imbellis. The treatments consisted of differently sourced broodstocks, i.e., caught from the wild (G-0), first produced generation (G-1), and second produced generation (G-2). Each broodstock group used three pairs of parents, where each pair acted as the replicates. The broodstock groups were naturally spawned in 40 cm diameter basins equipped with an egg-holding shelter. The observed parameters included fecundity, egg diameter, degree of fertilization, and degree of hatching. The results showed that the generation treatment did not affect the egg diameter, fecundity, fertilization rate, and hatching rate (P>0.05). However, a significant difference (P<0.05) of hatchability was observed between the domesticated generation (G-1 and G-2) and the wild generation (G-0).
HUBUNGAN KEKERABATAN BEBERAPA POPULASI KERANG HIJAU (Perna viridis) DI INDONESIA BERDASARKAN SEKUEN CYTROCROME B mtDNA Achmad Sudradjat; Eni Kusrini
Jurnal Riset Akuakultur Vol 5, No 1 (2010): (April 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (323.147 KB) | DOI: 10.15578/jra.5.1.2010.155-164

Abstract

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kekerabatan stok kerang hijau (Perna viridis) di beberapa perairan Indonesia sebagai informasi dasar bagi program pemuliaan. Sampel kerang hijau yang berasal dari populasi alam perairan Tanjung Kait, Kamal, Panimbang, Cirebon, Pasuruan, Kenjeran, dan Pangkep diambil secara acak. Amplifikasi PCR dan sekuensing mitokondria daerah cytochrome B adalah HCO (F): 5’-TAA ACT TCA GGG TGA CCA AAA AAT CA-3’ (26 bp) dan LCO (R): 5’-GGT CAA CAA ATC ATA AAG ATA TTG G-3’ (25 bp). Sekuen DNA yang diperoleh digunakan untuk analisis homologi, analisis genetic distance dan analisis kekerabatan. Hasil analisis homologi susunan nukleotida berdasarkan BLAST-N terhadap sekuen mtDNA Perna viridis yang tersimpan di Genebank menunjukkan similaritas 97%. Hasil analisis didapatkan jarak genetik yang terdekat adalah populasi Tanjung Kait dengan Kenjeran sedangkan jarak genetik terjauh adalah populasi Cirebon dengan Kamal. Hubungan kekerabatan yang ditunjukkan dengan dendrogram diperoleh 2 kelompok yaitu 6 populasi membentuk satu kelompok dan populasi Cirebon membentuk kluster tersendiri. Sekuens tersebut mungkin dapat digunakan sebagai penanda dalam program breeding kerang hijau di Indonesia
PENYISIPAN GEN WARNA PADA IKAN Carassius auratus MENGGUNAKAN METODE ELEKTROFORASI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS IKAN HIAS Wartono Hadie; Eni Kusrini; Agus Priyadi; Alimuddin Alimuddin
Jurnal Riset Akuakultur Vol 5, No 3 (2010): (Desember 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (246.653 KB) | DOI: 10.15578/jra.5.3.2010.335-343

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknik rekayasa penyisipan gen warna pada ikan hias dan pengetahuan tentang pola pewarisannya yang akan dapat membantu perbaikan mutu ikan. Metode yang diterapkan adalah elektroforasi. Ikan hias yang digunakan dalam penelitian adalah ikan komet (Carassius auratus) sedangkan gen pemendar yang digunakan adalah GFP (green fluorescent protein) dengan konstruksi DNA yang digunakan berbentuk plasmid yang dikontrol oleh promoter b-aktin dari ikan Japanese flounder (ikan sebelah) dengan panjang fragmen pKer-GFP 6,0 kb. Sintasan dan keberadaan gen GFP diamati mulai dari telur menetas. Ekspresi gen dapat diamati setelah fase terbentuknya sirip dan dilakukan secara deskriptif (performa) dan PCR. Hasil yang diperoleh gen GFP terekspresi mulai pembentukan sirip dan hasil cek PCR semua ketiga konsentrasi DNA yang dicobakan mempunyai ekspresi yang sama. Untuk dapat mengetahui ekspresi gen GFP sampai pada F0 masih menunggu ikan dewasa dan matang gonad.This research was aimed to obtain a method for introduction of exogenous gene of green flourescent protein (GFP) in order to improve the ornamental fish color appearance. The method used were electroporation. The Carassius auratus were used in this research. The construct of flourescent gene of pKer-GFP as DNA construct of plasmid controlled by b-actin of Japanese flounder with pKer-GFP 6.0 kb in length. Survival rate and gene expression of GFP assessed right after the eggs hatched. Gene expression was observed using PCR product and direct observation. The result show that the expression of GFP from all of three treatments were observed but not significantly different. This expression however should be wait until the fish mature.
VARIASI GENETIK TIGA GENERASI IKAN HIAS CUPANG ALAM ENDEMIK DARI ACEH Betta rubra, Perugia 1893 (Pisces: Osphronemidae), HASIL BUDIDAYA Erma Primanita Hayuningtyas; Eni Kusrini; Shofihar Sinansari; Melta Rini Fahmi
Jurnal Riset Akuakultur Vol 16, No 2 (2021): (Juni, 2021)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (128.117 KB) | DOI: 10.15578/jra.16.2.2021.71-82

Abstract

Betta rubra merupakan salah satu spesies ikan cupang alam endemik dari Aceh. Keberadaannya yang hampir dinyatakan punah sebelum ditemukan kembali pada tahun 2007. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji keragaman genetik dan potensi genetik dari ikan Betta rubra dari tiga generasi yang sudah dibudidayakan untuk perbaikan genetik di Balai Riset Budidaya Ikan Hias (BRBIH), Depok, Jawa Barat, Indonesia. Jumlah sampel yang digunakan pada populasi G-0 adalah enam ekor, sedangkan pada populasi G-1 dan G-2 masing-masing 10 ekor. Ikan uji yang digunakan diambil sirip ekornya untuk analisis secara genotipe dengan randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) menggunakan primer yaitu OPZ-9, OPB-6, dan OPZ-13. Sebelum diambil sirip ekornya ikan terlebih dahulu difoto di atas millimeter block untuk data truss morfometrik (fenotipe). Hasil menunjukkan ikan Betta rubra populasi alam (G-0) memiliki nilai heterozigositas 0,1872 dan derajat polimorfisme 47,06% yang lebih rendah dibandingkan generasi G-1 dengan heterozigositas 2,421 dan derajat polimorfisme 64,71%. Populasi G-2 memiliki nilai heterozigositas 0,1577 dan derajat polimorfisme 44,12%. Koefisien keragaman secara fenotipe populasi G-1 memiliki variasi lebih tinggi dibanding populasi G-0 dan G-2. Hubungan kekerabatan antara G-1 dengan G-0 dan G-2 berbeda nyata (P<0,05), sedangkan hubungan antara G-1 dengan G-2 tidak berbeda nyata (P>0,05), sehingga antara populasi G-0 dan G-2 membentuk cluster terpisah dengan G-1. Keragaman genetik pada tiga generasi Betta rubra memiliki pola yang sama baik secara fenotipe maupun genotipe.Betta rubra is one of the endemic species of Betta fish from Aceh. The fish was almost declared extinct before it was rediscovered in 2007. The purpose of this study was to examine the genetic diversity and genetic potential of Betta rubra from three generations which have been reared for genetic improvement at the Research Institute for Ornamental Fish Culture, Depok, West Java, Indonesia. The number of fish for G-0 population used in the study was six fish whilst G-1 and G-2 populations were 10 fish. Tail fins from each fish were sampled for genotype analysis using randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) using primers OPZ-9, OPB-6, and OPZ-13. Before tail fin collection, the fish was photographed on a millimeter block for truss morphometric data measurement (phenotype). The results showed that the Betta rubra wild population (G-0) had heterozygosity of 0.1872 and polymorphism of 47.06% which were lower than the G-1 population with heterozygosity of 2.421 and polymorphism of 64.71%. The G-2 population had heterozygosity of 0.1577 and polymorphism of 44.12%. The phenotype coefficient of variation in the G-1 population higher than the G-0 and G-2 populations. The kinship relationship between G-1 with G-0 and G-2 was significantly different (P<0.05), while the relationship between G-1 and G-2 was not significantly different (P>0.05). This research concludes that the populations of G-0 and G-2 have formed a separate cluster to G-1. The genetic diversities in the three Betta rubra populations have similar phenotype and genotype patterns.
BUDIDAYA IKAN HIAS SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN NASIONAL PERIKANAN DI INDONESIA Eni Kusrini
Media Akuakultur Vol 5, No 2 (2010): (Desember 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (818.296 KB) | DOI: 10.15578/ma.5.2.2010.109-114

Abstract

Indonesia diharapkan menjadi Negara Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar Tahun 2015. Sektor kelautan dan perikanan sebagai salah satu penggerak utama (prime mover) perekonomian, perlu terus ditingkatkan produksinya sehingga akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan. Ikan hias yang diperdagangkan di dunia mencapai 1.600 jenis, di mana 750 jenis di antaranya adalah ikan air tawar. Pada tahun 2010, Indonesia menargetkan ekspor ikan hias akan meningkat sebesar 10%. Upaya dalam mendorong pengembangan kawasan perikanan budidaya di daerah-daerah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perekonomian, maka dilakukan program minapolitan. Dukungan penelitian terhadap program minapolitan khususnya budidaya ikan hias antara lain dalam pengembangan ikan hias yang bersifat konvensional (maskoki, guppy, cupang hias); pemanfaatan sumberdaya genetik baru dari alam yang dapat didomestikasi (rainbow), peningkatan produksi ikan hias dengan nilai ekonomi tinggi/mahal (arwana, botia), dan tren (tigerfish) baik berupa paket teknologi maupun penerapan di masyarakat secara langsung. Dalam tulisan ini dikemukakan prospek dan peluang serta program pengembangan dan dukungan penelitian bagi pengembangan budidaya ikan hias.