Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search
Journal : Kertha Widya : Jurnal Hukum

PENERBITAN SERTIPIKAT PENGGANTI HAK-HAK ATAS TANAH KARENA RUSAK DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BULELENG I Putu Wahyu Saputra; I Gede Surata
Kertha Widya Vol 7, No 2 (2019)
Publisher : Universitas Panji Sakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (173.806 KB) | DOI: 10.37637/kw.v7i2.518

Abstract

Sertipikat hak atas tanah dapat rusak karena bencana alam, atau kejadian lain, sehingga tidak dapat dengan jelas menyatakan hak-hak yang terkandung di dalamnya. Dalam keadaan demikian dimungkinkan diterbitkan sertipikat pengganti. Penelitian ini meneliti tentang konsekuensi hukum apabila tidak dilaksanakan penggantian sertipikat hak atas tanah yang rusak, pelaksanaan penerbitan sertipikat pengganti hak-hak atas tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng, dan kekuatan hukum sertipikat pengganti hak-hak atas tanah. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif. Konsekuensi hukum apabila tidak dilaksanakan penggantian sertipikat hak atas tanah yang rusak adalah sertipat tersebut tidak dapat lagi membuktikan secara kuat hal-hal yang tidak dapat terbaca dari sertipikat tersebut. Pelaksanaan penerbitan sertipikat pengganti hak- hak atas tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng dapat dilakukan sesuai ketentuan. Kekuatan hukum sertipikat pengganti hak-hak atas tanah tidak berbeda dengan sertipikat hak atas tanah, karena pengertian dan fungsi sertipikat pengganti pada dasarnya tidak berbeda dengan sertipikat hak atas tanah.
AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA PPAT YANG WAJIB PAJAKNYA TIDAK MELAKSANAKAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh DALAM PROSES PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN (STUDI KASUS DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BULELENG) Kadek Ari Rahayu; I Gede Surata
Kertha Widya Vol 4, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Panji Sakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (195.551 KB) | DOI: 10.37637/kw.v4i2.473

Abstract

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Nomor 130 Tahun 2000 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988) menyatakan yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sebagai obyek pajak, peralihan hak atas tanah dan bangunan dikenakan pajak dari kedua sisi, yaitu dari pihak penjual dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) yang diperoleh dari penjualan tanah dan bangunan, Sedangkan dari pihak pembeli dikenakan pajak yang berupa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Timbulnya utang pajak dari Wajib Pajak BPHTB atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan adalah pada saat dibuat dan ditandatanganinya akta dihadapan PPAT. Akta Jual beli yang dibuat dihadapan PPAT yang wajib pajaknya tidak melaksanakan pembayaran BPHTB dan PPh, tetap bersifat sah sepanjang pembuatan akta sesuai dengan ketentuan Pasal 97, 98, 99, 100, 101 dan 102 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam proses pendaftaran peralihan hak jual beli di Kantor Pertanahan apabila ditemukan berkas peralihan hak jual beli yang tanpa dilaksanakan pembayaran pajak BPHTB dan PPh setelah di sesuaikan dengan data tanah dan bangunan yang dijadikan objek peralihan hak, maka sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan, Kantor Pertanahan menolak berkas permohonan.
PERANAN LEMBAGA PERTANAHAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN SECARA NON LITIGASI DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BULELENG Gede Arya Kusuma; I Gede Surata
Kertha Widya Vol 6, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Panji Sakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (173.143 KB) | DOI: 10.37637/kw.v6i1.496

Abstract

Penyelesaian konflik pertanahan secara non litigasi secara implisit dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam struktur organisasi BPN dibentuk Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Penelitian ini meneliti peranan lembaga pertanahan dalam penyelesaian sengketa pertanahan secara non litigasi di Kabupaten Buleleng, kendala-kendala yang dihadapi dan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala dalam penyelesaian sengketa pertanahan secara non litigasi di Kabupaten Buleleng. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif. Kantor Pertanahan dapat berperan sebagai mediator dalam penyelesain sengketa pertanahan secara non litigasi. Hambatan-hambatan yang dihadapi Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng adalah kesadaran hukum masyarakat masih rendah, kurangnya bukti-bukti formal tentang sejarah tanah, terbatasnya jumlah petugas, terbatasnya kemampuan petugas untuk melakukan pendekatan non-litigasi, terbatasnya sarana-prasarana, dan kerja sama antar lembaga belum maksimal. Untuk itu upaya-upaya yang dilakukan adalah: secara berkala melakukan penyuluhan hukum, memberi bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dukungan data atas tanah yang dimiliki, peningkatan jumlah sumber daya manusia (petugas), mengupayakan formasi bagi pegawai, pelibatan pegawai dalam pendidikan dan latihan (diklat), pengadaan sarana-prasarana kerja sama antar lembaga semakin ditingkatkan.
KEDUDUKAN WARGA NEGARA ASING TERHADAP HAK MILIK ATAS TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BULELENG Kadek Rian Juliadi; I Gede Surata
Kertha Widya Vol 3, No 2 (2015)
Publisher : Universitas Panji Sakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (184.209 KB) | DOI: 10.37637/kw.v3i2.455

Abstract

Penguasaan Hak Atas Tanah diperlukan alat bukti yang kuat sertipikat sebagai tanda bukti yang menyatakan kepemilikan Hak Atas Tanah.Untuk peralihan hak atas tanah harus ada penyerahan hak secara yuridis yang dilakukan dengan pembuatan akta dihadapan PPAT. Akta tersebut didaftarkan di Kantor khususnya Pertanahan untuk proses peralihan hak sehingga diterbitkannya sertipikat atas nama pemilik hak pakai. Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanisme perolehan hak atas tanah bagi Warga Negara Asing di Kabupaten Buleleng dan apa hak-haknya. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum empiris, yang berawal dari adanya kesenjangan antara teori dengan praktek, dengan menggunakan data primer dansekunder, yang dikumpulkan melalui studi pustaka dan penelitian lapangan. Data dikumpulkan dengan melakukan studi dokumen dan wawancara. Data dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Prosedur peralihan hak milik atas tanah menjadi hak pakai atas tanah didahului dengan penurunan hak milik menjadi hak pakai dan selanjutnya dilakukan jual beli dihadapan PPAT untuk melindungi kepentingan pihak pemegang hak pakai agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.Setelah itu peralihan hak milik atas tanah menjadi hak pakai atas tanah, pada pelaksanaannya di Kabupaten Buleleng yakni didahului dengan pembuatan perikatan jual beli sementara pemilik tanah melakukan pendaftaran tanah tersebut di Kantor Pertanahan, sehingga terbitnya sebuah sertipikat hak pakai atas tanah. Dengan terbitnya sertipikat hak pakai atas tanah, maka dapat dilakukan proses penurunan hak milik menjadi hak pakai dan selanjutnya pembuatan akta peralihan hak yang dilakukan dihadapan PPAT. Akta tersebut didaftarkan di Kantor Pertanahan untuk proses peralihan hak pakai sehingga diterbitkan sertipikat.
PELAKSANAAN PEMBAGIAN TANAH OLEH PEMERINTAH KABUPATEN BULELENG KEPADA MASYARAKAT BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 224 TAHUN 1961TENTANG PEMBAGIAN TANAH DAN PEMBERIAN GANTI KERUGIAN DI KECAMATAN DAN KABUPATEN BULELENG Ni Ny. Mariadi; I Gede Surata
Kertha Widya Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Panji Sakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (207.577 KB) | DOI: 10.37637/kw.v6i2.505

Abstract

Abstrak: Kebutuhan akan tanah semakin meningkat, seiring dengan perkembangan penduduk, sedangkan luas wilayah Negara kita tidak akan bertambah luasnya, hal ini sebagai pemicu sering terjadinya konflik pertanahan.Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian hukum empiris,yaitu dengan membandingkan antara ketentuan yang ada dengan kenyataan dilapangan. Pada kesimpulannya bahwa keberadaan masyarakat khususnya petani belum mendapatkan pembagian tanah secara merata, bahkan yang ada kepincangan terhadap penguasaan dan pemilikan hak atas tanah pertanian.
PELAKSANAAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT (STUDI KASUS DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BULELENG) Thomas Alexander Birehina; I Gede Surata
Kertha Widya Vol 3, No 2 (2015)
Publisher : Universitas Panji Sakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (188.177 KB) | DOI: 10.37637/kw.v3i2.451

Abstract

Penguasaan Hak Atas Tanah diperlukan alat bukti otentik berupa sertipikat sebagai tanda bukti yang menyatakan kepemilikan Hak Atas Tanah. Untuk peralihan hak atas tanah melalui jual beli harus ada penyerahan yuridis yang dilakukan dengan pembuatan akta dihadapan PPAT, akta tersebut didaftarkan di Kantor Pertanahan untuk proses balik nama sehingga diterbitkannya sertipikat atas nama pemilik yang baru. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum empiris, yang berawal dari adanya kesenjangan antara teori dengan praktek sehingga menggunakan data primer maupun sekunder, yang dikumpulkan dengan studi pustaka maupun penelitian lapangan. Data dikumpulkan dengan melakukan studi dokumen dan wawancara, dengan analisis kualitatif. Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana prosedur jual beli hak atas tanah yang belum bersertipikat. 2. Apa akibat hukum terhadap jual beli hak atas tanah yang belum bersertipikat. Prosedur jual beli hak atas tanah yang belum bersertipikat didahului dengan pembuatan pengikatan jual beli dihadapan PPAT untuk mangamankan kepentingan kedua belah pihak. Selanjutnya dilakukan pendaftaran melalui konversi terhadap tanah tersebut di Kantor Pertanahan, sehingga terbitnya sebuah sertipikat hak milik atas tanah. Akibat hukum terhadap jual beli hak atas tanah yang belum bersertipikat belum sah menurut hukum, kecuali dapat dilakukan terlebih dahulu melalui konversi di Kantor Pertanahan dan didahului pembuatan pengikatan jual beli oleh kedua belah pihak dihadapan PPAT. Sehingga hak atas tanah beralih dari penjual kepada pembeli.
KEDUDUKAN AHLI WARIS PREDANA MENURUT HUKUM ADAT BALI HUBUNGANNYA DENGAN HAK ATAS TANAH TERKAIT DENGAN PESAMUAN AGUNG III TAHUN 2010 I Gede Surata
Kertha Widya Vol 7, No 2 (2019)
Publisher : Universitas Panji Sakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (123.42 KB) | DOI: 10.37637/kw.v7i2.515

Abstract

Warisan merupakan salah satu peristiwa hukum, yang mengakibatkan adanya suatu peralihan terhadap hak kebendaan, terutama hak atas tanah. Menurut hukum adat bali, tanah yang diperoleh oleh orang tuanya dalam status perkawinan yang dikenal dengan istilah guna kaya, dapat diwariskan kepada semua ahli warisnya. Namun warisan yang mengandung magis religious dan/atau dari leluhurnya menurut hukum adat Bali hanya diwariskan kepada ahli waris laki-laki (kepurusa) saja. Namun dalam kenyataannya semua harta yang dimiliki oleh Pewaris, pada umumnya diwariskan kepada ahli waris laki-laki (kepurusa) saja. Padahal menurut Pesamuan Agung III Tahun2010, menyatakan bahwa anak perempuan dapat bertindak sebagai ahli waris. Karena itu akan timbul permasalahan yaitu; bagaimana kedudukan seorang ahli waris predana dalam hal mewaris terhadap warisan yang berkaitan dengan hak atas tanah? Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa di Bali menggunakan sistem kekerabatan Patrilineal, yang artinya meguru laki, jadi kita hanya mengenal satu macam ahli waris yaitu ahli waris dari saudara laki-laki.
KEKUATAN HUKUM SERTIPIKAT PENGGANTI KARENA HILANG DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BULELENG Gede Agus Sudarmawan; I Gede Surata
Kertha Widya Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Panji Sakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (280.3 KB) | DOI: 10.37637/kw.v5i2.488

Abstract

Tanah sangat dibutuhkan pada kehidupan mahluk hidup khususnya manusia dalam melangsungkan hidupnya. Pemerintah menyarankan agar setiap tanah yang dimiliki diharapkan sudah bersertipikat supaya tanah tersebut memiliki kepastian hukum.Sehubungan dengan sertipikat dimana terkadang pemegang sertipikat lalai dalam penyimpanan sertipikat, misalnya sertipikat yang dimiliki itu hilang, maka pemerintah memberikan jalan keluar dengan permohonan sertipikat pengganti karena hilang.Pentingnya sertipikat maka dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut: bagaimana upaya Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng apabila terjadi kendala dalam proses penerbitan sertipikat pengganti karena hilang dan bagaimana kekuatan hukum terhadap sertipikat pengganti karena hilang di Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa upaya Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng dengan mencari data melalui beberapa referensi yang dilakukan agar sertipikat pengganti karena hilang dimana sertipikat tersebut yang terbit dibawah Tahun 2000 ke beberapa Kantor Notaris/PPAT, bersurat kepada Kanwil untuk meminta petunjuk agar didapat nomor sertipikat yang hilang tersebut, mencari sertipikat penyandingnya lewat pemohon dan dilakukan pengukuran ulang ke lapangan untuk memperoleh data fisik. Kekuatan hukum sertpikat pengganti karena hilang berlakunya sama.
AKTA OTENTIK DALAM PEMBUKTIAN PADA PERKARA PERDATA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SINGARAJA) Ni Ketut Liana Citra Dewi; I Gede Surata
Kertha Widya Vol 3, No 2 (2015)
Publisher : Universitas Panji Sakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (221.392 KB) | DOI: 10.37637/kw.v3i2.456

Abstract

Alat bukti merupakan sesuatu yang sangat diperlukan di dalam pembuktian yang dijadikan dasar bagi hakim dalam memeriksa perkara sehingga memberikan kebenaran terhadap peristiwa yang diajukan di muka persidangan. Hukum perdata menempatkan bukti tertulis sebagai alat bukti yang utama dibandingkan dengan bukti saksi, persangkaan, pengakuan ataupun sumpah, sehingga akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna jika akta tersebut dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang serta dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang, namun sebuah akta yang terdapat cacat di dalam pembuatannya atau cacat dalam bentuknya hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Dalam membahas permasalahan penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan ialah jenis penelitian hukum empiris, sifat penelitian yakni deskriptif atau menggambarkan, lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Singaraja, sumber data mempergunakan sumber data primer dan data sekunder dengan meminta salinan putusan Pengadilan Negeri Singaraja yang telah berkekuatan hukum tetap, teknik pengumpulan datanya yaitu wawancara dan studi dokumentasi/kepustakaan, dan analisis data kualitatif. Akta otentik ialah bukti yang sempurna, apabila ada yang menyangkal keotentikan sebuah akta maka terhadap yang menyangkal tersebut diberikan kesempatan untuk membuktikannya, hingga telah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum yang tetap sehingga akta otentik menjadi terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan. Namun, penyangkalan sebagaimana tersebut diatas tidak dapat merubah kekuatan pembuktian akta otentik apabila belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.
KEABSAHAN PERKAWINAN BERDASARKAN PASAL 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN I Gede Surata
Kertha Widya Vol 9, No 1 (2021)
Publisher : Universitas Panji Sakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (285.81 KB) | DOI: 10.37637/kw.v9i1.780

Abstract

Keabsahan perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 khususnya Pasal 2 antara ayat (1) dengan ayat (2), membuat penerapannya sanyat sulit di Masyarakat Indonesia, kerena didalam pasal tersebut antara ayat (1) dengan ayat (2) terdapat dissinkronisasi, sehingga terjadi penafsiran yang berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya, demikian juga dengan Pejabat di DUKCAPIL. Permasalahannya adalah: Bilamana Perkawinan itu dianggap sah menurut Undang-Undang Perkawinan? dan Bagaimana akibat hukumnya apabila salah satu ayat didalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan tidak di laksanakan? Metode Penelitian yang dipergunakan adalah: jenis penelitiannya penelitian hukum normatif, sifat penelitiannya adalah deskriptif, pendekatan melalui pendekatan undang-undang, sejarah dan perbandingan. Dengan adanya dissinkronisasi kedua ayat dalam Pasal 2 UU ini, berakibat bahwa penerapan hukumnya di masyarakat, tidak maksimum, bahkan sampai saat ini masih banyak perkawinan yang hanya diselesaikan menurut agama dan kepercayaannya (ayat 1). Perkawinan itu dianggap sah menurut UUP  apabila dilaksanakan sesuai dengan Agama dan kepercayaannya itu dan didaftarkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Akibat hukumnya apabila salah satu ayat didalam Pasal 2 UUP tidak di laksanakan, maka tidak akan dapat diterbitkan Akta Perkawinan sebagai bukti keabsahaan sebuah perkawinan.