Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Konteks Sosial, Politik, dan Budaya dalam Sastra Drama Tahun 1970-an: Studi Kasus pada “Kisah Perjuangan Suku Naga” Karya W.S Rendra dan “Maaf, Maaf, Maaf” Karya N. Riantiarno M. Yoesoef
JENTERA: Jurnal Kajian Sastra Vol 1, No 1 (2012): Jurnal Jentera
Publisher : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4040.22 KB) | DOI: 10.26499/jentera.v1i1.16

Abstract

Pesona kekuasaan, baik di ranah keluarga (domestik) maupun di ranah umum (publik) senantiasa memicu pergolakan di antara anggota keluarga dan masyarakat luas. Dalam pada itu, para birokrat yang mengemban tugas pemerintahan dapat dikatakan sebagai ujung tombak untuk menyejahterakan masyarakat melalui program-programnya. Namun demikian, dinamika di lapangan, selain hal positif juga menimbulkan efek negatif, yang berkaitan dengan perilaku birokrat dalam hal implementasi program-program itu. Hal itu terekam dalam ingatan kolektif masyarakat dan menjadi batu besar yang menghalangi pandangan. W.S. Rendra dan N. Riantiarno melalui karyanya merekam ingatan kolektif itu menjadi sebuah drama yang menyindir dan kritis. Di balik karyanya itu, mereka memberi ingatan kepada kita betapa ekses dari proses pembangunan sepanjang tahun 1970-an menuai opini yang perlu dicermati di masa sekarang ini.Kata kunci: ingatan kolektif, domestik, publik, birokrat
Tradisi Pengucapan Syukur Minahasa dan Pemertahanan Kuliner Tradisional Sonya Indriati Sondakh; M. Yoesoef
Arif: Jurnal Sastra dan Kearifan Lokal Vol 2 No 1 (2022): Arif: Jurnal Sastra dan Kearifan Lokal
Publisher : Fakultas Bahasa dan Seni

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21009/Arif.021.07

Abstract

Pengucapan syukur Minahasa merupakan tradisi panen yang dirayakan setiap tahun, yang mempertemukan ritual religi Kristen dan ritual religi tradisional masyarakat Minahasa pra-Kristen. Ritual-ritual yang sakral maupun yang profan melibatkan makanan yang berlimpah. Tradisi pengucapan syukur merupakan wujud rasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Besar (Opo Empung Wailan Wangko) atas berkat keberhasilan panen. Terkait makanan dalam tradisi panen ini, nasi jaha yang dimasak dalam bambu dan dodol merupakan makanan yang wajib dihadirkan untuk dimakan di tempat perayaan dan/atau dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Artikel ini mendiskusikan bagaimana kuliner tradisional Minahasa, terutama yang dimasak dalam bambu, menjadi salah satu unsur yang membuat tradisi ini tetap bertahan kendati ada kendala-kendala dalam perayaan tahunan. Penelitian ini memperoleh data melalui kajian kepustakaan, wawancara, dan observasi di lapangan yang dilengkapi dokumentasi.
Mendiskusikan Definisi Sastra Islam dan Sastra Islami dalam Kesusastraan Indonesia Masa Kini Dian Rizky Azhari; M. Yoesoef; Turita Indah Setyani
Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Vol 5 No 4 (2022)
Publisher : Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/diglosia.v5i4.518

Abstract

The use of the terminology of Islam Literature and Islamic Literature by literary academics and readers in Indonesia is still confusing. It is inseparable from the development of Islam in Indonesia after the New Order. At that time, publishers had a unilateral claim that their work was the work of Islam literature or Islamic literature. Based on that, this study aims to find the definition and characteristics of the terminology of Islam Literature and Islamic Literature. This study uses the dialectical method, which is a method that contrasts several different views on a problem, in this case, the definition of Islam Literature and Islamic Literature. To collect data, this study uses a literature study of experts' opinions, literary observers, data on literary works, and the development of Indonesian literature. The results of the discussion show that Islam literature refers to all literary works that are strictly based on the text of the holy book and hadith; while Islamic literature can be more fluid than Islamic literature, it does not have to be based on scriptures and hadith, but the values ​​contained in it must be still based on Islamic teachings.
TINJAUAN SEMIOLOGI PADA MANTRA PERGURUAN PENCAK SILAT BUHUN AMENG SEPOR PARA WALI DI KECAMATAN CIBALONG, GARUT SELATAN, JAWA BARAT Irpan Ali Rahman; M. Yoesoef; Pudentia MPSS
Pena Literasi Vol 6, No 1 (2023): Pena Literasi
Publisher : Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24853/pl.6.1.101-108

Abstract

Salah satu budaya Indonesia yang sangat populer pada kajian tradisi adalah Mantra. Secara umum Mantra dapat diartikan sebagai budaya lisan turun temurun yang dipercaya memiliki kekuatan gaib atau supranatural. Pemilik Mantra tidak hanya bersifat individu saja akan tetapi bisa juga dimiliki oleh sebuah komunitas budaya. Salah satu komunitas budaya yang menjadi objek penelitian ini adalah  perguruan pencak silat buhun yang ada di Jawa Barat. Korpus penelitian ini adalah Mantra pada sebuah  komunitas budaya yaitu Perguruan pencak silat Buhun Ameng Sepor Para Wali yang ada di Kecamatan Cibalong, Garut Selatan, Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif menggunakan analisis Semiologi Roland Barthes. Selain melakukan tinjauan pustaka data yang digunakan adalah hasil dari penelitian lapangan sebelumnya dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara langsung di lapangan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis makna denotasi, konotasi, dan  mitos  pada  Mantra  yang dimiliki oleh perguruan tersebut.  Adapun  hasil  penelitian yang perlu diketahui dalam penelitian ini adalah tinjauan semiologi  yang dinyatakan oleh Roland Barthes terhadap Mantra empat kalimah sada yang dimiliki perguruan  silat buhun Ameng Sepor Para Wali, yaitu; 1) Kalimah Pileuleusan, 2) Kalimah Bungkem, 3) Kalimah Pukulan, dan 4) Kalimah Pengobatan.   
PATRIOTISME PEREMPUAN SUNDA PADA TOKOH PARAJI DI PAMENGPEUK, GARUT SELATAN, JAWA BARAT Mutiarani Mutiarani; M. Yoesoef; Pudentia MPSS
Pena Literasi Vol 6, No 1 (2023): Pena Literasi
Publisher : Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24853/pl.6.1.109-116

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai patriotisme yang direfleksikan pada tokoh Paraji persalinan di Kecamatan Pameungpeuk. Garut Selatan, Jawa Barat.  Tradisi perawatan kesehatan ibu dan bayi dengan bantuan paraji telah dilakukan secara turun temurun hingga saat ini di daerah Jawa Barat dan Banten. Paraji merupakan tokoh penting dalam praktik  perawatan kesehatan ibu dan bayi secara tradisional bagi masyarakat Sunda.Meskipun  kemajuan  teknologi medis telah berkembang pesat dan pusat-pusat layanan  kesehatan modern terus berkembang di daerah-daerah baik di Jawa Barat maupun Banten, namun keberadaan praktik paraji dalam perawatan kesehatan ibu dan bayi  masih bertahan di beberapa daerah di Jawa Barat dan Banten. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif pada nilai-nilai patriotisme. Data berupa hasil  pengamatan, wawancara dan dokumentasi dengan paraji di Pameungpeuk, Garut Selatan, Jawa Barat. Dalam objek yang dikaji, dikumpulkan juga dengan teknik studi Pustaka. Data kemudian diklasifikasikan, diinterpretasi dan dianalisis dengan landasan teoritis yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tokoh paraji perempuan merepresentasikan 1) nilai patriotism  dalam konsep  moral humanis  yakni memupuk rasa kebersamaan dan  keperdulian sosial, 2)  nilai patriotisme kultural yakni saling tolong menolong dan religiusitas berbasis nilai-nilai islam dan 3) nilai patriotisme berbasis kepribadian yakni rela berkorban, kesetiaan dan berbudi pekerti. Dengan demikian, diharapkan nilai-nilai yang melekat pada tokoh paraji persalinan dapat menjadi cerminan praktik baik dalam menolong sesama.
Battle of Islamic Women's Discourse through Popular Culture in Post-authoritarian Indonesia Dian Rizky Azhari; M. Yoesoef
International Journal of Science and Applied Science: Conference Series Vol 6, No 2 (2022): International Journal of Science and Applied Science: Conference Series
Publisher : Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/ijsascs.v6i2.73913

Abstract

After the collapse of the New Order, the debate on the discourse of Islamic women developed rapidly in various directions due to the influence of ideas from both the East and the West. Islamic thinkers from within the country are being challenged by the massive influence of global Islamism and the entry of modern western culture. This very complicated battle caused each faction of thought to have to find a way to speak up and propagate their discourse in the public sphere. The most appropriate tool to spread ideology in the midst of the development of society and technology is through popular culture. It can be seen that since the collapse of the New Order, each faction of thought propagated their version of discourse through literary works, magazines, films, entertainment programs on television, social media, to everyday commercial products through their advertisements and taglines. Most of the issues they dispute relate to the role of Islamic women, women's relationships with Muslim men, daily practices as Islamic women, and the image of Islamic women, such as the use of the hijab, clothing and accessories. The results of the research then show that although there are many outside thoughts that enter Indonesian society, the discourse of Islamic women in the traditional-moderate version of Islam as a thought that has long existed in Indonesia is still the majority discourse in society.
The Discourse of Resistance in The Short Story "Siapa Kirim Aku Bunga?" Diki Febrianto; M. Yoesoef
Pioneer: Journal of Language and Literature Vol 15 No 1 (2023)
Publisher : Faculty of Letters, Universitas Abdurachman Saleh Situbondo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36841/pioneer.v15i1.2875

Abstract

This study uses a corpus of short stories entitled Siapa Kirim Aku Bunga? by Eka Kurniawan, which contains issues of postcolonialism through mimicry, ambivalence, and hybridity of the Si Gadis Penjual Bunga’s character, which then shows the existence of a discourse of resistance. This study aims to dismantle the strategy of resistance through mimicry, ambivalence, and hybridity in the short story Siapa Kirim Aku Bunga? by Eka Kurniawan. This research is qualitative, using the hermeneutic method. The research begins with understanding the text, then interpreting it to show and explain the existence of mimicry, ambivalence, and hybridity with descriptive methods. The approach used in this research is post-colonialism. The show that mimicry, ambivalence, and hybridity through European dress are a strategy in carrying out a discourse of resistance by the colonized to the colonialists. This resistance refers to the dark story of the Indonesian people regarding the disposal of indigenous people who were sent and exiled to Boven Digoel. Through the metaphor of flowers, this work depicts the deep sadness of that time.