Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Patofisiologi dan Penanganan Kardiomiopati Peripartum Dwiana Sulistyanti; Bambang Suryono
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 2 (2019): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i2.16

Abstract

Kardiomiopati peripartum adalah salah satu penyebab dari kardiomiopati dilatasi yang timbul pada waktu akhir trimester tiga kehamilan sampai 5 bulan kelahiran. Tanda karakteristik kardiomiopati peripatum adalah berkurangnya fraksi ejeksi ventrikel kiri dan berhubungan dengan gagal jantung kongesti, yang dapat meningkatkan resiko aritmia, tromboemboli dan henti jantung mendadak. Pengertian mendalam tentang fisiologi selama kehamilan dan patofisiologi penyakit jantung pada ibu sangat penting untuk dokter anestesi, dokter kandungan dan dokter jantung yang terlibat pada penanganan pasien PPCM selama periode kehamilan dan persalinan (perawatan peripartum). Penatalaksanaan kardiomiopati peripartum sebagian besar bersifat suportif. Tujuan terapi pada pasien dengan kardiomiopati peripartum adalah optimalisasi hemodinamik, mengoptimalkan preload, menurunkan afterload dan meningkatkan kontraktilitas. Keputusan jenis persalinan pasien dengan kardiomiopati peripartum harus dibuat berdasarkan indikasi obstetri. Pilihan tehnik anestesi yang akan digunakan disesuaikan dengan kondisi klinis ibu pada saat itu dengan memperhatikan efek obat terhadap ibu maupun janin. Baik tehnik anestesi umum maupun tehnik anestesi regional dapat digunakan untuk parturien dengan kardiomiopati peripartum. Pathophysiology and Management of Peripartum Cardiomyopathy Abstract Peripartum cardiomyopathy (PPCM) is a number of cause of dilated cardiomyopathy which occured during the end third trimester of pregnancy until the fifth months of birth. The characteristic sign of peripartum cardiomyopathy is reduced the ejection fraction of left ventricle and associated to congestive heart failure, increased risk of arrhythmia, thromboemboli and sudden cardiac arrest. A comprehensive understanding of the physiology of pregnancy and pathophysiology of maternal cardiac disease is importance for anesthesiologist, gynecologists and cardiologists involved in peripartum care in patients with peripartum cardiomyopathy during the pregnancy and childbirth periods. Management of peripartum cardiomyopathy is mostly supportive therapy. The goal of therapy in patients with peripartum cardiomyopathy is hemodynamic optimization, such as maintaining preload, reducing afterload and improving contractility. Decision of the mode of delivery of patient with peripartum cardiomyopathy hould be based on obstetric indication. The choice of anesthesia technique should consider the current clinical condition of parturient and the effect of the drug for the mother and fetus. Both general anesthesia and regional anesthesia techniques can be an option for parturients with peripartum cardiomyopathy.
Manajemen Anestesi pada Seksio Sesarea Pasien dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus) Iwan Nuryawan; Bambang Suryono; Sri Rahardjo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i1.31

Abstract

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah utama dari kesehatan global. Menurut United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), salah satu bagian dari WHO yang mengurus tentang AIDS menyebutkan, bahwa perkiraan jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS di seluruh dunia sampai dengan akhir tahun 2010 mencapai 34 juta. Kasus HIV pada anak paling sering ditemukan akibat transmisi dari ibu yang HIV positif ke anaknya. Pada laporan kasus ini dilaporkan penanganan anestesi pada penderita pasien wanita berusia 25 tahun berat badan 50 kg primigravida hamil aterm 38 minggu belum dalam persalinan dengan infeksi HIV belum mendapatkan terapi antiretroviral. Pasien diklasifikasikan ASA II dan dilakukan anestesi regional teknik blok subarakhnoid dengan obat bupivakin 0,5% hiperbarik 10 mg. Dilahirkan bayi perempuan berat lahir 2500 gram, dengan skor Apgar 9/10. Operasi berlangsung selama 1 jam dengan hemodinamik TD 90–120/60-80 mmHg, HR 65-100 x/mnt, SpO2 99–100%, perdarahan 400 cc, produksi urin 0,5 ml/kgBB/jam. Pasca operasi pasien diobservasi di ruang pemulihan hingga skor Bromage 0 sebelum dikembalikan ke bangsal. Anesthesia Management in Cesarean Section Patients with HIV (Human Immunodeficiency Virus) Abstract Human Immunodeficiency Virus (HIV) and Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) infections are the main problems of global health. According to United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), one part of the WHO that deals with AIDS states that the estimated number of people infected with HIV/AIDS worldwide by the end of 2010 reached 34 million. HIV cases in children are most often found due to the transmission of HIV-positive mothers to their children. We reported a 25-year-old primigravida, 38 weeks, weighing 50 kg, not in delivery with HIV infection without antiretroviral therapy underwent caesarean section. Patient was classified as ASA II and performed subarachnoid blocks with hyperbaric 0.5 mg bupivacaine 10 mg. A baby girl was born, weighing 2500 grams, with Apgar score 9/10. The operation lasts for 1 hour with hemodynamics TD 90-120/60-80 mmHg, HR 65-100 x/min, SpO2 99-100%, bleeding 400 cc, urine production 0.5 ml/kgBW/hour. In postoperative period, patient was observed in the recovery room until the Bromage score was 0 before transferred to the ward.
Manajemen anestesi pada pasien Seksio Sesarea Primigravida dengan Glioblastoma Multiforme Ratih Kumala Fajar Apsari; Bambang Suryono; Shinta Shinta
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i1.32

Abstract

Tumor otak pada kehamilan jarang terjadi, Glioblastoma multiforme adalah tumor otak primer yang paling agresif dan biasanya membawa prognosis yang buruk. Tumor otak pada kehamilan berkorelasi dengan terjadinya peningkatan mortalitas maternal, kelahiran premature dan intra uterine growth restriction (IUGR). Adanya tumor otak pada kehamilan akan mempengaruhi penentuan waktu persalinan, jenis dan tehnik anestesi yang akan digunakan. Kasus: Dilaporkan pasien dengan G1P0A0 Hamil 33 minggu, mengeluh sakit kepala hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Sakit kepala berdenyut terutama sebelah kanan, tidak disertai mual, muntah, pandangan kabur dan kejang. Sakit kepala berkurang dengan obat paracetamol. Awal Mei 2017 pasien merasakan sakit kepala hebat disertai muntah proyektil, dilakukan pemeriksaan MRI kepala, curiga glioblastoma multiforme regio temporoparietal dextra. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien telah dilakukan SC dengan tehnik regional anestesi epidural obat Levobupivacain 0.5% isobaric 11 ml, janin cukup viable dilahirkan dan mencegah peningkatan tekanan intracranial lebih lanjut. Pasien pulang ke rumah setelah perawatan 5 hari dalam kondisi baik. Pembahasan: Pada wanita hamil dengan tumor otak yang akan dilakukan SC, selama tidak ada kontraindikasi neuroaxial anestesi dapat dilakukan. Tehnik ini pun dilakukan dengan menjaga hemodinamik tetap stabil, mencegah peningkatan tekanan intracranial, seperti saat dilakukan dengan general anestesi. Simpulan: Selama tidak didapati kontraindikasi untuk anestesi neuroaxial, wanita hamil dengan SOL yang tidak mempunyai efek massa, hidrosefalus, atau klinis kearah peningkatan TIK, dapat dilakukan tindakan dengan neuroaxial anestesi. Anesthesia Management for Cesarean Section in Patient with Glioblastoma Multiforme Abstract A brain tumor in pregnancy is rare. Glioblastoma mutltiforme is the most aggressive tumor primary brain and usually have poor prognosis. A brain tumor in pregnancy are associated with increased mortalitas maternal, prematurity and intra uterine growth restriction. The presence of a brain tumor in pregnancy may affect the decision for timing of delivery, type and technique an anesthesia to be used. Case: Patients with G1P0A0 pregnant 33 weeks, complaining of recurrent headaches since 6 months ago. Headache pulsate especially on the right side, without nausea, vomiting, blurred vision or seizures. Headache is relieved with paracetamol. Patients felt a severe headache accompanied by projectile vomiting on May 2017. And performed head examination MRI, suspected glioblastoma multiforme temporoparietal dextra region based on anamnesis, physical examination and brain MRI. Patient has been performed caesarea section with regional anesthesia technique with epidural drug Levobupivacain 0.5% isobaric 11 ml. Patient returns home after 5 days in good condition. Discussion: A pregnant women with a brain tumor to be performed caesarea section procedure, neuroaxial anesthesia can be successfully applied as long as the patients do not have any contraindications. This technique is keeping the hemodynamics stable, preventing an increase in intracranial pressure as when performed with general anesthesia. Conclusion: As long as there is no contraindications are found for neuroaxial anesthesia, pregnant woment with space occupying lesion without mass effect, hydrocephalus or clinical evidence of increasing ICP can be treated with neuroaxial anesthesia.
Manajemen Nyeri Kronis pada Kehamilan Budi Yulianto Sarim; Bambang Suryono
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i1.34

Abstract

Menurut IASP ( International Association of the Study of Pain) nyeri didefinisikan sebagai “an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage or describe interm of such damage”. Nyeri adalah rasa inderawi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi rusak atau sesuatu yang tergambarkan seperti itu.Kelainan muskuloskeletal yang sering dialami oleh wanita hamil adalah berupa nyeri lumbopelvis pada kehamilan (pelvic girdle pain) dan nyeri kronis lumbal (low back pain).Adapun yang menyebabnya adalah faktor hormonal, faktor mekanis dan vaskuler. Manajemen untuk nyeri kronis pada wanita hamil dapat dilakukan melalui manajemen non farmakologis dan manajemen farmakologis. Manajemen non farmakologis dapat dikerjakan dengan cara fisioterapi, terapi distraksi, terapi musik, guided imaginary dan relaksasi. Untuk manajemen farmakologis, obat – obatan yang dapat diberikan adalah asetaminofen, NSAID dan analgesik opioid. Management Chronic Pain in Pregnancy Abstract According to the IASP (International Association of the Study of Pain) pain is defined as "an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage or describe the interim of such damage". Pain is a sensation and or emotional experience unpleasant and disturbing as a result of tissue damage, or potential tissue damage. Musculoskeletal disorders are often experienced by pregnant women is pelvic girdle pain and chronic pain lumbar. The etiology of that is the hormonal factor, mechanical factors and vascular factors. Management of chronic pain in pregnancy can be done through non-pharmacological management and pharmacological management. Non pharmacological management can be done by means of physiotherapy, distraction therapy, music therapy, guided imaginary and relaxation. For pharmacological management can be given is acetaminophen, NSAIDs and opioid analgesics.
Peran Rotational Tromboelastometry pada Perdarahan Postpartum Fitri Hapsari Dewi; Yusmein Uyun; Bambang Suryono
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 5 No 1 (2022): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v5i1.77

Abstract

Perdarahan postpartum atau postpartum hemorhage (PPH) merupakan penyebab paling tinggi dari kematian wanita di seluruh dunia. Penyebab terbanyak pada PPH adalah atonia uteri. Langkah penatalaksanaan PPH adalah mengatasi penyebab utama disertai penggantian cairan yang hilang dengan kristaloid, koloid maupun transfusi komponen darah. Tatalaksana transfusi darah masif pada PPH meningkatkan resiko reaksi transfusi seperti alergi, edema paru, dan anafilaksis. Untuk mengurangi jumlah transfusi darah diperlukan pemeriksaan yang cepat dan tepat mengenai data faktor koagulasi. Metode baru dengan point of care viskoelastik menggunakan alat Rotational Tromboelastometry (ROTEM) memungkinkan untuk menilai profil viskoelastik koagulasi darah dalam waktu yang singkat. Transfusi diberikan sesuai dengan hasil analisis ROTEM yang akan memberikan informasi mengenai jumlah platelet, fungsi platelet, dan ketersediaan fibrinogen. Penggunaan ROTEM bertujuan untuk goal directed transfusion therapy sehingga dapat menurunkan jumlah transfusi yang diberikan dan menurunkan morbiditas akibat transfusi darah. Penggunaan ROTEM pada penatalaksanaan PPH diharapkan bisa menjadi alternatif dalam panduan transfusi darah.
Manajemen Anestesi Seksio Sesarea dengan Miastenia Gravis Nopian Hidayat; Yusmein Uyun; Bambang Suryono
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 5 No 1 (2022): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v5i1.82

Abstract

Miastenia Gravis (MG) merupakan penyakit autoimun yang jarang ditemukan. Kasus lebih banyak ditemukan pada wanita daripada laki-laki (rasio 3:2) dengan puncak onset pada usia dekade kedua dan ketiga (pada wanita) dan dekade kelima dan keenam (pria). Pada kasus ini, wanita 28 tahun gravida 38-39 minggu dengan MG dan fetal distress direncanakan untuk dilakukan seksio sesarea cito. Teknik anestesi yang dipilih yaitu spinal anestesi dengan Bupivakain 0.5% Heavy 10 mg+fentanyl 25 mcg di ruang intervertebrae L4-5.
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik Berat dengan Tanda Cushing Wahyu Sunaryo Basuki; Bambang Suryono; Siti Chasnak Saleh
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2747.024 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i1.107

Abstract

Cedera kepala traumatik merupakan masalah utama kesehatan dan sosial ekonomi, penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Meskipun ada cara diagnosis yang canggih dan penatalaksanaan yang mutakhir, prognosis pasien cedera kepala traumatik masih tetap jelek. Derajat keparahan cedera primer merupakan faktor utama yang menentukan luaran; sedangkan cedera sekunder karena hipotensi, hipoksemia, hiperkarbia, hiperglikemia, dan hipoglikemia setelah cedera awal menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari jaringan otak dan memperjelek luarannya. Cedera kepala traumatik berat adalah cedera kepala dengan glasgow coma scale score antara 3 sampai 8. Tanda Cushing adalah tanda kenaikan tekanan intrakranial yang tinggi dan tanda herniasi. Penatalaksanaan cedera kepala difokuskan pada pengelolaan dan pencegahan cedera sekunder. Seorang wanita 54 tahun, berat badan 50 kg, tinggi badan 155 cm dibawa ke unit gawat darurat rujukan dari rumah sakit lain karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari sepeda motor. Dilakukan resusitasi dan stabilisasi; jalan nafas bebas; laju nafas 10–16x/menit; tekanan darah 180/100 mmHg; laju nadi 50–55x/menit; skor GCS E2M2V1; pupil kiri dan kanan isokor 3 mm, reaksi cahaya lambat. Pemeriksaan CT-Scan menunjukkan perdarahan intraserebral frontal basal kanan, ukuran 7,5 x 4,4 x 2,2 cm, perkiraan volume 40 cc, dan perdarahan kiri kecil; perdarahan subarahnoid mengisi sulkus temporal kanan; midline shift ke kiri 2,6 mm; dan edema serebri luas. Segera dilakukan kraniotomi evakuasi perdarahan untuk menyelamatkan pasien. Penatalaksanaan cedera kepala perioperatif meliputi evaluasi yang cepat, resusitasi pembedahan dini, dan tatalaksana terapi intensif dapat memperbaiki luaran penderita cedera kepala Perioperative Management of Severe Brain Injury with Cushing’s SignTraumatic brain injury (TBI) is a major health and socioeconomic problem, as well as a common cause of death and disabilty worldwide. Despite modern diagnostic tools and advancement in the treatment, prognosis of TBI patients remains poor. Severity of primary injury is the determining factor of outcome in TBI. Secondary injury, caused by hypotension, hypoxemia, hypercarbia, hyperglycemia, and hypoglycemia, following primary injury can cause further brain damage and worsen patient’s outcome. Severe TBI is brain injury with Glasgow Coma Scale score (GCS) of 3 to 8. Cushing’s sign is a sign of high intracranial pressure and herniation. Management of TBI is focused on managing and preventing secondary injury. A 54 years-old female patient (50 kg, 155 cm) was admitted ro the emergency unit due to motorcycle accident. Upon resuscitation and stabilization, the airway was secured, respiratory rate 10-16 times/minute, blood pressure 180/100 mmHg, pulse 50-55 beats/minute, and GCS E2M2V1. Pupils were isochoric, with 3 mm diameter. Direct light reflex was slow. CT-scan revealed a 40 cc right frontobasal intracranial hemorrhage with a size of 7.5 x 4.4 x 2.2 cm3; subarachnoid hemorrhage was occupying the right temporal sulcus; 2.6 mm midline shift to the left; and extensive cerebral edema. Craniotomy for evacuation of intracranial hematoma was performed. Perioperative managements including rapid evaluation, early surgical resuscitation, and intensive care can improve patients’ outcome.
Pemantauan Neurofisiologis Intraoperatif selama Anestesia untuk Operasi Meningioma Foramen Magnum Riyadh Firdaus; Bambang Suryono; Siti Chasnak Saleh
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 3 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2498.525 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i3.149

Abstract

Pemantauan neurofisiologis intraoperatif (Intraoperative neurophysiological monitoring/IONM) pada operasi yang rentan mencederai saraf sangat penting untuk menunjang proses keputusan medis intraoperatif dan pada akhirnya mengurangi angka morbiditas. Operasi meningioma foramen magnum sangat berisiko cedera saraf dan morbiditas sehingga menjadi kandidat yang cocok untuk penggunaan IONM. Cakupan manajemen anesthesia pada operasi yang menggunakan IONM adalah pertimbangan tentang pilihan dan dosis obat anestesia yang digunakan serta perhatian terhadap kestabilan homeostasis pasien. Pemahaman yang baik oleh dokter bedah, anestesi dan neurologi akan membuat tindakan operasi berjalan dengan lancar dan mencegah terjadinya komplikasi intra dan pascaoperasi. Seorang wanita umur 39 tahun dengan keluhan utama nyeri kepala belakang sejak 2 bulan yang lalu. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien di diagnosis tumor meningioma pada regio foramen magnum. Pasien dilakukan operasi kraniotomi removal tumor dengan panduan IONM dalam posisi park bench. Lama operasi kurang lebih 14 jam. Pascaoperasi pasien tidak dilakukan ekstubasi dan dirawat di ICU sehari. Intraoperative Neurophysiological Monitoring (IONM) during Anesthesia for Meningioma Foramen Magnum SurgeryIntraoperative neurophysiological monitoring (IONM) in a surgery that is prone to neuronal injury is very useful to guide intraoperative decision makings and to reduce morbidity. Foramen magnum tumor surgerycarries a very high risk for neuronal injury, and thereforeapplication of IONM would be advantageous. The termsof anesthetic management in IONM-guided-surgery are the selection of anesthetic agents with limitation of the dosageswhileremain focusingon stability of patient’s homeostasis. A thorough understanding and communication among surgeon, neurologist and anesthesiologist are important to createan uneventful procedure and to reduce intra and postoperative complications.A 39 years old female with severe headache for 2 months was diagnosed with meningioma at foramen magnum based on history, physical examination, and advanced examination procedures. The patient was underwent tumor removal guided by IONM on park bench position. The duration of surgery was 14 hours. The patient was not extubatedpostoperatively and admitted to ICU for a day.
Tatalaksana Jalan Napas pada Pasien dengan Fraktur Listesis Servikal Tidak Stabil Dimas Rahmatisa; Sudadi Sudadi; Bambang Suryono
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (479.268 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol8i1.210

Abstract

Cedera tulang belakang leher/cervical spine injury (CSI) tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara maju. Sekitar 12.000 kasus baru cedera tulang belakang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Kebanyakan dari cedera tersebut (55%) merupakan cedera servikal, sedangkan 15% merupakan cedera yang berhubungan dengan torakolumbal. Studi epidemiologis baru, menunjukkan bahwa cedera tulang belakang leher terjadi sekitar 1,8% hingga 4% pada kasus cedera trauma tumpul dan menyebabkan sekitar 6.000 kematian dan 5.000 kasus baru quadriplegia per tahun. Kasus laki-laki usia 55 tahun dengan riwayat trauma leher 5 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pemeriksaan fisik didapatkan adanya tetraparese dan nyeri hebat pada daerah leher, terutama saat ekstensi kepala. Dari pemeriksaan laboratorium tidak didapatkan kelainan, dari pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) leher didapatkan spondilolisthesis C6-7 berat sehingga korpus C6 di anterior C7. Dilakukan anestesia umum, dengan manajemen jalan napas intubasi manual in-line, serta menggunakan video laringoskop. Intubasi dilakukan 2 kali percobaan karena kesulitan visualisasi pita suara. Operasi berlangsung 10 jam, pasien kemudian dirawat di ICU selama 1 hari sebelum pindah ruang rawat biasa.Airway Management in Patient with Unstable Listhesis Cervical FractureCervical spine injury (CSI) remains a major cause of morbidity and mortality in developed countries. About 12,000 new cases of spinal cord injury occur in the United States each year. Most of these injuries (55%) are cervical injuries, while 15% are torakoumbal-related injuries. New epidemiological studies show that cervical spine injuries occur in about 1.8% to 4% in blunt trauma cases and cause around 6,000 deaths and 5,000 new cases of quadriplegia per year. The case of a 55-year-old male with a history of neck trauma 5 months before being hospitalized. Physical examination is found for tetraparese and severe pain in the neck area, especially during head extension. From the laboratory examination no abnormalities were found, from the magnetic resonance imaging (MRI) examination of the neck obtained severe C6-7 spondylolisthesis so that corpus C6 was anterior to C7. General anesthesia, with manual in-line intubation airway management with using a video laryngoscope. Intubation was carried out 2 times because of difficulty in visualizing the vocal cords. The operation lasted 10 hours, the patient was then admitted to the ICU for one day, then moved to ward.
Fast Track Anesthesia untuk Prosedur Kraniotomi Evakuasi Hematom karena Stroke Hemoragik Bona Akhmad Fithrah; Bambang Suryono; Siti Chasnak Saleh; Himendra Warga Dibrata
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (418.852 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i2.6

Abstract

Fast tract anesthesia pertama kali dikenalkan pada periode 1990 dengan maksud untuk untuk mencegah kerusakan multi organ, komplikasi dan berujung pada masa pemulihan yang cepat. Dengan masa pemulihan yang cepat diharapkan akan mengurangi penggunaan ruang rawat intensif dan masa tinggal di rumah sakit yang lebih pendek. Prosedur fast tract bukan sekedar ekstubasi cepat tapi juga bagaimana mengelola pasien secara efektif dan efisien anestesi dalam periode perioperatif. Kondisi preoperatif yang baik. Penggunaan obat obatan kerja pendek-menengah dan prosedur yang singkat sangat menentukan kesuksesan fast track anesthesia. Akan kami laporkan suatu kasus perdarahan intrakranial, laki laki 60 th masuk ke IGD dengan keluhan sakit kepala berat, pasien dengan riwayat hipertensi tidak terkontrol, diabetes mellitus dan stroke non hemoragik sebelumnya tahun 2013. GCS masuk E3M6Vapasia. Tekanan darah 180/110 mmHg saat masuk. Dari CT scan kepala didapatkan perdarahan intracrebri pada lokasi temporoparietal kiri. Dilakukan prosedur evakuasi hematom segera. Gejolak hemodinamik saat laringoskopi direk dicegah dengan menggunakan lidokain intravena. Saat intraoperatif dilakukan teknik balans anestesi antara intravenous anestesi dengan gas anestesi. Analgetik diberikan intermitten dan relaksan diberikan secara kontinyu. MAP dipertahankan sekitar 90-110. Gula darah diperiksa setiap jam dan dipertahankan dengan drip insulin. Hemodinamik intraoperatif relatif stabil. Prosedur evakuasi hematom dilakukan selama tiga jam.  Dengan pertimbangan kesadaran preoperatif yang baik, prosedur yang tidak terlalu lama, hemodinamik stabil selama operasi, udem jaringan otak yang minimal tidak ada kerusakan jaringan yang berat maka dilakukan ekstubasi dan pasca operasi pasien dirawat di HCU. Pasien dirawat selama dua hari di HCU dan hari ke delapan pasien sudah keluar dari rumah sakitFast Track Anesthesia untuk Prosedur Kraniotomi Evakuasi Hematom karena Stroke HemoragikFast tract anesthesia first time introduced in early 1990 with aim to prevent multi organ failure, complication and speedy recovery.  With a quick recovery will reduce intensive care unit usage and reduce length of stay in the hospital. Fast tract anesthesia not just early extubation but also how to manage with effective and efficient anesthesia during perioperative. Good preoperative condition, using short acting drug and short procedure will determinate the successful of fast tract anesthesia. Here we report an intracerebral hemorrhage with fast tract anesthesia. Men, 60 yo attended to the ER with complaining severe headache. Patient with uncontrolled hypertension, diabettes mellitus and stroke non hemorahic in 2013. GCS when admission E3M6Vaphasia and blood pressure 180/110 mmHg. CT scan said intracerebri hemmorhage at left temporoparietal. Evacuation hematom performed urgently. Hemodinamic unstability during laringoscopy direct prevent with lidocaine intravenous. Anesthesia performed with balamnce anesthesia using intravenous and inhaled anesthesia. Analgetic intermitten, muscle relaxant given continuosly. MAP controlled 90-110. Blood glucose check every one hour and stabilized using insulin. During operation hemodynamic relatively stable. Procedur completed after three hours. Considering preoperatif awareness still good, not too long procedur, hemodynamic stable, and minimal brain edema or other brain tissue damaged patient extubated and transport to High care unit.patient was observed in the HCU for two days and after eight days stayed in the hospital patient can go back home.