Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Seni Tradisi di Pasaman: Yang Hilang dan Yang Bertahan Noni Sukmawati; Zaiyardam Zubir
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan Vol 4, No 2 (2015): Jurnal Ilmu Sosial Mamangan ( Not Accredited)
Publisher : LPPM Universitas PGRI Sumatera Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (563.631 KB) | DOI: 10.22202/mamangan.v4i2.1311

Abstract

There are five characters or area of art and culture live in Pasaman, generally. (1), art tradition in Minangkabau society; (2) Art and cultural traditions in society Tapanuli; (3) art and cultural traditions caused by cultural interaction between Minangkabau and Tapanuli / Mandahiling; (4) art and cultural traditions caused by influence of Islamic culture; and (5) new cultural art that is modern. Four characters and territory cultural art (except orgen tunggal), can live side by side in harmony until now, even for a few cases were found acculturation extraordinarily interesting, for example Ronggeng in District Duo Koto that live in both of Minangkabau and Mandahiling culture. In everyday life, the two major ethnic groups in Pasaman, the Minangkabau and Tapanuli / Mandahiling, also looks harmonious and culture can be considered harmonious. Start marginalization of various forms of traditional arts, in addition due to the onslaught of modern art or urban as a single organ, also due to the control of the religious values of IslamSecara garis besar ada lima karakter atau wilayah seni budaya yang hidup di Kabupaten Pasaman, yakni (1), seni tradisi yang tumbuh di lingkungan masyarakat Minangkabau; (2) seni budaya tradisi yang tumbuh di lingkungan masyarakat Tapanuli; (3) seni budaya tradisi yang tumbuh karena interaksi budaya Minangkabau dan Tapanuli/Mandahiling; (4) seni budaya tradisi yang tumbuh karena pengaruh budaya Islam; dan (5) seni budaya baru yang bersifat modern. Empat karakter dan wilayah seni budaya ini (minus seni budaya orgen tunggal), sampai sejauh ini terlihat bisa hidup saling berdampingan dengan harmonis, bahkan untuk beberapa kasus ditemukan bentuk-bentuk akulturasi budaya yang luar biasa menariknya, misalnya pada seni budaya ronggeng di Kecamatan Duo Koto, merupakan masyarakat yang hidup dalam dua dimensi kebudayaan, yakni Minangkabau dan Mandahiling. Dalam keseharian, dua kelompok etnik besar yang di Kabupaten Pasaman, yakni Minangkabau dan Tapanuli/Mandahiling, juga terlihat serasi dan secara kebudayaan bisa dianggap harmonis. Mulai terpinggirkannya berbagai bentuk kesenian tradisi tersebut, selain akibat gempuran seni modern atau urban seperti orgen tunggal, juga disebabkan adanya kontrol dari nilai-nilai keagamaan Islam
RONTOKNYA DOMINASI NEGARA DI TAMBANG BATU BARA OMBILIN SAWAHLUNTO Zaiyardam Zubir & Zulqayyim
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan Vol 3, No 2 (2014): Jurnal Ilmu Sosial Mamangan ( Not Accredited)
Publisher : LPPM Universitas PGRI Sumatera Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (614.572 KB) | DOI: 10.22202/mamangan.v3i2.95

Abstract

In various place at Indonesia, the problem concerning mine workings with people potentially trigger some conflict. This conflict will be manifest and make the corporate collapse. PT. Batubara Ombilin is not an exception, that have been in the prosperity from colonial era till Orde Baru era is also fall down. The fall of government enterprises followed by the influx of people in mining activity, which is known by a variety of forms such tambang rakyat, tambang tanpa izin and tambang liar. Since reformation era, there is a lot of change in mining world. People who only been a spectator become miner. The mining district claimed by the corporate, step by step become tambang rakyat. Conflicts can’t be avoid, lots occur at mining concession. Mining corporate can’t confront the amount of people power, with the result that tambang rakyat spread their invasion into corporate mine district. PT. Batubara Ombilin is one of the mining that in the end taken by people.
NAN TERPENCIL, TERASING, TERTINGGAL, TERLUAR, TERMARGINALKAN: Desa Matotonan di Jantung Pedalaman Pulau Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai 2000-2020 Zaiyardam Zubir; Armansyah; Radiatul Adawiyah; Annisa Ardhia Pramesti
Journal Idea of History Vol 5 No 2 (2022): Volume 5 Nomor 2, Juli - Desember 2022
Publisher : Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/history.v5i2.1875

Abstract

Desa Matotonan di Pulau Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan wilayah yang tergolong Komunitas Adat Terpencil (KAT). Masalah infrastruktur menjadi fenomena sendiri dalam masyarakat di desa tersebut. Tradisi hidup secara nomaden membuat masyarakat berada pada posisi yang tertinggal, homogen, terpencar dan geografis yang sulit dijangkau. Terkait dengan hal tersebut penelitian ini membahas tentang budaya yang berkembang dalam masyarakat Desa Matotonan beserta cara mereka bertahan hidup. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni multidimensional approach yaitu dengan menggunakan teori-teori ilmu sosial lainnya seperti sejarah antropologi, politik dan sosiologi (Kartodirdjo,1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara ekonomi, kehidupan mereka sangat orisinil dengan mata pencaharian berburu, bercocok tanam (sagu) dan mereka tinggal di huma. Makanan utama adalah sagu, ubi dan pisang. Ekonomi mereka sangat tergantung kepada alam dan terbatas. Untuk meningkatkan taraf hidup, mereka mencari jalan lain, terutama merantau meninggalkan Matotonan. Dalam kondisi ekonomi yang tidak jelas, anak-anak Matotonan pergi meninggalkan desa mereka yang nyaman di pedalaman Siberut untuk pergi sekolah. Kekurangan biaya dan ketidakpastian masa depan mereka hadapi untuk sebuah asa yang lebih baik.
Perampasan Tanah dan Perlawanan Petani: Dampak Perkebunan Sawit terhadap Kehidupan Masyarakat di Pasaman Barat Tahun 1980-2022 Radiatul Adawiyah; Zaiyardam Zubir; Hary Efendi
ETNOREFLIKA: Jurnal Sosial dan Budaya Vol. 13 No. 1 (2024): Volume 13 Issue 1, February 2024
Publisher : Laboratorium Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/etnoreflika.v13i1.2429

Abstract

This research examines "Land Grabbing and Farmer Resistance: The Impact of Oil Palm Plantations on People’s Life in West Pasaman during 1980-2022". Forests belonging to indigenous peoples encountered land grabbing and conversion into oil palm plantations. Land grabbing is a common phenomenon in West Pasaman.  The purpose of this research are  to find out the pattern of land ownership in West Pasaman from 1980-2022, strategy of land grabbing, the resistance of oil palm farmers, Fourthly, and the impact of the widespread land grabbing activities on oil palm plantations in West Pasaman. This research used a multidimensional approach. For this reason, social science theories such as economics, anthropology and sociology were used to explain the subject matter. This method strategy is important to be able to analyze the research topic more comprehensively. The method used was historical method including heuristics, criticism, interpretation, and historiography.  The result of research shows that the expansion of oil palm plantations is putatively more than 70% of land in West Pasaman controlled by large companies, while the rest of 30% is for the people in West Pasaman. Large plantations did land acquisition successfully in various ways such as buying land, cooperation with traditional leaders, and land grabbing. The land grabbing results in various effects: people losing their land, displaced communities, poverty, no place to stand and farmer resistance. In conclusion, the expansion of oil palm plantations has generated various conflicts within community. The main sources of conflict are land grabbing and socio-economic inequality in the community. This then led to the farmer’s resistance against the rulers and entrepreneurs of oil palm plantations.