Fathur Nur Kholis
Department Of Internal Medicine, Faculty Of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

THE RELATION BETWEEN TYPES OF IRON CHELATORS AND FERITIN ON OSTEOCALCIN OF THALASSEMIA PATIENTS WITH REPEATED TRANSFUSIONS Amelia, Sesa; Nugroho, Trilaksana; Widyastiti, Nyoman Suci; Kholis, Fathur Nur
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 9, No 1 (2020): DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL ( Jurnal Kedokteran Diponegoro )
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (427.715 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v9i1.26565

Abstract

Introduction:  Thalassemia is an inherited disorder that decrease the rate of globin synthesis. Multiple blood transfusions in thalassemia patients leading to complications of hemosiderosis and hemochromatosis. Iron chelator aims to remove excess iron in the body. High ferritin levels interfere with 25-hydroxyvitamin-D production and negatively affect bone metabolism, measured with osteocalcin (N-Mid Oc). Study aims to determine the relation between type of iron chelator and ferritin levels to osteocalcin levels in thalassemia patients with history of repeated transfusions. Method: An observational analytic cross-sectional study. Research was conducted in May - August 2019 and carried out at Red Cross Semarang, Rembang Hospital, and Purwodadi Hospital. Study subjects were 40 people, then 6 people were excluded to 34 people. Gender are 14 male and 20 female. Subjects were thalassemia patient with repeated transfusions and undergoing iron chelation therapy. Subjects that met the criteria were tested for blood to measure ferritin levels and osteocalcin levels. Results: Average ferritin levels was 2842.85 ug/L and average osteocalcin levels was 15.05 ng/mL. There was significant relation between type of iron chelator on osteocalcin levels (p=0.046), but there was no significant relation between type of iron chelator on ferritin levels (p=0.434). There was significant relation between ferritin levels and osteocalcin levels on patient with Deferasirox therapy (p=0.022), but no significant relation on patient with Deferiprone therapy (p=0.432). Conclusion: There is significant relation between the type of iron chelator on osteocalcin levels and there is significant relation between ferritin levels and osteocalcin levels on patient with Deferasirox therapy.Keywords: thalassemia,iron chelator, deferasirox, deferiprone, ferritin, osteocalcin
QUALITY OF LIFE AMONG TUBERCULOSIS PATIENTS WITH AND WITHOUT DIABETES MELLITUS BEFORE AND AFTER ANTI-TB DRUGS ADMINISTRATION Ksatriaputra, Alesandro; Kholis, Fathur Nur; Ngestiningsih, Dwi; Hariyana, Bambang
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 9, No 6 (2020): DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (Jurnal Kedokteran Diponegoro)
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/dmj.v9i6.29334

Abstract

Background : Increased TB prevalence with and without diabetes mellitus affects the quality of life of the patients. Appropriate action on TB patients was needed in health status improvement and quality of life of the patients. SF-36 questionnaire as an instrument to assess the quality of life. Aim : To compare Quality of Life (QoL) between TB with diabetes mellitus patients and TB without diabetes mellitus patients before and after the treatment of tuberculosis. Methods : A cross-sectional design was performed in this study by collecting data from the medical record of patients in Kariadi Hospital Semarang who were diagnosed with tuberculosis. Research subjects were 44 people with 22 TB with diabetes mellitus patients and 22 TB without diabetes mellitus patients. The direct approach was carried out using the SF-36 questionnaire. The SF-36 questionnaire was filled out using telephone interview. All questions were scored on a scale from 0 to 100, with 100 represents the highest level of function with interpretation the higher the score the higher the level of function, and vice versa. Statistical tests use Wilcoxon Test and Independent Samples T test. Results : Wilcoxon test on quality of life of TB patients with and without diabetes mellitus before and after treatment of tuberculosis was significant (p = 0.0040). Mean improvement in quality of life difference before and after treatment of tuberculosis in TB without diabetes mellitus patients (p = 41.72) was more significant than TB with diabetes mellitus patients (p = 26.38). Conclusion : There was a significant difference in quality of life between TB with and without diabetes mellitus patients before and after the treatment of tuberculosis as indicated by the SF-36 questionnaire score. TB without diabetes mellitus patients have more significant changes in quality of life compared to TB with diabetes mellitus patients.
TINGKAT KETAHANAN HIDUP 2 TAHUN PASIEN ADENOKARSINOMA PARU BERDASARKAN SIFAT MUTASI GEN EGFR (EPIDERMAL GROWTH FACTOR RECEPTOR) Muhammad Agung Wibowo Wicaksono; Fathur Nur Kholis; Fanti Saktini
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 9, No 1 (2020): DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL ( Jurnal Kedokteran Diponegoro )
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (470.125 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v9i1.26561

Abstract

Latar Belakang: Kanker paru merupakan penyakit keganasan dengan angka mortalitas tertinggi di dunia, yaitu sebesar 1.590.000 kematian di tahun 2012. Di Indonesia, kanker paru menempati peringkat ke-3 penyakit kanker terbanyak. Adenokarsinoma merupakan jenis kanker paru dengan jumlah kejadian terbanyak, yaitu 40% dari seluruh kanker paru. Faktor risiko terjadinya kanker paru meliputi umur, merokok, terpapar oleh polusi udara di rumah atau tempat kerja, dan mempunyai riwayat keluarga dengan kanker paru. Kanker paru jenis adenokarsinoma sangat erat terkait dengan mutasi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR), yaitu 15-20% dari kasus adenokarsinoma paru. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan mengambil data dari rekam medik pasien RSUP Dr. Kariadi Semarang yang didiagnosis adenokarsinoma paru. Data tersebut kemudian disusun dan dilakukan analisis statistik dengan uji chi-square dan uji regresi logistik terkait hubungan faktor risiko terhadap mutasi EGFR. Hasil: Dari 97 sampel penderita adenokarsinoma paru, didapatkan 36 subjek dengan mutasi EGFR (37,1%) dan 61 subjek non mutasi EGFR (62,9%). Terjadinya mutasi EGFR berhubungan dengan jenis kelamin perempuan (p = 0,009) dan non perokok (p= 0,028). Tidak ada hubungan bermakna antara mutasi EGFR dengan faktor umur (p = 0,667), paparan pekerjaan (p = 0,418), dan riwayat keluarga (p = 0,371). Dari uji multivariat, didapatkan hasil bahwa jenis kelamin perempuan merupakan faktor paling berisiko terhadap kejadian mutasi EGFR (p = 0,010). Simpulan: Terdapat perbedaan faktor risiko pada penderita adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR dan non mutasi EGFR. Kelompok dengan jenis kelamin perempuan dan non perokok lebih berisiko terhadap terjadinya adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR, sedangkan kelompok dengan jenis kelamin laki-laki dan perokok lebih berisiko terhadap terjadinya adenokarsinoma paru non mutasi EGFR.Kata Kunci : Adenokarsinoma paru, faktor risiko, mutasi EGFR
HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG Nurul Eka Putri; Fathur Nur Kholis; Dwi Ngestiningsih
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (352.332 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v7i2.20693

Abstract

Latar Belakang: Terdapat 30% penduduk dunia terinfeksi bakteri Tuberkulosis dan Indonesia merupakan 10 negara dengan insidensi TB terbanyak. Penderita TB memiliki gejala utama yaitu batuk lama, disertai dengan demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, kelelahan, serta keringat malam. Pengobatan TB membutuhkan waktu selama 6 bulan dengan banyak jenis obat. Gejala dan pengobatan yang kompleks akan mengakibatkan perubahan pada tingkat stress serta kualitas hidup pasien. Tujuan: Mengetahui hubungan tingkat stres dengan kualitas hidup pasien Tuberkulosis di RSUP Dr. Kariadi, Semarang.Metode: Penelitian observasional analitik menggunakan desain cross sectional dilaksanakan di Poli DOTS-TB RSUP Dr. Kariadi Semarang. Sampel penelitian merupakan pasien tuberkulosis RSUP Dr. Kariadi Semarang (n=60) yang menajalani pengobatan minimal 1 bulan. Responden diberi informed consent, mengisi kuesioner data pribadi, Depression Anxiety Stress Scale (DASS), dan The St George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ). Analisis hubungan yang digunakan adalah uji Chi-square, uji Mann-Whitney, dan uji Spearman.Hasil: Sebanyak 60% responden memiliki tingkat stress normal, 23% tingkat stress ringan, 8% tingkat stress sedang, 5% tingkat stress parah, dan 3% tingkat stress sangat parah. Sebanyak 32% responden memiliki kualitas hidup baik dan 68% memiliki kualitas hidup tidak baik. Terdapat hubungan yang signifikan antara gejala dengan kualitas hidup (p=0,034). Tidak ada hubungan yang signifikan antara usia, lama pengobatan, jenis kelamin, status gizi, pekerjaan, status pernikahan, status ekonomi, dan efek samping obat dengan kualitas hidup. Tidak ada hubungan yang signifikan antara status bakteriologis dengan tingkat stress dan kualitas hidup. Korelasi signifikan ditemukan antara tingkat stress dengan kualitas hidup (p=0,007) dengan korelasi cukup dan searah (r=0,476).Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat stres dengan kualitas hidup pasien tuberkulosis di RSUP Dr. Kariadi Semarang.
PERBEDAAN FAKTOR RISIKO PENDERITA ADENOKARSINOMA PARU DENGAN MUTASI EGFR DAN NON MUTASI EGFR Felicia Angga Putriani; Fathur Nur Kholis; Yosef Purwoko
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 8, No 1 (2019): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (306.638 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v8i1.23329

Abstract

Latar Belakang: Kanker paru merupakan penyakit keganasan dengan angka mortalitas tertinggi di dunia, yaitu sebesar 1.590.000 kematian di tahun 2012. Di Indonesia, kanker paru menempati peringkat ke-3 penyakit kanker terbanyak. Adenokarsinoma merupakan jenis kanker paru dengan jumlah kejadian terbanyak, yaitu 40% dari seluruh kanker paru. Faktor risiko terjadinya kanker paru meliputi umur, merokok, terpapar oleh polusi udara di rumah atau tempat kerja, dan mempunyai riwayat keluarga dengan kanker paru. Kanker paru jenis adenokarsinoma sangat erat terkait dengan mutasi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR), yaitu 15-20% dari kasus adenokarsinoma paru. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan mengambil data dari rekam medik pasien RSUP Dr. Kariadi Semarang yang didiagnosis adenokarsinoma paru. Data tersebut kemudian disusun dan dilakukan analisis statistik dengan uji chi-square dan uji regresi logistik terkait hubungan faktor risiko terhadap mutasi EGFR. Hasil: Dari 97 sampel penderita adenokarsinoma paru, didapatkan 36 subjek dengan mutasi EGFR (37,1%) dan 61 subjek non mutasi EGFR (62,9%). Terjadinya mutasi EGFR berhubungan dengan jenis kelamin perempuan (p = 0,009) dan non perokok (p = 0,028). Tidak ada hubungan bermakna antara mutasi EGFR dengan faktor umur (p = 0,667), paparan pekerjaan (p = 0,418), dan riwayat keluarga (p = 0,371). Dari uji multivariat, didapatkan hasil bahwa jenis kelamin perempuan merupakan faktor paling berisiko terhadap kejadian mutasi EGFR (p = 0,010). Simpulan: Terdapat perbedaan faktor risiko pada penderita adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR dan non mutasi EGFR. Kelompok dengan jenis kelamin perempuan dan non perokok lebih berisiko terhadap terjadinya adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR, sedangkan kelompok dengan jenis kelamin laki-laki dan perokok lebih berisiko terhadap terjadinya adenokarsinoma paru non mutasi EGFR.Kata Kunci : Adenokarsinoma paru, faktor risiko, mutasi EGFR
Acute COVID-19 cardiovascular syndrome: A case report Agus Layanto; Sofyan Rais Addin; Friska Anggraini Helena Silitonga; Ayudyah Nurani; Rakhma Yanti Hellmi; Charles Limantoro; K Heri Nugroho Hario Seno; Fathur Nur Kholis
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO (DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL) Vol 10, No 6 (2021): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO (DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/dmj.v10i6.30323

Abstract

A man 44 years old with metabolic syndrome and chronic kidney disease was presenting acute COVID-19 cardiovascular syndrome. The condition was aggravated by presence of ureterolithiasis and gout. After treatment, hemodialysis and ureteroscopic lithotripsy-double J ureteral stent, the patient was recovered from his condition
RIGHT VENTRICULAR AND PULMONARY HYPERTENSION IN CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE AND RESTRICTIVE LUNG DISEASE Valencia Fabiana; Dwi Lestari Partiningrum; Bernardus Parish Budiono; Fathur Nur Kholis
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 9, No 3 (2020): DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL ( Jurnal Kedokteran Diponegoro )
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (603.557 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v9i3.27498

Abstract

Background: Chronic lung disease is frequently associated with lung vascular lesion. We evaluated the structural-functional related changes of right ventricle under CLD with or without PH at RSUP dr. Kariadi, Semarang. Methods: We studied patients at RSUP dr. Kariadi who underwent routine evaluation that included resting spirometry and echocardiography. Patients with either COPD or RLD were studied, exclusion were made for patients with valvular heart disease and congestive heart disease. This study was performed during May through June of 2019 (n = 20). PASP, RVD, RVWT, TAPSE and spirometry values were analyzed for the association between PASP and RVD, RVWT, TAPSE, TAPSE/PASP ratio and FVC, FEV1, FEV1/FVC. Results: Thirteen (65%) of 20 patients who underwent echocardiography and spirometry evaluation were male and their average age were 55 years old. Mean PASP was 49.30 mmHg (range 2–111 mmHg). Ninety five percents patients had restrictive spirometry and 5% patients had moderate-severe mixed spirometry. The majority of the population of the study sample is dominated by a very severe degree of restriction spirometry. Out of the 20 subjects, 15 subjects (75%) had a diagnosis of COPD and 10 subjects (50%) had a history of pulmonary TB. In this study, 75% subjects had right ventricular dilatation, 85% subjects had right ventricular hypertrophy, and 15% subjects had decreased right ventricular systolic function (low TAPSE). The majority of structural and functional abnormalities of the right heart are found on patients with very severe degree of restriction spirometry. There were 13 subjects (65%) pulmonary hypertension, with the most findings being severe pulmonary hypertension as many as 8 subjects (40%). As many as 14 subjects (70%) had high TAPSE / PASP ratio.Conclusions: PH prevalence in patients with CLD is significantly associated with spirometry values. PH severity degree in patients with CLD is not significantly associated with spirometry values.Key words: spirometry; pulmonary hypertension; right heart echocardiography.
JENIS – JENIS EFEK SAMPING PENGOBATAN OAT DAN ART PADA PASIEN DENGAN KOINFEKSI TB/HIV DI RSUP dr. KARIADI Josephine Natalie; Fathur Nur Kholis; Dwi Ngestiningsih
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 5, No 4 (2016): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (401.712 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v5i4.14622

Abstract

Latar belakang : Tuberkulosis (TB) di Indonesia masih menduduki peringkat kedua di dunia dan merupakan penyebab utama kematian pada orang dengan HIV AIDS (ODHA). Untuk menurunkan risiko kematian pada pasien koinfeksi TB/HIV, World Health Organization (WHO) merekomendasikan regimen anti TB berbasis rifampisin dan regimen antiretroviral berbasis efavirenz sebagai terapi lini pertama. Penggunaan bersama kedua regimen ini menyebabkan high pill burden, peningkatan risiko interaksi obat, dan efek samping yang tumpang tindih.Tujuan : Mengetahui frekuensi dan jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART serta karakteristik pasien yang mengalami kejadian efek samping di RSUP dr.Kariadi Semarang.Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan metode cross sectional. Sampel diperoleh dari data catatan medik pasien dengan koinfeksi TB/HIV yang menjalani rawat inap dan rawat jalan yang termasuk dalam kriteria inklusi di RSUP dr.Kariadi Semarang pada tahun 2013-2015. Analisis data menggunakan uji chi square dan rasio prevalensi.Hasil : Sebanyak 90 rekam medis menjadi sampel penelitian. Kejadian efek samping obat terjadi pada 21 pasien (23,3%) dan efek samping yang ditemukan antara lain gejala gastrointestinal (10%), hepatotoksisitas (6,7%), kelainan hematologik (6,7%), kelainan neuropsikiatri (5,6%), kelainan kulit (4,5%), neuropati perifer (2,2%), dan lipodistrofi (1,1%). Lama pengobatan kurang dari 6 bulan merupakan faktor risiko efek samping obat (p=0,000).Kesimpulan : Efek samping pada pengobatan OAT dan ART yang ditemukan adalah gejala gastrointestinal, hepatotoksisitas, kelainan hematologik, kelainan neuropsikiatri, kelainan kulit, neuropati perifer, dan lipodistrofi. Lama pengobatan kurang dari 6 bulan merupakan faktor risiko efek samping obat.
POLA KEJADIAN PENYAKIT KOMORBID DAN EFEK SAMPING OAT PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI RSUP DR. KARIADI Ivona Oliviera; Fathur Nur Kholis; Dwi Ngestiningsih
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 5, No 4 (2016): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (346.543 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v5i4.14483

Abstract

Latar belakang : Tuberkulosis adalah penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia. Pengobatan tuberkulosis ini membutuhkan strategi kombinasi obat antituberkulosis (OAT). Terjadinya efek samping OAT sering kali mengganggu hasil pengobatan. Efek samping ini dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk penyakit komorbid.Tujuan : Mengetahui pola kejadian penyakit komorbid dan kejadian efek samping OAT di RSUP dr. KariadiMetode : Penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional dengan desain cross sectional. Sampel menggunakan data catatan medik pasien tuberkulosis yang menjalani pengobatan OAT lini pertama di RSUP dr. Kariadi Semarang tahun 2015Hasil : Dari 167 sampel yang memenuhi kriteria inklusi, sebanyak 30 sampel mengalami efek samping dan 137 sampel sisanya tidak. Efek samping terbanyak adalah mual dan muntah. Dari 30 sampel tersebut, 18 sampel memiliki penyakit komorbid. Penyakit terbanyak adalah diabetes, yaitu sebanyak 7 sampel. Karakteristik dari sampel yang mengalami efek samping berjenis kelamin perempuan (53,5%), usia 40-59 tahun (53,3%), lama pengobatan 3-4 bulan (43,4%), dan IMT <18,5 (70%). Ditemukan hubungan tidak bermakna antara penyakit komorbid dengan kejadian efek samping dengan p= 0,871.Kesimpulan : Frekuensi efek samping OAT adalah 18% dengan mual dan muntah yang terbanyak. Frekuensi penyakit komorbid pada sampel total adalah 58,7% dan HIV adalah yang terbanyak. Dari sampel efek samping, frekuensi penyakit komorbid adalah 60% dan yang terbanyak adalah diabetes. Karakteristik pasien dengan efek samping adalah perempuan, rentang usia 40-59 tahun, dan IMT<18,5. Ditemukan hubungan tidak bermakna antara penyakit komorbid dan efek samping obat.
PENILAIAN RISIKO INFEKSI DENGAN SKOR MASCC PADA PENDERITA DEMAM NEUTROPENIA DI RUMAH SAKIT Dr. KARIADI DAN TELOGOREJO SEMARANG Fathur Nur Kholis
Media Medika Muda Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang : Penilaian faktor risiko infeksi merupakan hal penting dalam pengelolaan penderita demam neutropenia. Pemilihan antibiotika empirik didasarkan pada besarnya skor risiko infeksi dan salah satu diantaranya adalah skor Multinational Association for  Supportive Care in Cancer (MASCC). Keterlambatan pemberian antibiotika empirik pada fase dini meningkatkan angka mordibitas dan mortabilitas, sedangkan pemberian antibiotika spectrum luas yang tidak rasional akan meningkatkan risiko efek samping dan resistensi kuman.Tujuan : Mendapatkan gambaran risiko infeksi pada penderita demam neutropenia, hubungan antara ANC, MASCC, onset lama demam dan kultur kuman.Metode : Desain penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan belah lintang. Penelitian ini dilakukan di RSDK dan RS Telogorejo Semarang dengan jumlah sampel 29 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah penderita demam neutropenia. Absoluet netrophil count (ANC) diperiksa di laboratorium patologi klinik FK Undip. Skor risiko infeksi diperoleh dari skor MASCC selanjutnya penderita dikelompokkan menjadi risiko rendah dan risiko tinggi. Pemeriksaan kultur darah, urin, sputum, sekret yang lain dan identifikasi mikrobiologi di laboratorium mikrobiologi FK Undip. Korelasi Rank Spearman menguji hubungan antara ANC dan MASCC. Chi square test untuk hubungan antara kultur kuman dengan kategori ANC dan MASCC serta onset lama demam dengan kultur kuman. Semua uji statistik dengan tingkat kemaknaan 95%.Hasil : Sebanyak 21 subyek (72,4%) mengalami neutropenia berat (ANC <500/mm3). Angka kejadian infeksi pada hitung ANC <500 sebesar 71,4% sedangkan pada ANC 500-1000 sebesar 28,6% tetapi tidak ada hubungan bermakna antara ANC dengan kultur kuman (p=1,000). Sebanyak 72,4% (21 subyek) mengalami onset lama demam >24 jam (risiko tinggi) tetapi tidak ada hubungan bermakna antara onset lama demam dengan kultur kuman (p=0,427). Sebesar 65,51% (19 subyek) termasuk kelompok risiko rendah infeksi nilai skor MASCC high score (skor MASCC >21) dan tidak ada hubungan antara kategori MASCC dengan kultur (p=1,000). Tidak ada hubungan bermakna antara ANC dan MASCC (r=0,294, p=0,121). Tidak ada hubungan bermakna antara kultur kuman dengan ANC (p=1,000) maupun MASCC (p=1,000). Kuman terbanyak pada penderita dengan risiko tinggi (skor MASCC <21) adalah Gram-negatif 6,8% (E. Colli) dan Gram-positive 10,3% (S.Aureus, E.aerogenes), sedangkan penderita dengan risiko rendah (skor MASCC >21) adalah Gram-negative 13,7% (E.Colli P.aeroginosa), di ikuti S.aureus, E.aerogenes, P.mirabilis dan S.epidermidis masing-masing 3,4%.Kesimpulan : Sebagian besar penderita demam neutropenia mengalami neutropenia berat (ANC <500/mm3) tetapi sebanyak 65,52% termasuk risiko rendah infeksi dengan skor MASCC >21 (high score). Kuman terbanyak pada penderita risiko tinggi (MASCC <21) adalah Gram-negative (E.Colli) dan Gram-positive (S.Aureus), sedangkan pada risiko rendah (MASCC >21) didominasi Gram-negative (E.Colli). Kata kunci : Deman Neutropenia, Risiko Infeksi, ANC, Skor MASCC, Kultur Kuman.