Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

PENINJAUAN KEMBALI PERMOHONON FIKTIF POSITIF Indra Lorenly Nainggolan
Jurnal Yudisial Vol 13, No 2 (2020): VINCULUM JURIS
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v13i2.353

Abstract

ABSTRAKPutusan Mahkamah Agung Nomor 175 PK/TUN/2016 telah membuka ruang kewenangan peninjauan kembali permohonan fiktif positif. Alasan dikabulkannya peninjauan kembali untuk perbaikan kualitas pelayanan publik. Kualitas pelayanan publik merupakan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Rumusan masalah yang akan diuraikan dalam tulisan ini adalah bagaimanakah penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik terhadap upaya peninjauan kembali permohonan fiktif positif ditinjau dari Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan teoritis konseptual serta pendekatan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Hasil analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 175 PK/TUN/2016, pengadilan judex facti menunjukkan bahwa pengadilan tidak mempertimbangkan asas pelayanan yang baik dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan Undang-Undang Pelayanan Publik untuk memeriksa permohonan fiktif positif. Asas pelayanan yang baik yaitu memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar pelayanan. Asas pelayanan yang baik merupakan perluasan dari Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan Undang-Undang Pelayanan Publik. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa perluasan penggunaan asas-asas umum pemerintahan yang baik pada Undang-Undang Pelayanan Publik telah melengkapi asas-asas umum pemerintahan yang baik pada Undang-Undang Administrasi Pemerintahan khususnya asas pelayanan yang baik. Pertimbangan hukum majelis hakim peninjauan kembali terkait kualitas pelayanan publik yang baik, harus memenuhi standar pelayanan. Kata kunci: asas-asas umum pemerintahan yang baik; fiktif positif; pelayanan publik. ABSTRACT Supreme Court Decision Number 175 PK/TUN/2016 has opened up space for extraordinary appeals on positive ctitious requests. The reason for being granted extraordinary appeal is to improve the quality of public services. The quality of public services is the general principles of good governance in the Government Administration Law. The formulation of the problem that will be described in this paper is how to apply the general principles of good governance to the extraordinary appeal of positive ctitious petitions in terms of the Government Administration Law. This paper uses a normative juridical research method, with a conceptual theoretical approach as well as a statutory approach and court decisions. The results of the analysis of the Supreme Court Decision Number 175 PK/TUN/2016, the judex facti court showed that the court did not consider the principles of good service in the Government Administration Law and the Public Service Law to examine ctitious positive applications. The principle of good service is to provide services that are on time, clear procedures and costs, in accordance with service standards. The principle of good service is an extension of the Government Administration Law and the Public Services Law. The conclusion of the study is that the expansion of the use of general principles of good governance in the Public Service Law has complemented the general principles of good governance in the Government Administration Law, especially the principle of good service. Legal considerations of the panel of judges on extraordinary appeal related to the quality of good public services must meet service standards. Keywords: general principles of good governance; fictive positive; public service.  
Child Prostitution: Phenomenon, Impact, Factors and Preventions Fransiska Novita Eleanora; Reni Masrida; Sri Wahyuni; Indra Lorenly Nainggolan; Yapiter Marpi
ABDIMAS: Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol. 5 No. 2 (2022): ABDIMAS UMTAS: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : LPPM Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (402.638 KB) | DOI: 10.35568/abdimas.v5i2.2369

Abstract

The phenomenon of rampant acts of child prostitution causes children to lose their rights in relation to their protection, prostitution that makes children as victims is certainly an act that violates the law and decency, when children have to get education and study but instead get bad treatment and consequently hindered to live his life. In its development, prostitution which was originally a conventional crime became an unconventional crime where children can be victims or traded online through Facebook and Instagram in carrying out transactions or agreements through pimps or brokers. The impact of prostitution on children is that the child will be depressed, depressed and have a lot of daydreaming and not concentrating on learning while related to health can damage the reproduction of girls and cause infectious diseases such as AIDS/HIV. In addition, the factor of the occurrence of prostitution is due to economic factors where it is difficult to meet the necessities of life so that it justifies all means, and prevention can be done by increasing the family's understanding of the importance of child protection through an understanding of human rights, developing knowledge about the impact of prostitution on children and being consistent. to protect and supervise and guide children so as not to fall into the trap and also the need for the role and concern of the community to actively participate and be consistent and care about the government's efforts to provide guidance and supervision so that the practice of prostitution by minors does not occur again
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Pemanfaatan Perairan Pesisir Paska UU Cipta Kerja Indra Lorenly Nainggolan
Jurnal Keamanan Nasional Vol 8, No 1 (2022): Juli
Publisher : Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (UBJ)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/jkn.v8i1.562

Abstract

Berlakunya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, menandakan berlakunya konsep perizinan berusaha berbasis risiko yang membagikan risiko dalam jenjang rendah, menengah dan tinggi. Konsep ini tidak jauh berbeda dengan perizinan umumnya yang juga memperhatikan risiko sebagai dasar diterbitkannya izin, hanya saja lebih menitikberatkan pada penyederhanaan izin dalam memperolehnya serta pengawasannya. Masyarakat adat dan masyarakat lokal akan bersaing dengan pelaku usaha lainnya berdasarkan jenjang risikonya dalam mengakses perairan pesisir. Negara bertanggung jawab melindungi masyarakat adat dan masyarakat lokal, supaya tidak menghilangkan hak mereka terhadap perairan pesisir. Tulisan ini mengkaji apakah perizinan berusaha berbasis risiko melindungi masyarakat tersebut. Sementara itu metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif dengan menggunakan studi kepustkaan.
Paradigma Kedaulatan Pangan Sebagai Landasan Penanggulangan Krisis Pangan Global Dalam Perspektif Negara Hukum Kesejahteraan Hotma P. Sibuea; Indra Lorenly Nainggolan; Jantarda Mauli Hutagalung
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 16 No. 2 (2022): DECEMBER 2022
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v16i2.1539

Abstract

Konstitusi Indonesia mengatur dalam Pasal 28H ayat (1) sebagai berikut “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan  mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Prinsip hidup yang sejahtera sebagai hak setiap orang diatur lebih lanjut dalam Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 yang mengatur sebagai berikut “Setiap orang berhak  hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin”. Salah satu aspek penunjang kehidupan yang sejahtera adalah pangan. Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi supaya dapat hidup sejahtera. Negara dan bangsa Indonesia sangat memahami urgensi pangan dalam kehidupan manusia supaya dapat hidup sejahtera. Atas dasar pemikiran urgensi pangan dalam kehidupan manusia yang sejahtera, Indonesia menetapkan UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Pangan. Negara Indonesia bertekad untuk mencapai cita-cita “kedaulatan pangan” sebagai kondisi ideal yang diharapkan dapat menunjang kesejahteraan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bertekad untuk berdaulat dalam bidang pangan dalam arti memiliki kemampuan untuk menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan supaya rakyat Indonesia dapat hidup sejahtera. Namun, dalam realitas, dunia sedang mengalami krisis pangan pada saat sekarang. Kondisi realitas krisis pangan yang melanda dunia pada saat sekarang adalah salah satu agenda yang dipromosikan Presiden Joko Widodo yang menjabat sebagai Presidensi G-20 sebagai salah satu agenda utama pertemuan pada pertemuan G-20 beberapa bulan yang akan dating. Apakah Presiden Joko Widodo sebagai Presidensi G-20 dapat menggalang kesepatan negara G-20 untuk bekerja sama dan kerja bersama meanggulangi krisis pangan dunia sebagai salah satu agenda utama pertemuan G-20? Penelitian ini mempergunakan metode penelitian yuridis-normatif dan metode penelitian lain yang dianggap perlu dan dapat menunjang keberhasilan penelitian. Menurut penulis, sebagai Presidensi G-20, Presiden Joko Widodo akan dapat menggalang kesepakatan negara anggota G-20 untuk bekerja sama dan kerja bersama menanggulangi krisis pangan dunia yang terjadi pada saat sekarang. Alasannya, semua negara anggota G-20 dan semua negara di dunia akan terkena dampak krisis pangan global pada saatnya sehingga jika tidak mau terkena dampak krisis pangan global semua negara anggota G-20 dan negara-negara lain di permukaan bumi harus bekerja sama dan kerja bersama untuk menanggulangi krisis pangan global tersebut. Semua negara anggota G-20 disarankan untuk melakukan langkah-langkah konkrit penanggulangan krisis pangan di negara masing-masing seperti yang sudah dilakukan Indonesia seperti tertuang dalam program Presiden Joko Widodo.
Perlunya Syarat Surat Keterangan Catatan Kepolisian Calon Anggota Legislatif Berdasarkan Prinsip Checks And Balances Indra Lorenly Nainggolan; Rahmat Saputra
JURNAL USM LAW REVIEW Vol 6, No 1 (2023): APRIL
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v6i1.5959

Abstract

The purpose of this study was to analyze norms that do not regulate the requirements for candidates for legislative members (DPR) without being accompanied by a police record certificate (SKCK) which has a material impact on their duties and responsibilities in establishing law. The research method used in this study is normative juridical with a conceptual approach and a statutory approach. This research is very important in filling public positions because the lack of conditions in question is a form of institutional imbalance in the DPR compared to the requirements for the candidacy of the President and Vice President, Governors, Mayors, and Regents. Even though all of them are public positions that directly receive a mandate from the people. The form of a rule of law requires checks and balances, which upholds Indonesia's constitutional cultural values and places greater emphasis on the harmony and integration of shared values. Meanwhile, the invalidity of the SKCK as a condition for candidacy for members of the DPR is a form of denial. So this has implications for the integrity and quality of prospective members who will occupy the DPR positions. As a law-forming institution, quality and integrity are important parts that must be attached to them, so that in carrying out their duties it will result in the formation of laws that are oriented towards the protection of human rights. The novelty of this research is the analysis of the importance of regulating the requirements for police record certificates in the Election Law as a basis for measuring the filling of public office. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis norma yang tidak mengatur syarat calon anggota legislatif (DPR) tanpa disertakan dengan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) yang secara materiil berdampak pada tugas dan tanggungjawabnya dalam pembentukan hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini sangat penting dalam pengisian jabatan publik, sebab ketiadaan syarat yang dimaksud adalah bentuk ketidakseimbangan kelembagaan DPR dibandingkan dengan syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Walikota, dan Bupati. Padahal semuanya sama-sama jabatan publik yang langsung menerima mandat dari rakyat. Bentuk negara hukum menghendaki adanya checks and balances, yang menjunjung nilai-nilai budaya konstitusional Indonesia dan lebih menekankan harmoni dan integrasi nilai-nilai bersama. Sedangkan ketidakberlakuan SKCK sebagai syarat pencalonan anggota DPR adalah bentuk pengingkaran dimaksud. Sehingga hal ini berimplikasi terhadap integritas maupun kualitas dari calon-calon anggota yang akan menduduki jabatan DPR. Sebagai lembaga pembentuk undang-undang kualitas dan integritas adalah bagian penting yang harus melekat bagi mereka, sehingga dalam menjalankan tugasnya akan menghasilkan pembentukan undang-undang yang beorientasi pada perlindungan hak asasi manusia. Adapun kebaharuan penelitian ini adalah analisis mengenai pentingnya pengaturan mengenai syarat surat keterangan catatan kepolisian dalam UU Pemilu sebagai dasar tolak ukur pengisian jabatan publik.     
PENYULUHAN HUKUM PELAPORAN PENERIMAAN SUMBANGAN DANA KAMPANYE SEBAGAI KONVENSI KETATANEGARAAN PEMILU Indra Lorenly Nainggolan; Nina Zainab; Jantarda Mauli Hutagalung
Abdi Bhara Vol 2 No 1 (2023): Juni 2023
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/abhara.v2i1.2431

Abstract

Pelaporan dana kampanye merupakan perintah yang diatur dalam UU No.7 Tahun 2017. Dana kampanye bersumber dari partai politik, calon anggota DPRD Kabupaten/Kota, termasuk pula dari sumbangan yang sah berdasarkan hukum. Pelaporan sumbangan dana kampanye yang didapatkan dari pihak lain tidak ada pengaturannya. Pemilu tahun 2014 dan tahun 2019 telah ada peraturan KPU yang mengaturnya. Khusus untuk pemilu tahun 2024 belum dibentuk aturan pelaksananya. Ketiadaan pengaturannya, membuat tindakan tersebut tidak konsinten terhadap pemilu sebelumnya dan akan melahirkan potensi pelanggaran pemilu. Mitra kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah Bawaslu Kota Bekasi. Peserta kegiatan pengabdian diperhadapkan permasalahan apakah perlu pelaporan sumbangan dana kampanye dari pihak lain dan bagaimana dasar hukumnya. Kegiatan pengabdian ini menawarkan solusi bahwa KPU seharusnya tetap membuat peraturan pelaksana terkait pelaporan sumbangan dana kampanye yang didapatkan dari pihak lain. Adapun argumentasinya adalah konvensi ketatanegaraan pemilu tahun 2014 dan tahun 2019 yang mengatur ketentuan tersebut dan konsekuensi pasal 334 ayat 2 UU No.7 Tahun 2017.
Misconception and Legal Problems of Authority to Perform Medical Actions in Nursing Administrative Law Hotma P. Sibuea; Dwi Seno Wijanarko; Ali Johardi Wirogioto; Indra Lorenly Nainggolan; Katrina Siagian
Journal of World Science Vol. 2 No. 7 (2023): Journal of World Science
Publisher : Riviera Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58344/jws.v2i7.395

Abstract

According to Article 29 paragraph (1) of Law Number 38 of 2014, nurses have several duties, namely as providers of nursing care, counselors and client counselors, managers of nursing services, nursing researchers, and task performers based on delegated authority and/or tasks in specific limited circumstances. One of the nurse's tasks that receives focused attention is "as a task performer based on delegated authority." According to Article 32 paragraph (2) of Law Number 38 of 2014, the implementation of nurse tasks based on delegated authority regulated in Article 29 paragraph (1) letter e of Law Number 38 of 2014 is carried out by nurses in a "delegative and mandate" manner. The aim of this research is to identify and analyze misconceptions and legal problems in performing medical actions in nursing administrative law. The research method used is a normative juridical research method. The research results are as follows: First, the term "delegated authority" is not accurately used in the context of nurse task implementation for performing medical actions. Second, the more appropriate term is "cooperation." Suggestions that can be put forward are as follows: First, Law Number 38 of 2014 concerning Nursing needs to be amended. Second, the term "delegated authority" in the legal relationship between medical personnel and nurses regulated in Article 29 paragraph (1) letter 3 of Law Number 38 of 2014 needs to be changed and replaced with the term "cooperation.