Nathan Marcellino
Universitas Negeri Surabaya

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

RASIONALITAS JEMAAT GBI GILGAL DALAM MENGIKUTI IBADAH TATAP MUKA DI MASA ENDEMI COVID-19 Nathan Marcellino; Agus Machfud Fauzi
Jurnal Analisa Sosiologi Vol 11, No 4 (2022)
Publisher : UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/jas.v11i4.60354

Abstract

The Covid-19 pandemic continues to be a significant issue, as well as in Indonesia. Although the number of cases has scaled back, this virus continues to change and still poses potential threat to public health. Solely, the word endemic may be a phrase that has been emphasized to refer to a currently occurring phenomena. Where dread begins to subside in a society, attentiveness and acceptance with the threat of a pandemic overtake it. The majority of churches, for instance, have raised their doorways so that their communities may worship as usual. Apart from adhering to strict health protocols, this study will delve into the rationale for the flock's participation in GBI Gilgal on-site, or face-to-face, worship. The methodology adopted in this research is phenomenology, which is weighted correctly to develop a thorough understanding of the research subject.. Additionally, researchers collected data through observation and interviews. The findings of this study expose the researcher to two distinct types of rationality inherent in this action: instrumental and affective rationality. The data reveals that the congregation yearns for the routine of coming to church and experiencing worship in real-time; thus, when GBI Gilgal reintroduces the opportunity for its flock to worship at church, it is put to good use despite the dangers of a pandemic threatening the community.Keywords: Endemic, On-Site Worship, RationalityAbstrakPandemi Covid-19 masih menjadi sebuah permasalahan internasional, tidak terkecuali di bumi pertiwi–Indonesia. Walaupun angka penyebarannya sempat mengalami penurunan, virus ini senantiasa bermutasi secara kontinu dan tetap membahayakan kesehatan masyarakat. Secara spesifik, kata endemi mungkin menjadi sebuah frasa yang mulai ditegaskan untuk merujuk pada fenomena yang terjadi saat ini.  Di mana mulai meluruhnya ketakutan di tengah masyarakat, digantikan dengan kesiagaan dan keterbiasaan terhadap bahaya pandemi. Sebagian besar tempat ibadah, misalnya, sudah membuka kembali akses untuk jemaatnya datang dan beribadah secara langsung seperti sedia kala. Terlepas dari penerapan protokol kesehatan yang ketat, penelitian ini berupaya untuk meneliti secara mendalam sejumlah hal yang melatarbelakangi rasionalitas jemaat untuk ikut serta dalam ibadah on site, atau tatap muka, yang diselenggarakan oleh GBI Gilgal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi yang ditimbang tepat untuk memahami subjek penelitian secara mendalam. Metode observasi dan wawancara juga dilakukan oleh peneliti dalam memperoleh data. Hasil penelitian ini menghadapkan peneliti kepada dua jenis rasionalitas yang terkandung pada aksi ini, yakni rasionalitas instrumental dan rasionalitas afektif. Temuan data menunjukan bahwa jemaat rindu terhadap rutinitas untuk datang ke gereja dan merasakan ibadah secara real-time, maka dari itu ketika GBI Gilgal membuka kesempatan untuk jemaatnya kembali datang beribadah ke gereja, hal tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya terlepas di tengah bahaya pandemi yang mengancam.Kata Kunci: Endemi, Ibadah Tatap Muka, Rasionalitas
Analisis Budaya Feminisme dan Politik pada Perjalanan Karir Miss Americana: Taylor Swift Nathan Marcellino; Fransiscus Xaverius Sri Sadewo
Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni dan Budaya Vol 5, No 3 (2023): Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni dan Budaya
Publisher : Universitas Indraprasta PGRI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30998/vh.v5i3.6707

Abstract

Taylor Swift telah menjadi sebuah fenomena baru di kalangan masyarakat selama lebih dari satu dekade. Eksistensinya sering kali dikaitkan dengan sifat manipulatif, respon yang dramatis, dan sejumlah pengaruh negatif lainnya. Melalui artikel ini, peneliti akan berupaya untuk memaparkan perjalanan karir dari Taylor Swift, dan memaparkan sejumlah sisi kelam yang mempengaruhi setiap perjalanan yang dilalui penyanyi asal Amerika Serikat itu, salah duanya adalah budaya feminisme dan politik. Perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, serta transparan juga turut mendorong kedua budaya ini menjadi menarik untuk diteliti. Maka itu, dengan menggunakan metode kualitatif, artikel ini akan menggali secara mendalam sejumlah konflik yang terjadi pada film dokumenter tersebut, terkhusus mengenai aspek-aspek budaya yang menjadi fokus penelitian. Juga, melalui pendekatan psikoanalisis oleh Sigmund Freud, artikel ini turut membahas bagaimana hubungan antara karakter utama dengan diri dan pihak eksternal lainnya. Hasil dari penelitian ini menunjukan terdapat budaya maskulinitas toksik yang mempengaruhi diri Taylor secara signifikan selama satu dekade terakhir, tidak heran jika terdapat ambisi pada diri Taylor untuk menjunjung tinggi feminisme dari tahun ke tahun.  Gerakan feminisme ini lah yang kemudian juga membawa Taylor untuk banyak terjun ke berbagai aspek kehidupan untuk menyuarakan suara politiknya, dan jutaan orang lain, akan keadaan masyarakat yang tidak ramah terhadap perempuan.