Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Hukum Walīmah Al-‘Urs menurut Perspektif Ibn Ḥazm Al-Andalusī Ali Abubakar; Yuhasnibar Yuhasnibar; Muhamad Nur Afiffuden Bin Jufrihisham
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 2, No 2 (2019): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v2i2.7653

Abstract

Jumhur ulama berpendapat bahwa walīmah al-‘urs hukumnya sunnah mu’akkad. Namun demikian, ada juga sebagian ulama memandang wajib, pendapat ini dipegang oleh Ibn Ḥazm al-Andalusī. Penelitian ini secara khusus menelaah pemikiran hukum Ibn Ḥazm al-Andalusī yang mengatakan hukum wajib melaksanakan walīmah al-‘urs. Dalam konteks ini, Ibn Ḥazm al-Andalusī cenderung memahami dalil-dalil hadis sebagai dasar hukum perintah wajib melaksanakan walīmah al-‘urs. Fokus penelitian ini adalah: Bagaimana pandangan Ibn Ḥazm tentang hukum melaksanakan walīmah al-‘urs?, dan Bagaimana dalil dan metode istinbāṭ yang digunakan Ibn Ḥazm dalam menetapkan hukum walīmah al-‘urs?. Dalam penelitian ini penulis mengunakan penelitian kepustakaan (library research). Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan cara analisis normatif. Setelah melakukan analisa mendalam terhadap fokus penelitian, penulis dapat menyimpulkan menurut Ibn Ḥazm, pelaksanaan walīmah al-‘urs hukumnya wajib dan disesuaikan dengan kemampuan. Dalil yang digunakan Ibn Ḥazm mengacu pada tiga riwayat hadis. Pertama hadis qawliyyah riwayat Muslim dari Yaḥyā bin Yaḥyā al-Tamīmī terkait perintah Rasulullah SAW untuk melaksanakan walīmah al-‘urs walaupun hanya sekadar satu ekor kambing. Kemudian, kedua hadis fi’liyyah riwayat Muslim dari Abī Bakr bin Abī Syaibah dan riwayat al-Bukhārī dari Muḥammad bin Yūsuf terkait Rasulullah SAW melaksanakan walīmah al-‘urs. Terhadap pendapat dan dalil hukum yang digunakan Ibn Ḥazm, pola penalaran yang ia gunakan ialah cenderung pada metode istinbāṭ bayānī, yaitu melihat sisi kaidah kebahasaan pada lafaz “أَوْلِمْ” dalam matan hadis riwayat Muslim “أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ”. Lafaz tersebut menurut Ibn Ḥazm merupakan lafaz amar perintah yang mengandung indikasi hukum wajib. Selain itu, pola penalaran istinbāṭ bayānī juga terlihat pada saat Ibn Ḥazm memandang hadits fi’liyyah Rasul SAW harus didukung dengan petunjuk dalil qawliyyah, sebab perbuatan Rasulullah SAW melaksanakan walīmah al-‘urs tidak dapat dijadikan hujjah wajibnya walīmah al-‘urs, kecuali adanya petunjuk dalil hadis lain yang memerintahkannya. Pola penalaran semacam ini mengarah pada metode istinbāṭ bayānī.
Tindak Pidana Homoseksual Dalam Putusan MK Nomor 46/Puu-Xiv/2016: Perspektif Hukum Pidana Islam Yuhasnibar Syah; Lastrina Lastrina
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v11i1.13330

Abstract

Abstract: Constitutional Decision Number 46/PUU-XIV/2016 raises various views. The decision rejected a request for an expansion of Article 292 of the Criminal Code on homosexuals. Regarding this problem, what are the provisions of Decision No. 46/PUU-XIV/2016 regarding homosexual crimes, how and the considerations of the Constitutional Court judges in deciding homosexual criminal cases in Decision Number 46/PUU-XIV/2016, and how Islamic criminal law regarding homosexual crimes in the Constitutional Court Decision Number 46/ PUU-XIV/2016. This research is analyzed by means of descriptive-analysis. The result of the research is that the provisions of homosexual crime in Article 292 of the Criminal Code regulates same-sex sexual abuse, or obscenity in the category of homosexuals. The Constitutional Court Decision Number 46/PUU-XIV/2016 in principle contains a request to expand the scope of Article 292 from previously only adults with children to adults with adults. There are three reasons and also the considerations of the judges of the Constitutional Court in deciding cases of homosexual crimes in Decision Number 46/PUU-XIV/2016, namely juridical considerations regarding the criminal policy or criminal policy, juridical considerations on the application of the principles of legality and consideration of the substance of the petition. Article 292 of the Criminal Code against Article 1 paragraph (3), Article 28D paragraph (1), and Article 28G paragraph (1) of the 1945 Constitution. From the perspective of Islamic criminal law, the Constitutional Court's decision is not in harmony, or at least has not been able to apply legal aspects criminal law based on religious norms and moral norms.Abstrak: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016 memunculkan ragam pandangan. Putusan tersebut menolak permohonan pemohon salah satunya tentang perluasan Pasal 292 KUHP tentang homoseksual. Terhadap masalah tersebut, bagaimana ketentuan Putusan No. 46/PUU-XIV/2016 tentang tindak pidana homoseksual, bagaimana alasan dan pertimbangan hakim MK dalam memutus perkara tindak pidana homoseksual dalam Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, serta bagaimana tinjauan hukum pidana Islam tentang tindak pidana homoseksual dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016. Penelitian ini analisis dengan cara deskriptif-analisis. Hasil penelitian bahwa ketentuan tindak pidana homoseksual dalam Pasal 292 KUHP mengatur tentang pencabulan sesama jenis, atau pencabulan kategori homoseksual. Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 pada prinsipnya berisi permohonan untuk memperluas cakupan Pasal 292 dari sebelumnya hanya orang dewasa dengan anak-anak menjadi orang dewasa dengan orang dewasa. Terdapat tiga alasan dan juga pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara tindak pidana homoseks dalam Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, yaitu pertimbangan yuridis terhadap kebijakan kejahatan pidana atau criminal policy, pertimbangan yuridis terhadap penerapan asas-asas legalitas dan pertimbangan substansi permohonan atas Pasal 292 KUHP terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Dilihat dari kaca mata hukum pidana Islam, putusan MK tidak selaras, atau sekurang- kurangnya belum mampu menerapkan aspek hukum pidana yang didasari norma hukum agama dan norma susila.
Game Online Higgs Domino di Kota Banda Aceh dalam Perspektif Hukum Pidana Islam Yuhasnibar; Rahma Wati
Legalite : Jurnal Perundang Undangan dan Hukum Pidana Islam Vol 7 No 2 (2022): Legalite: Jurnal Perundang Undangan dan Hukum Pidana Islam
Publisher : IAIN Langsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32505/legalite.v7i2.5121

Abstract

The people of Banda Aceh City were shocked by the emergence of online-based gambling, namely the higgs domino game. Statistically, there are 3 cases of higgs dominoes that occurred in the people of Banda Aceh City in 2021 and 2022, there are as many as 3 cases that have been heard and have even been executed by whips. However, not a few of the players of this game are free from legal snares or not tracked massively. This fact raises academic anxiety, especially how the game indicators fall into the gambling category or not, especially in the perspective of Islamic Law. This research is a qualitative type through literature studies and field studies with a descriptive analysis approach. Data collection was carried out by observation, interviews, documentation and literature studies by compiling literature sources, both primary and secondary. The results of this study state that; Judging from the Islamic Criminal Law, the higgs domino online game has fulfilled the three elements of gambling (maisir), namely the element of the game being played, the element of profit and the element of betting at stake is chips (virtual coins)
PENERAPAN ILLAT HUKUM RIBA DALAM FIQH KLASIK DAN KONTEMPORER YUHASNIBAR
HEI EMA : Jurnal Riset Hukum, Ekonomi Islam, Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi Vol. 1 No. 1 (2022): Januari
Publisher : HEI EMA : Jurnal Riset Hukum, Ekonomi Islam, Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (325.554 KB)

Abstract

Riba hutang piutang yakni penerapan riba berupa tambahan, manfaat atau tingkatan lebihan tertentu yang diprasyaratkan terhadap pihak yang berhutang sedari awal atau tambahan hutang nantinya dibayar lebih besar daripada harta pokoknya akibat si penghutang tidak mampu melunasi hutangnya sampai jatuh tempo. Sedangkan Jenis riba jual beli sangat mungkin terjadi pada pertukaran komoditi tertentu yaitu emas, perak, gandum, tepung kurma dan garam sesuai dengan hadits Rasulullah Saw. Pada riba hutang piutang ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama bahwa semua tambahan dari pokok pinjaman yang disyaratkan sebelumnya adalah riba dan hukumnya haram karena illat yang terdapat di dalamnya, sama dengan illat riba yang terdapat dalam Al-Qur‟an. Pendapat kedua bahwa tambahan dari pokok pinjaman seperti bunga bank konvensional adalah boleh, selama tidak mengandung unsur- unsur kezaliman dengan melakukan qiyas berdasarkan hikmah, bukan illat. Keterbatasan nash dalam menjelaskan komuditi lain selain barang ribawi menjadikan ijtihad sebagai keniscayaan untuk menangkap pesan-pesan Al- Qur’an dan sunnah. Para Ulama menggali illat hukum (rasio logis) dan tujuan yang dikandung hukum yaitu pencapaian kepada kemaslahatan atau penolakan terhadap kemudharatan sehingga dapat disamakanlah furu’ (cabang) yang tidak ada nashnya kepada asal yang sudah ada nash mengenai hukumnya.
Juridical Provisions on Government Policies Towards Marginal Economic Actors in Indonesia in the Perspective of Islamic Law EMK Alidar; Muhammad Maulana; Yuhasnibar Syah; Bustamam Usman
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 7, No 1 (2023)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v7i1.14621

Abstract

This study investigates the legal provisions for dealing with street vendors in Banda Aceh and Yogyakarta, utilizing the Qanun no. 3/2007 and the Mayor Regulation no. 26/2002, respectively. It investigates the variables that constitute the basis for the creation of policies for dealing with street sellers and evaluates policy formulations for dealing with street vendors in the two provincial capitals in a more accommodating and comprehensive manner. This is a normative legal research that examines legal data in the form of the rule of law by evaluating statutes and Islamic law. The results indicated that the Qanun for the City of Banda Aceh and the Perwal Yogyakarta were legally designed to govern and control street vendors in compliance with the urban planning and aesthetics of the city. However, the Banda Aceh Qanun addressing street vendors must be tied to the Mayor's Regulation 44 of 2016 about the role and function of Wilayatul Hisbah (WH) and Satpol PP (Civil Police), which reflect Islamic shari'a standards. Although the Mayor of Yogyakarta Regulation No. 26/2002 on street vendors has been designated as a source and tourist attraction that must be managed responsibly, this has a positive impact on street vendors. The regulation has included cultural issues with such care that it has a favorable effect on their economic earnings. Although other aspects, such as the issuance of business licenses, impartial spatial layouts, and coercive measures against street vendors, still need to be developed. Nevertheless, the Banda Aceh government's comprehensive WH policy integrates Islamic law and the Yogyakarta Perwal, which accommodates local and cultural values in accordance with the rule of law that governs and disciplines the society.