Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search
Journal : Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi

Zonasi Polen Tersier Indonesia Timur Lelono, Eko Budi
Lembaran publikasi minyak dan gas bumi Vol 41, No 1 (2007)
Publisher : PPPTMGB "LEMIGAS"

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.542 KB) | DOI: 10.29017/LPMGB.41.1.45

Abstract

Wilayah Indonesia yang tersusun dari berbagai lempeng kerak bumi ternyata berpengaruh terhadap jenis flora yang hidup di kepulauannya sepanjang waktu geologi. Kawasan yang berasal dari Lempeng Asia, dihuni tumbuhan khas Asia, sedangkan kawasan yang terbentuk dari Lempeng Australia, ditumbuhi tanaman yang punya kekerabatan dengan tumbuhan Australia. Sebagai konsekuensinya palinomorf yang dihasilkannya pun beragam sesuai asal lempeng-lempeng tersebut. Oleh karenanya zonasi polen satu daerah dapat berbeda dengan daerah lain. Di kawasan timur Indonesia, hal ini terbukti dengan adanya perbedaan zonasi polen Tersier antara Sulawesi dan Papua. Zonasi polen Sulawesi mirip dengan zonasi polen Jawa yang dipublikasikan oleh Rahardjo, dkk (1994). Hal ini disebabkan karena Sulawesi, terutama bagian baratnya merupakan bagian dari Daratan Sunda (Sundaland), sehingga tumbuhannya adalah khas Asia. Sebaliknya Papua yang merupakan bagian dari Lempeng Australia didominasi oleh tumbuhan yang berasal dari Australia. Zonasi polen Tersier Indonesia Timur yang pernah dipublikasikan adalah untuk Sulawesi dan Papua (Lelono, dkk., 1996). Meskipun demikian zonasi tersebut masih harus disempurnakan karena perconto batuan yang digunakan dalam penelitian belum mewakili batuan sedimen yang terbentuk di kedua pulau tersebut, akibat keterbatasan waktu penelitian. Selain zonasi polen Tersier, dibutuhkan pula zonasi polen umur pra-Tersier, bahkan jika mungkin disusun biostratigrafi pra-Tersier untuk kawasan timur Indonesia karena belum ada yang melakukannya, disamping umumnya sedimen pra-Tersier menjadi target utama eksplorasi migas di kawasan timur Indonesia.
Palinomorf Eosen dari Selat Makasar Lelono, Eko Budi
Lembaran publikasi minyak dan gas bumi Vol 41, No 2 (2007)
Publisher : PPPTMGB "LEMIGAS"

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (403.802 KB) | DOI: 10.29017/LPMGB.41.2.191

Abstract

Analisis palinologi yang dilakukan terhadap percontoh serbuk bor yang diambil dari Sumur O interval kedalaman 8100-11850 yang ditajak di Selat Makasar memperlihatkan keragaman dan kelimpahan palinomorf rendah (bagian bawah interval) sampai sedang (bagian atas inter- val). Palinomorf yang ditemukan mencirikan umur Eosen seperti Proxapertites operculatus, Proxapertites cursus, Palmaepollenites kutchensis, Diporoconia iszkaszestgyorgyi dan Cicatricosisporites eocenicus. Dibandingkan dengan Formasi Nanggulan di Yogyakarta, kelimpahan dan keragaman palinomorf Sumur O relatif rendah. Palinomorf yang dijumpai melimpah pada Formasi Nanggulan seperti aff. Beaupreadites matsuokae, Palmaepollenites kutchensis dan Dicolpopollis malesianus memperlihatkan kelimpahan rendah di Sumur O. Hal ini dapat terjadi karena percontoh sedimen di Sumur O interval 8100-11850 berada pada level stratigrafi lebih muda dari pada Formasi Nanggulan yang berumur Eosen Tengah. Diperkirakan percontoh sedimen yang diteliti berumur Eosen Akhir. Interpretasi ini didukung oleh kemunculan polen Proxapertites operculatus (fine reticulate) yang juga muncul pada Formasi Bayah umur Eosen Akhir di Jawa Barat. Selain itu, kelimpahan sedang polen Restioniidites punctulosus mengindikasikan terbentuknya iklim kering yang menandai umur Eosen Akhir seperti terjadi di Jawa, Eropa Barat dan Amerika Utara.
Penelitian Palinologi pada Sedimen Paleogen di Kawasan Indonesia Bagian Barat Lelono, Eko Budi
Lembaran publikasi minyak dan gas bumi Vol 39, No 2 (2005)
Publisher : PPPTMGB "LEMIGAS"

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29017/LPMGB.39.2.734

Abstract

Singkapan sedimen umur Paleogen yang terdapat di Indonesia Barat sangat terbatas jumlahnya. Hal ini terutama disebabkan oleh aktivitas tektonik yang intensif yang berlangsung bersamaan dan sesudah umur Paleogen, yang mengakibatkan formasi umur ini tertimbun jauh di bawah permukaan. Sedangkan sedimen Paleogen yang didapat dari pemboran eksplorasi sulit diperoleh karena bersifat rahasia. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau penelitian palinologi terhadap sedimen umur ini masih terbatas jumlahnya. Meskipun demikian, gambaran umum palinologi umur Paleogen sedikit banyak sudah terungkap. Sebagai buktinya beberapa peneliti telah menyusun zonasi polen untuk umur Paleogen seperti Morley (1991) dan Rahardjo dkk. (1994). Penelitian paling lengkap terhadap sedimen Paleogen tertua dilakukan oleh Muller (1968) terhadap Formasi Kayan (dulu bernama Plateau Sandstone) berumur Paleosen- Eosen Awal yang tersingkap di Sarawak. Keragaman polen dari formasi ini rendah dibandingkan dengan keragaman polen masa kini yang ada di Dataran Sunda dan umumnya tidak mempunyai kesamaan dengan spesies modern. Di antara sedimen Paleogen yang paling kaya dengan kandungan palinomorf adalah Formasi Nanggulan berumur Eosen Tengah-Akhir yang tersingkap di desa Nanggulan, D. I. Yogyakarta. Beberapa penelitian dilakukan pada formasi ini antara lain oleh Barton (1988), Morley dan Harley (1995), dan Lelono (2000). Keragaman dan kelimpahan polen pada Formasi Nanggulan sangat tinggi terutama pada sedimen umur Eosen Tengah menunjukkan kondisi iklim basah tropis yang memungkinkan terbentuknya hutan tropis yang lebat. Selain itu, penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan kehadiran palinomorf yang berasal dari India. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi migrasi tumbuhan dari India ke wilayah Asia Tenggara karena menyatunya kedua daerah tersebut akibat tumbukan antara Lempeng India dan Lempeng Asia yang diperkirakan berlangsung pada Eosen Tengah (Hall, 1998). Pada Oligosen Awal proses rifting dan subsid- ence (yang sudah dimulai pada Eosen Akhir) terus berlanjut yang ditandai dengan pembentukan pull-apart basin di beberapa daerah seperti Laut Cina Selatan, Sumatra dan Laut Jawa Barat Utara (Morley, 2000). Pada fase awal pembentukan pull-apart basin ditandai oleh terbentuknya endapan danau atau darat lainnya yang dibuktikan dengan dominasi alga air tawar Pediastrum spp. seperti ditemukan pada Cekungan Jawa Barat Utara. Mendekati umur Oligosen Akhir proses penurunan cekungan (subsidence) berlangsung sangat intensif pada area yang luas. Proses ini ditambah dengan kenaikan muka laut menyebabkan penyusutan daratan akibat penggenangan air laut, sehingga sedimentasi umumnya terjadi di lingkungan transisi sampai laut dangkal. Hal ini ditandai oleh kehadiran beragam palinomorf air payau (mangrove dan back- mangrove) pada penampang sumur umur Oligosen Akhir seperti dijumpai di Cekungan Jawa Barat Utara dan Jawa Timur Utara. Secara umum, keragaman dan kelimpahan palinomorf umur Oligosen jauh rendah dari pada umur Eosen. Hal ini disebabkan kondisi iklim lebih kering yang mendominasi umur Oligosen, meskipun di beberapa tempat dipengaruhi oleh iklim basah.
Potensi Hidrokarbon Sedimen Pra--Tersier Daerah Atambua, Timor Barat Lelono, Eko Budi; Sunarjanto, Djoko; Kholiq, Abdul
Lembaran publikasi minyak dan gas bumi Vol 50, No 2 (2016)
Publisher : PPPTMGB "LEMIGAS"

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29017/LPMGB.50.2.715

Abstract

Di Atambua dan sekitarnya dijumpai rembesan minyak dan gas di beberapa lokasi. Namun eksplorasi migas belum dilakukan secara intensif sehingga potensinya belum banyak terungkap. Penelitian ini difokuskan pada geologi batuan pra Tersier untuk mengetahui dan mengidentifikasi potensi hidrokarbonnya, untuk memastikan daerah ini layak untuk ditawarkan kepada investor. Metode yang dilakukan diawali studi literatur dan penelitian terdahulu, interpretasi data citra satelit, survei lapangan, analisis laboratorium dan integrasi data. Penelitian ini menghasilkan temuan baru berupa sedimen air tawar (diduga danau) produk syn-rift berumur Perm, sehingga terbuka peluang adanya sistem petroleum umur Paleozoikum. Secara umum disimpulkan bahwa elemen-elemen sistem petroleum sudah terbentuk di Wilayah Atambua dan sekitarnya, antara lain: serpih Perm Formasi Bisane dan batulempung Trias Formasi Aitutu berperan sebagai batuan sumber. Batupasir Perm Formasi Bisane dan batupasir Jura Formasi Oebaat dapat bertindak sebagai reservoar, sedangkan batulempung Jura Formasi Wailuli berpotensi sebagai penyekat. Perangkap migas yang berhasil diidentifikasi berupa struktur basement involved thrust dan imbricated fault.
Analisis Palinologi Kuantitatif Endapan Delta Mahakam Umur Miosen Kalimantan Timur Lelono, Eko Budi
Lembaran publikasi minyak dan gas bumi Vol 38, No 2 (2004)
Publisher : PPPTMGB "LEMIGAS"

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29017/LPMGB.38.2.750

Abstract

Analisis biostratigrafi resolusi tinggi saat ini sudah menjadi tuntutan banyak perusahaan minyak untuk memahami kondisi stratigrafi secara akurat. Dalam tulisan ini analisis biostratigrafi resolusi tinggi dikerjakan dengan cara menghitung semua individu palinomorf yang muncul pada preparat mewakili percontoh batuan tertentu (metode kuantitatif). Sedangkan metode konvensional dikerjakan dengan mengamati kemunculan dan kepunahan palinomorf indeks untuk rekonstruksi zone palinologi (metode kualitatif).