Yatin Suwarno, Yatin
Peneliti Madya Bidang Penginderaan Jauh

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

PEMETAAN RAWAN BENCANA GEMPA BUMI DI KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI Mulya, Setyardi Pratika; Suwarno, Yatin
GEOMATIKA Vol 19, No 2 (2013)
Publisher : Badan Informasi Geospasial in Partnership with MAPIN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24895/JIG.2013.19-2.203

Abstract

Kepulauan Mentawai termasuk dalam kawasan rawan bencana, diantaranya gempa bumi, tsunami, abrasi pantai dan tanah longsor. Daerah rawan bencana tersebut khususnya gempa bumi dapat dipetakan, sehingga dapat diketahui daerahdaerah mana yang memiliki kerawanan tinggi, sedang atau rendah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui daerah-daerah mana di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang memiliki kerawanan bencana gempa bumi tinggi, sedang dan rendah. Teknologi GIS dapat digunakan dalam penelitian ini, yaitu dengan melakukan “superimpose” dari beberapa parameter atau sub faktor setelah dilakukan skoring dan pembobotan. Dari hasil pemetaan ini diketahui bahwa wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai yang terdiri dari Pulau Siberut, Pulau Sipora, dan Pulau Pagai Utara dan Selatan, sebagian besar merupakan wilayah dengan kerawanan sedang. Daerah dengan kerawanan rendah terdapat di wilayah pantai barat dan utara bagian barat Pulau Siberut. Adapun wilayah dengan kerawanan tinggi terdapat di sepanjang pantai timur Pulau Pagai Utara dan Selatan, sebagian kecil pantai timur bagian utara Pulau Sipora, dan sebagian kecil pantai timur bagian utara Pulau Siberut.Kata Kunci: pemetaan, rawan bencana, gempa bumi, Kepulauan MentawaiABSTRACTMentawai Archipelago is among the disaster-prone areas, either in the form of tectonic earthquakes, tsunamis, coastal erosion and landslides. The disaster-prone areas, especially earthquakes can be mapped to know the region with high, medium or low susceptibility level. The purpose of this study was to determine the level of susceptibility areas to earthquake in Mentawai Archipelago. GIS technology was used in this research by doing superimpose of some parameters or subfactors after scoring and weighting. The results of this mapping showed that the region of the Mentawai Archipelago which consists of Siberut Island, Sipora Island, and Pagai Island (North and South) were largely fall in medium class of susceptibility. Areas with low susceptibility were at the west coast and north western part of Siberut Island. The areas with high susceptibility were found along the east coast of Pagai Island (North and South), some part at the east coast of northern Sipora Island and a small part at the east coast of north Siberut Island.Keywords: mapping, disaster, earthquake, Mentawai Archipelago
PEMODELAN DAMPAK KEBIJAKAN REDD : STUDI KASUS HUTAN DI PULAU SUMATERA Nahib, Irmadi; Suwarno, Yatin
MAJALAH ILMIAH GLOBE Vol 19, No 2 (2017)
Publisher : Badan Informasi Geospasial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1181.126 KB) | DOI: 10.24895/MIG.2017.19-2.696

Abstract

Emisi karbon yang terjadi akibat deforestasi dan degradasi hutan menyumbang hampir 20%  emisi global, lebih besar daripada sektor transportasi global dan yang kedua setelah industri energi. Indonesia adalah negara yang sangat penting dalam hal deforestasi dan degradasi hutan. Enam puluh persen dari luas daratan Indonesia adalah hutan, dan memiliki kawasan hutan hujan tropis terbesar ke-3 di dunia. Hutan Indonesia pada periode 2000-2009 telah mengalami deforestasi sekitar 15,15 juta ha. Distribusi spasial deforestasi terjadi di Pulau Kalimatan mencapai 5505863,93 (36,32%), Pulau Sumatera 3711797,45 (24,48%) dan Kepulauan Maluku 1,258,091,72 (8,30%). Di pulau Sumatera, Provinsi ……… Riau merupakan wilayah dengan deforestasi terbesar, mencapai 2002908,83 ha. Deforestasi akan berdampak terjadinya emisi karbon.  Salah satu metode untuk mengukur emisi dari deforestasi dan degradasi hutan adalah model Geosiris.  Model ini mengasumsikan pemanfaatan hutan menghadapi trade-off  antara pendapatan pertanian yang diperoleh dari konversi  hutan, dan pendapatan karbon yang diperoleh dengan melindungi hutan. Data yang digunakan dalam studi :  peta tutupan hutan pada tahun 2005 dan 2010, peta deforestasi 2005-2010, dan data penyebab deforestasi : ( kemiringan, elevasi, jarak logaritmik ke jalan terdekat, jarak dari  ibukota provinsi,  peta taman nasional, peta areal perkebunan), harga karbon dan harga pertanian. Sumber data adalah : https://clarklabsorg/products/.  Analisis emisi karbon dilakukan dengan oleh menggunakan modul Geosiris pada software TerrSet.   Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur deforestasi dan emisi dari periode 2005-2010 di pulau Sumatera dengan menggunakan model Geosiris.    Hasil analisis dengan asumsi harga karbon sebesar US $ 10 / tCO2e, menunjukkan deforestasi yang terjadi di Pulau Sumatera  dampak kebijakan REDD adalah 170,447 ha (16,70%), perubahan emisi karena REDD 17,59-22 -29% (di bawah tanpa skenario referensi REDD +), atau mengurangi emisi sebesar 245 - 265 MtCO2e / 5 tahun, akhirnya, surplus bersih pemerintah pusat dari pembayaran karbon sebesar US $ 300276736 (NPV, 5 tahun). Kata Kunci: Deforestasi, Emisi Karbon, Pendapatan Pertanian, Insentif Karbon ,  Model GeosirisABSTRACTCarbon emissions related to deforestation and forest degradation represent almost 20% of global emissions, greater than the global transportation sector and second only to the energy industry.  For several reasons, Indonesia is a very important country in regarding to deforestation and forest degradatio. Sixty percent of Indonesias land area is forested, and it has the 3rd largest area of tropical rainforest in the world.  Indonesia’s  Forest in the period 2000-2009 has been deforested about 1515 million ha. The spasial distribution of deforestation occurred on the Kalimatan island  reach 5,505,86393 (36.32%), Sumatra Island 3,711,79745 (24.48 %) and Maluku Islands 1,258,09172 (8.30%.  In the Sumtra island, it self Riua Province has the greatest deforestation, they are reaching 2,002,90883 ha. Deforestation will cause carbon emissions. One of method for  measuring emissions from deforestation and forest degradation is Geosiris model. This model assumes forest users face a trade-off between the agricultural revenue obtained from deforesting land, and the carbon revenue obtained by protecting them. A modeled GeOSIRIS policy uses a carbon payment system to incentivize emission reductions.  Data used in study : maps of forest cover in 2005 and 2010, map of deforestation,  driver variables (slope,  elevation, logarithmic distance to the nearest road or provincial capital, or the amount of area per pixel included in a national park, or a timber plantation),  carbon price and agricultural.  Data sources in  https://clarklabsorg/products/. Calculating emisi carbon was  done by the GeOSIRIS module in TerrSet. The aim of study is to measuring deforestation and emissions from tropical deforestation period 2005-2010 in Sumatera island using Geosiris model. The results show, according to Geosiris, that at an international carbon price of US $10/tCO2e,  Sumatera  Island would have  :  change in deforestation due to REDD is  170,447  ha   (1670 %), change in emissions  due to REDD is  1759  – 2229  % (below the without  REDD+ reference scenario), or reduced emissions by  245 - 265  MtCO2e/ 5 years, finally, net central government surplus from carbon payments US $  300,276,736  (NPV, 5 years)Keywords: Deforestation, Carbon Emission, Agricultural Revenue, Carbon payments , Geosiris Model,
ANALISIS SPASIAL DAN MODEL SIMULASI DEGRADASI HUTAN MANGROVE DI KEPULAUAN KANGEAN KABUPATEN SUMENEP-PROVINSI JAWA TIMUR Nahib, Irmadi; Suwarno, Yatin
MAJALAH ILMIAH GLOBE Vol 10, No 1 (2008)
Publisher : Badan Informasi Geospasial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2898.593 KB) | DOI: 10.24895/MIG.2008.10-1.319

Abstract

Salah satu penyebab rendahnya keragaan sektor perikanan dan kelautan adalah dikarenakan telah teriadi degradasi sumberdaya pesisir dan laut di beberapa wilayah. Degradasi sumberdaya pesisir dan laut merupakan faktor yang penting untuk diperhitungkan, sebab pengelolaan yang mengabaikan degradasi sumberdaya alam akan menyebabkan kebijakan yang kurang tepat. Keterbatasan dalam pengukuran degradasi sumberdaya alam menyebabkan belum memasyarakatnya pengukuran ini sebagai alat bantu bagi penentu kebijakan sumberdaya pesisir dan laut. Penelitian ini bertujuan untuk menduga degradasi hutan mangrove di Pulau Kangean dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis dan model simulasi.ABSTRACTOne of the reasons which explains the low formance of marine and fishery is resource degradation in many of coastal and marine areas. Resource degradation is a pivotal element that should be taken into account in formulating coastal and marine policy. Even though it is important, only few analysis has been done to the coastal and marine in Indonesia due to limited information on how to carry out such analysis. The aim of this research was to estimate degradation of mangrove forest in Kangean island by Geographic Information System and Simulation Model approach. Kata Kunci: Degradasi, Hutan Mangrove, Sistem Informasi Geografis, Model Simulasi. Keyword: Degradation, Mangrove Forest, Geographic Information System, Simulation Model.
ANALISIS POTENSI TAMBAK GARAM MELALUI PENDEKATAN INTERPRETASI CITRA PENGINDERAAN JAUH : STUDI KASUS DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN KUPANG Nahib, Irmadi; Suwarno, Yatin; Prihanto, Yosef
MAJALAH ILMIAH GLOBE Vol 15, No 2 (2013)
Publisher : Badan Informasi Geospasial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (279.664 KB) | DOI: 10.24895/MIG.2013.15-2.79

Abstract

ABSTRAKPemanfaatan citra penginderaan jauh untuk pengelolaan wilayah pesisir dapat dilakukan melalui analisis spasialatau kewilayahan. Citra penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk identifikasi potensi sumberdaya di wilayahpesisir. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis spasial areal tambak garam (potensial dan eksisting), danmenganalisis kelayakan usaha budidaya tambak garam di wilayah pesisir Kabupaten Kupang. Metode yangdigunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan interpretasi visual citra satelit resolusi tinggi, yang dikombinasikandengan pengolahan citra SRTM, serta pemanfaatan Peta RBI skala 1:25.000. Penelitian ini juga ditunjangsurvei lapangan untuk menguji kebenaran hasil interpretasi dan wawancara pengumpulan data parameter ekonomi.Hasil analisis menunjukkan dari lahan seluas ± 3.404,51 ha yang teridentifikasi berpotensi sebagai lahan tambak, ±731,41 ha merupakan areal penyangga berupa mangrove, sehingga luas areal yang dapat dimanfaatkan untukpengembangan tambak adalah ± 2.673,1 ha. Analisis ekonomi menunjukkan bahwa tambak garam layakdikembangkan. Hasil analisis diperoleh benefit cost ratio sebesar 2,20 dengan mendapat nilai net present valuesebesar Rp. 334.888.490 dalam pengusahaan selama 10 tahun. Usaha budidaya ini cukup mapan, bahkan tetapmampu bertahan jika terjadi kenaikan biaya sebesar 25 % dan produksi menurun hingga 25 %.Kata Kunci : Penginderaan Jauh, Tambak Garam, Analisis Spasial, Analisis Ekonomi.ABSTRACTUtilization of remote sensing imagery for coastal zone management can be done through spatial analysis. Remotesensing imagery can be used to identify resources potential in coastal areas. This study aims to analyze spatialdidtribution of salt ponds area (potential and existing) and to analyze the feasibility of salt pond cultures at KupangRegency. The method used in this studies are visual interpretation of high-resolution satellite imagery approach,combined with SRTM image, and utilization of RBI map at the scale of 1:25.000. This study is also supported by fieldsurveys to test the accuracy of the interpretation results, besides interview to fishermen to get economic parametersdata. The results of the analysis shows that among the area of 3,404.51 ha that is identified as a potential salt pond,731.41 ha (21,48 %) of the area is covered by mangrove and consider a buffer area. Therefore total area that can beused for developing salt pond is 2,673.1 ha (81,81 %). Moreover, the economic analysis shows that the salt ponds isfeasible to be developed. Fish pond culture should be developed with benefit cost ratio of 2.20 with Net PresentValue in 10 years. This cultivation is already well established, even still considered capable to survive in case thecost would increased by 25 % and production decreased by 25 %.Keywords: Remote Sensing, Salt Pond, Spatial Analysis, Economic Analysis.
PENGEMBANGAN VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG SPASIAL DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN METODE BENEFIT TRANSFER Nahib, Irmadi; Suwarno, Yatin; Soleman, M Khifni; Arief, Syachrul
MAJALAH ILMIAH GLOBE Vol 13, No 2 (2011)
Publisher : Badan Informasi Geospasial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1672.054 KB) | DOI: 10.24895/MIG.2011.13-2.94

Abstract

Valuasi ekonomi adalah upaya untuk memberi nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, baik atas dasar nilai pasar maupun nilai non pasar. Penelitian valuasi ekonomi sudah banyak dilakukan, namun belum banyak yang menyajikan nilai valuasi ekonomi dalam bentuk peta. Dengan menggunakan metode benefit transfer dan sistem informasi geografi dapat mengkalibrasi nilai ekonomi terumbu karang dari suatu areal (rujukan) untuk ditransfer ke lokasi yang diinginkan. Metode penghitungan valuasi ekonomi dengan metode benefit transfer didasarkan pada: peta kualitas sumberdaya terumbu karang lokasi studi, nilai valuasi ekonomi di wilayah rujukan, dan karakteristik sosial ekonomi masyarakatnya. Hal ini dapat dilakukan dengan kalibrasi ulang perkiraan nilai valuasi ekonomi areal rujukan untuk ditransfer ke lokasi studi. Hasil studi menunjukkan bahwa nilai valuasi ekonomi di daerah studi berkisar Rp. 2,46 sampai Rp. 27,26 juta/ha/tahun atau mencapai 9-100 % dari nilai rujukan. Studi ini juga menghasilkan peta valuasi ekonomi terumbu karang yang lebih detil.Kata kunci: Terumbu Karang, Metode Benefit Transfer, Sistem Informasi GeografiABSTRACTEconomic valuation is an attempt to give a quantitative value of goods and services generated from natural resources and environment, both on the basis of market value and non-market value. Research of economic valuation has been done, but not many who present value of economic valuation in a map. Benefit transfer method is used to calibrate the economic value of an area (reference) to be transferred to a desired location. Calculation of the economic valuation using the benefit transfer method is based on: a map of coral reef quality on the study sites, economic valuation in the region of reference, and social economic characteristic of communities in the study area. Re-calibration can be done to estimate economic valuation at the reference area to be transferred to the study site. The study showed that the value of economic valuation in the study area ranges from Rp. 2,46 to Rp. 27,36 million/ha/year or reaching 9% to 100% of the reference value. This study also presented a more detailed map of the economic value of coral reef resources.Keywords: Coral Reef, Benefit Transfer Method, Geographical Information Systems
PEMODELAN SPASIAL DEFORESTASI DI KABUPATEN TASIKMALAYA, PROVINSI JAWA BARAT Nahib, Irmadi; Turmudi, Turmudi; Suwarno, Yatin
MAJALAH ILMIAH GLOBE Vol 17, No 2 (2015)
Publisher : Badan Informasi Geospasial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (459.921 KB) | DOI: 10.24895/MIG.2015.17-2.226

Abstract

Peningkatan jumlah penduduk memiliki konsekuensi terhadap perkembangan ekonomi yang menuntut kebutuhan lahan untuk pemukiman, industri, infrastuktur dan jasa, sehingga akan berdampak terhadap laju deforestasi yang dapat mempengaruhi perubahan iklim. Berdasarkan hasil analisis tutupan hutan antara tahun 2000 sampai tahun 2009 bahwa deforestasi di Pulau Jawa mencapai sekitar 1,38 juta ha atau sekitar 60,64% dari luas hutan yang ada. Sedangkan deforestasi di Jawa Barat sekitar 596.743,40 ha, atau 62,55% dari seluruh deforestasi di Pulau Jawa. Deforestasi juga terjadi di wilayah hutan Kabupaten Tasikmalaya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perubahan tutupan hutan Kabupaten Tasikmalaya pada periode 1990-2011, dan membangun model spasial deforestasi di Kabupaten Tasikmalaya untuk memprediksi deforestasi masa yang akan datang. Pengembangan model deforestasi dilakukan dengan menggunakan model regresi logistik. Variabel dependen (Prediktan, Y) biner regresi logistik dinyatakan sebagai 0 dan 1, dimana 1 mengungkapkan terjadinya deforestasi, dan 0 tidak terjadi deforestasi. Variabel independen yang digunakan adalah jarak dari jalan, jarak dari tepi hutan, jarak dari sungai, kelas kelerengan dan kepadatan penduduk. Model ini dibangun atas terjadinya deforestasi antara tahun 1990 dan 2011. Persamaan model deforestasi yang diperoleh adalah Logit (deforestasi) = -2,3711 + 0,000776 x1 + 0,002311 x2 + 0,000554X3 – 0,401958 X4 - 1,346622 x5, dengan nilai Relative Operating Characteristics (ROC) sebesar 0,8874. Hasil validasi model menggunakan deforestasi kejadian antara 2000-2011 menunjukkan bahwa model yang dikembangkan cukup baik dengan memberikan akurasi 77,68%.Kata kunci: pemodelan spasial, penggundulan hutan, model logistik, perubahan penggunaan lahan, prediksiABSTRACTThe increase in population has consequences to the economic development which demand the need of land for residential, industrial, infrastructure and services, and will have impact to increase rate of deforestation that can affect to climate change. Based on analysis of forest cover changes between 2000 and 2009 shows that deforestation in Java around 1.38 million ha, or about 60.64 percent of the existing forest area. While deforestation in West Java accounted at around 596,743.40 ha (62.55%). The deforestation also occured in forest area of Tasikmalaya Regency. This research objectives are to determine forest cover change. Tasikmalaya Regency in the period 1990-2011, and building a spatial model of deforestation to predict the future deforestation. The development model of deforestation was done by using a logistic regression model. The dependent variable (Prediktor, Y) binary logistic regression expressed as 0 and 1, where 1 reveal the deforestation and 0 is not deforestation. The independent variables used are: distance, distance from the forest edge, distance from river, slope and population density. This model was built upon the occurrence of deforestation between 1990 and 2011. Equation of the deforestation models obtained were: logit (deforestation) = -2.3711 + 0.000776 x1 + 0.002311 x2 + 0.000554X3 – 0.401958 X4 - 1.346622 x5, with a value of Relative Operating Characteristics (ROC) of 0.8874. The results of model validation using deforestation between 2000-2011 shows that the model developed was quite suitable, providing accuracy of 77,68%.Keywords : spatial model, deforestation, logistic model, land use change, prediction
PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN NILAI EKONOMI BERDASARKAN TRAVEL COST METHOD Nahib, Irmadi; Suwarno, Yatin; Arief, Syahrul
MAJALAH ILMIAH GLOBE Vol 14, No 1 (2012)
Publisher : Badan Informasi Geospasial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (794.593 KB) | DOI: 10.24895/MIG.2012.14-1.132

Abstract

Studi ini bertujuan mengetahui potensi dan penyebaran terumbu karang serta menganalisis manfaat ekonomi dari wisata terumbu karang. Pemetaan dilakukan dengan analisis citra Aster tahun 2007 dan survei lapangan tahun 2011. Analisis ekonomi dilakukan dengan pendekatan biaya perjalanan (travel cost method), yaitu mengkaji biaya yang dikeluarkan oleh setiap individu untuk menikmati kawasan rekreasi. Hasil perhitungan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) diketahui luas ekosistem terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa sebesar 6.189,69 ha, yang terdiri dari terumbu karang : 3.707,303 ha (59,89%), lamun 405,686 ha (6,55%) dan pasir 2.076,697 ha (33,55%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian ekosistem terumbu karang masih merupakan karang. Berdasarkan jumlah biaya akomodasi yang dikeluarkan selama berada di TN Karimunjawa, rata-rata biaya akomodasi yang dikeluarkan oleh wisatawan adalah sebesar Rp. 880.000/orang/kunjungan. Sedangkan berdasarkan rata-rata total biaya perjalanan adalah Rp.3.184.000/orang/kunjungan (wisatawan domestik) dan Rp. 29.720.000 /orang/kunjungan (wisatawan asing). Dari hasil perhitungan konsumen suprlus yang dinikmati oleh wisatawan adalah sebesar Rp. 550.250 dan nilai ekonomi Taman Nasional Karimunjawa sebesar Rp. 4.981.963.500.Kata Kunci : Pemetaan, Nilai Ekonomi, Terumbu Karang, WisataABSTRACTThis study aims to determine the potential and distribution of coral reefs as well as analyzing the economic benefits of coral reef trip. The coral reef mapping was carried out by analyzing an Aster satellite image year 2007 and a field survey conducted in 2011. An economic valuation using a travel costs method was performed to examine the costs incurred by each individual to enjoy the recreation area. The results of calculations using Geographical Information Systems (GIS) found the area of coral reef ecosystems in the Karimunjawa National Park (NP) accounted for 6189.69 hectares, consisted of coral reefs at 3707.303 ha (59.89%), seagrass at 405.686 ha (6.55% ) and sand at 2076.697 ha (33.55%). This number suggests that most of the ecosystem is dominated by coral reef. Meanwhile, based on the calculation of additional costs incurred while visiting the Karimunjawa NP, average accommodation costs incurred was IDR 880.000/person/visit. Moreover, the total cost average of each trip was valued for IDR 3.184 million/person/visit for domestic visitors, and IDR 29.720.000/person/traffic for overseas visitors. Besides that, the calculation of consumer surplus enjoyed by tourists was accounted for IDR 550,250. Altogether, the economic value of Karimunjawa NP was accounted for IDR 4.981.963.500.Keywords: Mapping, Economic Value, Coral Reefs, Tourism
DINAMIKA PENGGUNAAN LAHAN PESISIR TIMUR PROVINSI LAMPUNG Suwarno, Yatin; Susanti, Rahmatia
MAJALAH ILMIAH GLOBE Vol 12, No 2 (2010)
Publisher : Badan Informasi Geospasial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1116.968 KB) | DOI: 10.24895/MIG.2010.12-2.123

Abstract

Penelitian ini mengkaji dinamika penggunaan lahan pesisir timur Provinsi Lampung dari tahun 1975 sampai tahun 2009. Sumber data yang digunakan adalah citra ALOS AVNIR-2 (resolusi 10m x 10m) tahun 2009, citra Landsat ETM+ (resolusi 60m x 60m) tahun 2000, Peta Penggunaan Lahan Bakosurtanal skala 1:250.000 tahun 1986, dan Peta Topografi JANTOP skala 1:50.000 tahun 1975. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama 34 tahun (1975-2009) terjadi dinamika yang berbeda untuk setiap jenis penggunaan lahan. Lahan hutan mengalami penurunan terus dari tahun 1975 sampai tahun 2009, yang diduga karena alih fungsi untuk penggunaan lahan yang lebih ekonomis (perkebunan, tambak, sawah, dan ladang). Penggunaan lahan permukiman dan perkebunan mengalami kenaikan terus, hal ini seiring dengan peningkatan populasi penduduk dan mulai dibukanya berbagai jenis komoditi perkebunan. Adapun lahan sawah dan tambak yang semula naik sampai tahun 2000kemudian turun hingga tahun 2009, ini diduga lebih bersifat pertimbangan ekonomi yaitu pemanfaatan yang lebih menguntungkan pada saat tertentu.Kata Kunci: Dinamika, Penggunaan Lahan, Lahan PesisirABSTRACTThis study examines the dynamics of land use in east coast of Lampung Province from 1975 until 2009. Data sources used were image of ALOS AVNIR-2 (resolution 10m x 10m) in 2009, Landsat ETM+ (60m x 60m resolution) in 2000, Land use map, scale of 1:250.000 from Bakosurtanal in 1986, and Topographic Maps, scale of 1:50.000 from Jawatan Topografi in 1975. The results of this research showed that during 34 years (1975 – 1986) there has been different dynamic for each type of land use. Forest land continues to decrease from 1975 until 2009, indicating the functional transfer for more economical uses (plantations, ponds and rice paddies). The land uses for settlement and plantations have continued to rise, in line with the increase in population and start opening various types of plantation commodities. As for paddy fields and ponds, which initially rose until 2000 andthen fell until 2009, was thought to be more profitable consideration at a given time.Keywords: Dynamics, Land Use, Land Coast.
PEMETAAN POTENSI EPIDEMI MUNTABER DI KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI, PROVINSI SUMATERA BARAT Mulya, Setyardi Pratika; Suwarno, Yatin
MAJALAH ILMIAH GLOBE Vol 17, No 2 (2015)
Publisher : Badan Informasi Geospasial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (684.233 KB) | DOI: 10.24895/MIG.2015.17-2.225

Abstract

Bencana epidemi penyakit adalah suatu wabah penyakit tertentu atau kejadian luar biasa yang tiba-tiba meluas dan menyebabkan sakit pada manusia dalam jumlah yang banyak. Penyakit ini termasuk urutan ke empat dari sepuluh penyakit terbanyak yang mewabah di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahaya/rawan, hirarki dan potensi epidemi penyakit muntaber di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Analisis yang digunakan adalah skoring, pembobotan, skalogram, dan analisis spasial. Hasil penelitian ini adalah (1). wilayah kecamatan yang memiliki tingkat kerawanan penyebaran epidemi penyakit muntaber tertinggi berada di Kecamatan Siberut Utara dan beberapa lokasi di Kecamatan Sipora Selatan, sedangkan yang memiliki tingkat kerawanan yang rendah didominasi di sebagian kecil Pulau Siberut, Kecamatan Sikakap, dan Kecamatan Pagai Selatan, (2). Kecamatan Pagai Selatan memiliki hirarki 1, kecamatan yang berhirarki 2 adalah Kecamatan Sikakap dan Sipora Utara, dan kecamatan yang berhirarki 3 adalah Kecamatan Pagai Utara, Siberut Barat Daya, Siberut Barat, Siberut Selatan, Siberut Tengah, Siberut Utara, dan Sipora Selatan, (3). Potensi terbesar penyakit muntaber terjadi di wilayah Siberut Utara dan beberapa tempat di Sipora Selatan. Sementara itu, potensi terkecil terjadinya penyakit muntaber berada di Kecamatan Pagai Selatan.Kata Kunci: hirarki, Kepulauan Mentawai, muntaber, potensi, rawan.ABSTRACTEpidemic disease is an extraordinary event that suddenly spread and causes humans illness in large numbers. This disease ranks fourth (out of ten) endemic diseases in Mentawai Islands. This study aims to determine prone, hierarchy and the potential for epidemics of diarrhea in the Mentawai Islands. The analysis is scoring, weighting, schallogram, and spatial analysis. Results of this study are: (1). Sub district of which has a severe impact diarrheal disease epidemics highest are North Siberut sub district and South Sipora, (2). Sub district of South Pagai has a hierarchy 1, hierarchy 2 are Sikakap and Sipora sub district of North, and hierarchy 3 are sub district of North Pagai, Siberut Southwestern, Siberut West, South Siberut, Central Siberut, North Siberut, and South Sipora, (3). The biggest potential diarrheal diseases in the sub district of North Siberut and some places in South Sipora.Keywords: hierarchy, Mentawai Islands, diarrhea, potential, vulnerable
DISAIN MODEL SPASIAL KETAHANAN PANGAN PULAU TERPENCIL Suwarno, Yatin; Munajati, Sri Lestari; Soleman, M Khifni; Fitrianto, Anggoro Cahyo
MAJALAH ILMIAH GLOBE Vol 12, No 1 (2010)
Publisher : Badan Informasi Geospasial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (542.068 KB) | DOI: 10.24895/MIG.2010.12-1.115

Abstract

Ada 5 (lima) indikator untuk menentukan ketahanan pangan rumah tangga di suatu wilayah, yaitu: kecukupan pangan, keterjangkauan pangan, keamanan pangan, stabilitas pangan, dan kualitas pangan. Semua indikator kualitatif tersebut terlebih dahulu dirubah menjadi kuantitatif guna menghitung Indeks Ketahanan Pangan. Dengan metode ”Scoring and Weighting” dalam Spatial Analysis, ketahanan pangan disajikan dalam bentuk peta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kepulauan Karimunjwa yang tersdiri dari 5 pulau berpenghuni memiliki tingkat ketahahan pangan sebagai berikut: Tahan Pangan (P. Karimunjawa), Cukup Tahan Pangan (P. Kemujan), dan Agak Tahan Pangan (P. Genting, P. Parang, dan P. Nyamuk). Kondisi ketahanan pangan di Kepulauan Karimunjawa dipengaruhi oleh terbatasnya lahan pertanian, aksesibilitas, dan daya beli masyarakat.Kata Kunci: Spasial, Model, Disain, Ketahanan Pangan, Pulau TerpencilABSTRACTThere are 5 (five) indicators that determine household food resilience, namely: foodsufficiency, food affordability, food security, food stability and food quality. These are qualitative parameters and should be converted into quantitative parameter. The method "Scoring and weighting" is used for Food Resilience Index that will be presented in the map. The research results show that the Karimunjawa Islands consisting of 3 villages and 5 inhabited islands have food resilience levels as follows: Endurance Food (Karimunjawa Island), Endurance Enough Food (Kemujan Island), and Near Endurance Food (Genting Island, Parang Island, and Nyamuk Island). The main factor that caused the food resilience in Karimunjawa Islands because of the limited agricultural land, limited accessibility, and the public purchasing power.Keywords: Spatial, Model, Design, Food Resilience, Isolated Island