cover
Contact Name
Yahya Wijaya
Contact Email
gemateologika@staff.ukdw.ac.id
Phone
+62274563929
Journal Mail Official
gemateologika@staff.ukdw.ac.id
Editorial Address
Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Jl. Dr. Wahidin no 5-25 Yogyakarta 55225
Location
Kota yogyakarta,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
GEMA TEOLOGIKA : Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
ISSN : 25027743     EISSN : 25027751     DOI : https://doi.org/10.21460/gema.2020.52.614
GEMA TEOLOGIKA receives articles and book reviews from various sub disciplines Theology, particularly contextual theology Divinity Studies in the context of socio cultural religious life Religious Studies Philosophy of Religion Received articles will be reviewed through the blind review process. The submitted article must be the writers original work and is not published in another journal or publisher in any language. Writers whose articles are accepted and have account in google scholar profile will be requested to participate as peer reviewers.
Articles 137 Documents
Ketika Aku dan Kamu Menjadi Kita: Dialog Misi Penginjilan Kristen dengan Dakwah Islam Menggunakan Pendekatan Teologi Interkultural dalam Konteks Indonesia Daniel Syafaat Siahaan
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 2 No. 1 (2017): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2017.21.280

Abstract

Abstract Evangelism and da'wah are two obligations or responsibilities of people, Christians and muslims. I wonder how long these two religions involved in a "cold war" or even a real war, because of arrogant fundamentalist notion. Arrogant because with full consciousness has monopolized the truth, and act like they own the only true God. God has been reduced to their own and considers others deify the wrong god. As a result, the shape of evangelism is not far from the impression of christianization, and the form of da'wah not far from the impression of islamization. Whereas, we find the plural phenomenon in Indonesia. In fact, with the philosophy of Bhinneka Tunggal Ika, Indonesian society should be able to appreciate and preserve otherness in harmony better. But reality says different. Christianization and islamization, plural occurs. Intention to write this article, arose from this concern. How evangelism and da'wah should be done in the context of the plurality of Indonesia, so in the end, You and I become Us. Abstrak Misi penginjilan dan dakwah merupakan dua kewajiban atau tanggung jawab umat Kristen dan Islam. Entah telah berapa lama dua agama ini terlibat "perang dingin" atau malah perang nyata, dikarenakan pemahaman fundamentalis yang arogan. Arogan karena dengan kesadaran penuh telah memonopoli kebenaran dan bertindak seolah Tuhan yang benar hanyalah miliknya. Tuhan telah direduksi menjadi miliknya sendiri dan menganggap orang lain telah mempertuhankan tuhan yang salah. Alhasil, bentuk misi penginjilan tak jauh dari kesan kristenisasi, dan bentuk dakwah tak jauh dari kesan islamisasi. Fenomena demikian jamak kita temukan di Indonesia. Padahal, dengan falsafah Bhinneka Tunggal Ika, harusnya masyarakat Indonesia lebih mampu menghargai keberbedaan dan melestarikannya dalam harmoni. Tetapi, sering kenyataan berkata lain, kristenisasi dan islamisasi, jamak terjadi. Dalam keprihatinan demikianlah lahir niatan untuk menulis artikel ini. Bagaimana misi penginjilan dan dakwah harusnya dilakukan dalam konteks plural Indonesia, sehingga pada akhirnya, aku dan kamu bisa menjadi kita.
Etika Animalitas Borrong, Robert Patannang
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 4 No 2 (2019): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2019.42.444

Abstract

AbstractWhy animal ethics? The importance of animal ethics for the Indonesian public is to respond to the extinction threat of some animal species in Indonesia, like Tiger in Sumatera, Orang Utan in Kalimantan, Anoa in Sulawesi, and Cendrawasih in Papua. The way humans consume animals is often cruel, causing pain and suffering on the part of the animals. Such an attitude indicates the lack of moral standing in animal sphere. Philosophicallyand theologically, animal has sentience and intrinsic values which with humans have to recognise as the moral standard for animal.Using the theological-ethical concept that human being was created in the image of God, which means that they are not only endowed with senses but also the intellect to make them moral standing creature, this article points to the capacity as well as responsibility of humans to the environment, specifically to the animal world (animalities). As such, animals have to be regarded as having moral standing in the context of human beings’moral attitude and treat. Animals have to be respected and loved morally because they have sense, sentience and intrinsic value. Animals have feeling of pleasure and suffering which with human beings must honor and make as a moral standard. Like human beings, animals have the right to enjoy contentment and to be protected as the good creatures created by God. Although consuming animals can be considered part of natural order and natural recycle, animals have the right to enjoy liberation and prosperity during they are living, and to be avoided from suffering. In this sense, life and death must be accepted in balance. As a conclusion, in relating to animals, humans should demonstrate the virtues of respect, love, justice, and restrained attitudes. Animal ethics, thus, concerns with the sustainability of the peace and welfare of the whole creation on the planet earth. AbstrakMengapa etika animalitas diperlukan? Bagi publik Indonesia, etika animalitas sangat penting karena ada banyak hewan/binatang di Indonesia terancam punah akibat perburuan yang tidak mempertimbangkan etika, antara lain: Harimau di Sumatera, Orang Utan di Kalimantan, Anoa di Sulawesi, burung Cenderawasih di Papua, dan masih banyak lagi. Demikian pula, cara orang Indonesia memotong hewan untuk dikonsumsi sering kalitidak mempertimbangkan penderitaan dan rasa sakit animalitas. Perlakuan semacam itu mencerminkan kurangnya pertimbangan moral dalam bersikap terhadap animalitas. Padahal, baik filsafat maupun teologi meyakini bahwa hewan/binatang memiliki nilai-nilai bawaan yang perlu dihargai dan menjadi standar moral animalitas.Menggunakan konsep etika-teologis bahwa manusia diciptakan sebagai citra Allah, yang bermakna bahwa mereka tidak hanya diperlengkapi dengan perasaan tetapi juga dengan intelektualitas yang memungkinkan mereka memiliki kapasitas moral, artikel ini menunjuk kepada tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan sekelilingnya, khususnya dunia animalitas.Meskipun mengonsumsi binatang barangkali dapat dianggap sebagai bagian dari tata ciptaan dan daur alam, binatang memiliki hak untuk menikmati kebebasan dan kesejahteraan selama mereka hidup dan harus dihindarkan dari penderitaan. Dalam pengertian demikian kehidupan dan kematian harus diterima secara seimbang. Kesimpulannya, dalam hubungan dengan animalitas, manusia harus menunjukkan sikap moral menghargai, mengasihi, adil, dan mengendalikan diri. Kepedulian dari etika animalitas adalah keberlanjutan kehidupan yang damai dan sejahtera bagi seluruh ciptaan di planet bumi ini.
Resensi Buku: Identitas dan Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia antara Konseptual dan Operasional Natalia, Desi
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 5 No 1 (2020): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2020.51.593

Abstract

Resensi: Beyond PluralismOpen Integrity as a Suitable Approach to Muslim-Christian Dialogue Hutabarat, Haleluya Timbo
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 3 No 1 (2018): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2018.31.368

Abstract

Bukan Jalan Buntu, Melainkan Setapak Terjal: Sebuah Apresiasi Kritis terhadap Sumbangsih Teori Kultural-Linguistik Lindbeck bagi Penumbuhkembangan Dialog Antaragama yang Autentik Risang Anggoro Elliarso
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 1 No. 1 (2016): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2016.11.213

Abstract

Abstract Advancing from his criticism against two principal theological theories of religion, namely (1) cognitive-propositional theory and (2) experiential-expressive theory, George A. Lindbeck proposes his cultural-linguistic theory as an alternative theory which is deemed more adequate in comprehending plurality of religions. Regrettably, for some, Lindbeck’s theory is considered rather as a closure to any interreligious dialogue, as a consequence of its superfluous emphasis on the incommensurability and untranslability amongst different religions. Therefore, within this modest article, taking into account several insights from postcolonial studies, I try to venture a critical appreciation on how Lindbeck’s cultural-linguistic theory might contribute to the endeavour of fostering constructive, authentic, and profound interreligious dialogue. I attempt to argue that Lindbeck’s cultural-linguistic theory, instead of imparting a cul-de-sac to any interreligious dialogue, actually lay bare a path for the dialogue. A path which is, whilst hard and steep, viable. Abstrak Bertolak dari kritiknya terhadap dua tipe utama teori teologis mengenai agama, yakni:(1) teori kognitif-proposisional dan (2) teori eksperiensial-ekspresif, George A. Lindbeck mengajukan teori kultural-linguistik sebagai sebuah teori alternatif yang lebih memadai dalam rangka mempermaknai pluralitas agama. Sayangnya, bagi sebagian pihak, teori yang diajukan Lindbeck tersebut dipandang justru menutup pintu bagi dialog antaragama,karena terlalu menekankan ketaksepadanan dan ketakterjemahkanan di antara agama yang satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, dalam artikel sederhana ini, dengan mempertimbangkan beberapa tilikan dari kajian poskolonial, saya berupaya untuk mengapresiasi secara kritis sumbangsih teori kultural-linguistik Lindbeck bagi upaya menumbuhkembangkan dialog antaragama yang konstruktif, autentik, serta mendalam.Saya berupaya untuk menunjukkan bahwa teori kultural-linguistik Lindbeck, alih-alih menghadirkan jalan buntu bagi dialog antaragama, sejatinya justru membuka sebuah setapak yang, meski terjal, bukannya tidak mungkin ditempuh.
Holy Grandeur Enough for All Novriana Gloria Hutagalung
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 2 No. 2 (2017): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2017.22.317

Abstract

Abstract Natural degradation is not merely a competition between ecology and economy. The destruction of nature is closely related to religiosity and human relationships to fellow human beings, the environment, and God. Ecotheology becomes a self-criticism of the classical doctrines of Christianity, which are considered to exalt humankind as the “crown of creation” and marginalize non-human creatures as commodities of economic value for human interests. Ecotheology seems to have talked too often about damaged nature, or evenextinct plants or animals, and forgetting the other side of the bountiful biodiversities, which is the holy beauty of nature. Ecotheology needs to ponder that God, the Holy Grandeur, who manifests the cosmic wisdom in the beauty of all creation, is enough for all.    Abstrak Degradasi alam bukan semata-mata persaingan antara ekologi dan ekonomi. Kerusakan alam sangat terkait dengan religiositas dan relasi manusia terhadap sesama manusia, lingkungan sekitar, dan Allah. Ekoteologi menjadi sebuah otokritik atas doktrin-doktrin klasik Kristen yang dianggap telah meninggikan manusia sebagai ciptaan termulia dan meminggirkan ciptaan non-manusia sebagai komoditas bernilai ekonomis bagi kepentingan manusia. Ekoteologi tampaknya terlalu sering berbicara mewakili alam yang rusak, tumbuhan, dan hewan-hewan yang telah punah atau bahkan rusak, dan melupakan sisi lain darikeanekaragaman alam semesta, yakni keindah-kudusan alam itu sendiri. Ekoteologi perlu merenungkan bahwa Allah, Sang Semarak Kudus, yang memanifestasikan hikmat-kosmis dalam keindah-kudusan seluruh ciptaan, cukup untuk segala ciptaan dalam kelimpahruahan. 
Penciptaan dalam Perspektif Sumba: Suatu Upaya Berteologi Ekologi Kontekstual Natar, Asnath Niwa
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 4 No 1 (2019): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2019.41.428

Abstract

Abstract Today, the increase of global warming has made humans and nature difficult to live comfortably. Human activities damage the ecology and create global warming as the consequence. Humans exploit natural resources at the expense of the sustainability of nature. To respond to that ecological problem, this article draws forth the Sumba local wisdom embedded in the culture of the community for ages. The aim is to construct a contextual theological perspective promoting an equal relationship between humans and nature based on justice, love, and solidarity instead of domination and exploitation. Abstrak Saat ini pemanasan global semakin tinggi yang membuat manusia dan alam tidak bisa hidup nyaman. Pemanasan global terjadi karena alam semakin rusak, yang salah satu penyebabnya adalah tangan-tangan manusia sendiri. Manusia mengeksploitasi alam dengan serakah dan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan hidup alam dan dampaknya bagi semua penghuni bumi. Berkaitan dengan masalah ekologi ini, penulis mengangkat kearifan lokal yang sudah ada di dalam budaya masyarakat Sumba. Tujuannya adalah membangun sebuah perspektif teologi kontekstual tentang hubungan manusia dengan alam yang tidak bersifat dominasi dan eksploitasi. Sebaliknya menciptakan hubungan yang setara atas dasar keadilan, cinta kasih, dan persaudaraan.
Pembacaan Lintas Tekstual: Tantangan Ber-Hermeneutik Alkitab Asia (1) Listijabudi, Daniel K
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 3 No 2 (2018): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2018.32.411

Abstract

AbstractIn the present article I offer a discussion of Asian Biblical Hermeneutics and its relationship to postcolonial biblical criticism, which partly implicated to a multi-faith hermeneutical method. It included the examination of several issues such as the location of the application of the method, methodical options, critical appraisal to the method, as well as its significance for contextual Bible study within my Asian and Indonesian contexts. I put forward as well a critical discussion of several examples of the way Asian hermeneuticians and theologians using the method. I conclude it with my own hermeneutical standpoint through the elaboration on a cross-textual reading of sacred texts and its function as an important instrument within the field of interreligious dialogue. AbstrakTulisan ini (bagian pertama) akan mendiskusikan wacana mengenai Hermeneutik Alkitab Asia (Asian Biblical Hermeneutics) dalam hubungannya dengan kritik postkolonial dan teori hermeneutik. Tilikan kritis akan dikemukakan dalam diskusi yang terjadi di antara para pengguna ilmu tafsir terutama tentang di mana dan bagaimana perspektif hermeneutik Asia ini telah digunakan dan diterapkan, alasan penggunaannya, dan apa pertimbangan kritis yang muncul akibat pembacaan ini serta signifikansinya terhadap studi Alkitab dalam konteks Indonesia dan Asia. Beberapa contoh dari bagaimana para teolog dan penafsir Asia menggunakan metode pembacaan bergenre hermeneutik Asia secara kritis-dialogis dalam konteks ketegangan kreatif di antara keterbukaan terhadap yang lain (di satu pihak) dan komitmen terhadap identitas iman sendiri (di lain pihak), akan terhadirkan.
Resensi: Demokrasi dan Sentimentalitas—Dari “Bangsa Setan-Setan”, Radikalisme Agama sampai Post-Sekularisme Kristianto, Paulus Eko
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 4 No 2 (2019): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2019.42.484

Abstract

Yesus Sang Mediator yang Merengkuh Umat Termarginalisasi: Sebuah Analisis Sosio-Historis Terhadap Yohanes 9 Kantohe, Finki Rianto; Hakh, Samuel Benjamin
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 5 No 2 (2020): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2020.52.595

Abstract

Abstract This article focuses on the portrait of Jesus as depicted by the Johannine community according to John 9. Exploring the perspectives of Johannine scholars, the historical context of the Gospel of John, and the image of Johannine faith community, this study suggests that a born-blind man is a symbolic figure of the marginalized Johannine community. The marginalization is caused by the conflict between the blind man and the Pharisees, starting with Jesus’ violation of the Sabbath’s rule, and followed by identity conflict concerning Jesus and Moses. The epilogue of John 9 implies a portrait of Jesus as the Mediator through his actions to embrace the blind man following his expulsion. This article concludes with a theological implication concerning the presence of Jesus in the struggle of contemporary marginalized people such as GKI Yasmin and HKBP Filadelfia. Abstrak Artikel ini menyoroti gambaran Yesus yang dikonsepkan oleh komunitas iman Yohanian menurut Yohanes 9. Melalui penelusuran terhadap pandangan para ahli Yohanian, konteks historis Injil Yohanes, dan gambaran komunitas iman Yohanian, kajian ini menemukan bahwa orang buta sejak lahir dalam Yohanes 9 ini adalah tokoh simbolis dari komunitas iman Yohanian yang termarginalisasi. Marginalisasi tersebut disebabkan oleh konflik antara orang buta dan orang-orang Farisi yang dipicu oleh pelanggaran Yesus atas hari Sabat, lalu berkembang menjadi konflik identitas mengenai Yesus dan Musa; karenanya, mengakibatkan orang buta yang Yesus sembuhkan tersebut termarginalisasi dari sinagoge. Epilog Yohanes 9 menyiratkan potret Yesus sebagai mediator melalui tindakannya merengkuh orang buta tersebut setelah pengusirannya. Sebagai simpulan, artikel ini menyodorkan implikasi teologis tentang kehadiran Yesus dalam pergumulan umat masa kini yang termarginalisasi, seperti GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia.

Page 2 of 14 | Total Record : 137


Filter by Year

2016 2023


Filter By Issues
All Issue Vol. 8 No. 2 (2023): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 8 No. 1 (2023): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 7 No. 2 (2022): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 7 No. 1 (2022): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 6 No 2 (2021): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 6 No 1 (2021): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 6 No. 1 (2021): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 5 No 2 (2020): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 5 No 1 (2020): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 4 No 2 (2019): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 4 No. 1 (2019): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 4 No 1 (2019): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 3 No 2 (2018): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 3 No. 2 (2018): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 3 No. 1 (2018): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 3 No 1 (2018): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 2 No. 2 (2017): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 2 No. 1 (2017): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 1 No. 2 (2016): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 1 No 2 (2016): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 1 No. 1 (2016): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian More Issue