cover
Contact Name
MUHAMMAD SIDDIQ ARMIA
Contact Email
msiddiq@ar-raniry.ac.id
Phone
+6281317172202
Journal Mail Official
jurnal.petita@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
http://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/about/editorialTeam
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
PETITA: Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah (PJKIHdS)
ISSN : 25028006     EISSN : 25498274     DOI : https://doi.org/10.22373/petita.v6i1
Core Subject : Religion, Social,
PETITA journal has aimed to deliver a multi-disciplinary forum for the discussion of thoughts and information among professionals concerned with the boundary of law and sharia, and will not accept articles that are outside of PETITA’s aims and scope. There is a growing awareness of the need for exploring the fundamental goals of both the law and sharia systems and the social consequences of their contact. The journal has tried to find understanding and collaboration in the field through the wide-ranging methods represented, not only by law and sharia, but also by the social sciences and related disciplines. The Editors and Publisher wish to inspire a discourse among the specialists from different countries whose various legal cultures afford fascinating and challenging alternatives to existing theories and practices. Priority will therefore be given to articles which are oriented to a comparative or international perspective. The journal will publish significant conceptual contributions on contemporary issues as well as serve in the rapid dissemination of important and relevant research findings. The opinions expressed in this journal do not automatically reflect those of the editors. PETITA journal have received papers from academicians on law and sharia, law theory, constitutional law, research finding in law, law and philosophy, law and religion, human rights law, international law, and constitutionality of parliamentary products. In specific, papers which consider the following scopes are cordially invited, namely; • Sharia Law • Constitutional Law • International Law • Human Rights Law • Land Property Law • Halal Law • Islamic Law • Sharia Court • Constitutional Court • Refugee Law • Transitional Justice • Trade Law • Regional Law • Institutional Dispute Law • Legal Thought • Law and Education • Humanitarian Law • Criminal Law • Islamic Law and Economics • Capital Punishment • Child Rights Law • Family Law • Anti-Corruption Law • International Trade Law • Medical Law
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 1 No 1 (2016)" : 7 Documents clear
HUKUM ISLAM DALAM KERANGKA SISTEM HUKUM MASYARAKAT MODERN Murdan
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 1 No 1 (2016)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2342.068 KB) | DOI: 10.22373/petita.v1i1.76

Abstract

The concept of Islamic law shows the principles of legal flexibility and elasticity, filling law resources in national legal system. The position of Islamic law in national legal system has been imposed by partiality of legal and political system, and also interest of modern society. In implementation step Islamic law has been required to deal with social development, including in scope of territory or period of time. Islamic law is always bringing humanity messages, cannot be assumed as the sacred norms. Islamic law is not for Allah Almighty but for kindness of human kind and universe, having the quality of secular humanists. The concept of secular humanists in Islamic law reflects in doctrine of maqashid syariah, has role as a method finding legal certainty. This method is able to fulfil the rule of law, not stated in national legal system and legal system of modern state. Abstrak. Konsepsi hukum Islam telah menunjukkan adanya prinsip elastisitas dan fleksibilitas hukum sebagai bahan dasar untuk mengisi aturan yang belum mendapat ketetapan dalam sistem hukum nasional. Posisi hukum Islam dalam sistem hukum sangat ditentukan oleh keberpihakan sistem politik hukum dan kepentingan masyarakat negara modern. Pada tahap penerapannya, hukum Islam dituntut mampu berdialektika, bercengkrama, atau bermusyawarah dengan setiap perkembangan masyarakat, baik perkembangan dalam lingkup teritorial maupun perkembangan lingkup waktu dan zaman. Di samping itu hukum Islam mampu membawa pesan-pesan humanis, tidak boleh dianggap sebagai norma sakral, hukum bukan untuk kebaikan Allah, melainkan kebaikan hamba dan alam semesta bersifat sekuler humanis. Konsep sekuler humanis hukum Islam tercermin dalam ajaran maqashid syariah berperan sebagai metodologi penemuan hakikat hukum yang dapat mengisi aturan hukum yang tidak tercantum dalam sistem hukum nasional dan sistem hukum negara modern. Kata Kunci: Hukum Islam, Sistem Hukum, Modern
KETENTUAN BATAS MINIMAL USIA KAWIN: SEJARAH, IMPLIKASI PENETAPAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Ahmad Masfuful Fuad
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 1 No 1 (2016)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2276.538 KB) | DOI: 10.22373/petita.v1i1.77

Abstract

Minimum conditions of age limit stated in Article 7 of the Marriage Act is closely related to history and chronology of the birth of the Act. A study on the historical background of the Act can disclose age limit established in past and present that limited in nineteen for men and sixteen for women. This article will use historical theory introduced by Donald V Gawronski as analysis tools. Gawronski theory state that history is not only about something happened in the past, but also something may occur now and in the future. Age limit in the Marriage Act has not happened suddenly, but has had historical background and previous chronology. It has also been influenced religion background, races, puberty level, and national spirit of a state. For instance puberty level between one decade and other decades change gradually. Abstrak. Ketentuan batas minimal usia kawin yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bisa lepas dari keseluruhan sejarah dan kronologi lahirnya undang-undang tersebut. Penelaahan atas sejarah penetapan undang-undang ini tentu dapat menguak tabir ketentuan batas minimal usia kawin yang berlaku dari dulu hingga saat sekarang ini dibatasi pada usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Artikel ini menggunakan teori sejarah Donald V. Gawronski sebagai alat analisis. Teori Gawronski menyatakan bahwa sejarah tidak hanya tentang apa yang terjadi di masa lalu, melainkan juga apa yang terjadi di masa sekarang dan yang akan datang. Ketentuan batas minimal usia menikah tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan merupakan implikasi dari sejarah dan kronologi yang terjadi sebelumnya. Kata kunci: sejarah, undang-undang, usia, perkawinan
STATUS ANAK DI LUAR NIKAH DALAM PERSPEKTIF SEJARAH SOSIAL Kudrat Abdillah
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 1 No 1 (2016)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2314.064 KB) | DOI: 10.22373/petita.v1i1.78

Abstract

In literature of Islamic jurisprudence, children born outside marriage consider to have family line with their mother. It also has similarity with Indonesian’s law stating in the Marriage Act and the Compilation of Islamic Law. The significant changes occur after judgment of Constitutional Court No. 46/PUU-VIII/2010, stating that children outside of marriage have also family line with their father, as long as can be proofed biologically through science and technology and/or other evidences. This article use historical social approach to analyse a legal history of Constitutional Court judgment. The writer personally argues that Constitutional Court considers the welfare of children as justification of family line with father. The advance development in science and technology such as using Desoxyribo Nucleic Acid (DNA) can give evidence in searching the family’s line. This consideration gives a strong legal background for Constitutional Court to protect private rights of children born outside marriage. Abstrak. Dalam khazanah fikih Islam seorang anak yang lahir di luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Demikian pula dengan aturan hukum positif Indonesia dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Perubahan muncul pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyebutkan bahwa anak yang lahir di luar nikah juga memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayahnya, hubungan keperdataan dengan keluarga ayah selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain. Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah sosial untuk menganalisis histitorisitas munculnya putusan Mahkamah Konstitusi . Berdasarkan analisis penulis, Mahkamah Konstitusi menjadikan kesejahteraan anak sebagai alasan pembenaran hubungan keperdataan dengan dengan ayah biologisnya. Di samping itu juga kemajuan teknologi membantu membuktikan adanya hubungan antara anak dan ayahnya melalui tes DNA. Pertimbangan ini menjadi alasan kuat Mahkamah Konstitusi utuk melindungi hak-hak keperdataan bagi anak yang lahir di luar pernikahan. Kata kunci: status, anak, luar nikah
KONSEP PENETAPAN WALI HARTA DALAM PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I DAN PRAKTEK MASYARAKAT ACEH BESAR Soraya Devi
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 1 No 1 (2016)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2324.54 KB) | DOI: 10.22373/petita.v1i1.79

Abstract

The sequence of capital guardianship in thought of Syafi’i consists of grandfather, those handed down by father, and justices. The fact happening in Great Aceh society shows that orphan’s capital cannot be refunded when children legally mature. This article has purposes to know deeply the concept of thought in Syafi’i perspective in appointing guardianship for his children, seeing the consideration of justices in the Mahkamah Syar’iyah of Great Aceh. Guarder has obligation to protecting and saving children’s capital and return it back when the children grow up. The process of appointing guardianship in Great Aceh society has arranged with inviting an Islamic scholar having understanding in Islamic knowledge. The guardianship priority comes from the oldest man in a family. If there does not have the oldest man, the guardianship will deliver to other family in the line of father’s family. It seems that justices have consideration to protect the children and his capital. Abstrak. Urutan wali harta menurut kalangan mazhab Syafi’i terdiri dari kakek, orang yang diwasiatkan oleh ayah dan kakekserta hakim. Realitas masyarakat Aceh Besar menunjukkan bahwa harta benda anak yatim tersebut tidak dikembalikan lagi pada saat anak sudah dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep mazhab Syafi’i dalam penetapan wali dan kewajibannya terhadap anak, dengan melihat pertimbangan hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh Besar. Wali berkewajiban memelihara dan menjaga harta anak tersebut dan menyerahkannya kembali pada saat dewasa. Praktek penetapan wali di kalangan masyarakat Aceh Besar dilakukan dengan cara mengundang seorang ulama yang mengetahui ilmu agama. Orang yang menjadi prioritas wali berasal dari kalangan anak kandung paling tua. Bila anak yang paling tua dalam keluarga tidak ada, perwalian akan diberikan kepada kerabat-kerabat dari garis keturunan ayah si anak. Disini terlihat bahwa pertimbangan hakim dalam menetapkan perwalian adalah kemaslahatan kepada diri dan harta anak (the best interest of the child). Kata Kunci: wali, harta, fikih, KHI
PERTIMBANGAN HAKIM MEMBERIKAN HAK ASUH ANAK KEPADA AYAH Mansari
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 1 No 1 (2016)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2390.609 KB) | DOI: 10.22373/petita.v1i1.80

Abstract

In fact the justices not always give the foster rights for mother. In some cases there are several judgement that justices deliver foster rights for father, stated in judgement Number putusan Nomor 65/Pdt.G/2011/MS-Bna, 167/Pdt.G/2011/MS–Bna dan 66/Pdt.G/2012/MS-Bna. Justices has carefully delivered foster rights in some cases. The main consideration is fulfilling the best interest of child. Thus justices must carefully a social condition of carer candidate. Islamic law gives priority to a person who has responsibility and can fulfil his job as carer (hadhin). Even though a mother has legal rights to foster his children, but if she does not have ability in term of social economic, she can deliver his rights to the child’s father. Justices suggested in giving foster rights must consider psychological aspects between child and his career, to ensure the carer candidate have strong responsibility in fostering child under his guardianship. Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hakim yang menyerahkan hak asuh kepada ayah dan tinjauan hukum Islam terhadap putusan tersebut. Pasal 105 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam dan hadis riwayat Abu Daud menentukan bahwa ibu merupakan orang yang lebih berhak mengasuh anak. Hak ibu mengasuh anak sebelum anak memasuki masa baligh. Dalam prakteknya, majelis hakim yang mengadili kasus hak asuh anak, tidak selalu memberikan hak asuh kepada ibu, melainkan menyerahkan kewenangan mengasuh anak kepada ayah seperti terdapat dalam Putusan Nomor 65/Pdt.G/2011/MS-Bna, 167/Pdt.G/2011/MS–Bna dan 66/Pdt.G/2012/MS-Bna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim paling fundamental adalah mewujudkan kepentingan terbaik bagi anak. Melalui upaya selektif memeriksa saksi-saksi yang mengetahui kondisi sosial calon pengasuh. Hukum Islam memprioritaskan orang yang akan dijadikan pengasuh adalah yang memiliki tanggung jawab dan melaksanakan tugas sebagai pengasuh. Meskipun ibu lebih berhak dalam mengasuh, tapi bila ia tidak dapat melaksanakannya maka hak asuh dapat saja diberikan kepada ayah si anak. Kata Kunci: Hak Asuh, Anak, Mahkamah Syar’iyah
TINDAK PIDANA KERUSAKAN LINGKUNGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 DAN TINJAUAN FIQH AL- BI’AH Muhammad Ridwansyah
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 1 No 1 (2016)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2296.013 KB) | DOI: 10.22373/petita.v1i1.81

Abstract

The arrangement of environmental law in Indonesia shows significant improvement in Act Number 32 of 2009 on the Protecting and Managing Environment, having criminal threat in Articles 98, 99, and 100. This article has two main concerns, firstly is arrangement of crime on the environmental destruction in Act Number 32 of 2009 on the Protecting and Managing Environment. Secondly is the conformity between concept fiqh al-bi’ah and Act Number 32 of 2009 on the Protecting and Managing Environment. So far criminal offence stated in Act Number 32 of 2009 on the Protecting and Managing Environment is not enough strong to catch environmental destroyer. In this context the government must amend the articles, which is not in accordance with law enforcement. There are similarities between concept of fiqh al-bi’ah and environmental arrangement existing in Indonesia. The concept of fiqh al-bi’ah is part of maqashidul syari’ah, and Islam strongly suggests protecting and looking after the environments. Abstrak. Pengaturan hukum lingkungan hidup di Indonesia sudah mulai membaik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat ancaman pidana tercantum pada Pasal 98, 99, dan 100. Studi ini ada dua pertanyaan yang difokuskan. Pertama, bagaimanakah pengaturan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, apakah konsep Fiqh al-Bi’ah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hasil dari penelitian ini ialah tindak pidana yang terdapat pada Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum cukup mampu menjerat perusak lingkungan hidup. Dalam hal ini diharapkan Pemerintah dapat merevisi pasal-pasal yang tidak sesuai. Selanjutnya hasil dari penelitian ini adanya kesamaan konsep antara fiqh al bi’ah dengan pengaturan lingkungan yang ada di Indonesia. karena menurut konsep yang ditawarkan fiqh al bi’ah merupakan bagian dari maqashidul syari’ah sehingga Islam sangat menganjurkan bahwa lingkungan disekitar harus dijaga. Kata Kunci: Lingkungan Hidup, Fiqh al-Bi’ah, Maqasid al-Syari’ah.
PELUANG DAN TANTANGAN SARJANA SYARIAH DALAM MENGGELUTI PROFESI ADVOKAT PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 Muslim Zainuddin
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 1 No 1 (2016)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2327.432 KB) | DOI: 10.22373/petita.v1i1.82

Abstract

Before the establishment of Act Number 18 of 2003 on the Advocate, the graduates from faculty of Sharia were treated unequal in law profession instead of law faculty’s students. The establishment of Act Number 18 of 2003 on the Advocate give chances for sharia faculty’s graduate to professionally become advocate. However this chance has not significantly been used by sharia’s graduates. The figure showed in 2007 that only seven of sharia’s graduates became advocate. The hesitation of choosing advocate has been caused by unwilling to do a vows profession, and also unable to hear public censure. It is also caused by curriculum earned in sharia faculty has not been integrated with other legal professions. Financially, advocate incomes has no certainty in term of sustainability. In society perspective being a civil servant are more promising rather than an advocate. Thus the sharia advocate association (APSI) has significant role to promoting and motivating sharia’s graduate to become advocate. Abstrak. Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, lulusan fakultas syariah diperlakukan diskriminatif daripada lulusan fakultas hukum. Setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat memberi peluang alumni fakultas syariah untuk bergabung menjadi advokat. Peluang tersebut tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, tapi masih disia-siakan oleh lulusan fakultas syariah. Pada tahun 2007 dari 1137 calon advokat hanya 7 orang yang berasal dari sarjana syariah. Keengganan memasuki dunia advokat dikarenakan tidak berani melaksanakan sumpah profesi advokat dan tidak sanggup menerima celaan dari masyarakat. Di samping itu kurikulum yang diajarkan di fakultas tidak terkoneksi dengan bantuan hukum lainnya. Secara finansial pendapatan advokat juga tidak menentu, ditambah lagi profesi sebagai pegawai negeri sipil lebih menjanjikan dalam opini masyarakat umumnya. Peran Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia memiliki kontribusi besar dalam rangka menggalakkan lulusan fakultas syariah untuk memasuki profesi advokat serta memotivasi supaya tertarik bergabung ke dalam profesi ini. Kata Kunci: sarjana, syariah, advokat

Page 1 of 1 | Total Record : 7