cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam
ISSN : 24605565     EISSN : 25031058     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol. 5 No. 2 (2019): Desember 2019" : 10 Documents clear
Keikutsertaan Notaris dalam Hal Pemalsuan Identitas Legalisasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli Achmad Harris Affandi; Badzlina Putri Indraswati; Salsabila Heniasari
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 5 No. 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3990.431 KB) | DOI: 10.15642/aj.2019.5.2.289-310

Abstract

The authority of a notary in terms of legalization of an underhand agreement, there is an abuse of authority by a notary public to be able to provide legalization directly to everyone who comes before him by entering an identity that is not in accordance with what is stated in the agreement. An underhand deed is a deed made in such a way based on the agreement of the parties and the important thing is that the date in the agreement can be made at any time in accordance with the agreement of the parties, the nature of the agreement is free. The involvement of a notary in legalizing an agreement based on false information, can be subject to Article 55 paragraph (1) of the Criminal Code as an offense for participation. Based on this, it raises several problems, namely the Legalization of the Agreement on the Binding of Purchase by a Notary with Falsification of Identity and the Responsibility of the Notary Criminal in Legalizing the Agreement on the Binding of a Sale and Purchase by a Notary with Falsification of Identity. This research is a legal study, using the statute approach, which is an approach by examining and analyzing legislation, while the types of legal materials, namely Primary Law, Secondary and Tertiary and analyzed by examining the legal issues that occur. Abstrak: Kewenangan notaris dalam hal legalisasi terhadap perjanjian di bawah tangan, terdapat suatu penyalah gunaan kewenangan oleh oknum notaris untuk dapat memberikan legalisasi secara langsung kepada setiap orang yang datang menghadapnya dengan memasukkan identitas yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam perjanjian tersebut. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat sedemikian rupa atas dasar kesepakatan para pihak dan yang penting tanggal dalam perjanjian tersebut dapat dibuat kapan saja sesuai dengan kesepakatan para pihak, yang sifat dari perjanjiannya bebas. Keterlibatan notaris dalam legalisasi perjanjian yang didasarkan pada keterangan palsu, dapat dikenai Pasal 55 ayat (1) KUHP tersebut sebagai delik penyertaan. Berdasarkan hal tersebut menimbulkan beberapa masalah yakni Keabsahan Legalisasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Notaris dengan Pemalsuan Identitas serta Pertanggungjawaban Pidana Notaris dalam Legalisasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Notaris dengan Pemalsuan Identitas. Penelitian ini merrupakan suatu penelitian hokuum, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yakni pendekatan dengan menelaah serta menganalisis peraturan perundang-undangan, sedangkan jenis bahan hukum yakni Bahan Hukuum Primer, Sekunder daan Tersier yang dianalisis dengan menelaah pada iisu hukum yang terjadi.
Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di Kota Surabaya Muwahid Muwahid
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 5 No. 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4069.442 KB) | DOI: 10.15642/aj.2019.5.2.338-360

Abstract

Children are the future generation who require protection from violence, whether physical, psychological and sexual violence. This study seeks to uncover such problems; (1) the form of legal protection of children against sexual violence victims in Surabaya; (2) the constraints in the implementation of legal protection of children against sexual violence victims in Surabaya; (3) attempts to maximize the implementation of the legal protection of children against sexual violence victims in Surabaya. The present study is a field research. The primary data obtained through interviews while secondary data obtained from documents, law books and law journals. Data analysis technique using content analysis that is the analysis technique by describing the substance of the existing problems. The results of the research revealed that; Firstly, the form of legal protection of children against sexual violence victims in Surabaya can be seen from the two forms, they are preventive protection and repressive legal protection. Preventive legal protection is done before the sexual crimes, while the protection of repressive laws is done after the acts of sexual violence; secondly, constraints faced in the implementation of legal protection, they are; the victim is introvert, the act of hoodlum, the societies’ individual attitude that is really powerful and a lack of public understanding about children’s rights; Third, ways and means need to be done to maximize the implementation of legal protection is a way to provide understanding to parents and children about the dangers of sexual violence, and the need for strengthening the commitment and systematic and massive cooperation of law enforcement officials. Abstrak: Anak merupakan generasi penerus bangsa yang memerlukan perlindungan dari tindak kekerasan, baik fisik, psikis, dan kekerasan seksual. Dalam konteks inilah tulisan ini hadir, yaitu untuk mengetahui: (1) bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual di Surabaya; (2) kendala-kendala dalam pelaksanaannya serta upaya untuk memaksimalkan pelaksanaan tersebut. Tulisan ini merupakan hasil penelitian lapangan, di mana data diperoleh melalui dan studi dokumen, yang selanjutnya dianalisa dengan menggunakan content analysis. Hasil penelitian ini menunjukkan; pertama, bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual di Surabaya bisa dilihat dari dua bentuk, yakni perlindungan preventif yang dilakukan sebelum terjadi kejahatan seksual, dan perlindungan hukum represif yang dilakukan setelah terjadi tindak kekerasan seksual. Kedua, kendala-kendala yang dihadapi antara lain; tertutupnya korban, adanya aksi premanisme, sikap individualitas masyarakat yang cukup kuat dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang hak-hak anak; ketiga, upaya yang perlu dilakukan guna memaksimalkan pelaksanaannya adalah cara memberikan pemahaman kepada orang tua dan anak mengenai bahaya kekerasan seksual, dan perlunya penguatan komitmen dan kerjasama yang sistematis dan masif dari aparat penegak hukum.
Mahkamah Syar'iyah dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia Yurnal idris
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 5 No. 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3840 KB) | DOI: 10.15642/aj.2019.5.2.406-424

Abstract

The Law of Judicial Power, applies equally to all citizens in the Judicial process, but for the Province of Aceh it is treated differently. The indication is the existence of the Syar'iyah Court (Special Court for Muslims) based on Law Number 18 Year 2001, whereas in Aceh Province there are very many citizens who are Catholic, Protestant and Other, so that it seems disharmony in the judicial power system in Indonesia. The results showed that the establishment of the Syar'iyah Court was part of a strategy in special autonomy in Aceh Province, so that most of the people in the Province of Aceh turned out to support and not contradict the existence of the Syar'iyah Court Institute, since it was established and formalized on March 3, 2003 by the Chief Justice Supreme Republic of Indonesia. The Syar'iyah Court stands in existence, side by side with the General (State) Judiciary, the State Administrative and Military Courts which apply equally to all Acehnese citizens. Granting special autonomy to the Province of Aceh in line with the Decree of the Prime Minister of the Republic of Indonesia number; 1 / Mission / 1959 signed by Mr. Hardi as Deputy Prime Minister / Chairperson of the Central Government (Jakarta) delegation to Aceh Province. Abstrak: Undang-undang tentang Kekuaasaan Kehakiman memberlakukan sama semua warga Negara dalam proses Peradilan, akan tetapi untuk Provinsi Aceh diberlakukan berbeda. Indikasinya adanya Mahkamah Syar’iyah (Peradilan khusus bagi orang Islam) berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001. Padahal di Provinsi Aceh sangat banyak warga negara yang beragama Khatolik, Protesten dan beragama Lain, sehingga terkesan disharmoni dalam system kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa pendirian Mahkamah Syar’iyah ini adalah sebagian strategi dalam otonomi khusus di Provinsi Aceh, sehingga sebagian besar masyarakat di Provinsi Aceh ternyata mendukung dan tidak mempertentangkan keberadaan Lembaga Mahkamah Syar’iyah, sejak didirikan dan diresmikan tanggal 03 Maret 2003 oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mahkamah Syar’iyah berdiri eksis, berdampingan dengan Lembaga Peradilan Umum (Negeri), Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer yang berlaku sama bagi semua warga masyarakat Aceh. Pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Aceh sejalan dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor: 1/Missi/1959 yang ditandatangani oleh Mr. Hardi selaku Wakil Perdana Menteri / Ketua utusan Pemerintah Pusat (Jakarta) ke Provinsi Aceh.
Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Kejahatan Korporasi dalam Lingkungan Hidup Ahmad Imaduddin
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 5 No. 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4586.72 KB) | DOI: 10.15642/aj.2019.5.2.265-288

Abstract

Corporate crime is indeed significant to discuss, because it cannot be denied that the role of the corporation is now very important. In this case there needs to be strict criminal liability, so that corporations do not pollute rivers, beaches or endanger the lives of workers or the public or others. Also so that the corporation does not become a fertile ground for corruption. This paper comes with the aim of wanting to know the review of Islamic criminal law against corporate crime. At the end of the paper, it is concluded that: (1) corporate crime in Law No. 23/1997 concerning Environmental Management is an action taken by a company, union, foundation or other organization that results in environmental pollution and / or damage, while sanctions for perpetrators of pollution and/or environmental damage are in the form of fines (ranging from Rp. 100,000. 000.00 to IDR 750,000,000.00) and / or imprisonment (ranging from 3 years to 15 years). And (2) that corporate crime and sanctions are in line and not in conflict with Islamic criminal law, which is included in the category jarimah ta'zir. Abstrak: Kejahatan korporasi memang signifikan untuk dibahas, karena tidak bisa dipungkiri bahwa peran korporasi saat ini menjadi sangat penting. Dalam hal ini perlu ada pertanggungjawaban pidana secara tegas, agar korporasi tidak mencemari sungai, pantai atau membahayakan jiwa pekerja atau publik atau lainnya. Juga agar korporasi tidak menjadi tempat tumbuh suburnya tempat korupsi. Tulisan ini hadir dengan tujuan ingin mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap kejahatan korporasi. Di akhir tulisan disimpulkan, bahwa: (1) kejahatan korporasi dalam UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan tindakan yang dilakukan oleh perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, sedangkan sanksi bagi pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan adalah berupa denda (berkisar antara Rp. 100.000.000,00 sampai dengan Rp. 750.000.000,00) dan/atau pidana penjara (berkisar antara 3 tahunsampai dengan 15 tahun). Dan (2) bahwa kejahatan korporasi dan sanksinya tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan hukum pidana Islam, di mana termasuk dalam kategori jarimah ta'zir.
Tobat bagi Pelaku Tindak Pidana HIraBah dalam Alquran (Kajian Surat Al-Maidah: 33-34) Makinuddin Makinuddin
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 5 No. 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5544.771 KB) | DOI: 10.15642/aj.2019.5.2.311-337

Abstract

QS. al-Ma idah (5): 33-34 specifically describes the crime of hirabah, which in the fatwa of the Indonesian Ulema Council is translated as an act of terrorism. The discussion of this writing is revolved around "What are the pronunciation instructions from al-Maidah (5): 33-34 related to repentance of the perpetrators of the crime hirabah if done after a permanent judge's decision?" After reviewing it using the Qur'anic interpretation rules (linguistic rules, and using descriptive analysis and inductive deductive mindset), it is concluded that: (1) Based on the theory of mantuq (explicit meaning), it is stated that repentance is carried out before being caught, not before a decision still a judge, can abort the sentence hirabah as the majority of writers interpret the Koran, except al-Maraghi who interpret the pronunciation "min qabl an taqdiru" with "except repentance committed by the perpetrator before there is a permanent judge's decision regarding his sentence (in kracht) ", and (2) that repentance committed by the perpetrators of the criminal offense after obtaining a permanent sentence from the judge cannot be accepted based on the theory of mukhum mukhalah (extra contra rio), but if using the theory of mafhum muwafaqah (analogy ), that repentance can abort the sentence hirabah even after there is a permanent decision of the judge (in kracht) based on the theory of mafhum muwafaqah, although not absolutely. Abstrak: QS. al-Maidah (5): 33-34 secara khusus menjelaskan tindak pidana hirabah, yang di dalam fatwa Majlis Ulama Indonesia diterjemahkan tindak pidana terorisme. Pembahasan dari penulisan ini adalah berkisar “Bagaimana petunjuk lafal dari al-Maidah (5): 33-34 terkait tobat pelaku tindak pidana hirabah jika dilakukan setelah ada keputusan hakim yang tetap?” setelah dikaji dengan menggunakan kaidah tafsir Alquran (kaidah kebahasaan, dan menggunakan analisis deskriptif serta pola pikir deduktif induktif), maka disimpulkan bahwa: (1) Berdasarkan teori mantuq (makna tersurat), maka dinyatakan bahwa tobat yang dilakukan sebelum ditangkap, bukan sebelum ada keputusan tetap hakim, dapat menggugurkan hukuman hirabah sebagaimana pendapat mayoritas penulis tafsir Alquran, kecuali al-Maraghi yang menafsirkan lafal “min qabl an taqdiru “ dengan “kecuali tobat yang dilakukan pelaku sebelum ada keputusan hakim yang tetap tentang hukumannya (in kracht)”, dan (2) bahwa tobat yang dilakukan pelaku tindak pidana hirabah setelah mendapatkan keputusan hukuman tetap dari hakim tidak dapat diterima berdasarkan teori mafhum mukhalah (extra contra rio), namun jika menggunakan teori mafhum muwafaqah (analogi), bahwa tobat dapat menggugurkan hukuman hirabah walaupun sesudah ada keputusan tetap hakim (in kracht) berdasarkan teori mafhum muwafaqah walaupun tidak secara mutlak.
Tindak Pidana Korupsi oleh Korporasi dalam Prespektik Hukum Pidana Islam Ahmad Nasrudin
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 5 No. 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6227.163 KB) | DOI: 10.15642/aj.2019.5.2.457-488

Abstract

In the Indonesian legal system, legal subjects are divided into two, namely human (person) and legal entity (rechtperson), commonly known as corporations. In its development many corporations contribute to the development of a country, which of course makes it has a strategic position. And this is directly proportional to the potential for crime to occur. One of them is corruption. This paper aims to examine comprehensively about corruption by Corporate Crime from the perspective of Islamic Criminal Law. At the end of the paper, it was concluded that the responsibility and criminalization of Corporate Crime in Article 20 of RI Law No. 31 of 1999 concerning the Eradication of Corruption Crimes is that corporations as legal entities are also subject to criminal acts. Whereas in the review of Islamic law regarding the responsibility of criminal punishment Corporate Crime that corporate crime is included in the category of rahmah ta'zir, the level of which is submitted to the policy of the judge concerned. For those who must be responsible for corruption in the corporation are those authorized and as policy makers, according to the level of "whether participating directly in corruption" or "whether only participated in doing but not directly". Abstrak: Dalam sistem hukum Indonesia, subjek hukum terbagi menjadi dua, yaitu manusia (person) dan badan hukum (rechtperson), yang biasa dikenal dengan korporasi. Dalam perkembangannya korporasi banyak memberikan kontribusi perkembangan suatu negara, yang tentunya menjadikannya mempunyai posisi yang strategis. Dan ini berbanding lurus dengan potensi timbulnya kejahatan yang dilakukannya. Salah satunya korupsi. Tulisan ini bertujuan untukmengkaji secara komperhensif menyangkut korupsi oleh Corporate Crime dari perspektif Hukum Pidana Islam. Di akhir tulisan disimpulkan bahwa pertanggungjawaban dan pemidanaan Corporate Crime dalam Pasal 20 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah korporasi sebagai badan hukum juga dikenai tindak pidana. Sedangkan dalam tinjauan hukum Islam terhadap pertanggungjawaban pemidanaan Corporate Crime bahwa corporate crime adalah termasuk dalam kategori jarimah ta’zir, yang kadarnya diserahkan kepada kebijakan hakim yang bersangkutan untuk yang harus bertanggungjawab terhadap korupsi dalam korporasi adalah mereka yang berwenang dan sebagai pengambil kebijakan, sesuai kadar ”apakah turut serta langsung melakukan korupsi” atau ”apakah hanya turut berbuat tapi tidak langsung”.
Menakar Urgensi Pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Penegakan Kasus Terorisme priyo handoko
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 5 No. 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3758.981 KB) | DOI: 10.15642/aj.2019.5.2.361-380

Abstract

This research aims to determine whether the Indonesian National Army can be involved in handling criminal acts of terrorism and when and to what extent the authority of the Indonesian National Army in handling criminal acts of terrorism. In order to answer these two problem formulations, the author divides it into two sub-chapters namely, First, TNI Anachronism in the Development of the Indonesian Legal System and Second, Implications of TNI Involvement in Law Enforcement in Terrorism Cases. The research method used in this study is normative juridical (normative legal research), through a statutory approach and a case approach, the author tries to provide a study based on relevant legislation and potential practice in the field. The results of the study said that the involvement of the TNI in a terrorism crime case had to meet at least three main requirements, namely (1) it must be based on the president's political decision together with the DPR. (2) there is a threat to the territorial integrity and sovereignty. (3) when the other components of the institution are unable to cope with criminal acts of terrorism. In order to safeguard the human rights values ??of the TNI, it must be positioned as the last resort, temporary and be given a clear proportional burden so as not to end up using the TNI force in a sustainable manner and to forget the main task of the TNI as the main tool of the state in maintaining security and defense. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Tentara Nasional Indonesia dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme dan kapan serta sejauhmana kewenangan Tentara Nasional Indonesia dalam penanganan tindak pidana terorisme. Guna menjawab dua rumusan masalah tersebut, penulis membagai menjadi dua sub bab yaitu, Pertama, Anakronisme TNI dalam Perkembangan Sistem Hukum Indonesia dan Kedua, Implikasi Pelibatan TNI Dalam Penegakan Hukum Dalam Kasus Terorisme. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah yuridis normatif (normative legal research), melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) penulis mencoba memberikan telaah berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait dan potensi praktik dilapangan. Hasil penelitian mengatakan bahwa, pelibatan TNI dalam kasus tindak pidana terorisme setidaknya harus memenuhi tiga persyaratan utama, yakni (1) harus berdasarkan keputusan politik presiden bersama-sama dengan DPR. (2) adanya ancaman akan keutuhan dan kedaulatan wilayah territorial. (3) ketika komponen lembaga yang lain tidak mampu menanggulangi tindak pidana terorisme. Guna menjaga nilai-nilai hak asasi manusia TNI harus diposisikan sebagai upaya terakhir (the last resort), bersifat sementara dan diberikan beban proporsional yang jelas agar tidak berujung penggunaan kekuatan TNI secara berkelanjutan serta melupakan tugas utama TNI sebagai alat utama negara dalam menjaga keamanan dan pertahanan.
Pemberatan Pidana terdahap Residivis dalam Pandangan Hukum Pidana Islam Hanif Azhar
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 5 No. 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4711.092 KB) | DOI: 10.15642/aj.2019.5.2.381-405

Abstract

In criminal law theory the term repetition of a criminal act (recidive) is known. In the Criminal Code of Indonesia, recidive is a reason to increase the punishment for criminal offenders, in addition to the criminal act, the position as a civil servant and the crime of using a state flag. The concept of criminal prosecution is inseparable from the purpose of punishment itself, in general. However, the regulation in the Criminal Code of Indonesia is considered to be too complicated to make improvements. Unfortunately the Criminal Code Bill is still in the process of maturation and certainly has not been promulgated. The concept of punishment is also known in Islamic criminal law as ‘aud. This paper aims to compare the recidive concept and the ‘aud. From this study, it was concluded that first, from the aspect of equality in principle, both of them have more or less the same principles, namely: (1) the perpetrators of criminal acts must be punished based on a court decision that has permanent legal force, (2) if the criminal offender repeats the criminal act then the sentence against it can be aggravated. Second, from the aspect of the difference, for criminal offenders who have become "accustomed" to committing crimes, there is no longer a feeling of guilt when committing crimes, according to Islamic Criminal Law, perpetrators must be eliminated from people's lives with two punishment options: death sentence or imprisonment lifetime. While in positive criminal law, the provisions that apply are not always the case. However, because the principle of punishment for the ‘aud basically uses the principle of Jarimah Ta’zir, then Ulil Amri can regulate differently, according to the principle of the goal of punishment itself. Abstrak: Pengulangan tindak pidana atau recidive dalam KUHP merupakan alasan untuk memperberat hukuman bagi pelaku tindak pidana. Namun dalam pengaturannya di dalam KUHP dianggap terlalu rumit hingga perlu diadakan penyempurnaan, sedangkan R-KUHP masih terus dalam proses pematangan. Konsep pemberatan hukuman ini juga dikenal dalam hukum pidana islam dengan istilah ‘aud. Tulisan ini bertujuan membandingkan antara konsep recidive dan ‘aud tersebut. Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa pertama, dari aspek persamaan, keduanya memiliki prinsip yang hamper sama, yaitu: (1) pelaku tindak pidana harus dihukum berdasarkan putusan pengadilan, (2) apabila pelaku tindak pidana mengulangi perbuatannya maka hukumannya dapat diperberat. Kedua, dari aspek perbedaannya, untuk pelaku tindak pidana yang “telah menjadi terbiasa” berbuat pidana, menurut Hukum Pidana Islam, pelaku harus dieliminasi dari kehidupan masyarakat dengan dua opsi hukuman: hukuman mati atau penjara seumur hidup. Sedangkan dalam hukum pidana positif, ketentuan yang diberlakukan tidak selalu demikian. Namun demikian, karena prinsip pemidanaan atas ‘aud menggunakan prinsip jarimah ta’zir, maka ulil amri dapat mengatur berbeda sesuai dengan prinsip dari tujuan pemidanaan itu sendiri.
Esensi Hukum Pidana Islam dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia Anis Farida
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 5 No. 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5943.788 KB) | DOI: 10.15642/aj.2019.5.2.425-456

Abstract

Most of the Criminal Laws implemented in Indonesia come from the provisions contained in the Penal Code inherited from the Netherlands with some amendments. Although its coverage, several criminal laws are regulated outside the Penal Code. It was often heard that there are efforts to revise the Penal Code through the Criminal Code Bill, however, Indonesia has not yet succeeded in passing the Criminal Code Bill. One input in the reform of the Criminal Code Bill is its adaptation to the development of the community, its adjustment with the norms of community that is derived from religious teachings. In the Criminal Code Bill aside from being a codification of all rules related to crime, it is also expected to further strengthen the existence of Islamic criminal law through the values ??of justice, equality, and utility. These values ??are the essence of Islamic Criminal Law through understanding the concept of "qat'iy and dhanny". Even though the guidelines and references used are a positive legal system, the essence contained is in accord with the values ??of Islamic Criminal Law. Abstrak: Sebagian besar Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia berasal dari ketentuan yang ada di dalam KUHP yang merupakan hukum pidana warisan Belanda dengan beberapa perubahan ketentuannya, meskipun begitu ada beberapa ketentuan pidana yang berlaku di Indonesia yang diatur diluar KUHP. Sering terdengar bagi kita bahwa terdapat upaya untuk merevisi KUHP melalui RUU KUHP, Akan tetapi Indonesia sampai saat ini belum berhasil mengesahkan RUU KUHP tersebut. Salah satu masukan dalam penyempurnaan RUU KUHP tersebut adalah dengan menyesuaikannya terhadap perkembangan kondisi masyarakat serta memasukkan norma-norma yang berkembang dan berlaku dimasyarakat, dimana sebagian besar norma-norma tersebut berasal dari nilai ajaran agama. Dalam RUU KUHP disamping sebagai kodifikasi seluruh aturan terkait dengan pidana juga diharapkan semakin memperkuat eksistensi hukum pidana Islam melalui nilai-nilai keadilan, kesetaraan, persamaan serta kemaslahatan. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi dari Hukum Pidana Islam melalui pemahaman konsep “qat’iy dan dhanny”. Sehingga meskipun pedoman/acuan yang dipakai dalam system hukum nasional di Indonesia merupakan hukum positif perundang-undangan, akan tetapi didalamnya terdapat esensi nilai-nilai Hukum Pidana Islam.
- Pembedaan Kebebasan Beragama dan Penodaan Agama : (Studi Putusan No. 69/Pid.B/2012/PN.Spg) Faiq Tobroni
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 5 No. 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4022.55 KB) | DOI: 10.15642/aj.2019.5.2.489-510

Abstract

In examining cases relating to blasphemy, one of challenges is to distinguish between blasphemy and religious freedom. Case Number 69/Pid.B/2012/PN.Spg provides an interesting story about the importance of legal reasoning by judges to distinguish it. This research has the following problem formulation. How do judges use their legal reasoning to distinguish between religious freedom and blasphemy? and how is the legal reasoning viewed from the perspective of Human Rights? By using qualitative research methods, this study finds the following conclusions. As long as the religious opinion does not touch to question the authenticity of something sacred in a religion (such as the Scriptures), it is still safe to say as a difference in interpretation. But when the opinion has been touched to assess the authenticity or falsity of something sacred in a religion (such as the Scriptures), this opinion is vulnerable to be categorized as blasphemy because it can be considered as an expression that deliberately brings hostility or blasphemy against religion. This reasoning is in accordance with the division of two forums on religious freedom, namely the internal and external forums. Abstrak: Dalam pemeriksaan perkara berkaitan dengan penodaan agama, salah satu tantangan terbesar adalah membedakan antara penodaan agama dengan kebebasan beragama. Perkara Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg menyediakan cerita yang menarik mengenai pentingnya penalaran hukum oleh hakim untuk membedakan kebebasan beragama dan penodaan agama. Penelitian ini mempunyai rumusan masalah sebagai berikut. Bagaimana hakim menggunakan penalaran hukumnya untuk membedakan antara kebebasan beragama dan penodaan agama? serta bagaimana penalaran hukum tersebut ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)? Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, penelitian ini menemukan kesimpulan sebagai berikut. Sepanjang pendapat keagamaan tersebut tidak sampai menyentuh untuk mempertanyakan keaslian sesuatu yang sakral dalam suatu gama (seperti kitab suci), pendapat keagamaan tersebut masih aman dikatakan sebagai perbedaan penafsiran. Tetapi ketika pendapat tersebut telah menyentuh untuk menilai keaslian atau kepalsuan sesuatu yang sakral dalam agama (seperti Kitab Suci), pendapat ini rentan dikategorikan sebagai penodaan agama karena bisa dianggap sebagai ungkapan yang sengaja membawa permusuhan atau penodaan terhadap agama. Penalaran seperti ini sesuai dengan pembagian dua forum kebebasan beragama, yakni forum internum dan eksternum.

Page 1 of 1 | Total Record : 10