cover
Contact Name
Agus Saiful Abib
Contact Email
agussaifulabib@usm.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
iftar_aryaputra@usm.ac.id
Editorial Address
Fakultas Hukum Universtas Semarang Jl. Soekarno-Hatta, Tlogosari Semarang
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani)
Published by Universitas Semarang
ISSN : 14113066     EISSN : 25808516     DOI : -
Core Subject : Social,
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) P-ISSN 1411-3066 E-ISSN 2580-8516 adalah Jurnal Nasional Terakreditasi yang berafiliasi dengan Fakultas Hukum Universitas Semarang dan diterbitkan oleh Universitas Semarang. Dengan semangat menyebarluaskan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum jurnal ini bertujuan untuk mefasilitasi akademisi, peneliti, dan praktisi profesional yang mengkaji perkembangan hukum dan masyarakat melalui konsep dan ide-ide yang disebarluaskan untuk pengembangan hukum Indonesia. Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) diterbitkan secara berkala setahun 2 kali yaitu Mei dan November dalam artikel bahasa Indonesia. Naskah yang telah disetujui dan siap diterbitkan akan secara teratur diterbitkan melalui website dan hardcopy akan diedarkan setiap penerbitan.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 12 Documents
Search results for , issue "Vol 10, No 2 (2020): November" : 12 Documents clear
TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK SEBAGAI PELAKU PEMERKOSAAN Annas Sandy Gita Perdana
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 10, No 2 (2020): November
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v10i2.2384

Abstract

Tujuan dari penulisan jurnal kali ini ialah untuk mengkaji bagaimana cara untuk menyelesaikan perkara hukuman yang dilakukan oleh seorang anak sebagai pelaku di dalam Tindak Pidana Pemerkosaan. Dalam menentutkan hukuman bagi seorang anak di dalam hukum pidana, oleh karena itu maka dalam memberikan sanksi kepada anak diperlukan perhatian khusus dimana di dalamnya jangan sampai membuat si anak tersebut depresi dan nantinya malah memiliki mental yang semakin ke arah keburukan, maka dari itu penentuan hukuman pidana bagi anak selaku pelaku tindak pidana dapat di lakukan dengan 2 cara yaitu melalui pengadilan atau litigasi dan yang kedua tidak melalui pengadilan atau Diversi. Dalam penulisan jurnal pada kali ini penulis menggunakan metode penulisan yang disebut sebagai metode pustaka, yakni dalam penggunaannya penulis melakukan pengumpulan beberapa pustaka seperti buku, jurnal, undang undang dan lainnya untuk kemudian dipelajari dan di gunakan dalam penulisan jurnal ini. Hasil dari studi yang telah di lakukan oleh penulis ialah bahwa Dalam menentutkan hukuman bagi seorang anak di dalam hukum pidana, dapat di lakukan dengan 2 cara, yaitu dengan melalui jalur pengadilan dan yang kedua jalur non pengadilan yaitu dengan mediasi penal, hal ini supaya seorang anak dapat kesempatan untuk memperbaiki dirinya. The purpose of this journal writing is to examine how to resolve the criminal sentence carried out by a child as a perpetrator in a Rape Crime. In determining the punishment for a child in criminal law, therefore in giving sanctions to children a special attention is needed wherein not to make the child depressed and later instead have an increasingly mental towards badness, and therefore the determination of criminal penalties for children as perpetrators of crime can be done in 2 ways, namely through the court or litigation and the second is not through the court or Diversi. In writing journals this time the author uses the writing method referred to as the library method, namely in its use the writer collects several libraries such as books, journals, laws and others to then be studied and used in writing this journal. The results of studies that have been done by the author is that in determining the sentence for a child in criminal law, it can be done in 2 ways, namely through the court and the second is non-court, namely by mediating penalties, this is so that a child get a chance to improve himself.
Tanggung Jawab Pidana Pengemudi Kendaraan Berteknologi Autopilot Normalita Destyarini; Pujiyono -
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 10, No 2 (2020): November
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v10i2.2514

Abstract

Kehadiran teknologi yang telah memasuki sektor otomotif hal ini ditunjukan dengan adanya mobil yang memiliki teknologi Autopilot, keberadaannya masih perlu ditijau dengan melihat sistem bekerjanya kendaraan yang memiliki teknologi Autopilot. Untuk dapat menjawab permasalahan bagaimana tinjauan yuridis bagi pengemudi kendaraan dengan sistem Autopilot dan upaya yang dapat dilakukan menanggulangi kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh kendaraan berteknologi Autopilot.  Peneliti menggunakan metode penelitian normatif guna menjawab permasalahan. Hasil dari penelitian ini menjawab bahwa pengemudi kendaraan yang berteknologi Autopilot masih bertanggung jawab penuh atas kendali kendaraan sehingga pelanggaran maupun kecelakaan yang diakibatkan oleh pengemudi berpedoman pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kecelakaan yang disebebkan oleh pengendara kendaraan dengan teknologi Autopilot dapat dengan upaya prefentif maupun represif.
Analisis Yuridis Kedudukan Surat Edaran Dalam Sistem Hukum Indonesia Cholida Hanum
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 10, No 2 (2020): November
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v10i2.2401

Abstract

Surat edaran adalah produk hukum yang isinya secara materil mengikat umum namun bukanlah peraturan perundang-undangan. Sebab bukan peraturan perundang-undangan maka surat edaran merupakan sebuah instrumen administratif yang bersifat internal. Surat edaran telah menjadi bagian dari kebijakan lembaga negara, termasuk lembaga peradilan bahkan pemerintah daerah yaitu bupati ataupun walikota. Hingga saat ini banyak terdapat surat edaran yang menuai polemik dan bermasalah dalam tataran implementasinya sebut saja surat edaran kabupaten Bireun, Aceh tentang standarisasi warong kopi/cafe dan  restoran sesuai syariat Islam, kemudian surat edaran Pemkab gunug kidul tentang kewajiban siswa berbusana muslim. Menarik untuk dikaji, pertama, bagaimana kedudukan surat edaran dalam sistem hukum di Indonesia, Kedua,  bagaimana prosedur yang dilakukan terhadap  surat edaran  yang bermasalah. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan metode pengumpulan bahan hukum melalui studi kepustakaan atau studi dokumen (documentary study). Berdasarkan  pada ketentuan otonomi daerah kebijakan tersebut telah melanggar hak asasi warga negara yang telah di atur pemenuhannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu bahwa seluruh warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam  hukum dan pemerintahan. Surat edaran tersebut harus dilakukan pembatalan sebab surat edaran yang sejatinya menjadi ranah pengadilan administrasi dalam hal pembatalannya belum diatur ketentuan hukumnya dalam peraturan perundang-undangan. Kedepannya kewenangan Pengadilan Administrasi untuk membatalkan surat edaran yang mana masuk dalam kategori peraturan kebijakan harus diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan. Namun mengingat adanya kebutuhan mendesak serta kekosongan hukum maka perlu bagi Mahkamah Agung untuk mengisi kekosongan hukum dengan melakukan pengujian terhadap surat edaran tersebut sebagaimana Mahkamah Agung pernah melakukan pengujian terhadap surat edaran Dirjen Minerba dan Panas Bumi No. 03E/31/DJB/2009 tentang perizinan pertambangan mineral dan batubara. Kata Kunci : Surat Edaran, Sistem Hukum Indonesia
ASPEK HUKUM PRUDENTIAL PRINCIPLE DAN THE FIVE C OF CREDIT ANALYSIS DALAM PEMBERIAN KREDIT TANPA AGUNAN OLEH BANK DAN AKIBAT HUKUMNYA fanny angelina
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 10, No 2 (2020): November
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v10i2.2536

Abstract

The increasingly consumptive needs of the community have made banks issue a banking product that can make it easier for the community, namely Unsecured Credit (KTA). This study aims to determine the legal consequences of not applying the prudential principle and the five C of credit analysis on the provision of unsecured loans. This study uses a normative juridical research method. The nature of this research is descriptive analytical which describes the legal aspects related to bank credit agreements, especially for unsecured loans. The research data was obtained normatively which was described by describing the data obtained from the literature study. In providing Unsecured Loans, banks must apply the prudential principle (Prudential Principle). The failure to apply this banking principle has risks and legal consequences that are reflected in the existing regulations.
Optimalisasi Pelaksanaan Regulasi Dalam Rangka Mengatasi Kredit UMKM Yang Bermasalah di Indonesia Mujib Syaris
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 10, No 2 (2020): November
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v10i2.1937

Abstract

Non-performing loans affect national banking assets, which can be caused by external and internal factors both from the side of the banking and debtors. This study aims to find out and analyze how to optimize the implementation of regulations in order to overcome the problematic micro, small and medium enterprises (UMKM) loans in Indonesia. This study uses a normative juridical approach and is presented in a descriptive analytical form. The results show that efforts to overcome problem loans can be done before (preventive measures) and after the occurrence of problem loans (repressive measures), which are regulated in Bank Indonesia regulations. Regulations related to efforts to overcome problem loans must be carried out optimally in order to achieve benefits in the form of low numbers of problem loans in Indonesia. 
Analisis Penerapan Asas Safety Beyond Economic Reason dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018 Xavier Nugraha; Kusuma Wardani Raharjo; Ahmad Ardhiansyah; Dwiana Martanto
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 10, No 2 (2020): November
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v10i2.2418

Abstract

Salah satu prinsip utama dalam negara hukum adalah prinsip kebebasan manusia yang terejawantahkan dalam hak asasi manusia. Dalam perkembangannya, adanya hak asasi manusia ini dirasakan sering salah diartikan sebagai kebebasan yang tidak terbatas, sehingga prinsip kebebasan manusia ini berubah menjadi kebebasan manusia yang terbatas. Salah satu pembatasannya adalah terkait dengan asas safety beyond economic reason. Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Apa yang dimaksud asas safety beyond economic reason? 2)Bagaimana penerapan asas safety beyond economic reason dalam Putusan Mahkamah Konstitusi? Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, konseptual, dan kasus. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan, bahwa 1) asas safety beyond economic reason merupakan asas baru yang lahir dalam negara hukum modern, dimana hak untuk bekerja dibatasi dengan adanya hak untuk keamanan dan keselamatan yang merupakan ekses hak untuk hidup, sehingga seseorang dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun harus dalam kondisi yang aman 2) Penggunaan asas safety beyond economic reason di Indonesia, salah satunya dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018 dari ratio decedendi nomor [3.9.1], halaman 33, dimana Mahkamah Menyebutkan, bahwa: “Sesuai dengan dasar filosofis tersebut, angkutan jalan bertujuan untuk mendukung pembangunan dan integrasi nasional guna memajukan kesejahteraan umum, oleh karena itu sebagai sistem transportasi nasional maka angkutan jalan harus mewujudkan keamanan dan keselamatan (penebalan dari penulis).”  Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi menyebutkan: “Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ merupakan norma hukum yang berfungsi untuk melakukan rekayasa sosial agar warga negara menggunakan angkutan jalan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan.
MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING BERBASIS KEADILAN Agus Saiful Abib; B. Rini Heryanti; Sukimin Sukimin
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 10, No 2 (2020): November
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v10i2.2883

Abstract

Kegiatan penanaman modal dimungkinkan terjadi perselisihan antara pemerintah dengan penanam modal asing. Oleh karena itu melalui Pasal 32 ayat (1) dan ayat (4) UUPM telah memberikan rambu-rambu dalam upaya penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan penanam modal asing. Pasal 32 ayat (1) UUPM menyatakan bahwa dalam hal terjadi sengketa di bidang penananaman modal antara pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah mufakat. Selanjutnya Pasal 32 ayat (4) UUPM menyatakan bahwa dalam hal terjadi sengketa penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati para pihak. Pengaturan tata cara penyelesaian sengketa penanaman modal baik melalui musyawarah mufakat maupun arbitrase internasional diharapkan dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum kepada para pihak. Penelitian ini mengkaji mengenai keuntungan dan kerugian pemerintah Indonesia dalam penyelesian sengketa penanaman modal saat ini serta model penyelesaian sengketa penanaman modal asing berbasis keadilan. Hasil penelitian ini menyatakan penyelesaian perselisihan penanaman modal yang melibatkan negara dengan warga negara asing di ICSID tidak adil dan tidak seimbang, karena kedaulatan Indonesia sebagai penerima penanaman modal tersandera oleh sistem hukum global yang bersifat kapitalis liberalis dan individualis dan harusnya perselisihan penanaman modal diselesaikan oleh badan arbitrase ASEAN.
Implikasi Hukum Tidak Diwajibkannya Pembuktian Tindak Pidana Asal (Tinjauan Pasal 69 UU No.8 Tahun 2010 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014) Yulianto Yulianto; Bambang Waluyo
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 10, No 2 (2020): November
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v10i2.2196

Abstract

Tulisan ini membahas tentang subtansi dari Pasal 69 undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU). Permasalahan yang terjadi dalam tataran penegakan hukum di lapangan adalah bahwa pasal 69 ditafsirkan oleh sebahagian penegak hukum sebagai pasal yang memberikan ruang kebebasan untuk tidak melakukan pembuktian pidana asal. Tentu tafsir ini membawa implikasi hukum yang tidak sederhana karena menyangkut asas praduga tak bersalah dan konsepsi pembuktian dalam sistem pradilan pidana di Indonesia. Tujuan dari penulisan ini adalah memberikan pandangan tentang maksud pasal 69 tersebut dimana kemudian pasal tersebut dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan analitis terhadap peraturan perundang-undangan, putusan mahkamah konstitusi dan putusan pengadilan serta pendekatan kasuistis atas beberapa praktek penegakan hukum di lapangan. Tulisan ini menghasilkan kesimpulan bahwa pembuktian tindak pidana asal tetap harus dilakukan agar proses penegakan hukum tetap berjalan jujur, adil, dan independen (due process of law ).
Strategi Dinas Tenaga Kerja dalam Perlindungan Pekerja Perempuan (Studi di Kota Cirebon) irma maulida
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 10, No 2 (2020): November
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v10i2.2490

Abstract

Work relationship is a relationship between workers and employers that occur after an employment agreement. Although it has created a working relationship between the two parties, in its implementation it is not in accordance with matters that have been agreed or regulated in the legislation in the form of a work agreement. This is interesting to be seen and examined, because if we talk about female workers, actually female workers have privileges or privileges that are not owned by male workers. Although in reality, these rights are not granted or cannot be exercised.The problem in this research is, what are the forms of rights possessed by women workers, and what are the strategies carried out by the Cirebon City Manpower Office in providing protection to female workers.The research method in this writing is descriptive research, with data collection techniques through direct interviews in the Cirebon City Labor Office and Documentation Studies.The results of the study showed that women workers rarely report. This happens because if there is a problem, it can be resolved at the company level. The strategy undertaken by the Manpower Office to provide protection to female workers is to conduct socialization both in class rooms and door to door.Keywords : Work relations; Women Worker; Manpower Office. 
Kebijakan Hukum Pembatalan Kontrak Dalam Keadaan Force Majeure Pandemi Covid-19 di Indonesia Riza Fibriani
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 10, No 2 (2020): November
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v10i2.2323

Abstract

Pembatalan kontrak pada saat pandemi covid-19 di Indonesia telah banyak dilakukan oleh banyak pihak. Hal tersebut terjadi karena pemerintah mengeluarkan Kepres No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana dalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional. Pandemi covid-19 masuk dalam kategori force majeure atau keadaan memaksa karena menyebabkan sektor perekonomian mengalami penurunan. Masyarakat tidak bisa melakukan pekerjaan seperti biasanya, semua kegiatan yang kita lakukan sangat dibatasi. Beberapa perusahaan juga melakukan pemutusan hubungan kerja. Hal itulah yang menjadi penyebab adanya pembatalan kontrak secara sepihak karena tidak mampu memenuhi prestasi. Kontrak/perjanjian dibatalkan secara pihak tanpa memperdulikan rasa keadilan. Namun, sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa kontrak merupakan undang-undang bagi para pihak. Jadi pembatalan kontrak dengan memperhatikan aspek keadilan dalam hukum dan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut tidak bisa dilakukan dalam keadaan force majeure pandemi covid-19. Para pihak diharuskan untuk melakukan itikad baik sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata dengan meninjau ulang kontrak atau renegosiasi dengan menambahkan klausul kontrak penundaan melaksanakan kewajiban.Kata Kunci : Kontrak, Force Majeure.

Page 1 of 2 | Total Record : 12