cover
Contact Name
Agus Saiful Abib
Contact Email
agussaifulabib@usm.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
iftar_aryaputra@usm.ac.id
Editorial Address
Fakultas Hukum Universtas Semarang Jl. Soekarno-Hatta, Tlogosari Semarang
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani)
Published by Universitas Semarang
ISSN : 14113066     EISSN : 25808516     DOI : -
Core Subject : Social,
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) P-ISSN 1411-3066 E-ISSN 2580-8516 adalah Jurnal Nasional Terakreditasi yang berafiliasi dengan Fakultas Hukum Universitas Semarang dan diterbitkan oleh Universitas Semarang. Dengan semangat menyebarluaskan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum jurnal ini bertujuan untuk mefasilitasi akademisi, peneliti, dan praktisi profesional yang mengkaji perkembangan hukum dan masyarakat melalui konsep dan ide-ide yang disebarluaskan untuk pengembangan hukum Indonesia. Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) diterbitkan secara berkala setahun 2 kali yaitu Mei dan November dalam artikel bahasa Indonesia. Naskah yang telah disetujui dan siap diterbitkan akan secara teratur diterbitkan melalui website dan hardcopy akan diedarkan setiap penerbitan.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 200 Documents
URGENSI PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DALAM KASUS KEJAHATAN KESUSILAAN: KAJIAN TENTANG SANKSI PIDANA BAGI PELAKU KEJAHATAN KESUSILAAN PADA ANAK Juita, Subaidah Ratna
Hukum dan Masyarakat Madani Vol 6, No 3 (2016): Desember
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v6i3.799

Abstract

Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan kesusilaan pada anak di Indonesia belum seimbang dengan dampak yang ditimbulkannya. Adapun anak sebagai korban dari kejahatan kesusilaan tentu mengalami trauma yang berkepanjangan hingga dewasa bahkan seumur hidupnya. Salah satu upaya yang dapat ditempuh dalam menghadapi problematika penegakan hukum adalah dengan cara pembenahan sistem hukum. Oleh karna itu perlu adanya pembaharuan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan kesusilaan sebagai bagian dari sistem hukum. Pembaharuan ini perlu dilakukan karena sanksi pidana yang ada saat ini tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Upaya pembaruan hukum pidana yang berkaitan dengan sanksi pidana dalam kasus kejahatan kesusilaan pada anak dapat ditelusuri berdasarkan perumusan sanksi pidana berdasarkan KUHP, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan pertama atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan demikian tulisan ini secara fokus mengkaji urgensi pembaharuan hukum pidana, khususnya hukum pidana materiil tentang sanksi pidana bagi pelaku kejahatan seksual dalam rangka untuk memberikan perlindungan pada anak korban kejahatan seksual.The imposition of criminal sanctions against the perpetrators of morality in children in Indonesia has not been balanced by its impact. As for the child as a victim of crime decency certainly traumatized prolonged until adulthood even a lifetime. One effort that can be taken in dealing with the problem of law enforcement is to reform the legal system. By because it is necessary to reform criminal sanctions for the perpetrators of decency as part of the legal system. These reforms need to be done because there is a criminal sanction which does not currently provide a deterrent effect on perpetrators. Efforts to reform the criminal law relating to criminal sanctions in cases of crimes of morality in children can be traced by the formulation of criminal sanctions under the penal law, Law No. 23 of 2002 on Child Protection, Law No. 35 of 2014 on the First Amendment of Law No. 23 of 2002 on Child Protection, and Government Regulation in Lieu of Law (Perppu) Number 1 Year 2016 Concerning Second Amendment Act No. 23 of 2002 about Child Protection. So this paper examines the urgency updates operating focus criminal law, especially criminal law substantive about criminal sanctions for dader of sexual crimes in order to provide protection for child victims of sexual crimes. 
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2010 TERHADAP PELESTARIAN BENDA CAGAR BUDAYA DI KECAMATAN AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG Ratna Herawati
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 6, No 1 (2016): Januari
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (217.909 KB) | DOI: 10.26623/humani.v6i1.854

Abstract

Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya Bangsa Indonesia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Benda cagar budaya perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri dan kepentingan nasional. Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah pengaturan, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Salah satu letak benda cagar budaya ada di Kabupaten Semarang Kecamatan Ambarawa. Kecamatan Ambarawa. Beberapa obyek yang letaknya tersebar dan sudah cukup terkenal, antara lain Museum Kereta Api, Monument Palagan Ambarawa, dan Candi Gedong Songo. Berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, maka akan ditinjau bagaimana implementasi undang-undang tersebut di Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang serta apa saja kendala yang dihadapi. Adapun pendekatan yang digunakan dengan yuridis normatif. Pelestarian benda cagar budaya di Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010. Adapun dinas daerah yang melaksanakan konservasi adalah dinas pendidikan dan kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dari Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2013. Kendala yang dihadapi berkaitan dengan sumber daya manusia, anggaran, sinkronisasi peraturan, dan partisipasi masyarakat.Objects of cultural heritage is a wealth of cultural nation of Indonesia that is important to the understanding and development of history, science, and culture. Objects of cultural heritage needs to be protected and preserved for fertilization awareness of identity and national interests. Therefore, to preserve the cultural heritage objects required regulatory measures, namely in Law Number 11 Year 2010 on Heritage. One of the objects of cultural heritage lies in Semarang Regency Ambarawa Subdistrict. Several objects that are dispersed and are well known, such as the Railway Museum, Monument Ambarawa, and Gedong Songo.  Relating to Law No. 11 of 2010, it will be reviewed how the implementation of these laws in the Semarang Regency Ambarawa Subdistrict as well as any obstacles encountered. The approach used by the normative. Preservation of cultural heritage objects in the Semarang Regency Ambarawa Subdistrict in accordance with Law No. 11 of 2010. The local agencies that implement conservation is education and culture department. It can be seen from the Regional Regulation No. 10 of 2013. Obstacles encountered with regard to human resources, budget, synchronization rules, and community participation.
USAHA BANK SEBAGAI LEMBAGA PENYALUR KREDIT KEPADA MASYARAKAT Triasih, Dharu
Hukum dan Masyarakat Madani Vol 6, No 3 (2016): Desember
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kegiatan bank secara umum dapat disimpulkan sebagai kegiatan untuk menyerap dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat melalui pembiayaan salah satunya berupa kredit oleh lembaga perbankan. Kondisi pada saat ini di mana  orang yang membutuhkan kredit (calon nasabah debitur) masih jauh lebih banyak dari jumlah kredit yang dapat ditawarkan oleh perbankan, maka bank lebih memilih untuk hanya melayani calon-calon nasabah yang bersedia menerima  klausul - klausul yang sudah tersedia tanpa perubahan sebagaimana yang telah disusun oleh  kantor pusat bank tersebut, dari pada harus melayani calon nasabah debitur yang menginginkan perjanjian kredit dengan klausul - klausul yang dirundingkan. Perkembangan keadaan menjadi seperti ini lebih-lebih lagi karena ditunjang oleh kenyataan bahwa nasabah-nasabah debitur yang kebanyakan terdiri dari pengusaha-pengusaha kecil atau golongan ekonomi lemah itu sering tidak merasa perlu untuk berpayah-payah merundingkan klausul-klausul perjanjian kredit dari kredit yang diterimanya.Hubungan hukum antara bank dengan nasabah adalah hubungan Hukum Perdata yang lahir melalui perjanjian, sehingga berlaku ketentuan KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perbankan. Dalam kegiatan usahanya, bank selalu berusaha memberikan perlindungan hukum kepada nasabah secara preventif dan represif, meliputi perlindungan kepentingan fisik dan ekonomis nasabah.ABSTRACTThe activities of banks in general can be summed up as an activity to absorb funds from the public and to channel back to the community through one form of credit financing by banking institutions. The conditions at this time where people are in need of credit (prospective debtor) is still much higher than the amount of credit that can be offered by the banks, then the banks would prefer to only serve prospective clients who are willing to accept the clause - a clause that has been available without a change as it has been drawn up by the banks headquarters, of the debtor must serve prospective customers who want a credit agreement with a clause - a clause negotiated. Development of the situation being like this the more so because it is supported by the fact that the clients of the debtor which mostly consists of small entrepreneurs or economically weak groups that often do not feel the need to toil negotiate clauses of a credit agreement of the credit received.Legal relationship between the bank and its customers is a civil law relationship that was born through an agreement, so that the applicable provisions of the Civil Code and the laws in force in the field of banking. In the normal course of business, the bank is always trying to give legal protection to customers, preventive and repressive, covering physical and economic protection of the interests of customers.The activities of banks in general can be summed up as an activity to absorb funds from the public and to channel back to the community through one form of credit financing by banking institutions. The conditions at this time where people are in need of credit (prospective debtor) is still much higher than the amount of credit that can be offered by the banks, then the banks would prefer to only serve prospective clients who are willing to accept the clause - a clause that has been available without a change as it has been drawn up by the banks headquarters, of the debtor must serve prospective customers who want a credit agreement with a clause - a clause negotiated. Development of the situation being like this the more so because it is supported by the fact that the clients of the debtor which mostly consists of small entrepreneurs or economically weak groups that often do not feel the need to toil negotiate clauses of a credit agreement of the credit received.Legal relationship between the bank and its customers is a civil law relationship that was born through an agreement, so that the applicable provisions of the Civil Code and the laws in force in the field of banking. In the normal course of business, the bank is always trying to give legal protection to customers, preventive and repressive, covering physical and economic protection of the interests of customers.
KAJIAN NORMATIF MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945: SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN Tri Mulyani
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 6, No 1 (2016): Januari
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (365.216 KB) | DOI: 10.26623/humani.v6i1.855

Abstract

Negara Indonesia adalah Negara hukum, artinya bahwa negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Sifat dari negara hukum hanya dapat ditunjukkan apabila alat-alat perlengkapan negara yaitu lembaga-lembaga negara bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan. Lembaga Tinggi Negara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Lembaga Tinggi Negara yang nama, fungsi dan kewenanganya dibentuk berdasarkan Konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu: Presiden dan Wakil Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sehubungan dengan dasar pembentukan Lembaga Tinggi Negara adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan telah mengalami amandemen 4 kali maka struktur dan hubungan mereka dalam menjalakan tugas pemerintahan dari sebelum dan sesudah amandemen tentunya juga mengalami perubahan. Dengan pendekatan yuridis normatif, dan uraian yang diskriptif analisis, ditemukan jawaban bahwa struktur lembaga negara beserta hubungan diantara lembaga negara telah mengalami pergeseran setelah dilakukan amandemen. Pada dasarnya hubungan diantara lembaga negara tidak banyak mengalami perubahan. Namun perubahan itu justru tampak dalam struktur lembaga negaranya. Sebelum amandemen struktur lembaga negara terdiri dari MPR sebagai lembaga tertinggi, Presiden, DPR, DPA, BPK dan MA. Namun setelah dilakukan amandemen lembaga negara berkembang yaitu MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK. Perbedaanya ada dipoint pengapusan istilah lembaga tertinggi, sehingga semua menjadi lembaga tinggi negara. Indonesia is a country of law, meaning that the country as the law is the basis of state power and the implementation of the power in all its forms is done under the rule of law. The nature of the state law can only be shown if the scientific equipment is state state institutions and bound to act according to the rules that have been set. State Agency referred to in this research is the State Agency name, function and an arbitrary set up under the Constitution or the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, namely: President and Vice-President, People's Consultative Assembly, the House of Representatives, Regional Representatives Council, The Supreme Court, the Constitutional Court, and the Supreme Audit Agency. In connection with establishing the State Agency is the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, and has undergone amendments 4 times the structures and their relationship to run the task of the government before and after the amendment would also change. With normative juridical approach, and a description of the descriptive analysis, found the answer that the structure of state institutions as well as the relationship between the state institutions have experienced a shift after the amendment. Basically the relationship between the state institutions has not changed much. But it is precisely looked into the institutional structure of the country. Prior to the amendment of the structure of state institutions consist of the Assembly as the highest institution, President, Parliament, DPA, BPK and MA. However, after the amendment of the developing state institutions, namely the MPR, DPR, DPD, President, Supreme Court, Constitutional Court, and the CPC. No difference dipoint term elimination highest institution, so all became state institutions.  
PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DAN KEPATUTAN DALAM PERJANJIAN WARALABA (The application of Good Faith and Conscionability Principles within Franchise Agreements) Riyanto, Ery Agus
Hukum dan Masyarakat Madani Vol 6, No 3 (2016): Desember
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v1i1.610

Abstract

Secara tradisional suatu perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasam berkontrak di mana dua pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang berusaha untuk mencapai suatu kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian itu melalui suatu proses negosiasi diantara mereka. Dewasa ini kecenderungan makin nyata bahwa banyak perjanjian di dalam transaksi bisnis yang terjadi bukan melaui proses negosiasi yang seimbang di antara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui. Perjanjian yang demikian ini lazim disebut perjanjian baku.Permasalahan yang muncul adalah apakah  perjanjian baku yang dibuat oleh para pebisnis tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, itikad baik, dan kepatutan. Andaikata dalam perjanjian yang dibuat secara baku terdapat ketentuan/pasal  yang merugikan salah satu pihak dapatkah hakim untuk menganulir pasal tersebut dengan mendasarkan pada asas itikad baik dan kepatutan. Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi pelanggaran terhadap asas kebebasan berkontrak, asas konsensual, dalam merumuskan isi di dalam perjanjian tersebut khususnya pada pasal-pasal yang mengatur hak dan kewajibn para pihak.Terlalu banyak kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak francisee tetapi hak yang dimilikinya sangat sedikit. Sebaliknya banyak pasal yang mengatur hak-hak franchisor, akan tetapi sangat sedikit yang mengatur kewajibannya. Hasil penelitan juga menunjukkan hakim dapat menghapuskan pasal-pasal yang diduga sengaja dibuat untuk memberikan keuntungan kepada salah satu pihak atau membebaskan salah satu pihak dari tanggung jawab yang semestinya harus dipikulnya. Traditionally, a contract performs based on the result of prior negotiation between the parties, who have an equal bargaining position. Recently the trend shows many businessmen doing their businesses did not base on equal business negotiation, but one party already set forth standard requirements in an agreement form, then offers to the other party. Commonly the other party only has two options, agree or disagree (take it or leave it) without has an authority for changing the standard requirements. That agreement/contract knows as adhesion agreement or adhesion contract. The research problem which come up; are the standard requirements in standard contract or agreement not in contrary with Freedom of Contract, consensus, Good Faith and Conscionability Principles. The other problem is: is it possible for judge to omit the standard requirements which set intentionally to get much advantages for one party and give disadvantages effect to the other party, based on the Good Faith and Conscionability Principles. The research result which held by normative research approach, shows, the strong party (Franchisor) breached the Freedom of Contract, and consensual principles. He did not arrange the obligations and rights of the parties proportionally. From the franchise agreements we know there were many articles or clauses, which set the franchise obligation, but not many clauses arranged franchise rights. In contrary many clauses set franchisor rights with a less obligations. Based on the literary study judge has rights to omit the clauses which strongly potential to give disadvantages to one party and give advantages to the other party.
PERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP KONSUMEN DAN PELAKU USAHA kadi sukarna
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 6, No 1 (2016): Januari
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (155.857 KB) | DOI: 10.26623/humani.v6i1.851

Abstract

Penulisan ini dimaksudkan untuk mengetahui tentang perlindungan konsumen dan azas-azas yang berlaku di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen sesuai Pasal 2 UU No 8 Tahun 1999. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang, dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makluk hidup lain dan tidak untu diperdagangkan. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin segala kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.Disamping itu membahas tentang hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Sebagaimana rumusan Pasal 4 jo 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen. Penegakan hukum Perlindungan Konsumen harus melibatkan banyak pihak terutama pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen dan lembaga pengawas lain, serta harus terkoordinasi dengan instansi-instansi terkait supaya terjadi keharmonisan dan tidak tumpang tindih kebijakan atau keputusan. Hal ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dengan baik tanpa harus merugikan konsumen atau pengguna barang/atau jasa. Karena keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini sudah cukup representatif untuk melindungi konsumen asalkan Undang-undang telah dipahami oleh pelaku usaha dan konsumen.This writing is intended to find out more about consumer protection and the principles that apply in the Consumer Protection Act in accordance with Article 2 of Law No. 8 of 1999. The customer is everybody user of goods and or services available in the community for the benefit of themselves, family, others, as well as other living beings and not untu traded. Consumer protection is all the effort that ensures all legal certainty to provide protection to Konsumen.Disamping it discusses the rights and obligations of consumers and businesses. As the formulation of Article 4 jo 5 Consumer Protection Act. Consumer Protection Law enforcement must involve many parties, especially the government and the Consumer Protection Agency and other supervisory agencies, and must be coordinated with the appropriate agencies to happen harmony and not overlapping policies or decisions.This is expected to stimulate economic growth by fine without harming consumers or users of goods / services. Due to the existence of the Consumer Protection Act is already sufficiently representative to protect consumers as long as the legislation has been understood by businesses and consumers. 
ANALISIS YURIDIS TERHADAP KETENTUAN MASA ISTIRAHAT MELAHIRKAN DAN MENYUSUI BAGI PEKERJA PEREMPUAN DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN Sukmadewi, Yudhitiya Dyah
Hukum dan Masyarakat Madani Vol 6, No 3 (2016): Desember
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v7i1.633

Abstract

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji mengenai ketentuan masa istirahat melahirkan dan menyusui bagi Pekerja perempuan yang diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Pada dasarnya perempuan Pekerja melaksanakan perannya sebagai Ibu, sehingga hak-haknya juga harus difasilitasi termasuk dalam hal ini mengenai hak melahirkan dan hak menyusui anak, oleh karena itu Pemerintah harus mengakomodasi hak tersebut dengan layak. Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Instrumen yuridis yang digunakan yaitu Undang-undang Ketenagakerjaan dilengkapi dengan Peraturan Perudang-undangan yang relevan, sedangkan aspek normatifnya dikaitkan dengan bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan penelitian. Metode pengumpulan data menggunakan data sekunder sebagai data pustaka dan metode analisa data menggunakan data kualitatif dengan pengambilan kesimpulan dengan metode deduktif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan cuti melahirkan dan menyusui anak bagi Pekerja perempuan di Indonesia belum diakomodasi secara layak oleh Pemerintah, sehingga perlu dilakukan upaya revisi terhadap regulasi tersebut.
MENGGALI KEARIFAN ISLAM DALAM MENYONGSONG RANCANGAN KUHP Muhammad Iftar Aryaputra
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 6, No 1 (2016): Januari
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (296.521 KB) | DOI: 10.26623/humani.v6i1.852

Abstract

Dalam teori limitasi yang dikemukakan Muhammad Syahrur, terkandung suatu pemikiran untuk melakukan reinterpretasi fiqh terhadap ayat-ayat hudud yang selama ini dimaknai secara kaku oleh masyarakat Arab. Syahrur ingin menegaskan bahwa Islam adalah ajaran yang relevan di setiap zaman. Banyak nilai-nilai kearifan yang terkandung dalam ajaran Islam. Nilai-nilai inilah yang juga diakomodir oleh Rancangan KUHP. Bukan hanya bertumpu pada ajaran-ajaran hukum barat, melainkan juga berangkat dari kearifan lokal, maupun kearifan relijius. Nilai-nilai relijius dijadikan suatu konstruksi asas dalam RKUHP. Dengan adanya integrasi nilai-nilai kearifan dalam Islam, menunjukkan bahwa RKUHP tidak hanya menggunakan pendekatan tekstual maupun kontekstual, tetapi juga pendekatan relijius. In the limitation theory proposed by Muhammad Shahrur, contained an idea to do a reinterpretation of fiqh on hudud verses that had been rigidly interpreted by the Arabian. Shahrur would like to emphasize that Islam is a relevant theory in every age. Many wisdom values contained in the theory of Islam. These values are also accommodated by the Draft of Criminal Code (RKUHP). It is not just rely on the theory of Western law, but also departs from local wisdom, and religious wisdom. Religious values are used as a construction principle in RKUHP. The integration of the wisdom values in Islam shows that RKUHP not only uses textual and contextual approach, but also, religious approach.
UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Triwati, Ani
Hukum dan Masyarakat Madani Vol 6, No 3 (2016): Desember
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v7i1.634

Abstract

Dengan adanya Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013, untuk upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali. Putusan MK yang memperbolehkan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali lebih dari satu kali tersebut, berkaitan dengan kepastian hukum dan keadilan. Apabila peninjauan kembali diperbolehkan lebih dari satu kali tetapi tidak ada pembatasan sampai berapa kali maka perkara tersebut tidak akan ada akhirnya, bahwa adanya asas litis finiri oportet (setiap perkara harus ada akhirnya) tidak akan terpenuhi. Beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah apakah dengan adanya Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 dapat memenuhi nilai keadilan dan kepastian hukum. Selanjutnya bagaimana pengaturan mengenai peninjauan kembali sebagai implementasi Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 agar asas kepastian hukum dan asas litis finiri oportet akan terpenuhi. Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, dapat memenuhi kepastian hukum tanpa mengabaikan nilai keadilan. Hal ini dapat dilihat dari pihak kepentingan terpidana yang mana dengan diperbolehkannya peninjauan kembali dalam perkara pidana lebih dari satu kali, memberikan kesempatan untuk memperoleh kebenaran materiil dan keadilan sehingga dapat diperoleh kepastian hukum yang berkeadilan bagi terpidana mengenai perkara yang dihadapi. Untuk memenuhi asas litis finiri oportet, perlu dilakukan pengaturan bahwa untuk upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara pidana dapat dilakukan dua kali, hal ini dilakukan untuk mencapai kepastian hukum yang berkeadilan. Di satu pihak peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali untuk mencari kebenaran materiil dan memenuhi nilai keadilan. Di lain pihak adanya pembatasan permohonan peninjauan kembali yang boleh dilakukan dua kali adalah untuk menjamin kepastian hukum, sehingga nilai kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum dapat terpenuhi.
Potret Buram Positivisme Hukum: Sebuah Telaah Terhadap Kasus-Kasus Kecil yang Menciderai Rasa Keadilan Masyarakat Muhammad Azil Maskur
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 6, No 1 (2016): Januari
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (287.139 KB) | DOI: 10.26623/humani.v6i1.853

Abstract

The Founding Fathers pada awal kemerdekaan telah menyepakati bentuk negara yaitu negara yang berdasarkan pada hukum (rechstaat). Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Hukum disini adalah hukum yang berdasarkan Pancasila, dimana hukum tidak dimaknai sebagai ilmu positivistik belaka akan tetapi lebih pada ilmu tentang kemasyarakatan. Akan tetapi nampaknya pemahaman holistik terhadap hukum dewasa ini sudah keluar dari jalur cita-cita pendirian bangsa ini. Banyaknya kasus yang menciderai rasa keadilan masyarakat seperti kasus minah, kasus manise dan kasus prita yang menyita perhatian publik beberapa waktu yang lalu menjadi potret buram penegakan hukum yang positivistik legalistik. Positivisme hukum seakan menggelinding liar ketengah-tengah pemahaman para aparat penegak hukum yang menciderai rasa keadilan masyarakat. Hukum bukanlah suatu hal yang mati akan tetapi hukum selalu bergerak dinamis dan mengikuti perkembangan zaman. Kasus-kasus kecil seperti kasus minah, manise dan prita adalah contoh kecil dari liarnya penegakan hukum berparadigma positivistik legalistik tanpa ada yang bisa mengendalikan bahkan pemikiran positivistik legalistik ini telah mengakar pada hakim sebagai aparat pemutus pada peradilan. Secara hukum positif, polisi, jaksa, dan hakim tidak dapat dipersalahkan karena hanya memenuhi rumusan Undang-Undang yang tidak memberikan kesempatan pada aparat penegak hukum untuk berbuat sesuai nurani. Walaupun hakim diberi kebebasan sesuai hati nurani akan tetapi apabila terbentur dengan bukti yang sudah lengkap, tidak alas an bagi hakim untuk memutuskan. Disisi lain masyarakat sebagai obyek hukum merasa terusik rasa keadilannya dengan keputusan hakim yang menyatakan minah dan prita bersalah. Sehingga perlu dilakukan upaya penegakan hukum progresif dan dibarengi dengan pembenahan sistem hukum pidana baik dalam segi substansi, struktur maupun budaya hukum.

Page 1 of 20 | Total Record : 200