Claim Missing Document
Check
Articles

Found 24 Documents
Search

MENYOROT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XIV/2016 TERKAIT UNSUR “DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN ATAU PEREKONOMIAN NEGARA” DALAM PERKARA KORUPSI Aryaputra, Muhammad Iftar; Heryanti, B. Rini; Astanti, Dhian Indah
INDONESIAN JOURNAL OF CRIMINAL LAW STUDIES Vol 2, No 1 (2017): Mei 2017
Publisher : INDONESIAN JOURNAL OF CRIMINAL LAW STUDIES

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu unsur delik (delik bestadell) yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah “dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”. Dengan demikian, harus dimaknai bahwa kerugian negara dalam kedua pasal aquo bisa nyata (actual loss) maupun baru sebatas potensi (potential loss). Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, unsur kerugian negara dalam kedua pasal aquo harus berupa kerugian yang nyata (actual loss). Hal ini disebabkan Mahkamah Konstitusi menilai bahwa kata “dapat” dalam kedua pasal aquo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 (inkonstitusional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Permasalahan dalam penelitian, yaitu: (1) Bagaimana kedudukan unsur (bestandeel) kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi sebelum dan setelah keluarnya Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016?; (2) Bagaimana prosedur penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi pasca keluarnya Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016? Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan data sekunder sebagai data utama. Penelitian yang dilakukan terfokus pada Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016. One of the elements of the offense contained in Article 2 verse (1) and Article 3 of Law No. 31 of 1999 on Corruption Eradication is "can be detrimental to the finances or the economy of the country". Thus, it should be understood that the loss to the state in both passages quo It can be actual loss or potential losses. Post-discharge Constitutional Court Decision No. 25 / PUU-XIV / 2016, the state loss in both passages quo should be a real loss (actual loss). This is due to the Constitutional Court considered that the word "may" in the second chapter NRI quo contrary to the Constitution of 1945 (unconstitutional) and does not have binding legal force. The research problem, namely: (1) The position of the element losses to the state in a corruption case before and after the release of Constitutional Court Decision No. 25/PUU-XIV/2016?; (2) How does law procedure enforcement against corruption after the release of Constitutional Court Decision No. 25/PUU-XIV / 2016? This research is a normative law, with secondary data as the main data. Research conducted focused on the Constitutional Court ruling No. 25/ PUU-XIV/2016. 
MENYOROT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XIV/2016 TERKAIT UNSUR DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN ATAU PEREKONOMIAN NEGARA DALAM PERKARA KORUPSI Aryaputra, Muhammad Iftar; Heryanti, B. Rini; Astanti, Dhian Indah
IJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies) Vol 2, No 1 (2017): Mei 2017 Indonesian Journal of Criminal Law Studies
Publisher : Universitas Negeri Semarang (UNNES)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (309.305 KB) | DOI: 10.15294/ijcls.v2i1.10812

Abstract

Salah satu unsur delik (delik bestadell) yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dengan demikian, harus dimaknai bahwa kerugian negara dalam kedua pasal aquo bisa nyata (actual loss) maupun baru sebatas potensi (potential loss). Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, unsur kerugian negara dalam kedua pasal aquo harus berupa kerugian yang nyata (actual loss). Hal ini disebabkan Mahkamah Konstitusi menilai bahwa kata dapat dalam kedua pasal aquo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 (inkonstitusional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Permasalahan dalam penelitian, yaitu: (1) Bagaimana kedudukan unsur (bestandeel) kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi sebelum dan setelah keluarnya Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016?; (2) Bagaimana prosedur penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi pasca keluarnya Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016? Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan data sekunder sebagai data utama. Penelitian yang dilakukan terfokus pada Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016.One of the elements of the offense contained in Article 2 verse (1) and Article 3 of Law No. 31 of 1999 on Corruption Eradication is "can be detrimental to the finances or the economy of the country". Thus, it should be understood that the loss to the state in both passages quo It can be actual loss or potential losses. Post-discharge Constitutional Court Decision No. 25 / PUU-XIV / 2016, the state loss in both passages quo should be a real loss (actual loss). This is due to the Constitutional Court considered that the word "may" in the second chapter NRI quo contrary to the Constitution of 1945 (unconstitutional) and does not have binding legal force. The research problem, namely: (1) The position of the element losses to the state in a corruption case before and after the release of Constitutional Court Decision No. 25/PUU-XIV/2016?; (2) How does law procedure enforcement against corruption after the release of Constitutional Court Decision No. 25/PUU-XIV / 2016? This research is a normative law, with secondary data as the main data. Research conducted focused on the Constitutional Court ruling No. 25/ PUU-XIV/2016.
MENYOROT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XIV/2016 TERKAIT UNSUR “DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN ATAU PEREKONOMIAN NEGARA” DALAM PERKARA KORUPSI Aryaputra, Muhammad Iftar; Heryanti, B. Rini; Astanti, Dhian Indah
IJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies) Vol 2, No 1 (2017): Mei 2017 Indonesian Journal of Criminal Law Studies
Publisher : Universitas Negeri Semarang (UNNES)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/ijcls.v2i1.10812

Abstract

Salah satu unsur delik (delik bestadell) yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah “dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”. Dengan demikian, harus dimaknai bahwa kerugian negara dalam kedua pasal aquo bisa nyata (actual loss) maupun baru sebatas potensi (potential loss). Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, unsur kerugian negara dalam kedua pasal aquo harus berupa kerugian yang nyata (actual loss). Hal ini disebabkan Mahkamah Konstitusi menilai bahwa kata “dapat” dalam kedua pasal aquo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 (inkonstitusional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Permasalahan dalam penelitian, yaitu: (1) Bagaimana kedudukan unsur (bestandeel) kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi sebelum dan setelah keluarnya Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016?; (2) Bagaimana prosedur penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi pasca keluarnya Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016? Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan data sekunder sebagai data utama. Penelitian yang dilakukan terfokus pada Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016. One of the elements of the offense contained in Article 2 verse (1) and Article 3 of Law No. 31 of 1999 on Corruption Eradication is "can be detrimental to the finances or the economy of the country". Thus, it should be understood that the loss to the state in both passages quo It can be actual loss or potential losses. Post-discharge Constitutional Court Decision No. 25 / PUU-XIV / 2016, the state loss in both passages quo should be a real loss (actual loss). This is due to the Constitutional Court considered that the word "may" in the second chapter NRI quo contrary to the Constitution of 1945 (unconstitutional) and does not have binding legal force. The research problem, namely: (1) The position of the element losses to the state in a corruption case before and after the release of Constitutional Court Decision No. 25/PUU-XIV/2016?; (2) How does law procedure enforcement against corruption after the release of Constitutional Court Decision No. 25/PUU-XIV / 2016? This research is a normative law, with secondary data as the main data. Research conducted focused on the Constitutional Court ruling No. 25/ PUU-XIV/2016. 
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Dhian Indah Astanti; B. Rini Heryanti; Subaidah Ratna Juita
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (229.64 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.94

Abstract

Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain berupa prinsip bagi hasil.Melihat perkembangan bank syariah selama ini, prinsip syariah yang menjadi landasan utama bank syariah dalam menjalankan tugasnya belum dapat diterapkan dan ditegakkan secara optimal terutama dalam hal apabila terjadi sengketa antara para pihak, bank syariah dan nasabahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah serta prinsip penanganan penyelesaian sengketa perbankan syariah. Penelitian hukum yang diguankan yuridis sosiologis dengan analisis secara kualitatif dan diidentifi kasi serta dilakukan kategorisasi. Kesimpulan bahwa lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sejak tanggal 30 Maret 2006 telah memberikan payung hukum bagi penerapan Ekonomi Syariah di Indonesia dan sengketa bidang perbankan syariah menjadi kewenangan lingkungan peradilan agama, penyelesaian sengketa terkait kegiatan ekonomi perbankan syariah diselesaikan dengan dua cara yaitu litigasi dan non litigasi disamping itu lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah lebih mempertegas mekanisme penyelesaian sengketa antara pihak bank dengan nasabah sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1), (2) dan (3) bahwa penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Dhian Indah Astanti; B. Rini Heryanti; Subaidah Ratna Juita
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.94

Abstract

Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain berupa prinsip bagi hasil.Melihat perkembangan bank syariah selama ini, prinsip syariah yang menjadi landasan utama bank syariah dalam menjalankan tugasnya belum dapat diterapkan dan ditegakkan secara optimal terutama dalam hal apabila terjadi sengketa antara para pihak, bank syariah dan nasabahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah serta prinsip penanganan penyelesaian sengketa perbankan syariah. Penelitian hukum yang diguankan yuridis sosiologis dengan analisis secara kualitatif dan diidentifi kasi serta dilakukan kategorisasi. Kesimpulan bahwa lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sejak tanggal 30 Maret 2006 telah memberikan payung hukum bagi penerapan Ekonomi Syariah di Indonesia dan sengketa bidang perbankan syariah menjadi kewenangan lingkungan peradilan agama, penyelesaian sengketa terkait kegiatan ekonomi perbankan syariah diselesaikan dengan dua cara yaitu litigasi dan non litigasi disamping itu lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah lebih mempertegas mekanisme penyelesaian sengketa antara pihak bank dengan nasabah sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1), (2) dan (3) bahwa penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
ANALISIS PENYELESAIAN KONTRAK ASURANSI MELALUI LEMBAGA OTORITAS JASA KEUANGAN B. Rini Heryanti; Dewi Tuti Muryati; Efi Yulistyowati
Jurnal Dinamika Sosial Budaya Vol 17, No 2 (2015): Desember
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (74.954 KB) | DOI: 10.26623/jdsb.v17i2.474

Abstract

Perkembangan penyelesaian sengketa asuransi melalui ADR, banyak diminati oleh para pihak yang bersengketa.karena dirasa lebih realistis, mudah, murah, dan cepat tanpa harus mengorbankan faktor kepastian. Penyelesaian sengketa kontrak asuransi melalui jalur non litigasi/ADR dapat diselesaikan melalui BMAI yang telah didirikan pada tahun 2006, di tahun 2011 pemerintah juga telah mendirikan OJK yang mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan disektor jasa keuangan bank dan non bank, yang didalamnya salah satu tugasnya adalah melakukan penyelesaian sengketa asuransi. Perumusan masalah yang diteliti adalah, bagaimanakah kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam penyelesaian sengketa hukum kontrak asuransi?, bagaimanakah kedudukan BMAI kedepanya, setelah didirikannya OJK ? Metode yang digunakan dalam penelitian ini, metode pendekatan yuridis normatif, dengan spesifikasi deskriptif analitis, sedangkan teknik pengumpulan data menggunakan data primer dan data sekunder. Hasil penelitian pengaduan dan penyelesaian sengketa asuransi oleh OJK secara umum diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang No.21 tahun 2011.Memperhatikan Pasal 29 tersebut mengamanatkan OJK untuk menyiapkan perangkat, menyusun mekanisme, dan memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan, maka OJK mengeluarkan Peraturan OJK No.1/POJK. 07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan Surat Edaran OJK No.2/SEOJK. 07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, sedangkan kedudukan BMAI setelah adanya OJK berada dibawah OJK.The development of the insurance dispute resolution through ADR, much in demand by the parties to bersengketa.felt to be more realistic, easier, cheaper, and faster without sacrificing the certainty factor. Dispute settlement insurance contract through the non litigation / ADR can be resolved through BMAI which had been established in 2006, in 2011 the government has also set up the FSA, which has the task to pass surveillance sector financial services of banks and non-banks, which includes one of his tasks is to insurance dispute resolution. The formulation of the problem under study is, how does the authority of the Financial Services Authority (FSA) in insurance contract law dispute resolution?, How BMAI position, after the establishment of the FSA ? The method used in this research, normative juridical approach, the analytical descriptive specification, while the data collection techniques using primary data and secondary. The research result of complaints and the settlement of disputes by the FSA insurance is generally provided for in article 29 of Law 21 years 2011. Article 29 mandates the FSA to set up the equipment, develop mechanisms and facilitate the resolution of consumer complaints were harmed by the offender in the financial services institution , the FSA issued a FSA Regulation 1 / POJK.07 / 2013 on Consumer Protection and Financial Services Sector FSA Circular No.2 / SEOJK.07 / 2014 on the Ministry and the Consumer Complaint Settlement In Financial Services business communities, while the position of BMAI, the FSA under the FSA.
Optimalisasi Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli On Line Dharu Triasih; B Rini Heryanti; Endah Pujiastuti
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 9, No 2 (2019): November
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (785.059 KB) | DOI: 10.26623/humani.v9i2.1717

Abstract

Arus globalisasi yang saat ini membuat jarak antar negara bukanlah suatu problematika lagi. Orang semakin mudah berhubungan dengan orang lain melalui perkembangan teknologi dan komunikasi. Salah satu perkembangan yang signifikan sekarang adalah transaksi jual beli secara online atau E-Commerce. Penjual dan pembeli tidak perlu bertatap muka (face to face) untuk melakukan transaksi jual beli, melainkan hanya perlu memiliki koneksi internet yang akan mempertemukan mereka di dunia maya. Eksistensi E-Commerce ini penting untuk dikaji bagaimana perlindungan hukumnya bagi konsumen dalam perjanjian jual beli online? Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data   melalui wawancara, kuesioneir,   studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen dalam perjanjian jual beli on line  tertuang didalam UUPK, UUITE, KUHPerdata sebagai induk dari hukum perjanjiannya, tetapi belum dapat memberikan perlindungan hukum secara optimal.bila terjadi kecurangan dari pelaku usaha, baik itu tentang cacat produk, informasi yang tidak jujur maupun keterlambatan pengiriman barang. 
Perlindungan Hukum Merek Dagang Coca-Cola Terhadap Pelanggaran Persamaan Pada Pokoknya Ditinjau Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis Afis Yunika; B. Rini Heryanti; Tri Mulyani
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 7, No 2 (2017): Mei
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (421.931 KB) | DOI: 10.26623/humani.v7i2.1024

Abstract

Perlindungan hukum merek dagang Coca-Cola terhadap pelanggaran persamaan pada pokoknya ditinjau menurut UU Nomor 20 Tahun 2016. Bagaimana kendala dan upaya mengatasi pelanggaran persamaan pada pokoknya terhadap merek dagang Coca-Cola. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penilitian yuridis empiris yaitu, cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder untuk dilanjutkan dengan mengadakan pengamatan secara objektif di PT Coca-Cola. Berdasarkan hasil penelitian yang ditinjau dari UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang perlindungan hukum merek dagang Coca-Cola terhadap persamaan pada pokoknya, yakni menggunakan perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan preventif ialah Perlindungan hukum sebelum terjadi tindak pidana atau pelanggaran hukum terhadap merek, sedangkan perlindungan hukum represif ialah perlindungan hukum terhadap merek manakala ada tindak pidana merek atau pelanggaran hak atas merek. Sementara kendala dan upaya mengatasi pelanggaran persamaan pada pokoknya yaitu, masih banyaknya produk yang masih secara luas diperdagangkan di pasaran, sedangkan upaya mengatasinya adalah dengan penegakan hukum merek-merek dagang yang melakukan pelanggaran persamaan pada pokonya dan dalam penyelesaian permasalahan pelanggaran merek, dapat melalui jalur non litigasi dengan gugatan ganti rugi atau pencabutan lisensi merek dagang dari pasaran luar.The protection of the law of trademarks Coca Cola of the transgression of the similarities in the point reviewed according to Act No. 20 2016 and how obstacles and efforts to resolve the breach of equality at the point of a trademark Coca-Cola.The research method used in the writing of this bachelor theses is anextensive micro insurance nomative empirical namely, how to procedures that are used to solve the problem with the research examines the secondary data to continue to make observations it objectively in PT Coca-Cola. Based on the results of research reviewed from the Act No. 20 2016 about legal protection trademarks Coca-Cola against the similarities in the point, i.e. using legal protection preventive and repressive legal protection. Preventive protection is the protection of the law before the criminal act or breach of the law against other brands, while the protection of the law is the protection of the law against the repressive brands when there is a criminal act brands or brand rights violations. While the problems and efforts to resolve the breach of common ground on the point is that there are still many products that are still widely traded in the market, while efforts to solve them is with law enforcement the brands trademarks that do breach similarities and solving the problems brand violations, can through non line of litigation with the spurious compensation or trademark license revocation from the market outside.
PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH Dhian Indah Astanti; B. Rini Heryanti; Subaidah Ratna Juita
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 9, No 2 (2019): November
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (393.477 KB) | DOI: 10.26623/humani.v9i2.1719

Abstract

Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain berupa prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, bank syariah dapat menciptakan iklim investasi yang  sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya.  Melihat perkembangan bank syariah selama ini, prinsip syariah yang menjadi landasan utama bank syariah dalam menjalankan tugasnya belum dapat diterapkan dan ditegakkan secara optimal terutama dalam  hal apabila terjadi sengketa antara para pihak , bank syariah dan nasabahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penegakan hukum penyelesaian sengketa perbankan di lingkungan peradilan agama. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis Sosiologis. Pendekatan  ini dipilih mengingat dalam  rangka mencapai tujuan penelitian tidak hanya berpijak pada ketentuan hukum saja. Namun  terdapat faktor-faktor sosiologis .yang perlu juga mendapat perhatian seperti fenomena sosial yang terkait dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah. Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, kuesionair, dan studi literatur. Data yang dikumpulkan meliputi data primer maupun data sekunder kemudian akan dianalisis secara kualitatif dan diidentifikasi serta dilakukan kategorisasi. Dari hasil analisis tersebut kemudian akan ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang ada. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sejak tanggal 30 Maret 2006 telah memberikan payung hukum bagi penerapan Ekonomi Syariah di Indonesia dan sengketa bidang perbankan syariah menjadi kewenangan lingkungan peradilan agama, penyelesaian sengketa terkait kegiatan ekonomi perbankan syariah diselesaikan dengan dua cara yaitu litigasi dan non litigasi disamping itu lahirnya UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah lebih mempertegas mekanisme penyelesaian sengketa antara pihak bank dengan nasabah sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1), (2) dan (3) bahwa penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.    
MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING BERBASIS KEADILAN Agus Saiful Abib; B. Rini Heryanti; Sukimin Sukimin
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 10, No 2 (2020): November
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v10i2.2883

Abstract

Kegiatan penanaman modal dimungkinkan terjadi perselisihan antara pemerintah dengan penanam modal asing. Oleh karena itu melalui Pasal 32 ayat (1) dan ayat (4) UUPM telah memberikan rambu-rambu dalam upaya penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan penanam modal asing. Pasal 32 ayat (1) UUPM menyatakan bahwa dalam hal terjadi sengketa di bidang penananaman modal antara pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah mufakat. Selanjutnya Pasal 32 ayat (4) UUPM menyatakan bahwa dalam hal terjadi sengketa penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati para pihak. Pengaturan tata cara penyelesaian sengketa penanaman modal baik melalui musyawarah mufakat maupun arbitrase internasional diharapkan dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum kepada para pihak. Penelitian ini mengkaji mengenai keuntungan dan kerugian pemerintah Indonesia dalam penyelesian sengketa penanaman modal saat ini serta model penyelesaian sengketa penanaman modal asing berbasis keadilan. Hasil penelitian ini menyatakan penyelesaian perselisihan penanaman modal yang melibatkan negara dengan warga negara asing di ICSID tidak adil dan tidak seimbang, karena kedaulatan Indonesia sebagai penerima penanaman modal tersandera oleh sistem hukum global yang bersifat kapitalis liberalis dan individualis dan harusnya perselisihan penanaman modal diselesaikan oleh badan arbitrase ASEAN.