cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Published by Universitas Diponegoro
ISSN : 23375124     EISSN : 2089970X     DOI : -
Core Subject : Health,
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) dan dikelola oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (UNDIP) bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) cabang Jawa Tengah.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 11, No 1 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia" : 7 Documents clear
Kejadian Drop Foot Setelah Anestesi Spinal Satrio Adi Wicaksono; Bhimo Priambodo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 1 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1126.627 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i1.23859

Abstract

Latar Belakang: Komplikasi neurologi setelah prosedur anestesi spinal dapat disebabkan oleh cedera saraf secara langsung, hipotensi yang berat, henti jantung, masalah terkait peralatan, efek yang tidak diinginkan dari obat, pemberian obat yang tidak benar, dan kesalahan lokasi penyuntikan. Namun komplikasi neurologi serius yang disebabkan oleh anestesi regional jarang terjadi. Drop Foot merupakan salah satu komplikasi langsung dari cedera saraf.Kasus: Seorang wanita berusia 44 tahun telah dijadwalkan untuk operasi histerektomi. Pasien mengalami penurunan daya lihat, visus mata kanan 1/300 sedangkan mata kiri adalah 1/~. Melalui teknik aseptik, 25 G jarum spinal disuntikan di interspatium L3-L4. Ruang subarachnoid dicapai setelah beberapa kali suntikan. Setelah itu, bupivakain spinal 0,5% 20 mg diinjeksikan.Satu hari setelah operasi, pasien menyadari bahwa ia tidak mampu menggerakkan kaki kirinya dan kaki kanan normal. Kasus ini dikonsulkan ke bagian neurologi dan rehabilitasi medik dan akupuntur. Tiga minggu pascaoperasi kekuatan motorik skala 1, sensorik hampir kembali normal, sensasi panas di kulit hampir hilang. Setelah 4 minggu, sebagian kekuatan motorik telah pulih, 8 minggu kemudian pulih total.Pembahasan: Jenis dan luasnya cedera saraf dapat bervariasi sesuai dengan orientasi jarum. Ketika bevel sejajar dengan sumbu panjang saraf, jarum lebih mudah untuk melewati serabut saraf. Saat jarum menyilang ke serabut saraf, lukanya lebih besar. Beberapa gangguan sensorik dan kelemahan anggota gerak dapat berlangsung lebih dari satu tahun. Pemeriksaan konduksi saraf berguna untuk melokalisasi dan menilai cedera saraf. Tanda-tanda denervasi pada elektromiogram (EMG) setelah cedera saraf akut membutuhkan 18-21 hari untuk berkembang.Kesimpulan: Dalam kasus ini, komplikasi muncul segera setelah pemulihan dari anestesi spinal dan pasien mengalami pemulihan total setelah 2 bulan. Komplikasi neurologi ini muncul dan diterapi dengan kortikosteroid, obat anti inflamasi, dan akupunktur tanpa adanya efek samping.
Deksametason Untuk Mengurangi Respon Inflamasi Pada Bedah Jantung Berdasarkan Kadar C-Reactive Protein Plasma Widya Istanto Nurcahyo; Hanugra Julius Sayoga
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 1 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (130.161 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i1.23942

Abstract

Latar belakang: Bedah jantung terbuka merupakan salah satu jenis operasi dengan trauma yang cukup besar, dalam pelaksanaannya menggunakan mesin Cardiopulmonary Bypass (CPB). Penggunaan mesin CPB menyebabkan respon inflamasi yang luas dan ditandai dengan peningkatan C-Reactive Protein (CRP). Salah satu cara untuk menekan produksi CRP ini dengan menggunakan deksametason. Dosis deksametason dengan teknik pemberian premedikasi yang sering digunakan yaitu 1 mg/kgbb dan 2 mg/kgbb.Tujuan: Membandingkan efek deksametason dengan dosis 1 mg/kgbb dan dosis 2 mg/kgbb sebagai premedikasi terhadap kadar CRP pasca CPB pada operasi jantung.Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak yang mengikutsertakan 18 pasien bedah jantung dengan anestesi umum dan menggunakan mesin CPB. Sampel dibagi 2 kelompok, yaitu deksametason dosis 1 mg/kgbb dan dosis 2 mg/kgbb sebagai premedikasi. Membandingkan jumlah CRP pada masing-masing dosis deksametason saat praoperasi dan pascaoperasi.Hasil: Pada penelitian ini, tidak ditemukan peningkatan yang bermakna dari kadar CRP pada kedua kelompok (deksametason 1 mg/kg [p=0,813] dan deksametason 2 mg/kg [p=0,115]). Perbandingan kadar CRP pascaoperasi antara kelompok deksametason 1 mg/kg dengan kelompok deksametason 2 mg/kg didapatkan hasil yang tidak bermakna (p=0,596),Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan antara pemberian premedikasi deksametason 1 mg/kg dengan deksametason 2 mg/kg dalam menurunkan respon inflamasi pada operasi jantung dengan CPB.
Anestesi Regional pada Pasien dengan Penyakit Jantung/ Hemodinamik Tidak Stabil Widya Istanto Nurcahyo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 1 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1103.651 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i1.23934

Abstract

Pembiusan pasien dengan penyakit jantung sebelumnya merupakan tantangan yang menarik. Penyebab paling umum morbiditas dan mortalitas perioperatif pada pasien jantung adalah penyakit jantung iskemik (PJI). Goldman dkk. melaporkan bahwa 500.000 hingga 900.000 infark miokard terjadi setiap tahun di seluruh dunia dengan mortalitas 10-25%. Keputusan untuk menggunakan anestesi regional tergantung pada banyak faktor. Karakteristik pasien, jenis operasi yang direncanakan, dan potensi risiko anestesi semuanya akan berdampak pada pilihan anestesi dan manajemen perioperatif.Kerugian dari anestesi regional termasuk hipotensi dari blokade simpatis yang tidak   terkendali dan kebutuhan untuk loading volume dapat menyebabkan iskemia. Pemberian anetesi lokal dalam dosis besar juga harus mempertimbangkan risiko toksisitas depresi miokard. Pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, teknik anestesi regional (baik tunggal atau dengan anestesi umum) bermanfaat perioperatif dalam mengurangi respon stres, simpatektomi jantung, ekstubasi lebih awal, lama rawat di rumah sakit lebih pendek, dan analgesia pascaoperasi yang baik. Selain jenis operasi yang dilakukan, dalam pelaksanaannya juga harus mempertimbangkan masalah yang ada pada masing-masing pasien. Anestesi umum juga memberikan peranan penting karena bersifat kardioprotektif dan dapat meningkatkan suplai oksigen. Keputusan untuk menggunakan anestesi regional harus dilakukan dengan hati-hati dan dilakukan dengan pemantauan yang tepat. 
Perbandingan Gambaran Histopatologi Lambung Tikus Wistar Setelah Pemberian Deksketoprofen dan Ketorolak Taufik Eko Nugroho; Datu Abdul Rahman Hakim; Hari Hendriarto Satoto
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 1 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1150.052 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i1.23862

Abstract

Latar Belakang: Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan obat yang memiliki kemampuan untuk mengatasi nyeri, sehingga dapat digunakan untuk pengelolaan nyeri pasca bedah. Ketorolak dan deksketoprofen merupakan OAINS bekerja dengan cara menghambat aktifitas enzim siklooksigenase (COX) baik enzim siklooksigenase-1 (COX-1) maupun enzim siklooksigenase-2 (COX-2) sehingga sintesis dari prostaglandin (PG) juga terhambat. PG khususnya Prostlagandin E2 (PGE2) sebenarnya merupakan zat yang bersifat protektor untuk mukosa saluran cerna atas. Hambatan sintesis PG akan mengurangi ketahanan mukosa, dengan efek berupa lesi akut mukosa lambung bentuk ringan sampai berat.10Tujuan: Mengetahui perbedaan gambaran histopatologi lambung tikus wistar setelah pemberian deksketoprofen dan ketorolak.Metode: Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik menggunakan randomized post test control group design pada 14 ekor tikus wistar jantan yang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak masing- masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus wistar yang diberi luka incisi. Kelompok I mendapat deksketoprofen 0,9 mg intramuskular tiap 8 jam selama 5 hari dan Kelompok II mendapat ketorolak dengan dosis 0,54mg intramuskuler tiap 8 jam selama 5 hari. Setelah itu dilakukan terminasi serta pengambilan jaringan lambung dan dianalisis gambaran histopatologinya. Uji statistik normalitas data dengan menggunakan Saphiro wilk, uji beda dengan menggunakan Independent T Test.Hasil: Dari hasil uji Independent T Test didapatkan nilai p antara kelompok I terhadap kelompok II P = 0,029 sehingga terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok I dan kelompok IIKesimpulan: Terdapat perubahan gambaran histopatologis lambung tikus wistar setelah pemberian deksketoprofen dan ketorolak, dimana perubahan gambaran histopatologi lambung tikus wistar pada pemberian deksketoprofen lebih sedikit dibandingkan dengan ketorolak.
Pengukuran Optical Nerve Sheath Diameter (ONSD) untuk Monitoring Tekanan Intrakranial (TIK) di Intensive Care Unit (ICU) Muhammad Husni Thamrin; Prananda Surya Airlangga
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 1 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (314.879 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i1.21064

Abstract

Latar Belakang: Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) adalah kegawatan pada sistem neurologis yang dapat menyebabkan kematian, akibat keganasan di otak, cedera kepala tertutup, gangguan aliran liquor cerebro spinal (LCS), sumbatan pada sinus venosus utama dan yang bersifat idiopatik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa monitoring TIK dapat meningkatkan kualitas dan kelangsungan hidup pasien-pasien yang mengalami peningkatan TIK. Metode pengukuran TIK non invasif seperti pengukuran optical nerve sheath diameter (ONSD) jarang dilakukan di Indonesia meskipun memiliki nilai manfaat yang besar bagi penatalaksanaan pasien di ICU.Kasus: Kami melaporkan 4 kasus ICU di RSUD Dr. Moewardi, Solo, Jawa Tengah: laki-laki, 54 tahun dengan cedera kepala berat (CKB), ICH regio temporal dan edema cerebri, mendapatkan terapi konservatif; wanita 52 tahun, dengan CKB, SDH regio frontotempororoparietal, ICH regio temporoparietal dekstra dan edema cerebri; wanita 44 tahun mengalami cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dengan EDH regio parietotemporal dextra, closed fracture clavicula dextra dan dilakukan kraniotomi  evakuasi EDH; laki-laki 45 tahun dengan stroke hemoragik,dekstra, patah tulang tertutup, klavikula kanan dan dilakukan evakuasi EDH pascaoperasi ICH. Pada keempat pasien di atas kami lakukan pengukuran ONSD pada kedua bola mata dengan hasil yang berbeda-beda. ONSD > 5 mm kami anggap pasien mengalami peningkatan TIK, TIK > 20 mmHg, dan terapi di ICU disesuaikan dengan hasil ini untuk menurunkan TIK nya.Pembahasan: Laporan kasus kami ini memberikan gambaran bahwa pemeriksaan sonografi bola mata pasien yang dilakukan oleh klinisi ICU dapat memperkirakan tekanan intrakranial pasien secara cepat dan akurat. ONSD dengan cut off > 5 mm dapat memperkirakan TIK > 20 mmHg. Pada pasien kasus 1, 2, 4 didapatkan ONSD melebihi 5 mm pada kedua bola mata dan TIK diperkirakan melebihi 20 mmHg. Segala terapi yang bertujuan menurunkan TIK telah dilakukan kecuali kraniotomi dekompresi pada 2 pasien (kasus 1, dan kasus 2). Pemeriksaan ONSD juga memberikan informasi kepada klinisi tentang prognosis pasien. Hal ini menjadi penting saat memberikan informasi kepada keluarga pasien dan untuk rencana terapi selanjutnya. Pengukuran ONSD akan sangat bermanfaat dalam merubah keluaran pasien jika diukur pada fase awal dan dapat merubah terapi sesuai hasil ONSD. Pemeriksaan ONSD juga memeiliki keterbatasan yaitu sangat tergantung pada kemampuan operator sonografinya.Kesimpulan: Ini adalah laporan pertama di unit perawatan intensif kami berkenaan dengan metode pengukuran TIK non invasif. Diperlukan penelitian prospektif mengenai akurasi hasil antara pemeriksa, dan kegunaannya pada fase awal pasien cidera kepala (di ruang resusitasi) atau pasien yang beresiko mengalami peningkatan TIK.
General Anesthesia Technique in Tetralogy of Fallot Patient Undergo Tooth Extraction Surgery Iwan Dwi Cahyono; Hari Hendriarto Satoto; Shazita Adiba Martyarini
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 1 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (438.048 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i1.23257

Abstract

Background: Tetralogy of fallot is one of the congenital cyanotic heart disease that is often found in children. The disorder has four features, a ventricular septal defect (VSD), aortic overriding, infundibulary stenotic, and hypertrophy right ventricular. Like other congenital heart disease, tetralogy of fallot sometimes related to fatal complications, such as bacterial endocarditis which was related to dental infections. Anesthetic management in tetralogy of Fallot is often described in patients with known cardiac disease. Perioperative considerations include preoperative preparation for surgery, intraoperative anesthetic management, and common postoperative issues in the intensive care unit.Case: A three-year-old boy had history of Tetralogy of Fallot. He has many severe early childhood caries. From the physical examination, many severe caries and roots gangrene was  found in both jaws. He was planned to get teeth extraction under general  anesthesia.Discussion: Tetralogy of fallot (TOF) is a congenital cyanotic heart disease that is often found in children, approximately around of 7–10% from overall congenital heart disease in children. Children with TOF have an increased risk of bacterial endocarditis. Invasive procedure was performed under general anesthesia. Patient was successfully operated under general anesthesia.Conclusion: Tetralogy of Fallot is a congenital cyanogenic heart disease that is a challenge for anesthetist. General anesthesia is the best suitable anesthetic technique in instable patient.
Keamanan Penggunaan Propofol Auto-Coinduction Dibandingkan Dengan Midazolam Coinduction Berdasarkan Perubahan Hemodinamik Pada Induksi Anestesi Pasien Yang Dilakukan General Anestesi I Nyoman Yesua; Puger Rahardjo; Pesta Parulian Maurid Edwar
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 1 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (118.466 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i1.22039

Abstract

Latar Belakang: Pemilihan obat anestesi untuk induksi bagi seorang ahli anestesi merupakan hal yang krusial dan didasarkan atas efek farmakodinamik terhadap sistem kardiovaskular.Tujuan: Menganalisa apakah penggunaan propofol auto-coinduction (pre-dosing propofol) dapat digunakan sebagai alternatif midazolam sebagai obat coinduction, dilihat dari segi keamanan pasien (perubahan hemodinamik yang terjadi) dan biaya yang dikeluarkan.Metode: Penelitian eksperimental dengan desain pre-posttest single blind group ini melibatkan 52 pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum di Kamar Operasi Gedung Bedah Pusat Terpadu (GBPT) RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada bulan September-Oktober 2018. Dua kelompok pasien masing-masing mendapatkan midazolam 0,03 mg/KgBB (kelompok M, n=26) dan propofol 0,4 mg/KgBB (kelompok P, n=26) 2 menit sebelum induksi dengan propofol titrasi sampai hilang kontak verbal. Dosis propofol yang digunakan, tekanan darah sebelum dan sesudah dilakukan induksi serta biaya induksi dicatat.Hasil: Rerata Arterial Pressure (MAP) pra-induksi pada kelompok M adalah 96,35 ±11,366 mmHg dan pada kelompok P 90,54 ±7.732 mmHg, sedangkan MAP pascainduksi pada kelompok M sebesar 79.96 ±9.21mmHG dan pada kelompok P adalah 73,96 ±5,03mmHg (p=0,037). Total biaya yang digunakan pada kelompok M adalah Rp. 7.890 ±1.448.89 sedangkan pada kelompok P Rp. 7.082 ±1.403.89 (p=0.047).Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada perubahan MAP yang disebabkan oleh penggunaan propofol auto-coinduction bila dibandingkan dengan midazolam coinduction. Tidak terdapat perbedaan signifikan penurunan tekanan darah dan nadi, serta dosis propofol yang digunakan antara kedua kelompok. Biaya induksi pada kelompok auto-coinduction propofol secara signifikan lebih rendah.

Page 1 of 1 | Total Record : 7


Filter by Year

2019 2019


Filter By Issues
All Issue Vol 15, No 2 (2023): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 15, No 1 (2023): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 14, No 3 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 14, No 2 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 14, No 1 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 13, No 3 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia (Issue in Progress) Vol 13, No 3 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 13, No 2 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 13, No 1 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia Publication In-Press Vol 12, No 3 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 12, No 2 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 11, No 3 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 11, No 2 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 11, No 1 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 10, No 3 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 10, No 2 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 10, No 1 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 9, No 3 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 9, No 2 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 9, No 1 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 8, No 3 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 8, No 2 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 8, No 1 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 7, No 3 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 7, No 2 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 7, No 1 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 6, No 3 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 6, No 2 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 6, No 1 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 5, No 3 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 5, No 2 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 5, No 1 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 4, No 3 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 4, No 2 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 4, No 1 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 3, No 3 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 3, No 2 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 3, No 1 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 2, No 3 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 2, No 2 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 2, No 1 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 1, No 3 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 1, No 2 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 1, No 1 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia More Issue