cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Published by Universitas Diponegoro
ISSN : 23375124     EISSN : 2089970X     DOI : -
Core Subject : Health,
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) dan dikelola oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (UNDIP) bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) cabang Jawa Tengah.
Arjuna Subject : -
Articles 286 Documents
Perbandingan Efektivitas Patient-Controlled Analgesia (PCA) Fentanil, PCA Morfin dan Tramadol Intravena Sebagai Analgetik Pasca Operasi Modified Radical Mastectomy (MRM) Arie Faishal Madjan; Widya Istanto Nurcahyo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 10, No 2 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1244.516 KB) | DOI: 10.14710/jai.v10i2.22248

Abstract

Latar Belakang: Operasi Modified Radical Mastectomy menimbulkan nyeri derajat sedang hingga berat pasca operasi. Sebagian pasien yang mendapat kombinasi anagetik tramadol dan ketorolak secara berkala, masih mengeluh nyeri. PCA merupakan metode baru pemberian analgetik. Penggunaan PCA fentanil dan PCA morfin diharapkan dapat lebih efektif dalam mengatasi nyeri pasca operasi MRM.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas, efek samping dan tingkat kepuasan pasien antara penggunaan PCA fentanil, PCA morfin dan tramadol intravena sebagai analgetik pasca operasi MRM.Metode:Dilakukan uji klinis tersamar ganda terhadap 36 pasien rencana operasi MRM yang memenuhi kriteria penelitian. Setelah dilakukan anestesi umum, pasien dibagi dalam 3 kelompok perlakuan pemberian analgetik pasca operasi: (1) kelompok PCA fentanil dengan fentanil loading dose 50 mcg, demand dose 20 mcg, lockout interval 10 menit, limitdose 70 mcg/jam, background infusion 30 mcg/jam; (2) kelompok PCA morfin dengan morfin loading dose 4 mg, demand dose 1 mg, lockout interval 10 menit, limit dose 6 mg/jam, tanpa background infusion; (3)kelompok tramadol yang mendapat tramadol intravena 100 mg/8jam. Dilakukan penilaian berkala skor NRS, RASS, tanda vital, efek samping dan tingkat kepuasan pasien selama 24 jam pasca operasi. Data dianalisa dengan Shapiro-Wilk dilanjutkan Kruskal-Wallis atau One way ANOVA, dianggap bermakna bila p< 0,05.Hasil:Efektivitas terbaik pada PCA fentanil, diikuti PCA morfin lalu tramadol. Skor RASS PCA fentanil dan PCA morfin lebih rendah dari tramadol (p=0,000). Terdapat efek samping mual, muntah dan dizziness yang secara statistik tidak berbeda bermakna. Tingkat kepuasan pasien tertinggi pada kelompok PCA fentanil, sedangkan antara kelompok PCA morfin dan tramadol tidak berbeda bermakna(p=0,009).Simpulan: PCA fentanil dan PCA morfin lebih efektif dibandingkan tramadol. PCA fentanil memberikan tingkat kepuasan pasien yang lebih tinggi dibanding PCA morfin dan tramadol. Terdapat efek samping mual, muntah dan dizziness namun secara statistik tidak berbeda bermakna.
Pengelolaan Trauma Susunan Saraf Pusat Igun Winarno; Jati Listiyanto Pujo; Mohamad Sofyan Harahap
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 1 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i1.6473

Abstract

Trauma SSP merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera primer sangat menentukan hasil, sedangkan cedera sekunder yang disebabkan faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia, hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan otak lanjutan dan memperburuk trauma SSP. Manajemen anestesi perioperatif yang tepat dan dimulai sejak periode preoperatif, terutama saat pasien berada di Unit Gawat Darurat, sangat menentukan keluaran dari pasien.
Perbandingan Penggunaan Triamcinolone Acetonide Dan Gel Larut Air Pada Pipa Endotrakea Terhadap Angka Kejadian Nyeri Tenggorok Adi Wibowo; Soenarjo Soenarjo; Hari Hendriarto Satoto
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 6, No 3 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (613.243 KB) | DOI: 10.14710/jai.v6i3.9122

Abstract

Latar Belakang : Salah satu komplikasi pemasangan pipa endotrakea adalah nyeri tenggorok paska operasi akibat kerusakan mukosa trakea. Pemberian lubrikasi pada pipa endotrakea diharapkan mampu mengurangi angka kejadian nyeri tenggorok. Triamcinolon acetonide gel mengandung kortikosteroid disamping dapat sebagai agen lubrikasi juga mempunyai efek anti inflamasi.Tujuan : Membandingkan efek lubrikasi pipa endotrakea dengan triamcinolone acetonide gel dan gel larut air terhadap angka kejadian nyeri tenggorok paska intubasi.Metode : 50 pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum di RSUP Dr.Kariadi Semarang dan memenuhi kriteria inklusi dibagi secara acak menjadi 2 kelompok. Induksi menggunakan propofol 2 mg/kgBB iv, rokuronium 0,6 mg/kgBB iv dan fentanyl 1 mcg/kgBB iv kemudian dilakukan intubasi dilakukan intubasi dengan pipa endotrakea high volume low pressure non kinking dengan ukuran 7.0 untuk perempuan dan 7,5 untuk laki-laki. Kelompok 1 (K1) diberikan triamcinolone acetonide in orabase 0,1 % pada pipa endotrakea, kelompok 2 (K2) diberikan gel larut air pada pipa endotrakea (K-Y jelly) masing-masing diberikan 0,5 cc dilubrikasikan pada pipa endotrakea sepanjang 15 cm dari ujung distal. Selanjutnya cuff dikembangkan dengan udara dalam spuit 20 cc sampai tidak terdengar kebocoran udara napas. Rumatan anestesi dengan isofluran 1-1,5 % dalam O2 dan N2O 50% dan pelumpuh otot rokuronium intermiten. Analgetik diberikan ketorolak 30 mg dan tramadol 2 mg/kgBB iv. Selesai operasi, ekstubasi pipa endotrakea dilakukan saat pasien sudah sadar. Dilakukan observasi nyeri tenggorok 1 jam, 6 jam dan 24 jam setelah ekstubasi.Hasil : Angka kejadian nyeri tenggorok paska intubasi endotrakea pada kelompok 1 lebih kecil dibandingkan pada kelompok 2, tetapi tidak bermakna secara statistik (p>0,05).Kesimpulan : Pemberian lubrikasi pipa endotrakea dengan triamcinolone acetonide gel dapat mengurangi angka kejadian nyeri tenggorok
Pengaruh Pemberian Parecoxib Terhadap Kadar Il-6 dan Intensitas Nyeri Pascabedah Laparotomi Ginekologi Heriady Haeruddin; Muhammad Ramli Ahmad
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 5, No 2 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (202.256 KB) | DOI: 10.14710/jai.v5i2.6408

Abstract

Latar Belakang : Nyeri pascabedah masih merupakan masalah dalam periodepascabedah. Sekitar 80% pasien yang menjalani pembedahan mengalami nyeri akutpascabedah. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin proinflamasi yang berperanpenting dalam fisiologi nyeri.Tujuan : Penelitian ini bertujuan mengukur kadar IL-6 dan intensitas nyeripascabedah pada penggunaan kombinasi Parecoxib 40 mg intravena dengananalgesia epidural bupivacain dan fentanyl pada pasien yang menjalani laparotomiginekologi.Metode : Dilakukan penelitian eksperimental secara acak pada 50 pasien yang dibagimenjadi dua kelompok, masing-masing 25 subyek yang menjalani bedah laparotomiginekologi. Sebelum dan 12 jam setelah pembedahan Kelompok Parecoxibmendapatkan Parecoxib 40 mg sedangkan Kelompok Kontrol mendapatkan plasebo.Pada kedua kelompok mendapatkan anestesi selama pembedahan dengan anestesiepidural bupivacain 0,5% dan fentanyl dilanjutkan analgesia epidural pascabedahkontinu dengan bupivacain 0,125% dan fentanyl 2 ug/ml 5 ml/jam. Penilaian nyeridengan NRS diam bergerak dan dilakukan pada 2 jam, 12 jam, dan 24 jampascabedah.Hasil : Pada IL-6 serum pada kedua kelompok mengalami peningkatan dengan kadarpuncak pada pengukuran 24 jam pascabedah. Tidak ada perbedaan peningkatankadar IL-6 antara kedua kelompok (p>0,05). Demikian pula pada penilaian skalanyeri dengan NRS diam dan bergerak, tidak ditemukan perbedaan antara keduakelompok.Kesimpulan : Kombinasi analgesia parecoxib 40 mg iv dengan analgesia epiduralbupivacain 0,125% tidak dapat menurunkan kadar IL-6 serum pada pasien yangmenjalani laparotomi ginekologi.
Rasio Netrofil Limfosit dan Limfositopenia Sebagai Penanda Sepsis Puja Laksana Maqbul; Ery Leksana; Mohamad Sofyan Harahap
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 8, No 2 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (603.712 KB) | DOI: 10.14710/jai.v8i2.19810

Abstract

Latar Belakang : Keadaan sepsis pada awalnya akan menyebabkan peningkatan jumlah netrofil diikuti oleh peningkatan limfosit, keadaan sepsis yang bertahan akan menyebabkan apoptosis dari limfosit, sehingga rasio netrofil limfosit akan meningkat, dan terjadi limfositopenia yang dapat dijadikan indikator sepsis.Tujuan : Mengetahui nilai RNL dan hitung limfosit pada pasien dicurigai sepsis di RSUP Dr. Kariadi Semarang.Metode : Penelitian ini merupakan penelitian diagnostik non eksperimental dengan desain cross sectional dengan jumlah sampel 30 pasien. Pasien ICU dengan dua atau lebih tanda SIRS dan dicurigai infeksi diambil sampel darah untuk dilakukan pemeriksaan hitung jenis leukosit dan pemeriksaan kultur darah, kemudian data dianalisis menggunakan kurva ROC.Hasil : Sumber infeksi terbanyak terjadi pada traktus digestivus (43,3%), obstetri ginekologi (23,3%), traktus respiratorius (16,7%), cerebrovaskular (10%) dan traktus urinarius (6,7%). Rasio Netrofil Limfosit memiliki AUC 0,425 (sensitivitas 60% dan spesifitas 20%), Limfositopenia absolut memiliki AUC 0,425 (sensitivitas 40% dan spesifitas 40%), sedangkan RNL dan Limfositopenia memiliki AUC 0,575 (sensitivitas 70% dan spesifitas 45%).Kesimpulan : Rasio Netrofil Limfosit dan Limfositopenia absolut tidak bisa dijadikan indikator sepsis pada pasien-pasien di ICU walaupun memiliki sensitivitas 70% dan spesisifitas 45%.
The Comparison Of The Effect Of Etomidate And Propofol On Serum Cortisol Level Yusmalinda Yusmalinda; Johan Arifin; Doso Sutiyono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 3, No 3 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v3i3.6441

Abstract

Background: The choose of anesthetic agent not only based on primary effect as an ideal anesthetic for surgical procedure, but also took attention for their effect to various organ system. Etomidate is known as an ideal anesthetic agent because its hemodynamic stability, minimally respiratory effect and neuroprotection properties, but become not popular as it suppress cortisol synthesis although it significant clinical effect remain controversy.Purpose: To analyze the different effect etomidate and propofol on serum cortisol concentration in patient underwent elective surgery in general anesthesia.Method: This double blind, Randomized Controlled Trial with 34 subjects which divided into two groups (n=17), control group and treatment group which received either intravenous propofol 2,5mg/kgBW or etomidate 0,2mg/kgBW pre-operation respectively. Each group was then examined for serum cortisol concentration pre-anesthesia, 2 hours post induction, and 8 hours post induction. Wilcoxon Signed Rank Test and Paired T Test were performed to compare cortisol serum concentration in each group. Mann Whitney and Independent Sample T Test were used to compare between control and treatment group.Results: There were significant different of cortisol serum level between pre-anesthesia and 2 post induction in etomidate group [244,15(181,39-382,75)] vs [195,07(119,96-236,35)]. It showed that decrement of etomidate dosage into 0,2mg/kgBW still decrease cortisol serum production significantly from 2 to 8 hours. It proved that propofol did not decrease cortical synthesis. Compared with propofol, etomidate significantly suppress serum cortisol level at 2 hours post induction.Conclusion: Etomidate 0,2mg/kgBW decrease serum cortisol concentration at 2 hours post induction, but return to its normal level at 8 hours post induction. Propofol 2,5mg/kgBB did not decrease serum cortisol concentration.Keywords : Etomidate, Propofol, General anesthesia, CortisolABSTRAKLatar belakang penelitian: Pemilihan suatu obat anestesi tidak hanya didasarkan pada efek utamanya sebagai anestesi yang ideal untuk suatu prosedur pembedahan, melainkan turut pula mempertimbangkan efeknya terhadap berbagai sistem organ. Etomidat diketahui memiliki sifat obat anestesi yang ideal baik dari segi hemodinamik, respirasi, maupun neuroproteksi, akan tetapi menjadi kurang populer akibat efeknya terhadap fungsi adrenal meski konsekuensi klinis nyata dari efek hambatan ini masih kontroversi.Tujuan: Membuktikan adanya perbedaan pengaruh pemberian etomidat 0,2mg/kgBB intravena dan propofol 2,5mg/kgBB intravena terhadap penurunan kadar kortisol serum.Metode: Merupakan penelitian Randomized Clinical Control Trial pada 34 pasien yang menjalani anestesi umum, dibagi menjadi 2 kelompok (n=17), etomidat dan propofol. Masing-masing kelompok diperiksa kadar kortisol serum sebelum induksi, 2 dan 8 jam setelah induksi. Uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan Paired T Test digunakan untuk membandingkan kadar kortisol di masing- masing kelompok. Sedangkan uji statistik Mann Whitney U Test dan Independent Sample T-Test digunakan untuk membandingkan antar kelompok perlakuan.Hasil: Terdapat perbedaan bermakna kadar kortisol sebelum dan 2 jam pasca induksi pada kelompok etomidat (mean 244,15 vs 195,07), tetapi tidak pada 8 jam pasca induksi. Hal ini menunjukkan bahwa pengurangan dosis etomidat sampai 0,2mg/kgBB masih menurunkan kadar kortisol secara signifikan sampai < 8 jam pasca induksi. Pada kelompok propofol terdapat peningkatan bermakna kadar kortisol 2 jam pasca induksi (p=0,013). Hal ini membuktikan bahwa propofol tidak memiliki efek menurunkan síntesis kortisol.Kesimpulan: Pemberian etomidat 0,2mg/kgBB menurunkan síntesis kortisol pada 2 jam pasca induksi namun kembali normal 8 jam pasca induks i. Pemberian propofol 2,5 mg/kgBB tidak menyebabkan penurunan kadar kortisol serum.
Perbedaan Agregasi Trombosit pada Penderita yang Mendapat Propofol dan Penthotal Arliansah Arliansah; Widya Istanto Nurcahyo; Hariyo Satoto
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 2 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i2.6464

Abstract

Latar belakang: Perdarahan perioperatif merupakan masalah yang sering dihadapi dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi induksi mempunyai pengaruh menghambat agregasi trombosit. Propofol dan Penthotal mempengaruhi Agregasi Trombosit.Tujuan: Membuktikan perbedaan pengaruh Propofol dan Penthotal terhadap Agregasi Trombosit.Metode: Merupakan penelitian Randomized Clinical Control Trial pada 34 pasien yang menjalani anestesi umum, dibagi menjadi 2 kelompok (n=17), Propofol dan Penthotal. Masing-masing kelompok diperiksa TAT sebelum induksi dan 5 menit setelah induksi. Uji statistik pair t-test dan independent t-test terhadap propofol atau penthotal dan agregasi trombosit.Hasil: Agregasi maksimal trombosit, sebelum dan sesudah pemberian propofol atau penthotal berbeda bermakna. Kelompok penthotal persentase agregasi maksimal trombosit 68,73 ± 6,06% dan propofol 54,68 ± 9,55%, menunjukkan perbedaan yang bermakna antara keduanya (p=0,001). Hasil sesudah perlakuan, kelompok propofol 14 orang hipoagregasi (82,4%), dan 3 orang normoagregsi (17,6%). Sementara kelompok penthotal 5 orang hipoagregasi (29,4%), dan sisanya 12 orang normoagregasi (70,6%). Secara statistik propofol secara bermakna menyebabkan hipoagregasi daripada penthotal.Kesimpulan : Propofol secara bermakna menurunkan agregasi maksimal trombosit dan menyebabkan hipoagregasi lebih banyak daripada penthotal.
Komplikasi Edema Paru pada Kasus Preeklampsia Berat dan Eklampsia Agus Harman Setiawan; Prananda Surya Airlangga; Eddy Rahardjo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 3 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (808.165 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i3.23911

Abstract

Latar Belakang: Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi dengan jumlah 305 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Angka ini menjadikan AKI Indonesia lebih tinggi daripada AKI negara Asia Tenggara lainnya. Preeklampsia merupakan penyumbang terbesar nomer dua pada kasus keguguran atau kematian janin. Edema paru merupakan komplikasi berat dari preeklampsia dengan angka kejadian 2,9-5%.Kasus: Terdapat 3 kasus yang dilaporkan. Kasus pertama adalah PEB dengan edema paru, dilakukan terminasi kehamilan, ventilasi mekanik dan diuretik, didapatkan respon penyapihan ventilasi mekanik. Pada kasus kedua adalah PEB disertai dengan dengue haemorhagic fever (DHF) grade II dan edema paru dilakukan terminasi kehamilan, ventilasi mekanik dan diuretik, respon kemajuan berlangsung cepat. Pada kasus ketiga adalah eklampsia dengan ganguan fungsi ginjal dan anuria walaupun telah diberikan diuretika, analisa gas darah yang asidosis metabolik berat disertai peningkatan ureum dan serum kreatinin, setelah dilakukan hemodialisa dan ultrafiltrasi pasien dapat disapih dari ventilasi mekanik.Pembahasan: Preeklampsia adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu hamil di Indonesia. Edema paru adalah salah satu komplikasi utama yang berhubungan dengan kematian ibu hamil. Dengan mengetahui etiologi edema paru pada PEB dan eklampsia, dapat diberikan terapi yang tepat. Penggunaan ventilasi mekanik sebagai komponen oksigenasi PEEP dan ventilasi, restriksi cairan, diuretik dan keseimbangan cairan yang negatif dapat mempercepat proses penyembuhan edema paru.Kesimpulan: Salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien PEB dan eklampsia adalah edema paru. Dengan memahami etiologi edema paru pada pasien preeklampsia, diharapkan pola pemberian terapi dapat dilakukan dengan tepat sehingga morbiditas dan mortalitas ibu hamil dapat diturunkan.
Keberhasilan Setelah Henti Jantung selama Torakotomi Emergensi disebabkan Luka Penetrasi Trauma Torak pada Kondisi Dengan Keterbatasan Fasilitas Mumya Camary; Akhyar H Nasution; Hasanul Arifin
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 6, No 1 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (458.67 KB) | DOI: 10.14710/jai.v6i1.6653

Abstract

Latar Belakang: Sebuah torakotomi darurat (kadang-kadang disebut sebagai torakotomi resusitasi) adalah torakotomi yang dilakukan untuk meresusitasi seseorang yang telah terluka parah setelah mengalami trauma berat pada rongga dada. Henti jantung dapat terjadi selama prosedur torakotomi yang memerlukan pijat jantung internal dan defibrilasi. Manajemen yang cepat dengan Kombinasi ramalan klinis, kemampuan untuk melihat perubahan tanda-tanda klinis, dan keberanian untuk melakukan prosedur bedah sederhana namun menyelamatkan nyawa dapat membawa perbedaan hasil bagi pasien luka dada bahkan di tempat dengan sumber daya terbatas.Kasus: Laki-laki, 31 tahun, berat badan perkiraan 70 kg dirawat di Rumah Sakit Haji Adam Malik dengan keluhan luka tusuk di dada kiri. Pemrisaan ronsen dada menunjukkan hemothorax luas di sisi kiri. Dokter bedah membuka dada yang terkena luka tusuk dan terlihat kolaps paru dengan darah diperkirakan 2.500 ml dari hemitoraks kiri, ahli bedah memutuskan untuk melakukan sternotomy dan kemudian menemukan robekan pada arteri mamaria interna kiri dan diligasi, ditemukan robek ventrikel kanan tetapi tidak ada pendarahan dari luka. Serangan jantung terjadi dan ahli bedah mulai pijat jantung internal dan resusitasi cairan, 15 menit setelahnya EKG menunjukkan VF, defibrilasi internal pada 20 joule, EKG menunjukkan sinus takikardia 145/min, setelah mengontrol perdarahan, prosedur operasi selesai dan dilakukan pemasangan selang dada. Pasien dipindahkan ke ICU untuk observasi. Pasien stabil dan tidak ada komplikasi pada pasca operasi . Pasien dipulangkan pada harike 8 pasca operasi.Ringkasan: Keputusan untuk melakukan torakotomi darurat melibatkan evaluasi yang cermat di bidang  ilmiah, isu-isu etika, sosial dan ekonomi. Manajemen yang cepat dengan Kombinasi ramalan klinis, kemampuan untuk melihat perubahan tanda-tanda klinis, dan keberanian untuk melakukan prosedur bedah sederhana namun menyelamatkan nyawa dapat membawa perbedaan hasil bagi pasien luka dada bahkan di tempat dengan sumber daya terbatasTabungan Waktu adalah tabungan hidup. 
Klonidin 1,5 Mcg/Kgbb Intravena Dibandingkan Dengan Fentanil 2 Mcg/ Kgbb Intravena Terhadap Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi Endotrakeal Agus Susanto; Husni Tanra
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 5, No 3 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (208.321 KB) | DOI: 10.14710/jai.v5i3.6299

Abstract

Latar Belakang : Laringoskopi dan intubasi endotrakhea suatu tindakan yang sering dilakukan pada anestesi umum maupun dalam manajemen jalan napas. Sering terjadigaejolak hemodinamik akibat tindakan ini, dan langkah-langkah penanggulangan perlu diambil untuk mencegah kejadian tersebut. Klonidin diharapkan dapat mengurangi gejolak hemodinamik akibat laringoskopi-intubasi. Tujuan : Menilai efek premedikasi klonidin 1,5 mcg/kgBB intravena dibandingkan dengan premedikasi fentanil 2 mcg/kgBB intravena terhadap respon hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakeal. Metode : Penelitian ini dilakukan pada 40 pasien dibagi dalam 2 kelompok dengan uji klinik tersamar ganda. Yang mendapat klonidin 1,5 mcg/kgBB (kelompok K, n=20) dan yang mendapat fentanil 2 mcg/kgBB (kelompok F,n=20), keduanya diinduksi dengan propofol 2 mg/kgBB dan atracurium 0.5 mg/kgBB. Laju jantung (LJ), tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah diastolik (TDD) dan tekanan arteri rerata (TAR) diukur saat basal, setelah pemberian klonidin atau fentanil, setelah induksi anestesi, saat intubasi endotrakeal, dan menit 1,2,3,4,5 setelah intubasi endotrakeal. Hasil : Meskipun terjadi peningkatan LJ, TDS,TDD dan TAR saat intubasi namun didapatkan penurunan lebih rendah pada kelompok K. Pada kelompok K terjadi penurunan TDS pada menit ke-1 (p0.013), menit ke-2(p=0.037) ,TDD menit ke-1 (p=0.048),TAR menit ke-1 (p=0.012) yang bermkana setelah intubasi endotrakeal.Kesimpulan: Klonidin 1,5 mcg/kgBB dan fentanil 2 mcg.kgbb intravena sama-sama dapat menekan respon hemodinamik saat laringoskopi dan intubasi endotrakeal namun pada penelitian ini lebih bermkna pada klonidin.

Page 1 of 29 | Total Record : 286


Filter by Year

2009 2023


Filter By Issues
All Issue Vol 15, No 2 (2023): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 15, No 1 (2023): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 14, No 3 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 14, No 2 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 14, No 1 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 13, No 3 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia (Issue in Progress) Vol 13, No 3 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 13, No 2 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 13, No 1 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia Publication In-Press Vol 12, No 3 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 12, No 2 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 11, No 3 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 11, No 2 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 11, No 1 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 10, No 3 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 10, No 2 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 10, No 1 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 9, No 3 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 9, No 2 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 9, No 1 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 8, No 3 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 8, No 2 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 8, No 1 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 7, No 3 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 7, No 2 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 7, No 1 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 6, No 3 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 6, No 2 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 6, No 1 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 5, No 3 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 5, No 2 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 5, No 1 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 4, No 3 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 4, No 2 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 4, No 1 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 3, No 3 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 3, No 2 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 3, No 1 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 2, No 3 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 2, No 2 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 2, No 1 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 1, No 3 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 1, No 2 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 1, No 1 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia More Issue