cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Published by Universitas Diponegoro
ISSN : 23375124     EISSN : 2089970X     DOI : -
Core Subject : Health,
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) dan dikelola oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (UNDIP) bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) cabang Jawa Tengah.
Arjuna Subject : -
Articles 5 Documents
Search results for , issue "Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia" : 5 Documents clear
Pencegahan Terjadinya Delayed Cerebral Ischemia (DCI) pada Pasien Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage (aSAH) di Intensive Care Unit Daryanto Tri Winarko; Prananda Surya Airlangga; Eddy Rahardjo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (170.487 KB) | DOI: 10.14710/jai.v12i1.24303

Abstract

Latar Belakang: Penyebab subarachnoid hemorrhage (SAH) non trauma terbanyak adalah pecahnya aneurisma (75%-85%). Hal ini merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan memerlukan perawatan neurokritikal, sedangkan delayed cerebral ischemia (DCI) merupakan komplikasi serius dari SAH dan berhubungan dengan hasil neurologis yang merugikan. Vasospasme serebral adalah penyebab utama terjadinya DCI, paling sering terjadi pada hari ke 7-8 setelah perdarahan. Penderita tekanan darah tinggi, perokok, peminum, wanita dan usia 40-60 tahun berisiko menderita aneurysmal subarachnoid hemorrhage (aSAH).Kasus: Terdapat 3 kasus aSAH yang dilaporkan. Kasus pertama dan ketiga tidak mengalami penurunan kesadaran yang menurut skala modifikasi fisher berisiko terjadi vasospasme berskala 2 atau berisiko sedang dan angka mortalitas (menurut Hunt dan Hess) keduanya sebesar 40%. Sedangkan kasus ke 2 terjadi penurunan kesadaran yang mempunyai  risiko terjadi vasospasme berskala 2 yakni berisiko sedang, namun angka mortalitasnya 50%. Ketiga kasus setelah diagnose SAH ditegakkan segera mendapatkan terapi nimodipin untuk pencegahan terjadinya vasospasme disamping status cairan harus euvolemi dan tekanan darah sistole 120-140 mmHg.Pembahasan: aSAH mempunyai angka kematian dan tingkat kecacatan permanen yang tinggi. Aneurisma serebri dapat terdeteksi ketika pecah atau saat pemeriksaan CT scan dan magnetic reconance imaging (MRI) yang tidak disengaja. Kematian biasanya disebabkan oleh cedera neurologis akibat perdarahan awal, perdarahan ulang (rebleeding) dan DCI. Tujuan pengelolaan pecahnya aSAH adalah untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang dan DCI dengan menggunakan terapi nimodipin, mempertahankan volume darah normal (euvolume) dan mempertahankan tensi sistolik sekitar 120-140 mmHg.Kesimpulan: Untuk pencegahan aSAH tindakan skrining aneurisma akan lebih baik dan dapat menghemat biaya. Sedangkan pencegahan terjadinya DCI pada aSAH dilakukan dengan pemberian obat nimodipin, mempertahankan sirkulasi darah normal dan tekanan darah sligh hipertensi (120-140 mmHg).
Penanganan Inkompatibilitas Darah pada Wanita Hamil yang Menderita Lupus Eritematosus Sistemik Maulydia Maulydia; Eddy Rahardjo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (16506.103 KB) | DOI: 10.14710/jai.v12i1.27261

Abstract

Latar Belakang: Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah salah satu penyakit auto-imun yang ditandai dengan produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel.  Kehamilan pada wanita dengan LES dihubungkan dengan meningkatnya risiko bagi ibu dan bayi. Frekuensi kegagalan kehamilan di Amerika Serikat didapat sebesar 43% pada tahun 1960-1965 dan berkurang menjadi 17% pada tahun 2000-2003. RSUD Dr. Soetomo mendapatkan 166 penderita wanita dengan LES di dalam satu tahun (Mei 2003-April 2004). Dari setiap 2000 penderita, ditemukan 1-2 kasus dengan LES.Kasus: Seorang wanita berusia 25 tahun, dengan usia kehamilan 4 minggu datang ke instalasi gawat darurat (IGD) karena adanya perdarahan dari jalan lahir. Dia diketahui mengidap LES dan lupus nefritis sejak tahun 2003. Hasil ultrasonografi (USG) kandungan menunjukkan adanya kematian hasil konsepsi (IUFD). Obat yang rutin diminum adalah metilprednisolon, lansoprazole, asam folat, dan sandimun. Pada pemeriksaan lab didapatkan hemoglobin 5,2 gr/dl, platelet 146.000, albumin 1,56 dan peningkatan APTT. Pasien direncanakan untuk transfusi darah dan albumin. Keesokan harinya, pasien mengalami keguguran dengan plasenta tertinggal disertai dengan penurunan hb menjadi 3,7 gr/dl. Transfusi tertunda oleh karena adanya inkompatibilitas dengan 20 kantung darah. Akhirnya diputuskan untuk melakukan transfusi menggunakan 1 kantung washed erithrocyte dengan major cross match threshold <3. Pada akhirnya Hb berhasil naik menjadi 6.3 g/dl dan plasenta dapat keluar secara spontan.Pembahasan: Terjadinya abortus pada pasien ini dapat disebabkan oleh kehamilan sebelum remisi LES, maupun pengobatan untuk LES yang rutin dikonsumsi. Pada pasien LES yang mengandung, didapatkan peningkatan angka kejadian anemia. Anemia pada pasien ini membutuhkan tranfusi segera, namun karena pada pasien LES yang seringkali mengalami anemia hemolitik, tranfusi tertunda karena hasil cross test yang inkompatible. Keterbatasan biaya menyebabkan pemberian intravenous immunoglobuline tidak dapat dilakukan. Pada akhirnya, tranfusi menggunakan washed erithrocyte dengan major cross match <3 dapat menjadi alternatif pilihan.Kesimpulan: Kehamilan dengan LES dapat sebabkan terjadinya abortus dan anemia berat, sehingga tranfusi menggunakan washed erithrocyte dapat menjadi alternatif terapi yang baik.
Ablasi Radiofrekuensi pada Neuralgia Trigeminal dengan Panduan Fluoroskopi Wignyo Santosa
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (380.758 KB) | DOI: 10.14710/jai.v12i1.28143

Abstract

Latar belakang: Neuralgia trigeminal adalah nyeri yang paling berat yang ada di dunia, diungkapkan oleh Peter J. Jannetta, MD. Patofisiologi neuralgia trigeminal masih tidak jelas.Kasus: Seorang pria 59 tahun datang ke klinik nyeri dengan keluhan nyeri hebat pada wajah sebelah kanan didiagnosa dengan neuralgia trigeminal. Pasien datang ke klinik dengan nyeri hebat dan visual analog scale (VAS) >8. Untuk mengurangi nyeri dengan segera, dilakukan blok anestesi lokal dengan panduan ultrasonografi (USG). Ablasi radiofrekuensi (RF) pada nervus trigeminal dengan panduan fluoroskopi (C-arm) diberikan kepada pasien. Laporan kasus ini bertujuan untuk melaporkan manfaat terapi RF dengan panduan fluoroskopi dalam meredakan nyeri berat.Pembahasan: Parameter stimulasi diukur untuk menyimpulkan efektivitas terapi, seperti fungsi motorik: harus ada sedikit atau tidak ada kontraksi dari otot masseter, pasien dapat dibangunkan dan merasakan rangsangan stimulasi, dengan menghentikan sedasi propofol, dan stimulasi sensorik dapat dilakukan pada 50 Hz. Parestesia harus dirasakan antara 0,05 dan 0,2 V di daerah yang sesuai dengan lokasi nyeri pasien. Setelah parestesia yang tepat, suhu dipasang pada 60°C, terapi RF bisa dilakukan selama 60 detik dan dapat diulang lagi pada suhu yang sama (60°C). Refleks kornea diuji dan pasien dievaluasi terjadinya hypoesthesia sesuai dermatomnya. Dilakukan RF ketiga pada 65°C selama 60 detik, dan RF keempat dilakukan pada 70°C selama 60 detik. Pada pasien ini dilakukan terapi RF dengan panduan fluoroskopi pada (V1, V2, V3) dengan hasil yang sangat memuaskan, ketika pasien datang ke klinik nilai visual analog scale (VAS) nya >8, setelah mendapatkan terapi RF nilai VAS nya turun menjadi 0.Kesimpulan: Rekomendasi pengobatan RF untuk kasus neuralgia trigeminal adalah 2B+. Pasien dengan nyeri kronis berat akibat neuralgia trigeminal dan mendapatkan terapi RF dengan panduan fluoroskopi mendapatkan hasil yang sangat memuaskan, ditandai dengan penurunan VAS yang sangat berarti dari VAS saat datang >8 menjadi 0.
Efektivitas Lidokain Intravena untuk Mengurangi Nyeri pada Pemberian Drip KCl melalui Akses Vena Perifer Kamala Kan Nur Azza; Noor Alia Susianti; Rizki Puji Agustin; Uswathon Khasanah; Lina Andarwanti; Widya Yuniatun
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3987.737 KB) | DOI: 10.14710/jai.v12i1.23718

Abstract

Latar Belakang: Hipokalemia merupakan gangguan elektrolit yang sering terjadi. Hipokalemia berat dapat mengancam jiwa. Koreksi hipokalemi yang tepat dan cepat dapat mencegah komplikasi yang membahayakan jiwa. Salah satu intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian KCl melalui akses vena perifer, tetapi KCl memiliki sifat iritatif yang dapat menyebabkan nyeri. Cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri adalah dengan pemberian lidokain intravena. Lidokain merupakan obat anestesi yang dapat diberikan secara intravena dan memberikan efek analgesia. Tujuan: Mengetahui keefektifan lidokain untuk mengurangi nyeri pada pemberian KCl melalui akses vena perifer.Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis randomisasi samar berganda melibatkan 37 pasien hipokalemia yang memerlukan koreksi. Pasien terbagi menjadi 21 pasien kelompok perlakuan (mendapatkan lidokain saat koreksi) dan 16 pasien kelompok kontrol (tanpa lidokain) yang kemudian penilaian nyeri menggunakan numering pain rating scale (NPRS) pada pertengahan proses koreksi (2,5 jam) dan akhir koreksi (5 jam).  Hasil: Tidak terdapat perbedaan karakteristik dasar di kedua kelompok pada awal penelitian. Pemberian lidokain terbukti dapat mengurangi terjadinya nyeri dari proses koreksi kalium pada pertengahan proses koreksi dan akhir proses koreksi (p<0,05). Pada progresivitas nyeri, pemberian lidokain mampu mencegah terjadinya nyeri pada 2,5 jam pertama (RR=0,47, 95%IK 0,26-0,85, p=0,01) namun progresivitas nyeri 2,5 jam berikutnya tidak bermakna secara statistik (RR=0,95, 95%IK 0,30-2,99, p>0,05).Kesimpulan: Lidokain dapat mengurangi nyeri selama proses koreksi kalium sehingga dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan dalam praktik klinis.
Korelasi Kadar Prokalsitonin dan Jumlah Eosinofil pada Pasien Sepsis di Ruang Intensive Care Unit RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Ruddi Hartono; Karmini Yupono; Yana Agung Satriasa; Arie Zainul Fatoni
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (15.067 KB) | DOI: 10.14710/jai.v12i1.25713

Abstract

Latar Belakang: Sepsis merupakan suatu kondisi di mana terjadi ketidak seimbangan sistem pertahanan tubuh ketika terjadi infeksi. Prokalsitonin merupakan parameter baru yang  berperan penting dalam diagnosis klinis sepsis dan merupakan parameter yang paling akurat. Eosinopenia diketahui sebagai respons inflamasi tipe akut sehingga dapat digunakan sebagai salah satu penanda diagnosis sepsis.Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara kadar prokalsitonin dengan jumlah eosinofil pada pasien sepsis.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional analitik untuk mengkaji hubungan antara prokalsitonin dengan jumlah eosinofil pada pasien sepsis yang dirawat di intensive care unit (ICU) RSUD Dr. Saiful Anwar Malang. Penelitian ini menggunakan data rekam medis 74 pasien sepsis yang diperiksa kadar prokalsitonin dan jumlah eosinofil. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji korelasi Spearman (p<0.05) menggunakan software SPSS 16.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan jika ada korelasi yang kuat antara kadar prokalsitonin dan jumlah eosinofil (p= 0.000) dengan koefisien korelasi -0.610. Penderita sepsis memiliki kadar prokalsitonin yang berbanding terbalik dengan jumlah eosinofil.Kesimpulan: Eosinofil dibuktikan memiliki korelasi yang kuat dengan prokalsitonin. Eosinofil berpotensi menjadi alternatif biomarker diagnosis sepsis pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan kadar prokalsitonin.

Page 1 of 1 | Total Record : 5


Filter by Year

2020 2020


Filter By Issues
All Issue Vol 15, No 2 (2023): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 15, No 1 (2023): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 14, No 3 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 14, No 2 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 14, No 1 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 13, No 3 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 13, No 3 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia (Issue in Progress) Vol 13, No 2 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 13, No 1 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia Publication In-Press Vol 12, No 3 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 12, No 2 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 11, No 3 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 11, No 2 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 11, No 1 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 10, No 3 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 10, No 2 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 10, No 1 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 9, No 3 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 9, No 2 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 9, No 1 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 8, No 3 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 8, No 2 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 8, No 1 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 7, No 3 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 7, No 2 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 7, No 1 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 6, No 3 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 6, No 2 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 6, No 1 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 5, No 3 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 5, No 2 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 5, No 1 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 4, No 3 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 4, No 2 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 4, No 1 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 3, No 3 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 3, No 2 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 3, No 1 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 2, No 3 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 2, No 2 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 2, No 1 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 1, No 3 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 1, No 2 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 1, No 1 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia More Issue