Maulydia, Maulydia
Department Of Anesthesiology And Reanimation, Faculty Of Medicine, Universitas Airlangga/Dr. Soetomo General Academic Hospital, Surabaya, Indonesia

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Sensitivity and Specificity Comparison Between APFEL, KOIVURANTA, and SINCLAIR Score As PONV Predictor In Post General Anesthesia Patient M Yusuf Gunawan; Arie Utariani; Maulydia Maulydia; Anna Surgean Veterini
Qanun Medika - Jurnal Kedokteran FK UMSurabaya Vol 4, No 1 (2020)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30651/jqm.v4i1.2826

Abstract

ABSTRACTBackground: Post Operative Nausea Vomiting (PONV) are the two most common and unpleasant side effects after anesthesia and surgery. Without proper prophylactic administration, the PONV incidence is currently around 20% -30% in normal patients and 70% in high-risk patients (Butterworth et al., 2013). Recently, many PONV predictor scores have been used to determine the PONV severity and prophylactic administration. Objective: To compare the scores of Apfel, Koivuranta, and Sinclair as predictors of PONV in adult patients after general anesthesia at RSUD Dr. Soetomo. Methods: A cross-sectional study design conducted in 100 patients who underwent elective surgery under general anesthesia at RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Patients who meet the criteria will be recorded in the clinical research form and being followed to evaluate the assessment using Apfel, Koivuranta, and Sinclair scores when the patient is in the recovery room and the ward. A diagnostic test is performed to assess the accuracy between these scores. Results: In this study, the prevalence of PONV after general anesthesia in elective surgery at GBPT RSUD Dr Soetomo Surabaya is 26%. The Apfel score obtained has a sensitivity value of 79.5%, a specificity of 45.9% with an AUC value of 0.701. The Koivuranta score has a sensitivity value of 96.2%, a specificity of 27% with an AUC value of 0.628. The Sinclair score has a sensitivity value of 73.1%, a specificity of 48.6% with an AUC value of 0.619. Conclusion: Apfel's score is more accurate PONV prediction score and has a simpler score determination variable. Keywords                   : PONV, predictor score, apfel score, koivuranta score, sinclair score, general anesthesia. 
Analisis Sistem Skoring APACHE II dan SOFA Terhadap Outcome di Intensive Care Unit RSUD Dr. Soetomo Surabaya Habibah Teniya Ariq Fauziyah; Bambang Pujo Semedi; Pudji Lestari; Maulydia Maulydia
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 13, No 2 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v13i2.33984

Abstract

Latar belakang: Intensive care unit (ICU) adalah suatu ruangan dari rumah sakit yang khusus untuk merawat pasien yang menderita penyakit, cedera, atau komplikasi yang mengancam jiwa. Pasien yang sedang dilakukan perawatan di ICU dapat diperkirakan prognosisnya menggunakan sistem skoring.Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara sistem skoring acute physiological chronic health evaluation (APACHE II), sequential organ failure assessment (SOFA) hari pertama, SOFA hari ketiga, SOFA hari kelima dengan outcome pasien di ICU RSUD Dr. Soetomo Surabaya.Metode: Prospektif studi analitik observasional. Pengumpulan data dari rekam medis ICU RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Subjek penelitiannya adalah pasien berumur ≥17 tahun yang dirawat di ICU minimal lima hari untuk kemudian dibandingkan sistem skoring APACHE II, SOFA hari pertama, SOFA hari ketiga dan SOFA hari kelima terhadap outcome pasien. Sampel penelitian bulan September 2019 hingga Januari 2020 sebanyak 110 pasien, namun yang masuk kriteria inklusi hanya 30 pasien. Data dianalisis menggunakan software SPSS 16 menggunakan uji spearman dan scatter plot.Hasil: Dari 30 pasien ICU, 56.7% berjenis kelamin laki-laki dan 43.3% berjenis kelamin perempuan, kelompok umur terbanyak 46-65 tahun (50%), indeks massa tubuh (IMT) tertinggi pada kategori IMT Normal (60%), diagnosis terbanyak adalah Sepsis sebanyak 14 pasien. (46.7%), pasien tanpa komorbiditas lebih dominan 15 pasien (50%), kondisi akhir pasien lebih banyak pada pasien yang hidup 18 pasien (60%). Hasil uji Spearman dan scatter plot menunjukkan adanya hubungan antara SOFA hari kelima dengan outcome ICU (p <0.05).Kesimpulan: Sistem penilaian SOFA hari kelima dapat memprediksi outcome ICU. Sedangkan APACHE II dan SOFA pada hari pertama dan ketiga tidak dapat memprediksi outcome ICU.
Studi Retrospektif: Profil Penggunaan Obat Analgesik pada Pasien Pascatonsilektomi di Departemen SMF THT-KL RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2015-2016 Tha&#039;atam Mardhiyah; Maulydia Muhamad Cholid; Muhtarum Yusuf
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 13, No 1 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v13i1.16884

Abstract

Latar Belakang: Nyeri merupakan keluhan yang umum terjadi pada hari pertama pascatonsilektomi dan merupakan hambatan yang signifikan dalam proses rehabilitasi. Pemberian analgesik yang dimulai sejak hari pertama pascatonsilektomi dapat meringankan nyeri. Peneliti melakukan pengamatan terhadap profil penggunaan obat analgesik pada pasien pascatonsilektomi di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.Tujuan: Mengetahui profil penggunaan obat analgesik dalam penanganan nyeri pada pasien pascatonsilektomi.Metode: Penelitian ini merupakan retrospektif deskriptif dengan mengamati profil pemberian obat analgesik berdasarkan golongan obat analgesik terbanyak, analgesik tunggal dan kombinasi, analgesik awal dan lanjutan, berdasarkan kelompok umur anak dan dewasa dan cara pemberian. Penelitian juga akan meliputi sosiodemografi (jenis kelamin dan umur) pasien dan tingkatan nyeri setelah pemberian analgesik.Hasil: Dari 28 sampel, kelompok analgesik yang paling banyak digunakan adalah pyazolon (metamizol, antrain) (51,3%), sedangkan pada terapi kombinasi didominasi tramadol dengan ketorolak (33,3%). Sebanyak delapan pasien (28,6%) dari total 28 pasien menerima analgesik lanjutan dari jenis lain. Metamizol adalah obat yang paling banyak digunakan untuk pasien anak-anak (57,7%), sedangkan pada pasien dewasa didominasi ketorolak (50%).Kesimpulan: Pemberian metamizol masih menjadi pilihan dalam penanganan nyeri pascatonsilektomi, diikuti oleh ketorolak yang paling diberikan kepada pasien dewasa. Terdapat juga kombinasi tramadol dengan ketorolak yang menjadi pilihan pada terapi multimodal. Jalur pemberian analgesik dengan rute intravena paling banyak dilakukan pada penanganan nyeri pascatonsilektomi. 
Perbandingan Efektivitas Antara Nebulisasi Lidokain dan Spray Lidokain untuk Mencegah Refleks Batuk pada Tindakan Bronkoskopi dengan General Anestesi Anna Erliana Oetarman; Edward Kusuma; Maulydia Maulydia; Arie Utariani
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 12, No 2 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v12i2.29418

Abstract

Latar belakang: Batuk sering terjadi pada tindakan bronkoskopi. Batuk menyebabkan ketidaknyamanan pasien dan menimbulkan kesulitan pada pelaksanaan tindakan bronkoskopi sehingga dapat meningkatkan risiko komplikasi akibat bronkoskopi seperti perdarahan intrabronkial, bronchospasme, dan pneumothorax. Batuk pada tindakan bronkoskopi dapat dicegah dengan pemberian anestesi lokal lidokain.Tujuan: Membandingkan efek nebulisasi lidokain 2 % dibandingkan spray lidokain 10% dalam mencegah kejadian batuk pada tindakan bronkoskopi dengan anestesi umum.Metode: Penelitian dilakukan pada 20 pasien usia 18-65 tahun dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I dan II yang menjalani tindakan bronkoskopi dengan anestesi umum menggunakan intubasi oral. Pasien dibagi 2 kelompok: kelompok spray lidokain 10% dan kelompok nebulisasi lidokain 2% dengan dosis lidokain yang sama yaitu 2 mg/kgbb. Tanda vital (tekanan darah, laju jantung, saturasi oksigen serta frekuensi napas) dan kedalaman anestesi dengan bispectral index (BIS) diukur selama bronkoskopi. Spray lidokain dan nebulisasi lidokain diberikan sebelum pembiusan dilakukan. Kemudian dievaluasi kejadian batuk dan derajat batuk selama dan setelah tindakan bronkoskopi. Analisis hasil penelitian menggunakan dua metode yaitu uji Mann Whitney dan uji Wilcoxon. Uji Mann Whitney dengan derajat kemaknaan p<0,05 untuk membandingkan kejadian batuk pada kedua kelompok selama dan dua jam setelah bronkoskopi, sedangkan uji Wilcoxon dengan derajat kemaknaan p<0,05 untuk membandingkan derajat batuk sebelum bronkoskopi dan selama bronkoskopi pada masing kelompok.Hasil: Terdapat perbedaan bermakna derajat batuk antara sebelum dan sesudah pemberian spray lidokain maupun nebulisasi lidokain (p<0,05). Ada perbedaan bermakna derajat batuk antara kelompok spray lidokain dibandingkan nebulisasi lidokain (p<0,05), dimana nebulisasi lidokain menimbulkan derajat batuk lebih rendah dibandingkan spray lidokain. Tidak ada efek samping pada penelitian ini.Kesimpulan: Pemberian nebulisasi lidokain 2% lebih efektif menekan refleks batuk dibandingkan spray lidokain 10% pada tindakan bronkoskopi dengan general anestesi.
Perbandingan Visualisasi Laring dan Glotis pada Maneken Intubasi Sulit menggunakan Video Laryngoscope C-MAC dan VL-Scope Abdul Kadir Munsy; Nancy Margarita Rehatta; Maulydia Maulydia; Agustina Salinding; Arie Utariani; Teguh Sylvaranto; Elizeus Hanindito
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 10, No 3 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1195.059 KB) | DOI: 10.14710/jai.v10i3.20666

Abstract

Latar Belakang: Video laryngoscope C-MAC terbukti sangat membantu dalam tindakan intubasi terutama pada pasien kasus dengan difficult airway. Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Rumah Sakit Dokter Soetomo Surabaya telah menciptakan video laryngoscope VL-Scope dengan fitur perekam audiovisual dengan harga yang jauh lebih murah.Tujuan: Membandingkan waktu yang dibutuhkan oleh video laryngoscope C-MAC dan VL-Scope pada simulasi maneken imobilisasi cervical spine dengan rigid collar neck.Metode: Penelitian dengan desain eksperimental acak ini melibatkan residen untuk melakukan intubasi dengan 2 video laringoskop yaitu C-MAC dan VL-Scope pada simulasi maneken imobilisasi cervical spine dengan rigid collar neck. Penelitian dilakukan dengan cara mengobservasi perbedaan waktu yang diperlukan untuk melihat plica vocalis, lama intubasi dan penekanan pada gigi menggunakan  laringoskop C-MAC dan video laringoskop VL-ScopeHasil: Video laryngoscope C-MAC mempersingkat waktu rata-rata untuk menilai derajat Cormarck and Lehane (8.57 ± 2,64 ) dan intubasi (17.89 ± 5,92) dibandingkan dengan video laringoskop VL-Scope (12.24±5,83) dan (20,68±5,83) detik. Namun frekuensi kejadian penekanan terhadap gigi saat tindakan laringoskopi adalah sama menggunakan kedua alat tersebut 2/37(5,4%)Kesimpulan: Intubasi menggunakan video laryngoscope C-MAC lebih efektif pada maneken imobilisasi cervical spine dengan rigid collar neck namun angka kejadian penekanan gigi pada tindakan tersebut adalah sama.
Penanganan Inkompatibilitas Darah pada Wanita Hamil yang Menderita Lupus Eritematosus Sistemik Maulydia Maulydia; Eddy Rahardjo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (16506.103 KB) | DOI: 10.14710/jai.v12i1.27261

Abstract

Latar Belakang: Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah salah satu penyakit auto-imun yang ditandai dengan produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel.  Kehamilan pada wanita dengan LES dihubungkan dengan meningkatnya risiko bagi ibu dan bayi. Frekuensi kegagalan kehamilan di Amerika Serikat didapat sebesar 43% pada tahun 1960-1965 dan berkurang menjadi 17% pada tahun 2000-2003. RSUD Dr. Soetomo mendapatkan 166 penderita wanita dengan LES di dalam satu tahun (Mei 2003-April 2004). Dari setiap 2000 penderita, ditemukan 1-2 kasus dengan LES.Kasus: Seorang wanita berusia 25 tahun, dengan usia kehamilan 4 minggu datang ke instalasi gawat darurat (IGD) karena adanya perdarahan dari jalan lahir. Dia diketahui mengidap LES dan lupus nefritis sejak tahun 2003. Hasil ultrasonografi (USG) kandungan menunjukkan adanya kematian hasil konsepsi (IUFD). Obat yang rutin diminum adalah metilprednisolon, lansoprazole, asam folat, dan sandimun. Pada pemeriksaan lab didapatkan hemoglobin 5,2 gr/dl, platelet 146.000, albumin 1,56 dan peningkatan APTT. Pasien direncanakan untuk transfusi darah dan albumin. Keesokan harinya, pasien mengalami keguguran dengan plasenta tertinggal disertai dengan penurunan hb menjadi 3,7 gr/dl. Transfusi tertunda oleh karena adanya inkompatibilitas dengan 20 kantung darah. Akhirnya diputuskan untuk melakukan transfusi menggunakan 1 kantung washed erithrocyte dengan major cross match threshold <3. Pada akhirnya Hb berhasil naik menjadi 6.3 g/dl dan plasenta dapat keluar secara spontan.Pembahasan: Terjadinya abortus pada pasien ini dapat disebabkan oleh kehamilan sebelum remisi LES, maupun pengobatan untuk LES yang rutin dikonsumsi. Pada pasien LES yang mengandung, didapatkan peningkatan angka kejadian anemia. Anemia pada pasien ini membutuhkan tranfusi segera, namun karena pada pasien LES yang seringkali mengalami anemia hemolitik, tranfusi tertunda karena hasil cross test yang inkompatible. Keterbatasan biaya menyebabkan pemberian intravenous immunoglobuline tidak dapat dilakukan. Pada akhirnya, tranfusi menggunakan washed erithrocyte dengan major cross match <3 dapat menjadi alternatif pilihan.Kesimpulan: Kehamilan dengan LES dapat sebabkan terjadinya abortus dan anemia berat, sehingga tranfusi menggunakan washed erithrocyte dapat menjadi alternatif terapi yang baik.
Accuracy Comparison of Endotracheal Tube (ETT) Placement Using Chula Formula With Manubrium Sternal Joint (MSJ) Formula Christya Lorena; Hamzah Hamzah; Maulydia Maulydia
Indonesian Journal of Anesthesiology and Reanimation Vol. 3 No. 2 (2021): Indonesian Journal of Anesthesiology and Reanimation (IJAR)
Publisher : Faculty of Medicine-Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (566.656 KB) | DOI: 10.20473/ijar.V3I22021.54-61

Abstract

Introduction: Intubation mistakes, such as ETT malposition, will result in serious complications. Endobronchial intubation can cause pneumothorax and contralateral lung collapse (atelectasis). On the contrary, superficial ETT could increase the risk of being released easily, leading to desaturation or even cardiac arrest. A shallow ETT position could cause the compression of the vocal cord and laryngeal nerve by ETT's cuff. An optimal position can be reached if the cuff position is 1.5-2.5 cm under the vocal cord and the tip is 3-5 cm above the carina. Several methods of ETT depth measurement based on airway length data can be an alternative, especially during the COVID-19 era, where the use of a stethoscope to check ETT depth is limited. Objectives: To analyze the accuracy of ETT depth placement using Chula and MSJ formula. Methods and Material: We conducted the prospective comparative analytic research on 50 patients who had elective surgery in GBPT operating room at Dr. Soetomo Hospital Surabaya. The research data during the intubation and FOL (Fyber Optic Laryngoscope) from each patient were height, MSJ length, initial ETT length, the distance of carina-ETT tip, the distance of cuff-vocal cord, and final ETT length. Result and Discussion: In the Chula formula group, the average patients' height was 160.60cm ± 9.738 for men and 157.76 cm ± 8.604 for women. The average MSJ length was 20.28 cm. The application of the Chula formula is more accurate because ETT revision was carried out in only 8.0% of the samples, with an average revision is 0.04. On the other hand, the ETT revision with an average of 0.868 on the MSJ formula group was conducted in 84% of the samples. This research also found a linear correlation between increasing ETT depth and body height. Conclusion: Applying the Chula formula to measure the ETT depth for Indonesian (Javanese) people is more appropriate than the MSJ formula.