Ruddi Hartono
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya/RSUD Dr Saiful Anwar Malang

Published : 16 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Laporan Kasus: Tatalaksana Anestesi Penyakit Hirschsprung dengan Sindrom Aspirasi Mekoneum dan Pneumomediastinum pada Neonatus Yupono, Karmini; Hartono, Ruddi
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol 25, No 3 (2009)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (466.581 KB) | DOI: 10.21776/ub.jkb.2009.025.03.9

Abstract

We report  one female  newborn baby suffered from  moderate asphyxia, meconium aspiration syndrome, and Hirschsprung  disease.  The  patient  admitted  in  Neonatal  Intensive  Care  Unit  (NICU)  and  ventilated  with Pressure Controlled Mandatory Ventilation (PCMV)  mode ventilator.  Patient suffered from  pneumodiastinum and therefore  mediastinotomy was performed. Sepsis and Necrotizing Enterocolitis (NEC)  made the  case more  complicated.  On  further  examination,  abdominal  was  distended  and  perforated  and  therefore  we decided  to  perform  exploration  laparatomy  and  sigmoidoctomy .  Anaesthesia  management  with  general anaesthesia  had  been  performed.  Premedication  was  not  given.  We  used  oxygen  and  Sevofluran  for induction;  Oxygen, Sevofluran, Atracurium, Fentanyl,  and  Morphin for  maintenance; and  Morphin for  post operative analgesic. On follow up examination, we found wound disruption and therefore relaparotomy was performed.  T ypes  and  doses  of  anesthesia  drugs  were  chosen  according  to  newborn  immature  organ  noticely . Providing adequate oxygenation, preventing hypotermi, and balancing electrolytes and acid base states still be the  most considerations in  management of this  patient.  Anesthetic management and intensive  care of this patient  gained  a  satisfying  outcome.  The  prognosis  was  good. Keywords:  Hirschsprung  disease,  meconium  aspiration  syndrome,  pneumomediastinum,  sepsis,  NEC.
Premedikasi Lidokain dengan Torniket Lebih Baik Dibanding dengan Kombinasi Lidokain dan Propofol untuk Mencegah Nyeri Injeksi Propofol Ristiawan Muji Laksono; Isngadi Isngadi; Yudi Hadinata; Karmini Yupono; Ruddi Hartono; Djudjuk Rahmad Basuki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 9, No 3 (2021)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v9n3.2382

Abstract

Propofol merupakan jenis obat induksi intravena yang paling sering digunakan dalam pembiusan umum, namun dapat menimbulkan rasa nyeri pada lokasi injeksi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan persentase nyeri pascainjeksi propofol setelah premedikasi lidokain dengan perlakuan torniket selama satu menit dan teknik campuran lidokain fropofol. Penelitian ini merupakan uji klinis tersamar tunggal bersifat eksperimental. Penelitian dilaksanakan di RSUD Dr. Saiful Anwar pada April–Mei 2013. Subjek penelitian adalah 50 pasien yang dibagi menjadi dua kelompok secara acak. Kelompok A (n=25) mendapat perlakuan campuran 40 mg lidokain dalam propofol intravena (i.v.). Kelompok B (n=25) mendapat perlakuan lidokain 40 mg (i.v.) dengan perlakuan torniket selama satu menit, diikuti injeksi propofol. Derajat nyeri diukur menggunakan Verbal Rating Score. Hasil pengukuran dianalisis statistik dengan uji normalitas, homogenitas, dan Mann Whitney menggunakan software SPSS (versi 18, IBM Statistic, USA). Pemberian lidokain dengan perlakuan torniket signifikan dapat merunkan detajat nyeri lebih baik (24/25 tidak nyeri, 1/25 nyeri) dibanding dengan kelompok campuran lodokain dan propofol (10/25 tidak nyeri, 11/25 nyeri ringan, 4/25 nyeri sedang) (p=0,000). Premedikasi lidokain dengan perlakuan torniket lebih baik dalam menurunkan derajat nyeri dibanding dengan pemberian campuran lidokain dan propofol.Premedication Using Lidocaine with Tourniquet Technique is Superior to Combining Lidocaine and Propofol to Prevent Propofol Injection PainPropofol is one of the most used intravenous induction drugs in general anesthesia, but it produces pain at the injection site. This study aimed to compare the post-propofol injection pain after premedication using lidocaine with the tourniquet technique and a mixture of lidocaine in propofol. This study was a single-blind, experimental clinical trial conducted from April to May 2013. The study's subject was 50 patients divided into two groups. Group A (n=25) received a mixture of 40 mg lidocaine in propofol intravenously (i.v.). Group B (n=25) received 40 mg lidocaine (i.v) with a tourniquet technique for one minute, followed by propofol injection. The degree of pain is measured using the Verbal Rating Score. The results were statistically analyzed using the normality, homogeneity, Mann-Whitney test using SPSS (version 18, IBM Statistic, USA) software. The administration of lidocaine with the tourniquet technique was significantly better in reducing the pain levels (24/25 painless, 1/25 mild pain) compared to the mixture of lidocaine in the propofol group (10/25painless, 11/25 mild pain, 4/25 moderate pain) (p= 0,000). The premedication of lidocaine with the tourniquet technique significantly produces lower pain levels than the mixture of lidocaine in propofol. Premedication of lidocaine with a tourniquet technique can prevent pain after injecting propofol.
Anestesi Spinal Dosis Rendah Untuk Pasien Operasi Sesar dengan Stenosis Mitral Berat Ruddi Hartono; Isngadi Isngadi; Dewi Puspitorini Husodo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 10, No 3 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (111.546 KB) | DOI: 10.14710/jai.v10i3.20769

Abstract

Latar belakang: Stenosis mitral banyak ditemukan pada kehamilan, dimana sekitar 25% pasien akan mengalami gejala pada kehamilan pertama. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan volume darah dan nadi. Beberapa literatur menyebutkan bahwa anestesi spinal dikontraindikasikan pada pasien yang akan menjalani operasi dengan kelainan stenosis mitral karena risiko terjadinya hipotensi dan takikardia.Kasus: Perempuan 24 tahun primigravida, usia kehamilan 32-34 minggu dengan stenosis mitral berat, regurgitasi mitral ringan, regurgitasi trikuspid sedang, regurgitasi pulmonal sedang (EF 62%), hipertensi pulmonal sedang (PASP 65 mmHg), gagal jantung stadium C kelas fungsional III menjalani operasi sesar dengan low dose anestesi spinal menggunakan 5 mg bupivacaine heavy 0,5% dan 50 mcg fentanyl volume total 2 ml. Blok spinal dicapai dalam waktu 5 menit. Hemodinamik stabil selama perioperatif. Tidak terjadi gagal jantung akut maupun perburukan hemodinamik pascaoperasi.Pembahasan: Prinsip pembiusan pasien dengan mitral stenosis adalah menghindari takikardia, menjaga kondisi sinus rhytm  dan secara agresif mengatasi atrial fibrilasi baik farmakologis maupun dengan kardioversi terutama pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil, menghindari penurunan SVR yang akan meningkatkan denyut jantung sehingga memperberat kerja jantung, menghindari hipovolemi, kelebihan cairan, dan faktor yang meningkatkan tekanan arteri pulmonal seperti hipoksia dan hiperkarbia maupun nyeri.Kesimpulan: anestesi spinal dosis rendah menggunakan 5 mg bupivakain dan ajuvan fentanyl dapat digunakan pada operasi operasi sesar pada pasien dengan stenosis mitral berat karena awitan yang cepat, level blok yang adekuat, durasi blok hemodinamik yang stabil dan bayi yang lahir dengan kondisi yang baik.
Korelasi Kadar Prokalsitonin dan Jumlah Eosinofil pada Pasien Sepsis di Ruang Intensive Care Unit RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Ruddi Hartono; Karmini Yupono; Yana Agung Satriasa; Arie Zainul Fatoni
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (15.067 KB) | DOI: 10.14710/jai.v12i1.25713

Abstract

Latar Belakang: Sepsis merupakan suatu kondisi di mana terjadi ketidak seimbangan sistem pertahanan tubuh ketika terjadi infeksi. Prokalsitonin merupakan parameter baru yang  berperan penting dalam diagnosis klinis sepsis dan merupakan parameter yang paling akurat. Eosinopenia diketahui sebagai respons inflamasi tipe akut sehingga dapat digunakan sebagai salah satu penanda diagnosis sepsis.Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara kadar prokalsitonin dengan jumlah eosinofil pada pasien sepsis.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional analitik untuk mengkaji hubungan antara prokalsitonin dengan jumlah eosinofil pada pasien sepsis yang dirawat di intensive care unit (ICU) RSUD Dr. Saiful Anwar Malang. Penelitian ini menggunakan data rekam medis 74 pasien sepsis yang diperiksa kadar prokalsitonin dan jumlah eosinofil. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji korelasi Spearman (p<0.05) menggunakan software SPSS 16.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan jika ada korelasi yang kuat antara kadar prokalsitonin dan jumlah eosinofil (p= 0.000) dengan koefisien korelasi -0.610. Penderita sepsis memiliki kadar prokalsitonin yang berbanding terbalik dengan jumlah eosinofil.Kesimpulan: Eosinofil dibuktikan memiliki korelasi yang kuat dengan prokalsitonin. Eosinofil berpotensi menjadi alternatif biomarker diagnosis sepsis pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan kadar prokalsitonin.
Pengaruh Pemberian Fentanyl 1μg/Kgbb Sebagai Ajuvan pada Bupivacaine 0,5% Terhadap Onset Blok Motorik dan Sensorik Pasien yang Dilakukan Anestesi Epidural Ruddi Hartono; Wiwi Jaya; Djudjuk Rahmad Basuki
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 5, No 1 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (604.292 KB) | DOI: 10.14710/jai.v5i1.6553

Abstract

Latar Belakang: Nyeri merupakan salah satu efek dari operasi yang dapat diantisipasi. Penanganan nyeri yang efektif yang dilakukan baik saat sebelum operasi (pre emptive analgesia), intraoperatif maupun pasca operatif akan meningkatkan tingkat kenyamanan pasien sehingga efek sistemik dari nyeri dapat diatasi dengan baik. Teknik epidural dapat digunakan untuk mengatasi nyeri durante operasi maupun sesudah operasi. Salah satu kendala saat menggunakan tekhnik epidural murni adalah lamanya onset dari epidural baik itu untuk blok sensorik maupun motorik. Dengan menggunakan lokal anesthesi yang banyak digunakan adalah bupivacaine 0,5% murni tanpa ajuvan, efek terhadap blok motorik dan sensorik akan mulai terjadi 15 sampai 25 menit setelah epidural dilakukan. Dari beberapa penelitian di luar negeri, penambahan ajuvan lokal anestesi dengan fentanyl terbukti mempercepat onset dengan efek samping yang minimal. Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian fentanyl 1μg/kgBB sebagai ajuvan pada bupivacaine 0,5% pada pasien yang akan dilakukan epidural di Rumah Sakit Saiful anwar Malang terhadap onset blok motorik dan sensorik.Tujuan: Untuk menilai pengaruh pemberian fentanyl 1μg/kgBB sebagai ajuvan pada bupivacaine 0,5% pada pasien yang akan dilakukan epidural di Rumah Sakit Saiful anwar Malang terhadap onset blok motorik dan sensorik.Metode: Tiga puluh pasien yang menjalani operasi di Rumah Sakit Saiful anwar Malang dengan teknik epidural. Grup pertama (15 pasien) dilakukan tindakan epidural dengan bupivacain 0,5% dengan ajuvan fentanyl 1μg/kgBB dan grup kedua sebagai kontrol dengan tanpa ajuvan. Untuk membandingkan rerata onset blok sensorik dan motorik kedua grup digunakan independent sample t test.Hasil: Pemberian ajuvan fentanyl 1 μg/kgBBpada bupivacaine 0,5% untuk anestesi epidural, dapat mempercepat onset blok motorik dan blok sensorik.Simpulan: Pemberian ajuvan fentanyl 1 μg/kgBB pada penggunaan regimen epidural dengan bupivacain 0,5% menghasilkan onset blok sensorik dan motorik yang berbeda bermakna dengan tanpa ajuvan.
Management of Patient Primigravida 36-37 Weeks with Chronic Myeloid Leukemia, Anemia, and Thrombocytopenia: A Case Report Muhammad Farlyzhar Yusuf; Ruddi Hartono
Solo Journal of Anesthesi, Pain and Critical Care (SOJA) Vol 1, No 2 (2021): October 2021
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (543.304 KB) | DOI: 10.20961/soja.v1i2.54703

Abstract

Chronic myelogenous leukemia (CML) is a type of cancer caused by a disturbance in the hematopoietic stem cells. CML itself rarely occur on women who are in labor and an advanced procedure in this event has become a special challenge for medics, especially an anesthesiologist. This limits the development of standard anesthesia guidelines, so in this case we describe the incidence of CML in pregnancies performed by Cesarean section with general anesthesia.The first pregnant patient was 36 weeks pregnant; the patient was first diagnosed with Chronic myelogenous leukemia (CML) at the age of 26-28 weeks, at that time the patient complained of frequent dizziness, abdominal pain and weakness, then the patient complained of bleeding gums, and currently the patient complained of nosebleeds. The Bone Marrow shows Conclusion an accelerated phase chronic myeloid leukemia (CML) (suspected atypical CML) with nutritional deficiency. We perform General Anesthesia technique Rapid Sequence Intubation with Regimen Fentanyl 100 mcg, Propofol 80 mg and Rocuronium 50 mg.The patient was admitted to the ICU for 2 days before transferring to intensive care and the patient received intravenous paracetamol 1 gram four times, cefazolin 1 gram twice a day, lansoprazole 30 mg once a day, tranexamic acid 1gr three times a day, and 15 mcg per hour fentanyl contionously. Hemodynamic patients in the ICU are in a stable condition. On the second postoperative day of care, the patient was transferred to the High care ward, then at the third postoperative day the patient's hemodynamics was stable and the patient was transferred to a normal room.
Anesthesia Management in Patient with Uncorrected Double Outlet Right Ventricle Underwent Cesarean Section: Serial Case Report Ilham Fadlilah; Ruddi Hartono; Isngadi Isngadi
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 3, No 1 (2022): January
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2022.003.01.06

Abstract

Background: Double outlet right ventricle (DORV) is a rare cardiac condition in which the heart demonstrates single ventricle physiology. Pregnancy complicates cyanotic heart disease as the decrease in systemic vascular resistance (SVR) worsens the right-to-left shunt. The effect worsens by neuraxial anesthesia for cesarean delivery. Anesthesia for these patients needs understanding for the physiology of DORV in order to maintain stable hemodynamics. Heart defect still become non obstetric main factor causing morbidity and mortality in pregnant woman.Case: We present three case of parturients with DORV scheduled for cesarean section. Elective caesarean section was scheduled using spinal anesthesia hyperbaric bupivacain combined with fentanyl.  Hemodynamic during operation was stable.Conclusion: Low dose spinal anesthesia performed in this patient did not cause hypotension and minimal hemodynamic changes because the intensity of the sympathetic block was lower.
Balance Cairan Restriktif sebagai Manajemen Pada Pasien dengan Sindroma Kompartemen Abdomen di Intensive Care Unit (ICU) Ayu Yesi Agustina; Wiwi Jaya; Arie Zainul Fatoni; Ruddi Hartono
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 1, No 2 (2020): May
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2020.001.02.05

Abstract

Latar belakang: Sindrom kompartemen pada abdomen (ACS) dikaitkan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hipertensi intraabdomen didefinisikan sebagai tekanan intraabdomen lebih dari 12 mmHg, sedangkan sindrom kompartemen abdominal terjadi apabila tekanan intraabdomen lebih dari 20 mmHg dengan disertai disfungsi organ. Manajemen pada pasien ACS juga cukup menantang, secara holistik meliputi resusitasi cairan, dekompresi dengan tindakan pembedahan dan juga manajemen yang tepat di Unit Perawatan Intensif (ICU) untuk pasca operasi. Ada bukti yang berkembang bahwa tekanan intraabdomen (IAP) mempengaruhi hampir semua sistem organ dan merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Namun, beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara balancecairan 24 jam dan resusitasi cairan masif pada pasien menjadi suatu prediktor independen untuk  terjadinya IAH. Kasus: Pria 68 tahun dengan keluhan utama sakit perut, benjolan di umbilikus disertai sesak napas. Pasien dalam kondisi syok septik dengan topangan norepinefrin 0,1 µg/kgbb/menit dan dobutamin 10 µg/kgbb/menit. Pasien diagnosa dengan ACS, kemudian dilakukan dua kali operasi dekompresi laparotomi dengan rencana perawatan pasca operasi di ICU menggunakan ventilator. Di ICU kami memberikan Meropenem dan vasopressor selama sembilan hari. Kami melakukan pemberian cairan pada pasien dengan metode balance cairan negatif. Kondisi pasien menjadi lebih baik, dan ekstubasi dilakukan pada hari ketujuh, kemudian vasopressor dimatikan. Pada hari kesembilan pasien ini stabil tanpa vasopressor dan dipindahkan ke bangsal Kesimpulan: Pemberian  cairan dengan metoda balance cairan negatif pada pasien ACS dengan tujuan mencegah edema cairan di ruang interstitial memberikan hasil yang  memuaskan dan kondisi pasien menjadi lebih baik.
Hypervolemic Hemodilution as a Management During Predicted Massive Bleeding Sectio Caesarea in Placenta Accreta Patient Fanniyah Fanniyah; Ruddi Hartono
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 3, No 1 (2022): January
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2022.003.01.04

Abstract

Background: Placenta accreta represent one of the most morbidity condition in modern obstetrics, with high rates of hemorrhage, hysterectomy and intensive care unit admission. Alternative management during intraoperative bleeding is haemodilution. There are two techniques in hemodilution, autonomic normovolemic hemodilution (ANH) and hypervolemic hemodilution.Case: A gravida patient with ASA 2 physical status with a suspected placenta accreta was planned for a sectio caesarea. To anticipate bleeding, hypervolemic hemodilution was conducted. Hemodilution was performed with a total fluid of 2000cc. Total bleeding during surgery is 3500 cc. A close monitoring of haemoglobin (Hb) and haematocrit (Hct) was conducted. The initial Hb and Hct were 9.9 mg/dl and 29.8%, respectively. The Hb and Hct results post-haemodilution were 5.7 and 17.1, respectively. The postoperative Hb and Hct results were 5.4 mg/dl and 16.6%, respectively. The patient was given a blood transfusion of 450 cc PRC (packed red cells).. The patient was observed in the ICU for 24 hours postoperatively and was subsequently transferred to the ward.   Hemodilution, in this case, was proven to be effective based on the post-hemodilution and post-haemorrhage Hb and Hct results. The total bleeding was 3500 cc, and there was a reduction of Hb from 5.7 to 5.4 and haematocrit from 17.7% to 16.6%. Conclusion: Due to the hemodilution, not only the red blood cells were lost, but also the hemodilution fluids. Hemodilution may be an alternative management during intraoperative haemorrhage. However, the anticipation and effect that might arise from hemodilution should be considered.  Keywords: Accreta, Hemodilution, Hypervolemic hemodilution, massive hemorrhage. 
Low Dose Spinal Anesthesia Bupivakain 0,5% 5 mg dengan Adjuvan Fentanyl 50 mcg untuk Pasien dengan Uncorrected Tetralogy of Fallot yang Menjalani Seksio Sesarea Ruddi Hartono; Sri Rahardjo; Yusmein Uyun
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 2 (2019): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i2.15

Abstract

Pasien hamil dengan uncorrected tetralogy of fallot yang menjalani seksio sesarea merupakan tantangan tersendiri bagi dokter anestesi. Tetralogy of Fallot terdiri dari ventricular septal defect, hipertrofi ventrikel kanan, overriding aorta dan stenosis pulmonal. Prinsip anestesi pada pasien ini adalah mempertahankan systemic vascular resistence (SVR) dan menghindari peningkatan pulmonary vascular resistance (PVR). Pasien Ibu hamil, 19 tahun dengan berat badan 50 kg, tinggi badan 150 cm, G3P000Ab200 Gravida 36–37 minggu, tunggal hidup, fetal distress dan tali pusat menumbung dengan tetralogy of fallot, akan dilakukan seksio sesarea cito. Penatalaksanaan anestesi pasien ini dengan low dose spinal anesthesia bupivakain 0,5% 5 mg dan adjuvan fentanyl 50 mcg. Hemodinamik stabil setelah tindakan spinal. Tekanan darah sebelum dilakukan spinal 100/60 mmHg dengan laju nadi 67 kali per menit dan saturasi oksigen 80% menggunakan non rebreathing mask (NRBM) 10 liter per menit. Tekanan darah pada saat operasi dimulai adalah 96/57 mmHg dan laju nadi 77 kali per menit serta saturasi 78% menggunakan NRBM 10 liter per menit. Setelah bayi dilahirkan, hemodinamik stabil hingga akhir operasi, tidak ditemukan periode hipotensi yang berat dan tidak digunakan obat vasopressor selama operasi. Pasien dipindahkan ke ICU untuk observasi pasca operasi selama 2 hari. Selama perawatan di ICU, kondisi pasien tetap stabil dan kemudian dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Low dose spinal anesthesia mencegah risiko hipotensi karena intensitas blok simpatis yang lebih minimal sehingga penurunan SVR dapat dihindari. Teknik ini dapat digunakan sebagai alternatif pembiusan pada pasien dengan tetralogy of fallot tetapi tergantung kondisi pasien saat akan dilakukan pembiusan. Low Dose Spinal Anesthesia Bupivacaine 0,5% 5 mg with Adjuvant Fentanyl 50 mcg for Cesarean Section Patient with Uncorrected Tetralogy of Fallot AbstractCesarean delivery in parturient with uncorrected tetralogy of fallot poses significant challenge for anesthesiologist. Tetralogy of Fallot consists of ventricular septal defect, right ventricular hypertrophy, overriding aorta and stenosis pulmonum. Main principle of anesthesia for tetralogy of fallot is maintenance of systemic vascular resistance dan avoidance of increasing pulmonary vascular resistance. Parturient, 19 years old, body weigt 50 kg, height 150 cm, G3P000Ab200 36 – 37 weeks, fetal distress and umbilical cord prolapse with tetralogy of fallot will perform cesarean section. Patient anesthesized with low dose spinal anesthesia using bupivacaine 0,5% 5cmg with adjuvant fentanyl 50 mcg. Haemodynamic before spinal with blood pressure is 100/60 mmHg, heart rate 67 beat per minute (BPM), saturation is 80% using 10 liter of oxygen non rebreathing mask (NRBM) . Blood pressure during incision 96/57 mmHg heart rate 77 BPM with saturation 78% using 10 liter of NRBM. Haemodynamic is stable after baby is born until the operation is done, without any episode of severe hypotension and there is no using of vasopressor drugs. Patient is moved to ICU after the operation for further observation and for 2 days periode the haemodynamic is stable and then patient is moved to regular ward. Low dose spinal anesthesia avoid the incidence of hypotension by causing less intense blocked sympathetic system than traditional dose and thus providing a stable SVR. This technique could be an alternative for anesthesizing for parturient with tetralogy of fallot but its depend on patient condition before operation.