cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Media Medika Muda
Published by Universitas Diponegoro
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 2, No 1 (2017)" : 10 Documents clear
PERBANDINGAN KUALITAS TENAGA KESEHATAN PADA PELAYANAN DIARE ANAK DI LAYANAN PRIMER (ANALISA DATA INDONESIAN FAMILY LIFE SURVEY (IFLS) 2007) Saekhol Bakri; Hari Kusnanto; Mubasysyir Hasanbasri
Media Medika Muda Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang: Diare merupakan salah satu penyakit yang berpengaruh terhadap kematian anak. Kualitas tenaga kesehatan yang baik dapat berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan. Pelayanan primer memiliki peranan yang penting untuk meningkatkan derajat kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kualitas tenaga kesehatan (dokter, perawat dan bidan) pada pelayanan primer di Indonesia.Metode: Penelitian kuantitatif menggunakan analisis data sekunder Indonesian Family Life Survey (IFLS) 2007 dengan unit analisis tenaga kesehatan dan desain cross sectional. Data IFLS 2007 diambil dari 13 provinsi. Perbandingan kualitas tenaga kesehatan dinilai dari pertanyaan vignette meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan terapi pada blok puskesmas dan fasilitas kesehatan praktek swasta. Kemudian di uji menggunakan one way-Annova dengan program Stata 12 dengan kemaknaan p < 0.05.Hasil :Sampel terdiri atas 2179 tenaga kesehatan. Dokter memiliki rerata tertinggi dalam menjawab seluruh pertanyaan yaitu sebanyak22.25±7.9 dari 56 pertanyaan.Dari 26 pertanyaan anamnesis, rerata dokter menjawab 11±4.1 lebih tinggi dibandingkan dengan perawat : 9.06±3.3 dan bidan : 10.07 ±3,7 (p<0.05). Dari 19 pertanyaan pemeriksaan fisik dan laboratorium, rerata dokter menjawab7.62±3.1, lebih tinggi dari perawat 6.36±2.9 dan bidan 6.89±2.9 (p < 0.05).Dari 19 pertanyaan terapi rerata dokter 3.62±1.8, tidak berbeda secara statistik dibanding bidan 3.64±1.7 (p>0.05).Simpulan : Dokter memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan perawat dan bidan dalam kemampuan anamnesis, pemeriksaan fisik – laboratorium dan kemampuan dalam menjawab seluruh pertanyaan. Kemampuan Dokter tidak berbeda dibandingkan bidan dalam memberikan terapi diare. Kata kunci: diare, perbandingan, kualitas tenaga kesehatan, IFLS
SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM (SNP) EXON 17 C/T HIS 1058 GEN INSR PADA PENDERITA SOPK DENGAN RESISTENSI INSULIN Dewi Puspitasari V; Setyawan A; Thaufik S
Media Medika Muda Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan: Mengidentifikasi SNP exon 17 C/T His 1058 gen INSR pada perempuan dengan sindrom ovarium polikistik dengan resistensi insulin.Metode: Rancangan penelitian ini adalah penelitian belah lintang dengan tempat penelitian adalah RSUP dr. Kariadi, RS Permata Medika dan RSIA Kusumapradja yang dilakukan pada periode Juli 2015 – Februari 2016. Subjek penelitian pada kelompok kasus adalah 24 pasien SOPK dengan resistensi insulin dan 24 orang perempuan normal tanpa SOPK dan tidak resistensi insulin pada kelompok kasus. Seluruh populasi penelitan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa USG transvaginal dan HOMA IR serta pengambilan sampel darah untuk pemeriksaa PCR RFLP untuk mengidentifkasi SNP.Hasil: Genotip CC, CT dan TT pada kelompok kasus dan kelompok kontrol didapatkan perbedaan tidak bermakna (p=0,441). Frekuensi alel C ditemukan lebih tinggi pada kelompok SOPK dengan resistensi insulin sedangkan alel T ditemukan lebih tinggi pada kelompok kontrol dengan hasil berbeda bermakna (p=0,037). Gambaran klinis yang paling sering dijumpai pada seluruh subjek penelitian adalah gambaran ovarium polikistik. Fenotip yang paling banyak dijumpai adalah Fenotip 4 (oligo/anovulasi + ovarium polikistik)Kesimpulan: Tidak terdapat asosiasi antara SNP exon 17 C/T His 1058 gen INSR  dengan perempuan dengan sindrom ovarium polikistik dengan resistensi insulin di Indonesia. Alel C yang dianggap sebagai alel normal didapatkan lebih tinggi pada kelompok SOPK dengan resistensi insulin sehingga perlu dipertimbangkan ulang apakah alel C bersifat mutan. Kata kunci: SNP exon 17 C/T His 1058, gen INSR, SOPK, resistensi insulin
PENGARUH PEMBERIAN RANITIDIN TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI PARU DAN GASTER TIKUS WISTAR PADA PEMBERIAN METHANOL DOSIS BERTINGKAT Saebani Saebani
Media Medika Muda Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang: Asam format merupakan hasil akhir metabolisme methanol bersifat toksik terhadap tubuh. Ranitidine terbukti efektif sebagai inhibitor enzim alcohol dehydrogenase pada gaster dan aldehyde dehydrogenase pada hepar. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek pemberian ranididine pada kasus intoksikasi methanol pada organ paru dan gaster.  Metode: Sebanyak 35 ekor tikus wistar jantan dibagi 7 kelompok, masing-masing terdiri 5 ekor, yaitu; 3 kelompok perlakuan, 3 kelompok kontrol positif dan 1 kelompok kontrol negatif. Ketiga kelompok perlakuan dan ketiga kelompok kontrol positif diberi methanol dosis bertingkat. Kelompok perlakuan diberi ranitidin secara intraperitoneal. Pada akhir studi tikus diambil organ lambung dan paru untuk analisis gambaran histopatologi. Dilakukan uji Mann Witney untuk menilai adanya perbedaan antar kelompok.Hasil: Pada organ paru ada perbedaan tidak bermakna gambaran mikroskopis paru antara kontrol positif dengan kelompok perlakuan, namun kelompok K2 vs P2 berbeda bermakna. Gambaran destruksi septum ringan terbanyak pada P2, sedangan K0 dan K2 tidak ada. Gambaran destruksi septum sedang terbanyak pada K2. Gambaran destruksi septum berat terbanyak pada P3. Terdapat perbedaan tidak bermakna infiltrasi radang antar semua kontrol positif dengan perlakuan. Gambaran gaster antara perlakuan dan kontrol positif pada dosis metanol yang sama tidak didapat perbedaan bermakna, kecuali antara K2 vs P3. Gambaran paru dan gaster pada seluruh perlakuan didapat perbedaan bermakna dengan K0.Simpulan: Pemberian ranitidin pada tikus yang sebelumnya telah diberi methanol tidak mencegah terjadinya kerusakan paru dan gaster, namun ada perbedaan bermakna pada derajat kerusakannya. Kata kunci: Ranitidin, histopatologi paru, gaster, methanol dosis bertingkat
PENILAIAN RISIKO INFEKSI DENGAN SKOR MASCC PADA PENDERITA DEMAM NEUTROPENIA DI RUMAH SAKIT Dr. KARIADI DAN TELOGOREJO SEMARANG Fathur Nur Kholis
Media Medika Muda Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang : Penilaian faktor risiko infeksi merupakan hal penting dalam pengelolaan penderita demam neutropenia. Pemilihan antibiotika empirik didasarkan pada besarnya skor risiko infeksi dan salah satu diantaranya adalah skor Multinational Association for  Supportive Care in Cancer (MASCC). Keterlambatan pemberian antibiotika empirik pada fase dini meningkatkan angka mordibitas dan mortabilitas, sedangkan pemberian antibiotika spectrum luas yang tidak rasional akan meningkatkan risiko efek samping dan resistensi kuman.Tujuan : Mendapatkan gambaran risiko infeksi pada penderita demam neutropenia, hubungan antara ANC, MASCC, onset lama demam dan kultur kuman.Metode : Desain penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan belah lintang. Penelitian ini dilakukan di RSDK dan RS Telogorejo Semarang dengan jumlah sampel 29 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah penderita demam neutropenia. Absoluet netrophil count (ANC) diperiksa di laboratorium patologi klinik FK Undip. Skor risiko infeksi diperoleh dari skor MASCC selanjutnya penderita dikelompokkan menjadi risiko rendah dan risiko tinggi. Pemeriksaan kultur darah, urin, sputum, sekret yang lain dan identifikasi mikrobiologi di laboratorium mikrobiologi FK Undip. Korelasi Rank Spearman menguji hubungan antara ANC dan MASCC. Chi square test untuk hubungan antara kultur kuman dengan kategori ANC dan MASCC serta onset lama demam dengan kultur kuman. Semua uji statistik dengan tingkat kemaknaan 95%.Hasil : Sebanyak 21 subyek (72,4%) mengalami neutropenia berat (ANC <500/mm3). Angka kejadian infeksi pada hitung ANC <500 sebesar 71,4% sedangkan pada ANC 500-1000 sebesar 28,6% tetapi tidak ada hubungan bermakna antara ANC dengan kultur kuman (p=1,000). Sebanyak 72,4% (21 subyek) mengalami onset lama demam >24 jam (risiko tinggi) tetapi tidak ada hubungan bermakna antara onset lama demam dengan kultur kuman (p=0,427). Sebesar 65,51% (19 subyek) termasuk kelompok risiko rendah infeksi nilai skor MASCC high score (skor MASCC >21) dan tidak ada hubungan antara kategori MASCC dengan kultur (p=1,000). Tidak ada hubungan bermakna antara ANC dan MASCC (r=0,294, p=0,121). Tidak ada hubungan bermakna antara kultur kuman dengan ANC (p=1,000) maupun MASCC (p=1,000). Kuman terbanyak pada penderita dengan risiko tinggi (skor MASCC <21) adalah Gram-negatif 6,8% (E. Colli) dan Gram-positive 10,3% (S.Aureus, E.aerogenes), sedangkan penderita dengan risiko rendah (skor MASCC >21) adalah Gram-negative 13,7% (E.Colli P.aeroginosa), di ikuti S.aureus, E.aerogenes, P.mirabilis dan S.epidermidis masing-masing 3,4%.Kesimpulan : Sebagian besar penderita demam neutropenia mengalami neutropenia berat (ANC <500/mm3) tetapi sebanyak 65,52% termasuk risiko rendah infeksi dengan skor MASCC >21 (high score). Kuman terbanyak pada penderita risiko tinggi (MASCC <21) adalah Gram-negative (E.Colli) dan Gram-positive (S.Aureus), sedangkan pada risiko rendah (MASCC >21) didominasi Gram-negative (E.Colli). Kata kunci : Deman Neutropenia, Risiko Infeksi, ANC, Skor MASCC, Kultur Kuman.
PENGARUH PEMBERIAN HEPARIN SUBKUTAN DAN HEPARIN INTRAVENA SEBAGAI PROFILAKSIS TROMBOSIS VENA DALAM (TVD) TERHADAP NILAI D-DIMER PADA PASIEN CRITICALL ILL DI ICU RSUP DR. KARIADI SEMARANG Satrio Adi Wicaksono
Media Medika Muda Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang : Heparin telah digunakan sebagai terapi maupun sebagai profilaksis primer TVD, walaupun keamanan heparin khususnya pada pasien critical ill yang memiliki risiko tinggi perdarahan  masih  merupakan subyek perdebatan. Untuk itu kami ingin mengetahui efektifitas heparin sebagai profilaksis TVD dan pengaruh pemberiannya terhadap nilai D-dimer pada pasien critical ill di ruang rawat intensif (ICU) RSUP DR. Kariadi Semarang.Tujuan : Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui perbedaan pengaruh pemberian heparin subkutan dibandingkan heparin intravena sebagai profilaksis TVD terhadap nilai D-dimer pada pasien critical ill di ruang rawat intensif (ICU) RSUP DR. Kariadi Semarang.Metode : Dilakukan Uji klinik  pada 30 pasien selama 3 hari dengan pemberian heparin subkutan 5000 IU bid sebagai kelompok I (n=15) dan  heparin 500 IU/jam intravena sebagai kelompok II (n=15) dengan membandingkan D-dimer pada pasien critical ill  di ruang rawat intensif (ICU) RSUP DR. Kariadi Semarang.Hasil : Setelah 3 hari diberikan profilaksis TVD didapatkan hasil yang bermakna pada kedua kelompok terhadap penurunan kadar D-dimer (p=0.05 dan p=0.00). Sedangkan pada perbandingan antara heparin SK dan heparin IV didapatkan hasil yang tidak bermakna pada pemeriksaan D-dimer (p=0.10)Simpulan : Pemberian heparin subkutan 5000 IU bid dan heparin 500 IU/jam intravena sebagai profilaksis TVD secara bermakna  dapat menurunkan kadar D-dimer. Sedangkan pada perbandingan  heparin SK dan heparin IV pada nilai D-dimer didapatkan hasil yang tidak bermakna. Kata kunci : heparin, TVD, D-dimer
EFEK LATIHAN RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP PERBAIKAN GEJALA KLINIS, KECEMASAN, HASIL ELEKTROMIOGRAFI DAN KUALITAS HIDUP PASIEN SPASMOFILIA Hari Peni Julianti; Sri Wahyudati; Robby Tjandra Kartadinata; Rudy Handoyo; Noviolita Noviolita
Media Medika Muda Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang: Latihan relaksasi otot progresif dapat memperbaiki kecemasan dan nyeri kepala tegang serta kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan latihan relaksasi otot progresif dapat memperbaiki kualitas hidup pasien spasmofilia.Metode: Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dan kualitatif. Rancangan penelitian adalah kuasi eksperimental dengan pre-post test controlled grup design. Subyek penelitian adalah pasien spasmofilia yang berobat ke RSUP Dr. Kariadi Semarang yang memenuhi kriteria, berjumlah 20 orang. Kelompok perlakuan (10 orang) mendapatkan latihan relaksasi otot progresif 6 sesi dan edukasi standar, kelompok kontrol (10 orang) hanya mendapat edukasi standar.  Data kualitatif dikumpulkan dengan wawancara mendalam (indepth interview). Analisis data menggunakan uji Wilcoxon, dan uji  Mann Whitney.Hasil: Terdapat perbedaan delta sebelum dan sesudah intervensi jumlah gejala klinis (p=0,004), skor kecemasan (p=003), skor kualitas hidup keseluruhan (p=0,000) antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Penurunan jumlah gejala klinis, skor kecemasan dan peningkatan skor kualitas hidup kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok kontrol sesudah intervensi. Tidak terdapat perbedaan derajat spasmofilia sebelum dan sesudah intervensi pada kedua kelompok. Hasil wawancara mendalam menunjukkan adanya perbaikan nyeri, ketegangan otot, kecemasan sehingga lebih tenang dan kualitas hidup lebih baik.Simpulan:  Latihan relaksasi otot progresif dapat memperbaiki gejala klinis, kecemasan, dan kualitas hidup pasien spasmofilia. Kata Kunci: Spasmofilia, Relaksasi Otot Progresif
CORRELATION BETWEEN INTERLEUKIN 13 SERUM LEVELS AND SCORAD INDEX IN PATIENTS WITH ATOPIC DERMATITIS Indranila Kurniasari; R. Sri Djoko Susanto; Sugastiasri Sugastiasri
Media Medika Muda Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Background: Atopic dermatitis is one of the most common inflammatory skin disorders with increasing prevalence. AD is a multifactorial disease influenced by a complex relationship between genetic and environmental factors. Genetic predisposition for atopic diseases may cause an expansion of Th2 cells activities, and IL-13 is an important mediator in Th2 immunity response. IL-13 has a role in the abnormal immune response against pathogens and decreased skin barrier function, two major predisposing factors for AD. The purpose of this study is to prove that there is a correlation between IL-13 serum levels and AD disease severity measured by the SCORAD index. Method: This is a cross-sectional analytic observational study. Research subjects are 37 patients with atopic dermatitis and 16 healthy controls. Serum samples were processed and analyzed at the GAKI Laboratory of Dr. Kariadi General Hospital Semarang. Results: There is a significant difference of IL-13 serum levels between patients with atopic dermatitis and healthy control (p=0.0001), and between the study group with mild, moderate and severe atopic dermatitis (p=0.0001). Analysis found a significant and very strong positive correlation (p=0.0001; r=0.911) between IL-13 serum levels and SCORAD index. Conclusion: There is a significant positive correlation between IL-13 serum levels and atopic dermatitis disease severity, which means that IL-13 serum level will increase with increasing disease severity of atopic dermatitis. Keywords: Atopic Dermatitis, Interleukin 13, Severity, SCORAD
PERBEDAANKADAR IL-8 PADA PENDERITA KUSTA TIPE MB DENGAN REAKSI REVERSAL Renni Yuniati
Media Medika Muda Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar belakang :Kusta ,merupakan penyakit infeksi kronis dengan kesulitan utama penatalaksanaan reaksi kusta. Reaksi reversal merupakan reaksi kusta tipe 1. Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan IL-6, IL-8 pada reaksi reversal. Interleukin-8 merupakan faktor kemotaktik spesifik neutrofil. Efek utama IL-8 adalah aktivasi dan rekrutmen netrofil ke lokasi infeksi. Studi ini bertujuan mengetahui perbedaan perbedaan kadar IL-8 pada pasien kusta multibasiler dengan dan tanpa reaksi reversal.Metode: Desain penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan cross-sectional. Berdasarkan perhitungan sampel , kelompok reaksi berjumlah 28 sampel, kelompok non reaksi berjumlah 28 sampel sehingga sampel keseluruhan adalah 56 orang. Dilakukan pemeriksaan kadar IL-8 serum dengan metode ELISA kemudian dihitung dengan uji beda kadar IL-8 antara 2 kelompok dengan Uji T2 sampel bebas.Hasil: Hasil penelitian ini terdapat perbedaan bermakna kadar IL-8 diantara dua kelompok , didapatkan p>0.05 .Simpulan :Terdapat perbedaan kadar IL-8 pada pasien kusta dengan reaksi  reversalKata kunci: kusta tipe multibasiler, reaksi reversal, IL-8
KORELASI ANTARA KADAR IFN- SERUM DENGAN SKOR PASI PADA PSORIASIS Buwono Puruhito
Media Medika Muda Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang : Kaitan antara kadar interferon-gamma ( IFN-g ) serum dan tingkat keparahan psoriasis masih kontroversial. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai korelasi antara kadar IFN-g serum dan derajat keparahan psoriasis yang diukur dengan skor psoriasis area severity index (PASI).Metode :  Penelitian observasional analitik, dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP Dr. Kariadi, Semarang.Hasil :  Total sampel adalah 30 pasien psoriasis vulgaris, usia termuda 23 tahun, tertua 67 tahun. Sebanyak 17 sampel berjenis kelamin laki – laki dan 13 wanita. Dari penelitian didapatkan skor de psoriasis area severity index (PASI) dengan rentang 6,7 – 51 yang terbagi menjadi 3 kategori  yaitu ringan (skor PASI <8) 3 pasien, sedang (skor PASI 8-12) 5 pasien, dan berat (skor PASI >12) 22 pasien. Nilai rerata skor PASI adalah 20,96  11,56 dengan nilai tengah 15,7. Interferon-gamma  (IFN-g ) mempunyai rentang dari 0,98-44,27, rerata 8,678,06 dan nilai tengah 8,05. Lama sakit bervariasi dari setengah sampai 11 tahun, dengan rerata 5,35  2,75 dan nilai tengah 5,0. Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara skor PASI dan kadar IFN-gamma (p<0,001, r0869), sedangkan lama sakit tidak ber korelasi baik dengan skor PASI ataupun dengan kadar serum IFN-g (masing – masing dengan p.Kesimpulan : Penderita psoriasis ditemukan peningkatan kadar IFN-g serum yang berkorelasi positif dengan derajat keparahan psoriasis yang dihitung dengan skor PASI. Kata Kunci :  Psoriasis, interferon-gamma, IFN-g, skor PASI
PERSEPSI DOKTER DALAM MERUJUK PENYAKIT NONSPESIALISTIK DI LAYANAN KESEHATAN PRIMER DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (Studi di Daerah Istimewa Yogyakarta) Aras Utami; Yulita Hendrartini; Mora Claramita
Media Medika Muda Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang:Dokter layanan primer berperan sebagai gatekeeper untuk mengurangi biaya dengan membatasi rujukan ke pelayanan spesialis yang tidak sesuai. Pembatasan penggunaan pelayanan spesialis yang tidak perlu bisa meningkatkan kualitas pelayanan.Pembatasan rujukan dalam jaminan kesehatan nasional (JKN) antara lain dengan diberlakukannya 144 diagnosis penyakit level kompetensi 4 yang harus dilayani di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).Ada 13 kasus terbanyak dari 144 diagnosis penyakit nonspesialistik yang dirujuk ke pelayanan kesehatan tingkat lanjut (FKTL) berdasarkan hasil monitoring BPJS Kesehatan Jawa Tengah-DIY tahun 2014.Meningkatnya kasus penyakit yang dirujuk ke FKTL meningkatkan biaya pelayanan kesehatan.Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dokter merujuk 13 penyakit nonspesialistik berdasarkan persepsi dokter.Metode:Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan “grounded theory”. Penelitian dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2015 di DIY.Sampel dipilih secara purposive.Jumlah sampel 20 FKTP.Responden adalah dokter.Pengumpulan data dengan wawancara mendalam.Triangulasi dilakukan kepada sumber yang berbeda dan observasi.Hasil:Faktor yang mempengaruhi dokter dalam merujuk penyakit meliputi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal merupakan faktor yang menurut dokter dirasa cukup dominan meliputi kurangnya ketersediaan obat seperti obat-obat yang masuk dalam program rujuk balik (PRB); kurangnya ketersediaan alat medis seperti alat fisioterapi, alat pemeriksaan mata, alat penyedot serumen, permintaan pasien; kebijakan BPJS tentang penjaminan resep kacamata hanya bisa di dokter spesialis mata di FKTL; dan perilaku dokter spesialis rumah sakit yang tidak mengembalikan pasien PRB ke FKTP. Faktor internal antara lain faktor penyulit penyakit seperti tidak respon dengan pengobatan, multidrug resistan tuberculosis (MDR-Tb); dan kompetensi dokter yang kurang pada penyakit Bell’s palsy dan presbiopia.Kesimpulan: Faktor-faktor yang mempengaruhi dokter merujuk penyakit adalah kurangnya alat medis, kurangnya ketersediaan obat, permintaan pasien, kebijakan BPJS Kesehatan, perilaku dokter spesialis, dan faktor penyulit penyakit, serta kompetensi dokter yang kurang. Kata kunci: dokter layanan primer, rujukan, pelayanan kesehatan primer, jaminan kesehatan nasional

Page 1 of 1 | Total Record : 10