cover
Contact Name
Ilham
Contact Email
Ilham.fishaholic@gmail.com
Phone
+6221-64700928
Journal Mail Official
jra.puslitbangkan@gmail.com
Editorial Address
Gedung Balibang KP II, Lantai 2 Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430
Location
Kab. jembrana,
Bali
INDONESIA
Jurnal Riset Akuakultur
ISSN : 19076754     EISSN : 25026534     DOI : http://doi.org/10.15578/JRA
Core Subject : Agriculture, Social,
Jurnal Riset Akuakultur as source of information in the form of the results of research and scientific review (review) in the field of various aquaculture disciplines include genetics and reproduction, biotechnology, nutrition and feed, fish health and the environment, and land resources in aquaculture
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 16 Documents
Search results for , issue "Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007)" : 16 Documents clear
BUDI DAYA TERPADU Cherax quadricarinatus DAN C. albertisi DENGAN PADI DALAM KOLAM TANAH Taufik Ahmad; Lilis Sofiarsih; Sutrisno Sutrisno
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (134.134 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.2.2007.157-165

Abstract

Produktivitas usaha budi daya Cherax spp. belum diketahui secara pasti apalagi bila dikaitkan dengan isu bahwa cherax dapat memakan benih padi. Produksi benih cherax telah dapat dilakukan di hatcheri namun masih diarahkan terutama pada usaha memproduksi udang hias, padahal cherax di beberapa negara lain telah lama diproduksi sebagai udang konsumsi dan termasuk dalam kelompok crayfish dalam perdagangan hasil perikanan dunia. Rancang bangun wadah untuk mengakomodir sifat biologi, terutama kemampuan merayap keluar wadah, kanibalisme, dan kebiasaan makan tanaman air seperti padi, dicoba diterapkan pada pembesaran cherax secara terpadu. Benih cherax umur 45 hari ditebar pada padat tebar 15 ekor/m2 kedalam bak berukuran 1 m x 1 m x 0,5 m  berpematang dan berdasar tanah. Perlakuan yang diuji spesies cherax dan penanaman padi sebagai naungan dalam kolam. Pakan diberikan sebanyak 3% bobot biomassa dalam bentuk pakan udang windu komersial. Kedalaman air dalam bak dipertahankan 10—20 cm pada pelataran dan sekitar 30—40 cm pada caren atau kobakan. Sampling dilakukan setiap 30 hari untuk mengamati pertumbuhan yang dicerminkan oleh pertambahan panjang total dan karapas serta bobot rataan individu. Pertumbuhan padi, jumlah anakan, dan bulir gabah per malai, dalam petak tempat pemeliharaan cherax yang tidak berbeda (P>0,05) dari dalam petak tanpa cherax membuktikan bahwa cherax bukan pemakan padi. Selain itu, laju bertumbuh cherax dalam petak padi campur tanaman air juga tidak berbeda (P>0,05) dari dalam petak padi. Baik C. quadricarinatus maupun C. albertisi dapat mencapai bobot 20 g selama 90 hari pemeliharaan dalam kolam tanah. Kedua spesies cherax yang diuji merupakan pembuat lobang di pematang, kedalaman lubang berkisar 20—80 cm dan dapat menimbulkan kebocoran. Budi daya C. quadricarinatus dan C. albertisi dapat dikembangkan sebagai sumber penghasilan baru tanpa kekhawatiran dapat mengganggu ketahanan pangan.Cherax spp. in Indonesia is not so well known compare to other crustaceans such as penaeids shrimp, the main aquaculture products. Since the 1990’s, the production of cherax post larvae has been intended to supply the hobbyists of ornamental crustaceans.  No data available of how large is the production of cherax in Indonesia, either for food or ornament. To provide evidence that cherax is not a padi eater, an experiment was carried out in an integrated culture with padi in 1 m x 1 m x 0.5 m earthen ponds. The cherax stocked into the ponds are C. quadricarinatus and C. albertisi, at 15 PL-45/m2 of each different pond. The water depth in each pond is maintained at 30—40 cm on the perimeter ditch. The feed, grower penaeids shrimp feed, is given at 3% biomass weight when necessary. The cherax is sampled every 30 days for total and carapace length as well as individual weight. Number and weight of grain produced and numbers of paddy seedling are the variable observed to monitor padi growth. The number of grains and seedling in cherax ponds which is not significantly different (P>0.05) from those in ponds without cherax indicating that cherax is not padi eater. Either C. quadricarinatus or C. albertisi achieved maximum individual weight of 20 g in 90 days rearing period. Both of the cherax are dyke hole maker, but tend to causing seepage. The depth of the hole ranges from 20—80 cm, just enough for the cherax to hide just after moulting. Obviously, cherax culture could be developed as a new source of income for the farmers and would not cherax is not padi eater. Either C. quadricarinatus or C. albertisi achieved maximum individual weight of 20 g in 90 days rearing period. Both of the cherax are dyke hole maker, but tend to causing seepage. The depth of the hole ranges from 20—80 cm, just enough for the cherax to hide just after moulting. Obviously, cherax culture could be developed as a new source of income for the farmers and would not threaten the production rice, the Indonesian staple food.
HUBUNGAN PRODUKTIVITAS TAMBAK DENGAN KERAGAMAN FITOPLANKTON DI SULAWESI SELATAN Andi Marsambuana Pirzan; Petrus Rani Pong-Masak
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (218.891 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.2.2007.211-220

Abstract

Studi telah dilakukan pada tambak-tambak di Kabupaten Bulukumba, Jeneponto, Maros, Pinrang, dan Takalar, Sulawesi Selatan bertujuan menelaah hubungan produktivitas tambak dengan keragaman fitoplankton serta analisis kualitas air dan tanah untuk mendukung pengelolaan tambak berkelanjutan. Pengambilan sampel fitoplankton, air, dan tanah pada lokasi yang representatif di kawasan tambak. Fitoplankton dikoleksi menggunakan plankton net no. 25. Sampel fitoplankton dipekatkan menjadi 10 mL kemudian diawetkan dalam larutan MAF. Identifikasi fitoplankton menggunakan mikroskop yang berpedoman pada buku identifikasi plankton dan perhitungannya menggunakan metode counting cell. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan fitoplankton berkisar dari 455—1.476 ind./L dan jumlah genus berkisar dari 8—14 genera. Berdasarkan indeks keragaman fitoplankton di Kabupaten Bulukumba, Jeneponto, Maros, Pinrang, dan Takalar tergolong kedalam kondisi stabil moderat. Keseragaman fitoplankton di Kabupaten Maros, Pinrang, dan Takalar lebih merata dibandingkan dengan Kabupaten Bulukumba dan Jeneponto. Peningkatan keragaman fitoplankton cenderung diikuti oleh peningkatan produktivitas tambak.This study was conducted in the brackishwater pond of Bulukumba, Jeneponto, Maros, Pinrang, and Takalar Regencies of  South Sulawesi. The aims of this research were to study relationship between productivity of brackishwater pond and phytoplankton diversity and also analyse soil and water qualities to support management of sustainable brackishwater pond. Simple random sampling was applied to phytoplankton, water and soil samples representative of brackishwater pond. Plankton net no. 25 was used to plankton collection then it was preserved in MAF solution. Phytoplankton were identified using microscope and counting cell method. Result of this research each station showed that phytoplankton abundance was 455—1,475 ind./L while genus number was 8—14 genera. The diversity indices of all station were moderately stable while ivenness indices of Maros, Pinrang, and Takalar more spread than Jeneponto and Bulukumba. The increasing of phytoplankton diversity in the water seem to influence the increasing of brackishwater pond productivity.
PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN PANTAI DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN BUDI DAYA RUMPUT LAUT: Studi Kasus di Perairan Mensanak, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau I Nyoman Radiarta
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (199.471 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.2.2007.271-280

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pemetaan habitat dasar perairan pantai yang selanjutnya digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan bagi budi daya rumput laut dengan sistem tebar dasar. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data citra satelit Landsat 7, data lapangan, dan data sekunder lainnya. Sebanyak 90 titik sampling yang tersebar secara acak telah dikumpulkan selama survai lapangan pada bulan Januari 2002. Pemetaan habitat dasar dilakukan dengan menggunakan persamaan Lyzenga. Berdasarkan klasifikasi ekologi, habitat dasar perairan diklasifikasikan menjadi empat kelas sesuai dengan dominasi jenis habitat dan implikasinya bagi pengembangan budi daya rumput laut, yaitu zona pasir, zona substrat, zona seagrass, dan zona karang hidup. Dari total potensial area untuk kegiatan budi daya rumput laut seluas 44 km2, hanya 8 km2 (19%) yang tergolong sangat sesuai.This study was conducted to map coastal sea bed habitat in order to identify suitability area for seaweed culture using bottom culture technique. Used data in this study comprised of satellite remote sensing of Landsat 7 data, field observation data and other secondary data. Total of 90 sampling points were collected during the field observation in January 2002. In order to map sea bed habitat, Lyzenga algorithm was used. Based on ecological classification which was emphasis on dominance of type of each habitat and implication to seaweed culture, this study was able to classified sea bed habitat into four classes such as bare sand zone, substrate zone, seagrass zone, and life coral zone. From the total potential area for seaweed culture about 44 km2, only about 8 km2 (19%) is categorized into very suitable.
BUDI DAYA UDANG VANAMEI (Litopenaeus vannamei) DI TAMBAK DENGAN PADAT TEBAR BERBEDA MENGGUNAKAN SISTEM PEMUPUKAN SUSULAN Gunarto Gunarto; Abdul Mansyur
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (109.561 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.2.2007.167-176

Abstract

Budi daya udang putih, Litopenaeus vannamei dengan sistem teknologi intensif sulit dikembangkan oleh masyarakat petani kecil. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan biaya produksi yang sangat tinggi. Untuk itu, teknologi budi daya udang pola tradisional dengan sistem pemupukan susulan perlu dikembangkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui padat tebar yang optimal pada budi daya udang vanamei pola tradisional plus dengan sistem pemupukan susulan. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan tambak ukuran 500 m2/petak sebanyak 12 petak. Sebelum penebaran dilakukan persiapan tambak meliputi: pemberantasan hama, pengeringan, dan pengapuran. Hewan uji yang digunakan adalah udang vanamei PL 22 dengan padat tebar yang diuji yaitu 1 ekor/m2 (A), 3 ekor/m2 (B), 5 ekor/m2 (C), dan 7 ekor/m2 (D). Masing-masing perlakuan dengan tiga kali ulangan. Dosis pemupukan susulan menggunakan urea dan TSP, sebanyak 750 g urea dan 375 g SP-36/petak, yang diaplikasikan setiap minggu sekali pada bulan pertama pemeliharaan dan setiap dua minggu sekali pada bulan kedua dan ketiga selama pemeliharaan udang dalam tambak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata ukuran udang hingga umur pemeliharaan 76 hari di tambak telah mencapai ukuran konsumsi (rata-rata 20—21g). Sintasan udang paling tinggi diperoleh pada perlakuan A dan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)dengan perlakuan D, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan B dan C. Pertumbuhan udang pada perlakuan A, B, dan D tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05), tetapi ketiga-tiganya menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan C (P<0,05). Produksi udang paling tinggi diperoleh pada perlakuan D, dan tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan B, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan C dan A. Pertumbuhan udang di semua perlakuan sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh salinitas, nitrat, amoniak, dan BOT serta produksi klekap. Produksi udang sangat nyata (P<0,01) oleh kandungan nitrit, fosfat, nitrat air tambak, dan produksi klekap. Sedangkan sintasan udang vanamei pada semua perlakuan nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh konsentrasi amoniak pada perairan tambak.White shrimp, L. vannamei intensive culture system in ponds was considered to be difficult adopted by poor shrimp farmer caused by high cost. Therefore, the traditional (extensive) shrimp culture using continued fertilization technology could be developed. The objectives of the research was to find out the optimum stocking density of white shrimp, L. vannamei, cultured in pond in extensive technology using continued fertilization. Research was conducted by using twelve of 500 m2 ponds in size. Pond preparations were conducted before shrimp stocked, which consisted pest eradication, drying and liming of pond bottom soil. 22 day old of vannamei post larva were stocked in these ponds at different stocking densities, there were 1 piece/m2(A), 3 pieces/m2 (B), 5 pieces/m2 (C), and 7 pieces/m2 (D). Each treatment in triplicates. The continued fertilization i.e. urea and SP-36 were given at 750 g and 375 g/pond compartment respectively and applied weekly during first month of shrimp culture period and beweekly during second and third month of shrimp culture period. The result of the research showed that the marketable shrimp size (20—21 g mean weight) was obtained at 76 days of shrimp cultured in the pond. The highest survival rate was obtained in treatment A, and significantly different (P<0.05) with treatment D, meanwhile there was  not significantly different with treatment B and C. Shrimp growth in treatment A, B, and D were not significantly different (P>0.05), but there were significantly different (P<0.05) with treatment C. The highest shrimp production was obtained in treatment D and there was not significantly different (P>0.05) with treatment B, but both of them were significantly different (P<0.05) with treatment C and A. Shrimp growth in all treatments most significantly (P<0.01) influenced by salinity, nitrate, ammonium, Total Organic Matter (TOM), and klekap production, while nitrite, nitrate, phosphate, and klekap production are also most  dominant factors (P<0.01) influences to the shrimp production in ponds. Ammonium concentration in pond waters was significantly (P<0.05) influences to the shrimp survival rates.
PENINGKATAN TEKNIK PEMBENIHAN BUATAN IKAN HIAS BOTIA, Chromobotia macracanthus (Bleeker) Darti Satyani; Jacques Slembrouck; Siti Subandiyah; Marc Legendre
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (93.591 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.2.2007.135-142

Abstract

Penelitian mengenai teknik pembenihan ikan tiger botia (Chromobotia macracanthus) ini dikerjakan dengan menggunakan 2 bak yang masing-masing diisi 20 ekor induk botia. Pakan dari induk adalah cacing darah dan pelet udang (protein 30%) sekenyangnya. Induk yang matang gonad distimulasi dengan hormon gonadotropin berkadar 1,0 mL/kg untuk betina dan 0,6 mL/kg untuk jantannya. Telur terbuahi ditetaskan dalam corong inkubator berukuran 3 dan 5 L dengan kepadatan 100 butir telur/liter. Larva yang menetas dipelihara dalam hapa ukuran 50 cm x 50 cm x50 cm di dalam bak fiberglas selama 15 hari. Pakan yang diberikan adalah naupli Artemia 3 (tiga) kali sehari sekenyangnya. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa 10 betina dan 3 jantan dari 34 ekor induk dapat matang gonad, namun hanya 5 ekor betina yang telurnya dapat menetas. Daya tetas telur pada corong yang kecil yaitu 3 (tiga) liter (32,17% ± 16,25%) nyata lebih tinggi dari yang 5 (lima) liter (14,22% ± 3,83%). Sintasan dan pertumbuhan larva dalam hapa tidak ada beda antara kepadatan 3 dan 5 ekor/liter.Chromobotia macracanthus as clown loach artificial propagation experiments were carried out using broodfishes maintained in two 2m3 concrete tanks (20 fish per tank). Broodfish were fed ad libitum with bloodworms and a 30% crude proteins commercial pelleted feed. Oocyte maturation and ovulation were induced with two successive injection of ovaprim of female at doses of 0.4 mL. kg-1 body weight, then 0.6 mL.kg-1 6 hours later. Males received one ovaprim injection at dose of 0.4 mL.kg-1 bw. After gamete collection and artificial fertilization, eggs were incubated at 25°C— 27°C in 3 or 5 liters funnel incubators. Hatched larvae were reared for 15 days in 0.5x0.5x0.5 hapas placed in 1m fiberglass tanks. In the hapas, the larvae were stocked at either 3 or 5 larvae per liter and fed with Artemia nauplii distributed in exess 3 times per day. Among the broodfish, 10 females  and 3 males were found with mature gonads and received the hormonal treatment. However, larvae could be obtained from eggs of 5 females only. Hatching rates was higher in 3 L (32.17% ± 16.25%) than in 5 L funnel incubators (14.22% ± 3.83%). After 15-days rearing period, survival and growth rates of larvae did not differed significantly as a function of larvae stocking density in happas.
AKTIVITAS ENZIM PROTEASE DAN KONDISI PENCERNAAN DI USUS IKAN KERAPU MACAM (Epinephelus fuscoguttatus) SETELAH PEMBERIAN PAKAN Muh. Yamin; Neltje Nobertine Palinggi
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (106.47 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.2.2007.281-288

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk melihat aktivitas enzim protease dan kondisi makanan di usus ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) setelah pemberian pakan. Penelitian dilakukan di keramba jaring apung (KJA) Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau di Teluk Awarange Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Ikan yang digunakan berukuran 200 ± 10 g berumur 6 bulan. Tujuh buah keramba berukuran 1 m x 1 m x1,2 m digunakan untuk memelihara ikan yang diletakkan secara acak untuk setiap pengambilan. Semua ikan diberi pakan moist pellet dengan kadar protein 45% sampai ikan kenyang (ad satiation). Sampling dilakukan pada 6, 9, 12, 15, 18, 21, dan 24 jam setelah pemberian pakan. Preparasi dan analisis aktivitas enzim protease dilakukan dengan pengambilan cairan usus sesaat setelah ikan dimatikan. Aktivitas protease diukur secara kuantitatif dengan modifikasi metode Bergmeyer. Hasil analisis enzim protease menunjukkan bahwa aktivitas tertinggi diperoleh pada 18 dan 21 jam setelah makan (JSM) yaitu 13,04 μ /mL dan 13,3 μ/mL dan terendah pada 9 JSM yaitu 5,83 μ/ mL. Hasil analisis persentase cairan usus menunjukkan hasil yang fluktuatif antara tiap jam pengamatan. Persentase cairan usus tertinggi diperoleh pada 9 JSM yaitu 76% dan terendah pada 6 JSM yaitu 53%.Aims of the research are to figure out proteolitic activities and intestinal digestibility on tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus) after feeding. The research was carried out on Research Institute for Coastal Aquaculture (RICA) floating net cages at Awarange Bay, Barru Regency, South Sulawesi.The fish has 200 ± 10 g on size and relatively same on age of 6 months. Seven floating net cages of 1x1x1.2 m3 were used to rearing fish with random position for each sampling. The fish fed with 45% protein of moist pellet ad satiation. Sampling was carried out at 6, 9, 12, 15, 18, 21, and 24 after fed. Preparation and analysis of protease enzyme activity collected after grouper was killed. Protease activity was analyzed by modification of Bergmeyer methods. Result of enzyme analysis show that 18 and 21 hours after fed has the highest activities i.e. 13.04 μ/mL and 13.3 μ/mL respectively, and 9 hours after fed has the lowest activities i.e. 5.83 μ/mL. Result of liquid presentation of intestinal shows fluctuation in every time of sampling. The highest presentation of liquid was at 9 hours after fed of 76% and the lowest was 6 hours after fed of 53%.
KERAGAAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAS (Cyprinus carpio) STRAIN MAJALAYA, LOKAL BOGOR DAN RAJADANU DI KOLAM CIJERUK, BOGOR-JAWA BARAT Otong Zenal Arifin; Titin Kurniasih
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (106.793 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.2.2007.177-185

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan strain ikan mas yang memiliki keragaan pertumbuhan yang baik sebagai spesies kandidat untuk program seleksi. Tiga strain ikan mas (majalaya, lokal Bogor, dan rajadanu) dipelihara dalam jaring yang diletakkan di kolam Instalasi Penelitian Cijeruk, Bogor selama 6 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata untuk parameter pertambahan bobot dan sintasan dari 3 strain ikan mas yang diuji, sedangkan untuk pertambahan panjang individual (mm per bulan) ada perbedaan yang sangat nyata (P<0,05). Strain ikan mas rajadanu memiliki pertambahan panjang terbaik (16,0 ± 1,41) dan berbeda dengan majalaya (10,3 ± 4,50) serta lokal (10,8 ± 2,06).Objective of this study is to produce good performance of common carp by comparing three promising strains majalaya, local, and rajadanu. The study was carry out using floating net cages placed in earthen pond at The Cijeruk Germ Plasm Research Station. During the study, growth and survival rate were observed were observed for six weeks. The results indicated there was no significant difference for growth of weight and survival rate. However, growth of standard length was significantly different (P<0.05). Rajadanu made the best growth of standard length (16.0 ± 1.41) and was different from majalaya (10.3 ± 4.50) and local strain (10.8 ± 2.06).
PENYEBARAN DAN PREVALENSI WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV) PADA BUDI DAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon) Muliani Muliani; Bunga Rante Tampangallo; Muharijadi Atmomarsono
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (170.23 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.2.2007.231-241

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran dan tingkat prevalensi serangan WSSV pada budi daya udang windu. Pengumpulan sampel dan deteksi WSSV dengan teknik PCR dilakukan dari bulan April 2004 sampai November 2006. Sampel induk udang windu yang dikumpulkan berasal dari perairan Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Kalimantan Timur, dan Timika. Sedangkan benur, tokolan, dan udang yang dibudidayakan dikumpulkan dari beberapa lokasi di Sulawesi Selatan. Sampel udang diambil bagian kaki jalan, kaki renang, tangkai mata, karapaks, insang, dan ekor. Benur yang berjumlah ± 30 ekor diekstrak menggunakan buffer lisis untuk mendapatkan DNA total. DNA WSSV diamplifikasi dengan teknik First dan Nested. PCR menggunakan kit amplifikasi spesifik WSSV (IQ 2000TM WSSV Detection and Prevention System). Visualisasi DNA WSSV dilakukan dengan gell documentation. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa lebih dari 33% daerah sumber induk udang windu di Indonesia dan 90% daerah pertambakan yang ada di Sulawesi Selatan telah terinfeksi oleh WSSV. WSSV ditemukan pada induk, benur, tokolan, dan udang yang dibudidayakan di tambak. Dengan tingkat prevalensi serangan WSSV tertinggi pada udang windu yang dibudidayakan di tambak adalah 40,4% dan terendah pada benur 4,4%.The aims of this experiment was to know the distribution and prevalences of WSSV on tiger shrimp. Sample collection and WSSV detection conducted with PCR method was carried out during April 2004 to November 2006. Tiger shrimp broodstock samples were collected from Central Java, South Sulawesi, Gorontalo, Kalimantan, and Timika waters, and the other samples (tiger shrimp post larvae, juveniles, and cultured shrimp) were collected from several region in South Sulawesi. The pleopod, pereiopod, eye stalk, carapax, gill, tail, muscle of broodstock, juveniles, and cultured shrimp, and 30 pcs of postlarvae were extracted using lysis buffer to collect genomic DNA. WSSV DNA amplification was carried out using first and nested PCR technique by specific sequence amplification kit (IQ2000TM  Detection and Prevention system). The WSSV DNA was visualized by gell documentation system. The result showed that more than 33% of broodstock resources of Indonesia waters and 90% of shrimp culture area of South Sulawesi were contaminated by WSSV. WSSV was also infected tiger shrimp broodstock, postlarvae, juveniles, and tiger shrimp cultured with the highest prevalence (40.4%) was on tiger shrimp cultured and the lowest prevalence (5.4%) was on postlarvae.
KULTUR JARINGAN RUMPUT LAUT (Gracillaria sp.) DARI SUMBER TALLUS YANG BERBEDA LOKASI Emma Suryati; Rosmiati Rosmiati; Andi Parenrengi; Andi Tenriulo
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (83.028 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.2.2007.143-147

Abstract

Dalam rangka perbaikan mutu benih Gracillaria sp., telah dilakukan beberapa upaya antara teknik kultur jaringan atau propagasi rumput laut secara in vitro yang bertujuan untuk mendapatkan teknik perbanyakan eksplan rumput laut yang berkualitas tinggi secara vegetatif. Media tumbuh yang digunakan dalam perbanyakan rumput laut Gracillaria sp. adalah media yang diperkaya dengan PES 1/20. Sumber benih yang digunakan berasal dari Jepara, Sinjai, Takalar, Barru, dan Palopo. Jumlah tunas dan panjang tunas yang paling baik di laboratorium antara lain yang berasal dari Jepara dan Sinjai. Hasil aklimatisasi di tambak memperlihatkan bahwa sumber benih yang berasal dari Jepara menghasilkan jumlah tunas yang paling baik sedangkan panjang tunas yang paling baik berasal dari Belopa. Sedangkan pada aklimatisasi di KJA memperlihatkan jumlah tunas yang paling baik berasal dari Palopo dan pertumbuhan panjang tunas yang paling baik adalah dari Takalar. Secara keseluruhan hasil aklimatisasi di lapangan memperlihatkan pertumbuhan benih rumput laut hasil kultur in vitro di laboratorium lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan rumput laut yang berasal dari alam tanpa melalui kultur in vitro.Several efforts to improve the quality of Gracillaria sp. seed were conducted i.e; trough in vitro tissue culture technique on propagation of seaweed to find out technique of multiplication of the vegetative high quality seaweed seed. The culture medium used for multiplication of seaweed seed is medium enriched with PES 1/20.  Seed source used were collected from Jepara, Sinjai, Takalar, Barru, and Palopo. The best amount and length of bud on the in vitro culture at laboratory are seed collected from Jepara and Sinjai. The result of acclimatization in pond showed that seeds collected from Jepara resulted the best amount bud, meanwhile seed collected from Belopa displayed the best length bud. On the other hand, the acclimatization in floating net cage exhibited that seed collected from Palopo showed the best amount bud and seed collected from Takalar showed the best growth of length bud. In general, the acclimatization result in field exhibited the growth of seaweed seed of in vitro culture at laboratory is better than that of nature without in vitro culture.
Front Matter dan Back Matter Suyatno Suyatno
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (48.109 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.2.2007.i-v

Abstract

Page 1 of 2 | Total Record : 16


Filter by Year

2007 2016


Filter By Issues
All Issue Vol 19, No 2 (2024): Juni (2024) Vol 19, No 1 (2024): (Maret 2024) Vol 18, No 4 (2023): (Desember, 2023) Vol 18, No 3 (2023): (September, 2023) Vol 18, No 2 (2023): (Juni, 2023) Vol 18, No 1 (2023): (Maret 2023) Vol 17, No 4 (2022): (Desember 2022) Vol 17, No 3 (2022): (September) 2022 Vol 17, No 2 (2022): (Juni) 2022 Vol 17, No 1 (2022): (Maret, 2022) Vol 16, No 4 (2021): (Desember, 2021) Vol 16, No 3 (2021): (September, 2021) Vol 16, No 2 (2021): (Juni, 2021) Vol 16, No 1 (2021): (Maret, 2021) Vol 15, No 4 (2020): (Desember, 2020) Vol 15, No 3 (2020): (September, 2020) Vol 15, No 2 (2020): (Juni, 2020) Vol 15, No 1 (2020): (Maret, 2020) Vol 14, No 4 (2019): (Desember, 2019) Vol 14, No 3 (2019): (September, 2019) Vol 14, No 2 (2019): (Juni, 2019) Vol 14, No 1 (2019): (Maret, 2019) Vol 13, No 4 (2018): (Desember 2018) Vol 13, No 3 (2018): (September 2018) Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018) Vol 13, No 1 (2018): (Maret 2018) Vol 12, No 3 (2017): (September 2017) Vol 12, No 4 (2017): (Desember 2017) Vol 12, No 2 (2017): (Juni 2017) Vol 12, No 1 (2017): (Maret 2017) Vol 11, No 3 (2016): (September 2016) Vol 11, No 4 (2016): (Desember 2016) Vol 11, No 2 (2016): (Juni 2016) Vol 11, No 1 (2016): (Maret 2016) Vol 8, No 3 (2013): (Desember 2013) Vol 5, No 3 (2010): (Desember 2010) Vol 5, No 2 (2010): (Agustus 2010) Vol 5, No 1 (2010): (April 2010) Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007) Vol 2, No 1 (2007): (April 2007) Vol 1, No 1 (2006): (April 2006) Vol 10, No 4 (2015): (Desember 2015) Vol 10, No 3 (2015): (September 2015) Vol 10, No 2 (2015): (Juni 2015) Vol 10, No 1 (2015): (Maret 2015) Vol 9, No 3 (2014): (Desember 2014) Vol 9, No 2 (2014): (Agustus 2014) Vol 9, No 1 (2014): (April 2014) Vol 8, No 2 (2013): (Agustus 2013) Vol 8, No 1 (2013): (April 2013) Vol 7, No 3 (2012): (Desember 2012) Vol 7, No 2 (2012): (Agustus 2012) Vol 7, No 1 (2012): (April 2012) Vol 6, No 3 (2011): (Desember 2011) Vol 6, No 2 (2011): (Agustus 2011) Vol 6, No 1 (2011): (April 2011) Vol 4, No 3 (2009): (Desember 2009) Vol 4, No 2 (2009): (Agustus 2009) Vol 4, No 1 (2009): (April 2009) Vol 3, No 3 (2008): (Desember 2008) Vol 3, No 2 (2008): (Agustus 2008) Vol 3, No 1 (2008): (April 2008) Vol 2, No 3 (2007): (Desember 2007) Vol 1, No 3 (2006): (Desember 2006) Vol 1, No 2 (2006): (Agustus 2006) More Issue