cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bogor,
Jawa barat
INDONESIA
YUSTISI
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Education,
Arjuna Subject : -
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 3 No 2 (2016)" : 6 Documents clear
PROSES PELAKSANAAN KEPEMILIKAN TANAH WAKAF BEKAS MILIK TANAH ADAT OLEH YAYASAN Latifah Ratnawaty
YUSTISI Vol 3 No 2 (2016)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (588.654 KB) | DOI: 10.32832/yustisi.v3i2.1103

Abstract

Berbagai dinamika sosial yang terjadi dan diikuti perubahan paradigma berpikir yang semakin luas dalam memandang wakaf melahirkan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang menyatakan wakaf sebagai payung Hukum yang lebih kuat berskala Nasional. Meskipun wakaf sudah dikenal dan dipraktekkan oleh umat Islam sejak masuknya Islam ke Indonesia, tetapi tampaknya permasalahan wakaf ini masih muncul dalam masyarakat sampai sekarang. Hal ini dapat dimaklumi karena pada awalnya permasalahan wakaf ini hanya ditangani oleh umat Islam secara pribadi, terkesan tidak ada pengelolaan secara khusus serta tidak ada campur tangan dari pihak pemerintah. Pada mulanya pemerintah tidak mengatur tata cara orang yang mewakafkan hartanya, pemeliharaan benda-benda wakaf, serta pengelolaanya secara lebih efektif, efisien dan produktif. Akibatnya karena belum adanya pengaturan dari Pemerintah tersebut, sering kali terjadi keadaan-keadaan yang merugikan orang yang berwakaf, agama dan masyarakat misalnya benda-benda wakaf tidak diketahui keadaannya lagi dikarenakan berbagai hal. Apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah untuk pemeliharaan lembaga pendidikan atau balai pengobatan yang dikelola oleh suatu yayasan, maka sejak diikrarkan sebagai harta wakaf, tanah tersebut terlepas dari hak milik si wakif, pindah menjadi hak Allah dan merupakan amanat pada lembaga atau yayasan yang menjadi tujuan wakaf. Sedangkan yayasan tersebut memiliki tanggung jawab penuh untuk mengelola dan memberdayakannya secara maksimal demi kesejahteraan masyarakat banyak. Jika pada Pasal 4 PP Nomor 28 Tahun 1977 dengan tegas menyatakan bahwa benda wakaf adalah tanah milik, maka pada KHI Pasal 215 angka 4 dan UU Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 15-16 bersifat lebih umum. Pasal ini menyatakan bahwa benda wakaf adalah benda milik. Hal ini berimplikasi pada perluasan jenis benda yang dpat diwakafkan, tidak terbatas pada tanah milik saja, melainkan juga dapat berupa benda milik lainnya, baik itu benda bergerak benda tidak bergerak. Dari peraturan perundang-undangan tentang wakaf di atas belum ada yang mengatur tentang wakaf di atas tanah negara. Terhadap tanah wakaf yang berdiri di atas tanah negara kalau memang masyarakat dan pemerintah desa setempat telah mengakui sebagai tanah wakaf, maka dapat diajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat agar memproses diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak Atas tanah kemudian atas nama nadzir menerbitkan sertifikat tanah wakaf.
PELUANG DAN TANTANGAN PERWUJUDAN SISTEM PERADILAN YANG BERSIH DAN BERKUALITAS Saharuddin Daming
YUSTISI Vol 3 No 2 (2016)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (575.468 KB) | DOI: 10.32832/yustisi.v3i2.1104

Abstract

Keadilan sebagai unsur penting dari HAM haruslah dibangun dan diwujudkan dalam sistem Negara hukum. Selain menghadirkan sistem dan perangkat peradilan yang berkualitas, juga perlu didukung oleh mekanisme rekruitmen dan pembinaan hakim sereta penegak hukum lainnya yang bersih dan berintegritas. Sayangnya karena semua harapan tersebut, dihadang oleh berbagai tantangan pragmatisme dan oportunisme meski masih terdapat peluang besar untuk mewujudkannya secara bertahap.
PERAN DAN FUNGSI PASAR MODAL DALAM PEREKONOMIAN SUATU NEGARA Sri Hartini
YUSTISI Vol 3 No 2 (2016)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (412.489 KB) | DOI: 10.32832/yustisi.v3i2.1105

Abstract

Pembangunan ekonomi suatu negara akan hidup, karena adanya pembiayaan yang harus tersedia demi terselenggaranya pemerintahan, pembiayaan tersebut dapat diberikan dari pendapatan pemerintah maupun swasta, jika pendapatan dari pemerintah bisa melalui pajak, dan pasar modal dan pasar uang. Sehingga suatu negara khususnya Indonesia akan berkembang dengan baik perekonomiannya, mengarapkan dari peran pasar modal yang berada di Indonesia sangat menunjang perkembangan ekonomi. Bahwa Pasar Modal adalah alat ekonomi, karena merupakan wadah berinvestasi yang mempertemukan penjual dan pembeli efek atau surat-surat berharga, diantaranya saham dan obligasi. Bahwa Perusahaannya sudah Go Publik sebagai pihak penjual saham kepada masyarakat baik perorangan, kelompok maupun perusahaan, sebagai sumber pembiayaan jangka panjang, dan apabila sumber pembiayaan jangka pendek dapat mengembangkan perusahaannya, sehingga membutuhkan tenaga kerja dalam rangka mengembangkan usahanya, begitupun negara mendapatkan devisa dari aktivitas usaha-usaha tersebut.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN LEASING PADA PT. ERA CEPAT TRANSPORTINDO Budy Bhudiman
YUSTISI Vol 3 No 2 (2016)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (449.229 KB) | DOI: 10.32832/yustisi.v3i2.1101

Abstract

Dalam rangka memenuhi kebutuhan modal atau dana dari para pengusaha, Pemerintah memperkenalkan suatu lembaga keuangan baru disamping lembaga keuangan bank yaitu lembaga pembiayaan yang menawarkan diantaranya adalah sewa guna usaha atau leasing. Ketentuan yang mengatur tentang sewa guna usaha atau leasing ini adalah dua Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 1169/KMK.01/1991 dan Nomor: 634/KMK.013/1990. Lembaga pembiayaan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan dan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. Meskipun demikian, leasing tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata Buku III Bab I dan Bab II Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hal iniseperti yang ditentukan dalam pasal 1319 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Leasing sebagai salah satu bentuk perjanjian tidak bernama yang sampai saat ini tidak ada undangundang khusus yang mengaturnya. Didalam melaksanakan suatu perjanjian atau perikatan, hendaklah para pihak mengkaji isi dari perjanjian yang akan disepakati, karena para pihak yang terdapat dalam perjanjian tersebut terikat dengan isi perjanjian dan mengerti akan hak dan kewajibannya. Perlindungan hukum bagi konsumen merupakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum kepada konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat memberikan harapan bagi Lessee sebagai konsumen terhadap Lessor sebagai pelaku usaha. Perjanjian sewa guna usaha (leasing) hendaknya dibuatkan undang-undang tersendiri yang mengatur secara khusus, mekanisme perjanjian yang dibuat harus notarial, juga mekanisme jaminan harus sesuai dengan prosedur dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia. Perjanjian baku untuk tidak dibiarkan tumbuh secara liar, karena itu perlu ditertibkan.
STATUS ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA Prihatini Purwaningsih
YUSTISI Vol 3 No 2 (2016)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (601.262 KB) | DOI: 10.32832/yustisi.v3i2.1106

Abstract

Perkawinan dibawah tangan yang tidak tercatat di KUA atau catatan sipil berakibat merugikan khususnya bagi pihak perempuan, apalagi jika seorang perempuan tersebut memiliki atau melahirkan anak yang merupakan akibat dari perkawinan dibawah tangan, karena dalam undang-undang anak yang dilahirkan tanpa adanya status bapak yang sah anak tersebut bernasab ke ibu. Berlanjut dimasa depannya apabila seorang anak yang lahir dari buah perkawinan di bawah tangan yakni menimbulkan banyak kesulitan mengenai administrasi dirinya mulai ia akan meranjak kedunia pendidikan, pekerjaan sampai anak yang telah dewasa itu ingin menikah. Akta kelahiran menjadi sangat asasi karena menyangkut identitas diri dan status kewarganegaraan. Ini sudah menjadi Hak Asasi Manusia dan menyangkut hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh Negara serta orangtua yang melahirkannya. Apabila seorang anak lahir kemudian identitasnya tidak terdaftar atau tidak ada maka akan menimbulkan masalah dan berakibat pada Negara, pemerintah, masyarakat, orangtua bahkan untuk anak itu sendiri. Karena seorang anak bukannlah hanya sebagai penerus orang tuanya saja tapi menjadi penerus bangsa, tunas bangsa dan potensi sebuah bangsa, seorang anak berhak mendapat kesempatan seluas luasnya baik dari hak yang melekat pada dirinya maupun hak yang bersangkutan dengan orang lain yang berhubungan dekat dengannya tanpa adanya keterbatasan karena kurangnya identitas diri yang belum dipenuhinya kepada Negara. Status keperdataan anak yang dilahirkan dari perkawinan di bawah tangan dimana status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak-anak menjadi korban dari perkawinan di bawah tangan tersebut. Baik secara hukum sosial maupun psikologis tentunya berakibat terhadap anak. Perkawinan di bawah tangan hanya menguntungkan suami/laki-laki dan akan merugikan kaum perempuan dan anak-anak. Banyaknya kasus anak lahir dari perkawinan tersebut antara lain pada tahun 2010 muncul kasus gugatan untuk di Yudicial Review (uji materiil) terhadap Undang-undang perkawinan khususnya terhadap Pasal 43 kepada Mahkamah Konstitusi. Kasus ini diajukan pertama kali oleh Machica Mochtar. Dimana Machicha Mochtar pernah menikah sirri dengan seorang pejabat, dari perkawinan ini lahirlah seorang anak laki-laki. Anak ini lahir dari perkawinan di bawah tangan karena suami dari Machica Mochtar masih memiliki istri sah dan kasus ini dimenangkan oleh Machicha Muhtar dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.
UPAYA PENANGGULANGAN TERJADINYA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Dadang Iskandar
YUSTISI Vol 3 No 2 (2016)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (558.29 KB) | DOI: 10.32832/yustisi.v3i2.1102

Abstract

Perlindungan hukum pada perempuan dari tindak kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga telah diatur dalam berbagai instrumen hukum nasional. Substansi hukum yang terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam kenyataannya kedudukan perempuan masih dianggap tidak sejajar dengan laki-laki, perempuan sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga seperti kekerasan fisik, psikis sampai pada timbulnya korban jiwa. Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa selama ini perempuan masih ditempatkan pada posisi marginalisasi. Perempuan tidak sebatas objek pemuas seks kaum laki-iaki yang akrab dengan kekerasan, tetapi juga sebagai kaum yang dipandang lemah, selain harus dikuasai oleh kaum laki-laki. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, antara lain adanya budaya patriaki di masyarakat, rendahnya pendidikan dan pengetahuan perempuan sebagai isteri, diskriminasi dan ketergantungan secara ekonomi dan lemahnya pemahaman dan penanganan dari aparat penegak hukum. Maka dari itu perlu upaya penanggulaga terhadap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Dalam upaya penanggulangan dan pencegahan pelaku kekerasan dalam rumah tangga tidak cukup hanya dengan pendekatan secara integral, tetapi pendekatan sarana penal dan non penal tersebut harus didukung juga dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya hukum. Dikatakan sebagai salah satu bagian, karena selama ini ada persepsi bahwa budaya hukum hanya meliputi kesadaran hukum masyarakat saja. Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menangani kekerasan dalam rumah tangga yaitu melalui pendekatan kuratif maupun pendekatan preventif.

Page 1 of 1 | Total Record : 6