cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta barat,
Dki jakarta
INDONESIA
JFIOnline
ISSN : 14121107     EISSN : 2355696X     DOI : -
Core Subject : Health,
Jurnal Farmasi Indonesia yang diterbitkan oleh Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia. Isi website memuat seluruh jurnal yang telah diterbitkan mencakup semua aspek dalam ilmu pengetahuan dan teknologi kefarmasian antara lain farmakologi, farmakognosi, fitokimia,farmasetika, kimia farmasi, biologi molekuler, bioteknologi, farmasi klinik,farmasi komunitas, farmasi pendidikan, dan lain-lain.
Arjuna Subject : -
Articles 13 Documents
Search results for , issue "Vol 3, No 1 (2006)" : 13 Documents clear
MEKANISME MOLEKULAR TOLERANSI OBAT ANTI NYERI OPIOID Khotib, Junaidi
JFIOnline | Print ISSN 1412-1107 | e-ISSN 2355-696X Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Indonesian Research Gateway

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

One of the problem facing the use of analgesic medication is drug tolerance. The mechanism of the decrease of the potency is not clearly understood. This experiment aimed to study the mechanism which could explain the tolerance phenomenon in patient using high potency opioid analgesic, such as morphine, phentanyl, and oxycodon. Morphine 10 mg/kg, phentanyl 56 mgram/kg,  oxycodon 3 mg/kg, and (-)U50,488H 10 mg/kg were administrated subcutaneously to ICR mice (8-10 mice each group) results in high potency analgesic according to hot plate test and tail flick test. Using hot plate test it was revealed that there is decreasing potency in repeated administration (7 days) of those opioid analgesics, from 87% to 35% for morphine, from 89% to 53% for phentanyl, from 91% to 41% for oxycodon, and 85& to 27% for (-)U50,488H. The decreasing potency was followed by the decreasing function of the opiod receptor determined base on the opioid receptor bound G protein activity using [35S]GTPgS method. The receptor function decreased by almost 50% in the spinal cord, peri aqueductal grey and thalamus. From those result it was concluded that the decrease in receptor function or number was the main mechanism that cause the opioid analgesics drug tolerance. Keywords: drug tolerance, opioid analgesic, opioid receptor ABSTRAK Salah satu masalah utama penggunaan obat-obat anti nyeri adalah timbulnya toleransi obat. Mekanisme yang mendasari terjadinya penurunan potensi anti nyeri masih belum jelas. Penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari mekanisme yang mendasari terjadinya toleransi pada pemakaian obat-obat anti nyeri opioid yang mempunyai potensi tinggi seperti morfin, fentanil dan oksikodon. Pemberian sub-kutan morfin 10 mg/kg, fentanil 56 mgram/kg, oksikodon 3 mg/kg atau (-)U50,488H 10 mg/kg pada hewan coba mencit galur ICR (8-10 ekor tiap kelompok) menghasilkan potensi anti nyeri yang kuat berdasarkan metode hot plate test dan tail flick test. Dengan metode hot plate test menunjukkan adanya penurunan potensi setelah pemakaian berulang selama 7 hari dari 87% menjadi 35% untuk morfin, 89% menjadi 53% untuk fentanil, 91% menjadi 41% untuk oksikodon dan 85% menjadi 27% untuk (-)U50,488H. Penurunan ini disertai juga dengan berkurangnya fungsi reseptor yang ditentukan berdasarkan aktivasi protein G yang terikat opioid reseptor dengan metode [35S]GTPgS. Penurunan fungsi reseptor hampir 50% terjadi pada spinal cord, peri aqueductal grey dan thalamus. Sedangkan dengan RT-PCR diketahui bahwa ekspresi reseptor opioid tersebut tidak mengalami perubahan. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa penurunan fungsi atau jumlah reseptor merupakan penyebab utama terjadinya toleransi obat-obat anti nyeri opioid.
PERAN AGONIS RESEPTOR OPIOID KAPPA (-) U50,488H DALAM PROSPEK TERAPI GEJALA PUTUS OBAT MORFIN Khotib, Junaidi; SZ, Bambang; Yulistian, .; Syamsiah, Siti; Suzuki, Tsutomu
JFIOnline | Print ISSN 1412-1107 | e-ISSN 2355-696X Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Indonesian Research Gateway

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Opioid receptor Kappa has different or even contradictive characteristic compare to opioid receptor mu. Stimulation of mu receptor with morphine, phentanyl, or DAMGO shows strengthening effect, locomotor increase,  euphoria and drug craving, while activation of Kappa receptor by its agonist shows disphoria effect, sedative and drug rejection. This experiment revealed that treatment with 10 mg/kg morphine in group of ICR  mice significantly increase the locomotor activity from 490 to 2460 total activity (P<0.001; n=12 each group). This increase was significantly inhibit by selective pre-treatment Kappa receptor agonist (-) U50,488H 3 mg/kg. Drug carving effect was evaluated with conditioning place preference (CPP) method where pre-treatment with (-) U50,488H 3 mg/kg subcutaneous injection also decreased drug carving effect caused by morphine, i.e. from 127 to 30 CPP value (p<0.01).  ABSTRAK Reseptor opioid kappa mempunyai sifat yang berbeda bahkan bertentangan dengan reseptor opioid mu. Stimulasi reseptor mu dengan morfin, fentanil atau DAMGO menunjukkan efek penguatan, peningkatan lokomotor, euphoria dan keinginan mendapatkan obat kembali (drug craving), sementara aktivasi reseptor kappa oleh agonisnya menunjukkan efek disphoria, sedative dan penolakan obat. Penelitian ini menunjukkan perlakuan dengan morfin 10 mg/kg pada mencit galur ICR meningkatkan secara bermakna efek aktivitas lokomotor dari 490 menjadi 2460 aktivitas total (P<0.001; n=12 tiap kelompok). Peningkatan ini diturunkan secara signifikan dengan pra-perlakuan selektif agonis reseptor kappa (-) U50,488H 3 mg/kg yaitu menjadi 1501 aktivitas total (p<0.01). Efek drug craving dievaluasi dengan metode conditioning place preference (CPP), pra-perlakuan dengan injeksi sub-kutan (-) U50,488H 3 mg/kg juga menurunkan efek drug craving yang disebabkan oleh morfin dari 127 menjadi 30 harga CPP (p<0.01). Untuk menjelaskan mekanisme penurunan gejala putus obat tersebut, dilakukan pengukuran kadar dopamin pada nucleus accumbens dan pengujian aktivitas protein G yang terikat pada reseptor dopamin pada limbic forebrain dengan metode [35S]GTPS binding assay. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pra-perlakuan (-) U50,488H dapat menurunkan gejala putus obat yang disebabkan oleh morfin.
EFEKTIVITAS AGONIS RESEPTOR OPIOID KAPPA PADA NYERI AKUT DAN KRONIK Rahmadi, Mahardian; Khotib, Junaidi; Suprapti, Budi; Sjamsiah, Siti
JFIOnline | Print ISSN 1412-1107 | e-ISSN 2355-696X Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Indonesian Research Gateway

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kappa receptor is one opioid receptor subunit which when activated can stimulate analgesic effect, however with lower dependency risk compare to other opioid receptor subunit. (mu and delta). The objective of this experiment was to examine the effectivity of kappa opioid receptor agonist  in acute and chronic pain (inflammation and neuropathy), in order to find new strategy in pain management. Groups of ICR mice (n = 10) were treated to gain acute and chronic pain model. Acute pain was gain by hot stimulation through hot plate and tail flick. Inflammation model was made by CFA intraplantar injection. Neuropathy pain was induced by binding the sciatic neuron. To examine the pain-blocker effectivity of kappa receptor agonist,  trans-1S,2S]-3,4-dichloro-N-methyl-N-[2-(1-pyrrolidinyl)cyclohexyl]benzeneacetamide(-)U50,488H was inject subcutaneously 3 mg/kg - 20mg/kg body wight. Then hot plate and tail flick were conduct, morphine 10 mg/kg bw use as standard. From results can be concluded that   activation of kappa receptor can induce pain-blocker or analgesic effect as well, against acute or chronic pain, inflammation or neuropathy. ABSTRAK Reseptor kappa merupakan salah satu sub unit reseptor opioid yang jika diaktivasi dapat mempunyai efek analgesik tetapi dengan risiko dependensi yang lebih kecil dari pada sub unit reseptor opioid yang lain (mu dan delta). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efektivitas agonis reseptor opioid kappa pada keadan nyeri akut dan kronik (inflamasi dan neuropati), sehingga diharapkan didapatkan strategi baru dalam penanganan nyeri. Untuk pengujian efektivitas antinyeri dari agonis reseptor kappa, trans-1S,2S]-3,4-dichloro-N-methyl-N-[2-(1-pyrrolidinyl) cyclohexyl]benzeneacetamide   (-)U50,488H diinjeksikan secara subkutan mulai dosis 3 mg/kgbb hingga 20mg/kgbb kemudian dilakukan uji hot plate dan tail flick, sebagai pembanding digunakan morfin 10mg/kgbb. Pegujian dilakukan pada 15, 30, 45, 60, 90 dan 120 menit setelah penginjeksian (-)U50,488H. Aktivitas antinyeri dinyatakan dalam % MPE (maximal possible antinociceptive effect). (-)U50,448H memiliki aktivitas antinyeri sebanding dengan dosis pemberian baik pada keadaan nyeri akut, inflamasi maupun neuropati. Pada dosis 3 mg/kgbb menghasilkan 47% MPE, dosis 5,6 mg/kgbb menghasilkan 76% MPE, dosis 10mg/kgbb menghasilkan 88% MPE dan dosis 20 mg/kgbb menghasilkan 100% MPE. Waktu puncak dicapai pada 15 menit setelah injeksi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa aktivasi reseptor kappa juga dapat memberikan efek anti nyeri, baik pada nyeri akut, inflamasi maupun neuropati.
INTERAKSI SIMETIDIN TERHADAP KINETIKA ELIMINASI PARASETAMOL PADA KELINCI Sumarno, .
JFIOnline | Print ISSN 1412-1107 | e-ISSN 2355-696X Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Indonesian Research Gateway

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Cimetidine is a H2-antagonist which has potential to interfere the metabolism of other drugs by inhibit the activity of liver microsomal enzymes by binding cytochrome P-450, therefore diminished active cytochrome P-450. The metabolism of paracetamol occurred in liver cells which involve cytochrome P-450 in phase I N-hydroxylation reaction.  This experiment objective was to investigate the interaction of cymetidine on the kinetic  of elimination of paracetamol. The experiment done on 2 groups of rabbit, 5 in control group and the other 5 in the treatment group. Rabbit in control group was only given paracetamol 450 mg/kg per oral, while the treatment group was given cymetidine 78 mg/kg per oral every 6 hour for three times one day before the administration of paracetamol. Rsults showed that there was significant differences in kinetic of elimination reaction of paracetamol between the two groups (p < 0,01). Half life (t1/2b) of paracetamol elimination  in control group was 161,02 minutes, while in pre-treatment group was increase to 429,26 minutes. It was concluded that cymetidine could interfere, i.e. lenghthen the half life elimination of paracetamol. ABSTRAK Simetidin merupakan salah satu H2-antagonist yang poten menghambat metabolisme obat lain, yang bekerjanya menghambat aktivitas enzim mikrosomal hati dengan cara mengikat sitokrom P-450 yang sifatnya reversible membentuk kompleks, sehingga sitokrom P-450 aktif berkurang jumlahnya. Metabolisme parasetamol terjadi di hati yang juga melibatkan sitokrom P-450 dalam metabolisme fase pertama pada reaksi oksidasi N-hidroksilasi. Penelitian interaksi simetidin terhadap kinetika eliminasi parasetamol dilakukan pada 2 kelompok kelinci yang terdiri dari 5 ekor kelompok kontrol dan 5 ekor kelompok perlakuan. Kelompok kontrol hanya diberi parasetamol oral 450 mg/kg BB, sedangkan kelompok perlakuan diberi simetidin oral 78 mg/kg BB setiap 6 jam sebanyak tiga kali sehari sebelum pemberian parasetamol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada kinetika eliminasi parasetamol setelah praperlakuan simetidin (p < 0,01). Hal ini terlihat bahwa waktu paruh elminasi parasetamol (t1/2b) pada kelompok kontrol  sebesar 161,02 menit , sedangkan pada kelompok perlakuan meningkat menjadi 429,26 menit. Tetapan laju eliminasi parasetamol (b) pada kelompok kontrol  sebesar 4,82.10-3 menit-1, sedangkan pada kelompok perlakuan menurun menjadi  1,69.10-3 menit-1. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh inhibisi simetidin terhadap metabolisme parasetamol sehingga waktu paruh eliminasi parasetamol menjadi lebih panjang.
PENGARUH PRAPERLAKUAN BROKOLI (Brassica oleracea L. var. botrytis L.) TERHADAP FARMAKOKINETIKA RIFAMPISIN PADA TIKUS Wahyono, Djoko; Hakim, Arief Rahman
JFIOnline | Print ISSN 1412-1107 | e-ISSN 2355-696X Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Indonesian Research Gateway

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The research was aimed to observe broccoli (Brassica oleracea L. var. botrytis L.) activities to rifampicin pharmacokinetics in rats. The study was conducted using female Sprague Dawley rats which were divided  into 3 groups (6 rats for each group). The groups were given a single oral rifampicin 50,4 mg/kg BW as a control group and were confered multiple doses oral (once daily for seven days) (P-I) and single dose oral oral (P-II) broccoli 23,43 g/kg BW before treatment with rifampicin. Serial blood samples (0,2 ml) were withdrawn at various interval via the tail vein for HPLC analysis of unchanged rifampicin in blood. From the concentration of rifampicin vs time data  was determined rifampicin pharmacokinetics parameters i.e. Ka, Cmaks, tmaks, AUC0-~, Vdss, t1/2 elimination, ClT and K. The results have shown that the pharmacokinetics values of rifampicin in the animals prefed with broccoli 23,43 mg/kg bw 1 hours prior to single oral administration of the drug did not change significantly (P>0,10). Prefeeding the animals with broccoli 23,43 g/kg bw once daily for 7 consecutive days has increased the total clearance of rifampicin 46,90% (P<0,10). The increase in the total clearance rifampicin due to the compound has decreased Cmaks 36,54% (P<0,10). ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian praperlakuan brokoli (Brassica oleracea L. var. botrytis L.) terhadap farmakokinetika rifampisin pada tikus. Penelitian menggunakan tikus putih betina galur Sprague Dawley yang dibagi menjadi 3 kelompok masing-masing terdiri dari 6 ekor hewan. Kelompok I (kontrol) diberikan  rifampisin secara oral dosis 50,4 mg/kg BB,   kelompok II dan III (perlakuan) diberikan brokoli secara oral dosis 23,43 g/kg BB sekali sehari selama 7 hari (P-I) dan 1 jam sebelum (P-II) diberikan rifampisin dengan dosis yang sama seperti kelompok I. Setelah seluruh hewan mendapatkan perlakuan, pada jam-jam ke- 0,25; 0,5; 1; 1,5; 2;  3; 4; 6; 8; 10; 12, dan 24  diambil cuplikan darah (0,2 ml) dari vena lateralis ekor, guna penetapan kadar rifampisin utuh secara HPLC. Kadar rifampisin utuh dalam darah dihitung berdasarkan kurva baku. Harga-harga parameter farmakokinetika rifampisin (Ka, Cmaks, tmaks, AUC0-~, Vdss, t1/2, ClT dan K) dihitung berdasarkan data kadar rifampisin utuh dalam darah terhadap waktu. Hasil penelitian menunjukkan praperlakuan brokoli satu jam sebelum pemberian rifampisin tidak mempengaruhi farmakokinetika rifampisin (P>0,10), namun pemberian brokoli sekali sehari selama 7 hari sebelum pemberian rifampisin mampu meningkatkan ClT rifampisin sebesar 46,90% (P<0,10). Akibat kenaikan ClT rifampisin tersebut, harga Cmaks mengalami penurunan sebesar 36,54% (P<0,10).
PENGARUH 1,5-BIS(4’-HIDROKSI-3’-METOKSIFENIL)-1,4-PENTADIEN-3-ON DAN KURKUMIN PADA AKTIVITAS ENZIM GLUTATION S-TRANSFERASE PARU TIKUS Yuniarti, Nunung; Martono, Sudibyo
JFIOnline | Print ISSN 1412-1107 | e-ISSN 2355-696X Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Indonesian Research Gateway

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Curcumin was proved to have activity as GST inhibitor. 1,5-bis(4’-hydroxy-3’-methoxyphenyl)-1,4-pentadien-3-on which is curcumin analog, was predicted to have  same activity as curcumin. This experiment was conduct to verify that prediction, aimed to revealed the influence of 1,5-bis(4’-hydroxy-3’-methoxyphenyl)-1,4-pentadien-3-on as well as curcumin on rat lung GST activity  in vitro, using  1-chloro-2,4-dinitrobenzene (CDNB) as substrate. GST activity was determined using conjugation reaction of glutathione (GSH) with CDNB. GS-DNB conjugate formed was measured using spectrophotometry at l 345 nm between 0-3 minutes by simple kinetic program, result in certain rate (D absorption/minute). Using similar method, conjugation reaction was done, however with addition of 1,5-bis(4’-hydroxy-3’-methoxyphenyl)-1,4-pentadien-3-on and curcumin as inhibitor. Inhibition effect followed by the decreasing of reaction rate.  From the result it was concluded that  1,5-bis(4’-hydroxy-3’-methoxyphenyl)-1,4-pentadien-3-on and curcumin can inhibit mice lung GST activity with  IC50 value 9,13 mM and 13,32 mM. ABSTRAK Kurkumin dilaporkan memiliki aktivitas sebagai inhibitor GST. Senyawa 1,5-bis(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,4-pentadien-3-on yang merupakan senyawa analog kurkumin, diprediksikan memiliki aktivitas yang relatif sama dengan kurkumin. Oleh karena itu, dari hasil prediksi tersebut perlu dilakukan verifikasi dengan uji laboratoris. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh senyawa 1,5-bis(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,4-pentadien-3-on dan kurkumin pada aktivitas GST paru tikus dengan substrat 1-kloro-2,4-dinitrobenzen (CDNB) secara in vitro. Aktivitas GST ditentukan menggunakan reaksi konjugasi glutation (GSH) dengan substrat CDNB. Konjugat GS-DNB yang terbentuk diukur secara spektrofotometri pada l 345 nm antara menit ke 0-3 menggunakan program simple kinetic, menghasilkan suatu rate (D serapan/menit). Dengan cara yang sama dilakukan reaksi konjugasi namun dengan penambahan senyawa 1,5-bis(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,4-pentadien-3-on dan kurkumin sebagai inhibitor. Adanya efek inhibisi diketahui dari penurunan rate. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa senyawa 1,5-bis(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,4-pentadien-3-on dan kurkumin menghambat GST paru tikus dengan IC50 berturut-turut adalah 9,13 mM dan 13,32 mM.
PERAN AGONIS RESEPTOR OPIOID KAPPA (-) U50,488H DALAM PROSPEK TERAPI GEJALA PUTUS OBAT MORFIN Khotib, Junaidi; SZ, Bambang; Yulistian, .; Syamsiah, Siti; Suzuki, Tsutomu
Jurnal Farmasi Indonesia Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Jurnal Farmasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35617/jfi.v3i1.65

Abstract

Opioid receptor Kappa has different or even contradictive characteristic compare to opioid receptor mu. Stimulation of mu receptor with morphine, phentanyl, or DAMGO shows strengthening effect, locomotor increase,  euphoria and drug craving, while activation of Kappa receptor by its agonist shows disphoria effect, sedative and drug rejection. This experiment revealed that treatment with 10 mg/kg morphine in group of ICR  mice significantly increase the locomotor activity from 490 to 2460 total activity (P<0.001; n=12 each group). This increase was significantly inhibit by selective pre-treatment Kappa receptor agonist (-) U50,488H 3 mg/kg. Drug carving effect was evaluated with conditioning place preference (CPP) method where pre-treatment with (-) U50,488H 3 mg/kg subcutaneous injection also decreased drug carving effect caused by morphine, i.e. from 127 to 30 CPP value (p<0.01).  ABSTRAK Reseptor opioid kappa mempunyai sifat yang berbeda bahkan bertentangan dengan reseptor opioid mu. Stimulasi reseptor mu dengan morfin, fentanil atau DAMGO menunjukkan efek penguatan, peningkatan lokomotor, euphoria dan keinginan mendapatkan obat kembali (drug craving), sementara aktivasi reseptor kappa oleh agonisnya menunjukkan efek disphoria, sedative dan penolakan obat. Penelitian ini menunjukkan perlakuan dengan morfin 10 mg/kg pada mencit galur ICR meningkatkan secara bermakna efek aktivitas lokomotor dari 490 menjadi 2460 aktivitas total (P<0.001; n=12 tiap kelompok). Peningkatan ini diturunkan secara signifikan dengan pra-perlakuan selektif agonis reseptor kappa (-) U50,488H 3 mg/kg yaitu menjadi 1501 aktivitas total (p<0.01). Efek drug craving dievaluasi dengan metode conditioning place preference (CPP), pra-perlakuan dengan injeksi sub-kutan (-) U50,488H 3 mg/kg juga menurunkan efek drug craving yang disebabkan oleh morfin dari 127 menjadi 30 harga CPP (p<0.01). Untuk menjelaskan mekanisme penurunan gejala putus obat tersebut, dilakukan pengukuran kadar dopamin pada nucleus accumbens dan pengujian aktivitas protein G yang terikat pada reseptor dopamin pada limbic forebrain dengan metode [35S]GTPS binding assay. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pra-perlakuan (-) U50,488H dapat menurunkan gejala putus obat yang disebabkan oleh morfin.
EFEKTIVITAS AGONIS RESEPTOR OPIOID KAPPA PADA NYERI AKUT DAN KRONIK Rahmadi, Mahardian; Khotib, Junaidi; Suprapti, Budi; Sjamsiah, Siti
Jurnal Farmasi Indonesia Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Jurnal Farmasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35617/jfi.v3i1.66

Abstract

Kappa receptor is one opioid receptor subunit which when activated can stimulate analgesic effect, however with lower dependency risk compare to other opioid receptor subunit. (mu and delta). The objective of this experiment was to examine the effectivity of kappa opioid receptor agonist  in acute and chronic pain (inflammation and neuropathy), in order to find new strategy in pain management. Groups of ICR mice (n = 10) were treated to gain acute and chronic pain model. Acute pain was gain by hot stimulation through hot plate and tail flick. Inflammation model was made by CFA intraplantar injection. Neuropathy pain was induced by binding the sciatic neuron. To examine the pain-blocker effectivity of kappa receptor agonist,  trans-1S,2S]-3,4-dichloro-N-methyl-N-[2-(1-pyrrolidinyl)cyclohexyl]benzeneacetamide(-)U50,488H was inject subcutaneously 3 mg/kg - 20mg/kg body wight. Then hot plate and tail flick were conduct, morphine 10 mg/kg bw use as standard. From results can be concluded that   activation of kappa receptor can induce pain-blocker or analgesic effect as well, against acute or chronic pain, inflammation or neuropathy. ABSTRAK Reseptor kappa merupakan salah satu sub unit reseptor opioid yang jika diaktivasi dapat mempunyai efek analgesik tetapi dengan risiko dependensi yang lebih kecil dari pada sub unit reseptor opioid yang lain (mu dan delta). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efektivitas agonis reseptor opioid kappa pada keadan nyeri akut dan kronik (inflamasi dan neuropati), sehingga diharapkan didapatkan strategi baru dalam penanganan nyeri. Untuk pengujian efektivitas antinyeri dari agonis reseptor kappa, trans-1S,2S]-3,4-dichloro-N-methyl-N-[2-(1-pyrrolidinyl) cyclohexyl]benzeneacetamide   (-)U50,488H diinjeksikan secara subkutan mulai dosis 3 mg/kgbb hingga 20mg/kgbb kemudian dilakukan uji hot plate dan tail flick, sebagai pembanding digunakan morfin 10mg/kgbb. Pegujian dilakukan pada 15, 30, 45, 60, 90 dan 120 menit setelah penginjeksian (-)U50,488H. Aktivitas antinyeri dinyatakan dalam % MPE (maximal possible antinociceptive effect). (-)U50,448H memiliki aktivitas antinyeri sebanding dengan dosis pemberian baik pada keadaan nyeri akut, inflamasi maupun neuropati. Pada dosis 3 mg/kgbb menghasilkan 47% MPE, dosis 5,6 mg/kgbb menghasilkan 76% MPE, dosis 10mg/kgbb menghasilkan 88% MPE dan dosis 20 mg/kgbb menghasilkan 100% MPE. Waktu puncak dicapai pada 15 menit setelah injeksi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa aktivasi reseptor kappa juga dapat memberikan efek anti nyeri, baik pada nyeri akut, inflamasi maupun neuropati.
INTERAKSI SIMETIDIN TERHADAP KINETIKA ELIMINASI PARASETAMOL PADA KELINCI Sumarno, .
Jurnal Farmasi Indonesia Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Jurnal Farmasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35617/jfi.v3i1.67

Abstract

Cimetidine is a H2-antagonist which has potential to interfere the metabolism of other drugs by inhibit the activity of liver microsomal enzymes by binding cytochrome P-450, therefore diminished active cytochrome P-450. The metabolism of paracetamol occurred in liver cells which involve cytochrome P-450 in phase I N-hydroxylation reaction.  This experiment objective was to investigate the interaction of cymetidine on the kinetic  of elimination of paracetamol. The experiment done on 2 groups of rabbit, 5 in control group and the other 5 in the treatment group. Rabbit in control group was only given paracetamol 450 mg/kg per oral, while the treatment group was given cymetidine 78 mg/kg per oral every 6 hour for three times one day before the administration of paracetamol. Rsults showed that there was significant differences in kinetic of elimination reaction of paracetamol between the two groups (p < 0,01). Half life (t1/2b) of paracetamol elimination  in control group was 161,02 minutes, while in pre-treatment group was increase to 429,26 minutes. It was concluded that cymetidine could interfere, i.e. lenghthen the half life elimination of paracetamol. ABSTRAK Simetidin merupakan salah satu H2-antagonist yang poten menghambat metabolisme obat lain, yang bekerjanya menghambat aktivitas enzim mikrosomal hati dengan cara mengikat sitokrom P-450 yang sifatnya reversible membentuk kompleks, sehingga sitokrom P-450 aktif berkurang jumlahnya. Metabolisme parasetamol terjadi di hati yang juga melibatkan sitokrom P-450 dalam metabolisme fase pertama pada reaksi oksidasi N-hidroksilasi. Penelitian interaksi simetidin terhadap kinetika eliminasi parasetamol dilakukan pada 2 kelompok kelinci yang terdiri dari 5 ekor kelompok kontrol dan 5 ekor kelompok perlakuan. Kelompok kontrol hanya diberi parasetamol oral 450 mg/kg BB, sedangkan kelompok perlakuan diberi simetidin oral 78 mg/kg BB setiap 6 jam sebanyak tiga kali sehari sebelum pemberian parasetamol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada kinetika eliminasi parasetamol setelah praperlakuan simetidin (p < 0,01). Hal ini terlihat bahwa waktu paruh elminasi parasetamol (t1/2b) pada kelompok kontrol  sebesar 161,02 menit , sedangkan pada kelompok perlakuan meningkat menjadi 429,26 menit. Tetapan laju eliminasi parasetamol (b) pada kelompok kontrol  sebesar 4,82.10-3 menit-1, sedangkan pada kelompok perlakuan menurun menjadi  1,69.10-3 menit-1. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh inhibisi simetidin terhadap metabolisme parasetamol sehingga waktu paruh eliminasi parasetamol menjadi lebih panjang.
PENENTUAN ISOFORM SITOKROM P450 POTENSIAL PADA METABOLISME OBAT DENGAN MODEL OBAT GLIKLAZID Suharjono, .
Jurnal Farmasi Indonesia Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Jurnal Farmasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35617/jfi.v3i1.68

Abstract

With the advancement of molecular biology techniques and extended use of human liver microsomes (HLM), we have known the specific isoform of cytocrome P450 (CYP450) involved in human drug metabolisms. The specific isoform need certain physicochemistry characteristic of the drug to be metabolized, e.g. log P, pKa, log D7.4, a/d2, l/w, SA, vol,  E , ELUMO and μ , which theoriticaly can be measured from its chemical structure using COMPACT software. There are, at least, 8 human liver microsomal CYP450 isoforms involved in drug metabolism. In this experiment we use gliclazide as drug model which will be metabolized into 3 main metabolites; inhbitor will inhibit the formation of the 3 metabolites and can be calculated further the value of % inhibition. From the inhibitor concentration and the greatest % inhibition compare to control, we can predict the specific CYP450 isoform involved in the metabolism of drug model.  From the results of the experiment we can conclude that CYP2C9 isoform is the potential CYP450 isoform involved in the formation of glicazide metabolites. There are suitable physicochemistry characteristic of the inhibitor sulfafenazol and the substrate glicazide with CYP450 isoform enzymeâ??s specificity. ABSTRAK Dengan majunya ilmu dan teknologi biologi molekuler dewasa ini, maka sudah dapat diketahui jenis isoform sitokrom P450 (CYP450) yang spesifik pada manusia yang terlibat dalam metabolisme obat dengan menggunakan human liver microsomes (HLM). Untuk metabolisme obat oleh isoform CYP450 spesifik diperlukan kesesuaian sifat kimia-fisika substrat terhadap isoform CYP450. Sifat kimia fisika substrat tersebut, meliputi log P, pKa, log D7.4, a/d2, l/w, SA, vol,  E , ELUMO dan μ , yang secara teoritis dapat diperhitungkan dari struktur kimianya dengan software COMPACT. Setidaknya ada 8 isoform CYP450 mikrosomal hati manusia yang diduga dapat ikut mempengaruhi metabolisme obat. Pada penelitian ini digunakan model obat gliklazid yang akan dimetabolisme menjadi 3 metabolit utama dan inhbitor akan menghambat pembentukan ke tiga metabolit dan dapat dihitung % inhibisinya. Dari kecilnya kadar inhibitor yang digunakan dan % inhibisi terbesar  pembentukan metabolit dibanding kontrol dapat diprediksi isoform CYP450 spesifik.  Isoform CYP2C9 merupakan isoform CYP450 yang potensial  terlibat dalam pembentukan ketiga metabolit Gz dengan ditunjukkan % inhibisi terbesar dan kadar yang kecil dari sulfafenazol yang digunakan.Ada kesesuaian sifat kimia fisika inhibitor sulfafenazol  dan substrat  Gz dengan spesifisitas enzim metabolisme isoform CYP450.

Page 1 of 2 | Total Record : 13