cover
Contact Name
Arnis Duwita Purnama
Contact Email
jurnal@komisiyudisial.go.id
Phone
+628121368480
Journal Mail Official
jurnal@komisiyudisial.go.id
Editorial Address
Redaksi Jurnal Yudisial Gd. Komisi Yudisial RI Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Yudisial
ISSN : 19786506     EISSN : 25794868     DOI : 10.29123
Core Subject : Social,
Jurnal Yudisial memuat hasil penelitian putusan hakim atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri dan merupakan artikel asli (belum pernah dipublikasikan). Visi: Menjadikan Jurnal Yudisial sebagai jurnal berskala internasional. Misi: 1. Sebagai ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil. 2. Membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 7, No 2 (2014): DISPARITAS YUDISIAL" : 6 Documents clear
DISPARITAS PUTUSAN TERKAIT PENAFSIRAN PASAL 2 DAN 3 UU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Melani melani
Jurnal Yudisial Vol 7, No 2 (2014): DISPARITAS YUDISIAL
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v7i2.82

Abstract

ABSTRAKPenemuan hukum oleh hakim dalam putusan pengadilan sangatlah penting. Namun apabila penemuan tersebut didasarkan pada penafsiran hukum yang keliru, maka langkah tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai penemuan hukum dan justru akan berimplikasi pada munculnya kekecewaan masyarakat. Hasil analisis terhadap 13 putusan pengadilan menunjukkan adanya disparitas penafsiran hukum baik secara horizontal maupun vertikal atas Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di antara penafsiran hukum yang paling menonjol yang digunakan hakim adalah penafsiran restriktif, sehingga unsur “setiap orang” dalam Pasal 2 ditafsirkan sebagai orang yang bukan pegawai negeri atau pejabat negara, sedangkan unsur “setiap orang” dalam Pasal 3 ditafsirkan sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Penafsiran tersebut tidaklah masuk akal karena berakibat pegawai negeri atau pejabat negara tidak dapat dijerat dengan Pasal 2 (perbuatan melawan hukum) dan hanya dapat dijerat dengan Pasal 3 (penyalahgunaan wewenang). Ancaman hukuman minimal Pasal 3 jauh lebih ringan daripada ancaman hukuman minimal Pasal 2, sehingga putusan yang didasarkan pada penafsiran restriktif tersebut  berimplikasi pada ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Di samping itu secara penafsiran sistematis hal demikian bertentangan dengan payung hukum pidanakarena menurut Pasal 52 KUHP, ancaman bagi tindak pidana dalam jabatan ditambah sepertiga.Kata kunci: penemuan hukum, korupsi, penyalahgunaan wewenang.ABSTRACTLaw making method (rechtsvinding), either by using interpretation or construction by the judge is of great importance. However, once it is based on the incorrect law interpretation, it cannot be regarded as law making since it will result in public disappointment. The conclusion of the analysis of thirteen court decisions points to a red line of a disparity in law interpretation, either horizontally or vertically against Article 2 and 3 of the Law on Corruption Eradication. Among the most prominent law interpretation deployed by the judges is the restrictive interpretation, which has made the element of “any person” in Article 2 interpreted as people who are not civil servants or state officials, whereas the element of “everyone” in Article 3 interpreted as civil servants or state officials. The unreasonable interpretation has caused the civil servants or state officials cannot be trapped by Article 2 (act against the law) and can only be trapped by Article 3 (abuse of authority). The minimum penalty set out in article 3 is lenient than that in Article 2, and therefore, such decision based onrestrictive interpretation, could bring about injustice and legal uncertainty. Therefore that kind by systematical interpretation is against the Criminal Law as affirmed on Article 52 of the Criminal Code stating the threat of criminal acts in the department is enhanced by onethird. Keywords: law making method (rechtsvinding), corruption, abuse of authority.
REDUKSI FUNGSI ANGGARAN DPR DALAM KERANGKA CHECKS AND BALANCES Yutirsa Yunus; Reza Faraby
Jurnal Yudisial Vol 7, No 2 (2014): DISPARITAS YUDISIAL
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v7i2.87

Abstract

ABSTRAKPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 merupakan salah satu putusan penting. Putusan ini telah merombak struktur ketatanegaraan Indonesia yang menyimpang dari prinsip-prinsip negara hukum demokratis, khususnya dalam pelaksanaan fungsi anggaran oleh pemerintah dan DPR. Kewenangan dua lembaga dalam melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran pada dasarnya merupakan konsekuensi konsep negara hukum yang menganut prinsip checks and balances, yang bertujuan agar kekuasaan tidak hanya terletak pada satu tangan dan menghasilkan sistem pemerintahan yang korup dan otoriter. Namun, pelaksanaan fungsi anggaran oleh kedua lembaga harus memerhatikan batasan-batasan sesuai fungsi masing-masing agar tidak terjadi intervensi domain kekuasaan, konflik horizontal, maupun penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 berhasil membatasi kewenangan DPR dalam membahas R-APBN hanya sampai pada tingkat program. Pembatasan fungsi DPR ini merupakan upaya tepat agar DPR tidak menjadi sewenang-wenang dan justru mengacaukan sistem perencanaan dan penganggaran Pemerintah RI. Dengan demikian, putusan ini telah mereposisi kembali fungsi checks and balances di mana pemerintah mewujudkan fungsi perencanaan pembangunan dan penganggaran, sementara DPR mewujudkan fungsi politik anggaran yang sesuai amanat UUD NRI 1945.Kata kunci: fungsi anggaran, APBN, checks and balances.ABSTRACTThe Constitutional Court Decision Number 35/PUU-XI/2013 is one of the crucial decisions. This decision has revolutionized the Indonesian constitutional structure which seems to have deviated from democratic principles and rule of law, especially in the implementation of budgeting function by the government and the parliament. Those two agencies’ authorities in carrying out the function of planning and budgeting are basically a consequence of checks and balances principle in the rule of law, which aims to prevent corruption and authoritarian system resulted from an absolute government power. However, the implementation of the budgeting function by both agencies should give attention to each agency’s function limits in order to avoid intervention of power, conflict of interest, and abuse of power. In this case, the Constitutional Court Decision No. 35/PUU-XI/2013 has affirmed the limitation to the Parliament’s authority to discuss the National Budget Plans only in the scheme level. This limitation of the functions of Parliament is made as an effort to prevent the Parliament’s authority being that could possibly disrupt the government’s planning and budgeting system. Thus, this decision has repositioned the function of checks and balances, in which the government holds the function of development planning and budgeting, while the House of Representatives implements the budgeting policy as mandated on the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.Keywords: budgeting function, the National Budget Plans, checks and balances.
DUALISME PANDANGAN MAHKAMAH AGUNG MENGENAI STATUS HUKUM TENAGA KERJA ASING Vidya Prahassacitta
Jurnal Yudisial Vol 7, No 2 (2014): DISPARITAS YUDISIAL
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v7i2.83

Abstract

ABSTRAKPenggunaan tenaga kerja asing di pasar kerja Indonesia hanyalah untuk jabatan dan waktu tertentu. Hal tersebut diatur secara jelas dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaannya. Dalam praktiknya perjanjian kerja waktu tertentu antara pengusaha dengan tenaga kerja asing sering dibuat dengan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Perjanjian kerja tersebut sering dibuat tidak tertulis dan tidak dalam bahasa Indonesia. Selain itu jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu tersebut yang melebihi jangka waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang. Hal ini menimbulkan permasalahan hukum ketika terjadi perselisihan hubungan industrial terkait pemutusan hubungan kerja terkait dengan status hubungan kerja dan kompensasi PHK. Memang peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara khusus mengenai perjanjian kerja waktu tertentu bagi tenaga kerja asing sehingga pelanggaran atas perjanjian kerja waktu tertentu tersebut mengakibatkan perjanjian kerja tersebut dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Hal tersebut tidaklah tepat karena seharusnya terhadap perjanjian kerja waktu tertentu bagi tenaga kerja asing berlaku lex specialis. Dalam hal ini peran hakim menjadi penting dalam melakukan penemuan hukum untuk mengisi kekosongan hukum yang ada. Faktanya Mahkamah Agung sendiri tidak satu suara atas hal tersebut sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 dan No. 29PK/PDT.SUS/2010. Hal ini menimbulkan dualisme dalam putusan-putusan Mahkamah Agung. Kata kunci: perjanjian kerja, tenaga kerja asing, PHK.ABSTRACTThe employment of foreign workers in the Indonesian labor market is merely set for particular positions and a certain period of time as clearly stipulated in Law Number 13 of 2003 on Labor and its implementation regulations. In practice, temporary employment agreement between the employer and the foreign workers habitually does not meet the applicable regulations. The agreements are often unwritten and not set in Indonesian Language. Additionally, it has often exceeded the period of time set out in the law. This is a real issue that has resulted in legal problem, such as industrial disputes related to termination of employment concerning on employment status and compensation layoffs. Law and legislation do not specifically regulate on this temporary employment agreement for foreign workers, thus if there happens to be violations of the agreement, it would be stated as invalid agreement. This is not applicable, since the principle of lex specialis should have been deployed in such agreement between the employer and the foreign workers. In this regard, the role of judge to conduct lawful discovery is crucial to overcome a legal vacuum that could arise. But the fact that the Supreme Court does not agree with the terms as stated in the Decision number 595K/PDT.SUS/2010 and number 29PK/PDT.SUS/2010 has led to dualism in the majority of the Supreme Court’s decisions. Keywords: employment agreement, foreign workers, termination of employment.
KEKUATAN PEMBUKTIAN TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM PERKARA PERCERAIAN Ramdani Wahyu Sururie
Jurnal Yudisial Vol 7, No 2 (2014): DISPARITAS YUDISIAL
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v7i2.84

Abstract

ABSTRAKSaksi merupakan salah satu alat bukti yang digunakan untuk menyelesaikan suatu sengketa dan sangat menentukan untuk membuka tabir sejelas-jelasnya mengenai kebenaran pokok perkara yang disengketakan oleh kedua belah pihak. Dalam ketentuan hukum acara, saksi memiliki nilai kesaksian atau bernilai saksi sempurna apabila memenuhi syarat formil dan materil tentang apa yang disaksikan. Saksi seperti itu dinamakan saksi yang auditu sedangkan saksi yang tidak memiliki nilai kesaksian atau tidak memenuhi syarat formil dan materil kesaksian dinamakan saksi yang testimonium de auditu. Penelitian ini memfokuskan pada kajian adanya disparitas di dalam penilaian bukti saksi yang   testimonium de auditu di dalam pemeriksaan perkara perceraian antara pengadilan agama tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Pada Pengadilan Agama Karawang, majelis hakim mempertimbangkan bahwa saksi-saksi yang diajukan dalam persidangan sudah memiliki nilai pembuktian sekalipun keterangan yang diperoleh saksi berdasarkan apa yang didengar dari penggugat sehingga gugatan penggugat patut dikabulkan sedangkan dalam pertimbangan majelis hakim banding keterangan saksi yang diajukan dinilai sebagai saksi yang de auditu sehingga gugatan penggugat tidak terbukti dan akhirnya Pengadilan Tinggi Bandung membatalkan putusan Pengadilan Agama Karawang. Kata kunci: perceraian, saksi, perselisihan.ABSTRACTWitness is a kind of evidence used to resolve a dispute and crucial in unveiling the factual truth of the matter on the dispute by the two sides. In the Code of Civil Procedure, a witness has testimony value and is of the perfect witness if the formal and substantive requirements are satisfied. Such witness is called auditu witness. While if it has no testimony value or ineligible for the formal and substantive requirements, it is called testimonium de auditu. This analysis focuses on a disparity issue in the assessment of proof of testimonium de auditu in the review of a divorce case in two level courts: the Religious Court of First Instance of Karawang and the Appeal Court of Bandung. In Religious Court of Karawang, the judges considered that the proposed witnesses in the trial already have probative value of the information obtained even though it is built on what is heard from the plaintiff, so that their claim should be granted. While in the Judges’ consideration of the Appeal Court of Bandung, the witnesses proposed is assessed as a witness de auditu, therefore the plaintiff’s claim could not be proven, and Bandung High Court finally overturned the decision of the Religious Court of Karawang.Keywords: divorce, witness, dispute.
KEPAILITAN DALAM PUTUSAN HAKIM DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM FORMIL DAN MATERIL Bambang Pratama
Jurnal Yudisial Vol 7, No 2 (2014): DISPARITAS YUDISIAL
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v7i2.85

Abstract

ABSTRAKRuh dari undang-undang kepailitan adalah asas kelangsungan usaha, di mana putusan pailit merupakan ultimum remedium. Beberapa putusan pailit menjadi kontroversial karena keadaan keuangan debitor secara materil solven tetapi secara formil insolvensi. Isu kepailitan menarik untuk dibahas karena beban pembuktian dalam prmohonan pailit di pengadilan menurut undang-undang kepailitan menggunakan pembuktian sederhana. Tulisan ini akan mengulas masalah kepailitan yang diputus oleh Pengadilan Niaga Semarang dan Mahkamah Agung ditinjau dari aspek hukum materil dan hukum formil. Dengan meneliti konsistensi dan pertimbangan hukum putusan hakim pada kasus ini, maka diharapkan memperoleh gambaran penerapan undang-undang kepailitan secara das sollen-sein. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum doktrinal dengan tujuan mengkaji koherensi pertimbangan hukum antara judex factie dan judex juris pada kasus yang sama. Alasan pemilihan kasus kepailitan ini dibatasi pada bank sebagai pemohon pailit atas pertimbangan bahwa sudah memiliki sistem dan mekanisme utang-piutang yang terpercaya. Atas asumsi tersebut maka secara hipotetis dapat dikatakan permohonan pailit oleh bank kepada debitornya merupakan keputusan paling akhir. Penelitian ini setidaknya menemukan empat hal menarik dalam penerapan undang-undang kepailitan. Pertama, permohonan kepailitan yang diajukan ke pengadilan niaga tidak melewati pengujian cash flow test dan balanced sheet test, sehingga pembuktiannya di pengadilan hanya mengandalkan pada pembuktian sederhana sesuai Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan. Kedua, adanya iktikad buruk dari kreditor untuk menguasai aset debitor melalui permohonan pailit. Ketiga, tidak disertakannya Comanditaire Venotshcaap (CV) sebagai subjek hukum pailit. Keempat, putusan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang melewati batas waktu ketentuan formil undang-undang kepailitan. Kata kunci: debitor, kreditor, kepailitan, insolvensi.ABSTRACTThe spirit of Bankruptcy Law is business sustainability, which means that the decision of bankruptcy is ultimum remedium. Some bankruptcy decisions are controversial because the debtor’s financial condition is materially solvent but is formally insolvent. Hence, this issue is interesting to discuss because the court only relies on formal compliance through simple argumentation to determine whether the subject is solvent or not. This paper reviews a bankruptcy case of the Commercial Court of Semarang and the Supreme Court within the perspective of substantive and procedural law. By observing the consistency of judge’s considerations on this case, it is expected to generate a description of bankruptcy application in das sollen-sein. This research deploys doctrinal method in a thorough study to demonstrate the coherency between judex factie and judex jurist of the same case. The study is partially to the bank as bankruptcy applicant on consideration that the bank has a reliable system in debt mechanism. Hypothetically it can be argued that the bankruptcy application submitted by bank towards its debtor is ultimum remedium. There are four thought-provoking findings in the application of Indonesian Bankruptcy Law. First, bankruptcy application submitted to the Commercial Court without passing cash flow test and balanced sheet test. As the consequence, the court relies only on the straightforward argumentation as stated on Article 8, paragraph (4) of the Bankruptcy Law. Second, there seems to be a bad intention of the creditor to gain control over debtor assets through the bankruptcy application. Third, Comanditaire Venotschaap (CV) as a legal entity is ruled out as the subject of bankruptcy law. Fourth, bankruptcy decision by Commercial Court of Semarang has violated the procedural time limit as stipulated on the Bankruptcy Law.Keywords: debtor, creditor, bankrupt, insolvency.
DISPARITAS PUTUSAN PERKARA SENGKETA TANAH TERKAIT PENERAPAN HUKUM FORMIL Tata Wijayanta; Sandra Dini Febri Aristya
Jurnal Yudisial Vol 7, No 2 (2014): DISPARITAS YUDISIAL
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v7i2.86

Abstract

ABSTRAKDalam hukum acara perdata, terdapat beberapa ketentuan dan asas yang harus diperhatikan dan ditaati oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. Tulisan ini merupakan bagian dari laporan penelitian yang berupa kajian terhadap putusan-putusan pengadilan di wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang meliputi putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dalam perkara sengketa tanah yang mengandung gugatan “monetary remedy” dan “equitable remedy”. Sengketa tanah dapat disebut sengketa yang sangat sensitif dan sifatnya multi-isu karena merupakan sengketa sosial (social dispute) yang bersinggungan dengan persoalan budaya, sosio-struktural, strategis dan ekonomis. Banyaknya hambatan dan kesulitan dalam pelaksanaan putusan sengketa tanah merupakan latar belakang mengapa perlu dikaji penerapan hukum formil (acara) dalam putusan pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT) yang menjadi objek kajian. Dalam kajian ini, akan diketahui persoalan-persoalan dalam penerapan hukum acara yang dapat ditemukan di dalam putusan tersebut serta melihat apakah terdapat disparitas (perbedaan) mengenai tingkat ketaatan dan kepatuhan hakim judex facti dalam menerapkan ketentuan hukum formil. Kata kunci: disparitas, monetary remedy, equitable remedy.ABSTRACTIn the Code of Civil Procedure, there are some rules and principles to which the judge adhere and observe and in making a decision. This paper is part of a research report studying the decisions of several District Courts and High Court in the Special Region of Yogyakarta Province regarding a case of land dispute which contains the lawsuit of “the monetary remedy” and “equitable remedy”. Land dispute is a highly sensitive and multiissue for it is a social dispute that may relate to sociocultural and economic issues. The fact that many obstacles and difficulties in the implementation of the decision of the land dispute is the main background of why it is necessary to study the application of the procedural law in court decisions that become the object of the study. In this study, it will be elaborated the implementation issues of the procedural law which is found in the decision, then inferred whether there is a disparity in the level of adherence and compliance of the judex facti in implementing the provisions of Procedural Law.Keywords: disparity, monetary remedy, equitable remedy.

Page 1 of 1 | Total Record : 6


Filter by Year

2014 2014


Filter By Issues
All Issue Vol. 16 No. 1 (2023): - Vol 15, No 3 (2022): BEST INTEREST OF THE CHILD Vol 15, No 2 (2022): HUKUM PROGRESIF Vol 15, No 1 (2022): ARBITRIO IUDICIS Vol 14, No 3 (2021): LOCUS STANDI Vol 14, No 2 (2021): SUMMUM IUS SUMMA INIURIA Vol 14, No 1 (2021): OPINIO JURIS SIVE NECESSITATIS Vol 13, No 3 (2020): DOCUMENTARY EVIDENCE Vol 13, No 2 (2020): VINCULUM JURIS Vol 13, No 1 (2020): REASON AND PASSION Vol 12, No 3 (2019): LOCI IMPERIA Vol 12, No 2 (2019): ACTA NON VERBA Vol 12, No 1 (2019): POLITIK DAN HUKUM Vol 11, No 3 (2018): PARI PASSU Vol 11, No 2 (2018): IN CAUSA POSITUM Vol 11, No 1 (2018): IUS BONUMQUE Vol 10, No 3 (2017): ALIENI JURIS Vol 10, No 2 (2017): EX FIDA BONA Vol 10, No 1 (2017): ABROGATIO LEGIS Vol 9, No 3 (2016): [DE]KONSTRUKSI HUKUM Vol 9, No 2 (2016): DINAMIKA "CORPUS JURIS" Vol 9, No 1 (2016): DIVERGENSI TAFSIR Vol 8, No 3 (2015): IDEALITAS DAN REALITAS KEADILAN Vol 8, No 2 (2015): FLEKSIBILITAS DAN RIGIDITAS BERHUKUM Vol 8, No 1 (2015): DIALEKTIKA HUKUM NEGARA DAN AGAMA Vol 7, No 3 (2014): LIBERTAS, JUSTITIA, VERITAS Vol 7, No 2 (2014): DISPARITAS YUDISIAL Vol 7, No 1 (2014): CONFLICTUS LEGEM Vol 6, No 3 (2013): PERTARUNGAN ANTARA KUASA DAN TAFSIR Vol 6, No 2 (2013): HAK DALAM KEMELUT HUKUM Vol 6, No 1 (2013): MENAKAR RES JUDICATA Vol 5, No 3 (2012): MERENGKUH PENGAKUAN Vol 5, No 2 (2012): KUASA PARA PENGUASA Vol 5, No 1 (2012): MENGUJI TAFSIR KEADILAN Vol 4, No 3 (2011): SIMULACRA KEADILAN Vol 4, No 2 (2011): ANTINOMI PENEGAKAN HUKUM Vol 4, No 1 (2011): INDEPENDENSI DAN RASIONALITAS Vol 3, No 3 (2010): PERGULATAN NALAR DAN NURANI Vol 3, No 2 (2010): KOMPLEKSITAS PUNITAS Vol 3, No 1 (2010): KORUPSI DAN LEGISLASI More Issue