cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan
ISSN : 2087295X     EISSN : 26142813     DOI : -
Core Subject : Social,
Negara Hukum is a journal containing various documents, analyzes, studies, and research reports in the field of law. Jurnal Negara Hukum has been published since 2010 and frequently published twice a year.
Arjuna Subject : -
Articles 223 Documents
UPAYA PENGUATAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA TERKAIT DENGAN KLAUSULA BAKU (STRENGTHENING CONSUMER PROTECTION EFFORTS IN INDONESIA WITH RELEVANT CLAUSE OF STANDARD) Denico Doly
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 3, No 1 (2012)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v3i1.223

Abstract

Consumers have a right protected by laws and regulations. Consumers right are regulated in UUPK. Every thing related to the purchase of goods/service is set on the rights of consumers. Consumers need to be protected, this is to avoid any fraud committed by businesses. But in fact during these businesses do not pay attention to costumer rights. The amount of fraud committed businesses in running to the detriment of consumers. One form of fraud committed by businesses is a widespread standard clause used by businesses. The existence of weak consumer and also the presence of businesses which controls the various sectors of society to make an unbalanced position. Consumer protection in Indonesia is absolutely necessary to provide protection to community and create balance between businesses to consumer. Efforts to improve consumer protection by performing change UUPK, strengthening consumer protection agency, providing consumer education and commitment to the establishment of laws and regulations that protect consumers.ABSTRAKKonsumen mempunyai hak yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Hak konsumen ini diatur oleh UUPK. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pembelian barang/jasa diatur mengenai hak konsumennya. Konsumen perlu dilindungi, hal ini untuk menghindari adanya kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Akan tetapi dalam kenyataannya selama ini pelaku usaha tidak memperhatikan hak konsumen. Banyaknya kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjalankan usahanya sehingga merugikan konsumen. Salah satu bentuk kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha yaitu dengan memberlakukan klausula baku pada perjanjian antara konsumen dengan pelaku usaha. Keberadaan konsumen yang lemah dan juga keberadaan pelaku usaha yang menguasai berbagai sektor menjadikan kedudukan yang tidak seimbang. Perlindungan konsumen di Indonesia mutlak diperlukan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan menciptakan keseimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen. Upaya peningkatan perlindungan konsumen yaitu dengan melakukan perubahan UUPK, penguatan lembaga perlindungan konsumen, memberikan pendidikan konsumen dan komitmen terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan yang melindungi konsumen.
CONSTITUTIONAL COURTS AND JUDICIAL REVIEW: LESSON LEARNED FOR INDONESIA (MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG: PEMBELAJARAN BAGI INDONESIA) Muhammad Siddiq Armia
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 8, No 1 (2017): JNH VOL 8 NO. 1 Tahun 2017
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v8i1.940

Abstract

In the context of reviewing law through judiciary organ, the court plays significant role to review several regulation. This article specifically will discuss regarding the role of court on judicial review. This idea spreads out worldwide including in Indonesia. The Constitutional court and judicial review are two words which having inextricably meaning that attached to each other. On worldwide, the system of reviewing law by involving judges commonly has been practiced by several countries. There are two most significant state organs that plays role in the system, they are constitutional court and supreme court. Most countries do not have constitutional court and will deliver the authority of judicial review through supreme court. It has added more tasks, not only to adjudicate the common case, but also regarding constitutionality matter of an act against constitution. This model is commonly known as a centralized model, as practiced in the United State of America. In the Countries that owned a constitutional court, will certainly deliver the authority of judicial review through constitutional court. 108 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017 This model is commonly known as Kelsenian’s model. In this model, the constitutional court will merely focus on the constitutionality of regulations, and ensuring those regulations not in contradicting with the constitution. The Supreme Court in this model merely focus on handling common cases instead of regulations. Those two model of judicial review (through the constitutional court and the supreme court) has widely been implemented in the world legal systems, including in Indonesia. In the authoritarian regime, Indonesia implemented the centralized model, which positioned the Supreme Court as the single state organ to handle the common case and also judicial review. Having difficulties with the centralized model, after the constitution amendment in 2003, Indonesia has officially formed the constitutional court as the guardian of constitution. However, the Indonesian Constitutional Court (ICC) merely examine and/or review the statute that against the Indonesian’s Constitution year 1945, and related to the legislations products lower than the statute will remains the portion of the Supreme Court jurisdiction. Such modification is vulnerable resulting a judgement conflict between the ICC and the Supreme Court.ABSTRAKPosisi peradilan memainkan peranan penting dalam proses uji materi undang-undang. Mahkamah konstitusi dan pengujian undang-undang merupakan dua kata yang saling berkaitan memiliki keterikatan. Ide dasar pengujian peraturan perundang-undangan melalui lembaga peradilan berkembang luas di dunia hingga sampai ke Indonesia. Sistem pengujian undang-undang dengan melibatkan hakim sudah sering digunakan dan dipraktekkan di berbagai negara. Terdapat dua organ kenegaraan yang mempunyai peran vital dalam memaikan peran ini yaitu mahkamah konstitusi dan mahkamah agung. Model seperti ini lebih dikenal dengan model terpusat di suatu lembaga negara sebagaimana yang di Amerika Serikat. Sedangkan negara yang mempunyai mahkamah konstitusi akan melimpahkan kewenangan pengujian undang-undang kepada mahkamah konstitusi, model ini dikenal dengan model Kelsen. Pada model ini mahkamah konstitusi hanya berfokus pada konstitutionalitas peraturan peraturan perundang-undangan serta memastikannya agar tidak bertentangan dengan norma dalam konstitusi. Mahkamah agung pada model ini hanya berfokus untuk menangani kasus sehari-hari saja, bukan untuk menguji peraturan perundang-undangan. Dua model ini pengujian undang-undang ini (melalui mahkamah konstitusi dan mahkamah agung) sering diterapkan dalam sistem ketatanegaraan dunia, termasuk juga di Indonesia. Pada zaman rezim otoriter, Indonesia menerapkan sistem pengujian undang-undang terpusat, dengan memposisikan Mahkamah Agung sebagai organ tunggal negara yang menangani perkara sehari-hari dan pengujian undang-undang. Menemukan hambatan dengan model terpusat ini, akhirnya Indonesia membentuk Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi Indonesia hanya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan peraturan perundangundangan di bawah undang-undang tetap menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Modifikasi seperti ini berakibat rentannya terjadi pertentangan putusan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
KEDUDUKAN PENGGUNA NARKOTIKA DAN KESIAPAN FASILITAS REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (POSITION OF NARCOTICS USERS AND READINESS FOR REHABILITATION FACILITIES FOR DRUG ABUSERS NARCOTICS BY LAW NUMBER 35 OF 2009 ON NARCOTICS) Harris Y. P. Sibuea
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 6, No 1 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v6i1.246

Abstract

The level of illicit trafficking in Indonesia until today did not show a significant reduction. The Indonesian government is still focused on aspects of combating narcotics and not optimally touched on aspects of drug prevention. This paper describes some of the factors that led to high levels of illicit trafficking in Indonesia such as the position of drug users who equated with criminals and rehabilitation facilities for drug abusers inadequate. The concept of a legal system that has three elements, namely the substance of the law, the legal structure and culture of law is the basis for analyzing the problems in this paper. Indonesia can be free of illicit trafficking to improve the legal system, namely the improvement of Law Number 35 Year 2009 on Narcotics, improved coordination of law enforcement agencies relating to narcotics and people who support the enforcement of laws relating to narcotics.ABSTRAKTingkat peredaran gelap narkotika di Indonesia sampai saat ini tidak menunjukkan penurunan yang signifikan. Pemerintah Indonesia masih fokus pada aspek pemberantasan narkotika dan belum secara maksimal menyentuh pada aspek pencegahan narkotika. Tulisan ini menggambarkan beberapa faktor yang menyebabkan tingginya tingkat peredaran gelap narkotika di Indonesiaseperti kedudukan pengguna narkotika yang disamakan dengan pelaku kejahatan dan fasilitas rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika yang tidak memadai. Konsep sistem hukum yang mempunyai 3 unsur yaitu substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum menjadi dasar untuk menganalisis permasalahan dalam tulisan ini. Indonesia dapat bebas dari peredaran gelapnarkotika dengan memperbaiki sistem hukum yaitu perbaikan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, perbaikan koordinasi instansi penegak hukum yang berkaitan dengan narkotika dan masyarakat yang mendukung penegakan hukum yang berkaitan dengan narkotika.
Hak Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional Sulasi Rongiyati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 2, No 2 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v2i2.214

Abstract

Indonesia as a developing country that is rich in natural resources, arts, and culture have a variety of traditional knowledge. Its requires recognition and legal protection that is able to take care of ownership of traditional knowledge, as the creation of a nation that gained internationally recognition. Regulation in the intellectual property right, especially patent act aims to provide legal protection for an invention and provide economic benefits for inventor. However the Patent Act, the adoption intellectual property rights of developed countries, in their implementation has not been able to give recognition and protection to traditional knowledge optimally. This is caused by differences between the concept of Paten act is an exclusive and individual with the traditional knowledge that has the characteristics of traditional, communal, and open. Public knowledge of intellectual property rights is still lacking and inadequate mastery of technology and low budget is also an obstacle to patent traditional knowledge.ABSTRAKIndonesia sebagai negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam, seni, dan budaya memiliki berbagai pengetahuan tradisional yang memerlukan pengakuan dan pelindungan hukum yang mampu menjaga terpeliharanya kepemilikan pengetahuan tradisional tersebut sebagai karya bangsa yang diakui secara internasional. Regulasi di bidang HKI, khususnya UU Paten bertujuan memberikan perlindungan hukum atas suatu penemuan karya intelektual kepada penemunya dan memberikan keuntungan ekonomis atas hasil temuannya. Namun UU Paten yang mengadopsi HKI negara-negara maju dalam implementasinya belum mampu memberikan pengakuan dan perlindungan kepada pengetahuan tradisional secara optimal. Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsep antara HKI yang eksklusif dan individual dengan pengetahuan tradisional yang memiliki karakteristik tradisional, komunal, dan terbuka. Minimnya pemahaman masyarakat terhadap HKI serta penguasaan teknologi yang belum memadai serta minimnya anggaran juga menjadi kendala untuk mematenkan pengetahuan tradisional.
Appendix JNH Vol. 9 No. 1 Harris Sibuea
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 1 (2018): JNH VOL 9 NO. 1 Juni 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

PENGUATAN LEMBAGA ADAT SEBAGAI LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA* (Studi terhadap Lembaga Adat di Kabupaten Banyu Asin, Sumsel dan di Provinsi Papua) STRENGTHENING THE ADAT INSTITUTIONS AS AN ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION INSTITUTIONS (A STUDY ON THE ADAT INSTITUTION IN BANYU ASIN DISTRIC, PROVINCE OF SOUTH SUMATERA AND PROVINCE OF PAPUA) Inosentius Samsul
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 5, No 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v5i2.237

Abstract

When the formal state institutions experiencing a crisis of public confidence in dispute resolution, emerging demand to strengthen the role of adat institution as an alternative dispute resolution institutions. The problems that are the focus of this research first, how the arrangements regarding the recognition of adat institution in the current positive law? Second, how the authority of adat institution in resolving the dispute? Third, what effort is done by each region and district to strengthen the role of adat institution? This study is a socio-legal, wich is explaining the legal and non-legal aspects of the role of adat institution in the resolution of disputes. Theoretically, this research is a study of the institutional aspects of legal system and law enforcement in the two regions, namely the province of Papua and Muara Enim district South Sumatera Province. The results of this study found that the arrangements regarding the recognition of adat institutions are spread in a variety of legislation, both from the Constitution and the various laws and regulations. Completion forward muyawarah is one positive of the dispute settlement mechanism through adat institution. Papua and Muara Enim strengthen adat institution by issuing local regulations. The author recommends the need for regulation in a separate and special Act systematically and comprehensive arranged on adat institution governing its role as an institution of alternative dispute resolution.ABSTRAKKetika lembaga negara yang formal mengalami krisis kepercayaan masyarakat dalam menyelesaikan sengketa dalam masyarakat, muncul permintaan untuk memperkuat peran lembaga adat sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Permasalahan yang menjadi fokus dari penelitian ini pertama, bagaimana pengaturan mengenai pengakuan terhadap lembaga adat dalam hukum positif saat ini? Kedua, bagaimana kewenangan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa? Ketiga, upaya apa yang dilakukan oleh masing-masing daerah untuk memperkuat peran lembaga adat. Penelitian ini merupakan penelitian sosio-yuridis, karena di samping bersifat normatif juga menjelaskan aspek non-yuridis mengenai peran lembaga adat dalam penyelesaian sengketa. Secara teoritis penelitian ini merupakan penelitian mengenai aspek kelembagaan hukum serta penegakan hukum di dua daerah, yaitu Provinsi Papua dan Kabupaten Muara Enim Provinsi SumateraSelatan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pengaturan mengenai pengakuan terhadap lembaga adat masih bersifat menyebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik dari konstitusi maupun dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Penyelesaian mengedepankan muyawarah merupakan salah satu yang positif dari mekanisme penyelesaian sengketa melalui lembaga adat. Provinsi Papua dan Kabupaten Muara Enim memperkuat lembaga adat dengan mengeluarkan peraturan daerah. Penulis merekomendasikan perlunya pengaturan dalam Undang-Undang tersendiri yang disusun secara sistematis dan komprehensif mengenai lembaga adat yang mengatur mengenai perannya sebagai lembaga alternative penyelesaian sengketa.
URGENSI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN Denico Doly
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 4, No 2 (2013)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v4i2.205

Abstract

Broadcasting Act is the legal basis for broadcasters and regulators in the field of broadcasting in carrying out their duties and responsibilities. Setting the Broadcasting Act are no longer able to reach all aspects of broadcasting activities in Indonesia. The setting in the Broadcasting Act is still considered weak by many things. Weakness in the Broadcasting Act related to the weakening of the KPI effort, Networked Broadcast System that do not materialize, the weak institutional status of LPP, weak regulation of LPK, and not realize the implementation of restritions on the ownership of LPS. Therefore, the need for fundamental changes to the Law No. 32 Year 2002 on Broadcasting associated with efforts to strengthen KPI. Reaffirmation network broadcast system, institutional strengthening LPP, reinforcement pf LPK, and assertion of ownership restriction LPS.ABSTRAKUU Penyiaran merupakan landasan hukum bagi lembaga penyiaran maupun regulator dibidang penyiaran dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Pengaturan dalam UU Penyiaran tidak lagi dapat menjangkau seluruh aspek kegiatan penyiaran di Indonesia. Pengaturan dalam UU Penyiaran masih dianggap lemah oleh berbagai kalangan. Kelemahan dalam UU Penyiaran terkait dengan upaya pelemahan KPI, Sistem Siaran Berjaringan yang tidak terlaksana, lemahnya status kelembagaan LPP, lemahnya pengaturan tentang LPK, dan belum terlaksananya pembatasan kepemilikan LPS. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan mendasar bagi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terkait dengan upaya penguatan KPI, penegasan kembali sistem siaran jaringan, penguaran kelembagaan LPS, penguatan LPK dan penegasan pembatasan kepemilikan LPS.
Front Cover JNH Vol. 8 No. 2 Harris Sibuea
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 8, No 2 (2017): JNH Vol 8 NO. 2 Tahun 2017
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

KLASIFIKASI JABATAN DALAM KELEMBAGAAN NEGARA: PERMASALAHAN KATEGORI PEJABAT NEGARA (CLASSIFICATION OF OCCUPIED POSITIONS IN THE STATE OFFICIALS) Novianto M. Hartono
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 7, No 2 (2016): JNH VOL 7 NO. 2 Tahun 2016
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v7i2.929

Abstract

State organs established by the state to perform the function in order to achieve the objectives of the state. Occupied positions in the state organs is the state office. The classification of state offices set out in current legislation is unclear and ambiguous. Each of these laws provide a different term in accordance with the legislation requirements. It was later implicated in the category of state officials. Categories of state officials mentioned in the legislation should be defined and rearranged using the concept of three layers of state organs, namely the high state officials or primary state officials, officials of state and local officials.ABSTRAKNegara memiliki alat-alat perlengkapan negara untuk menjalankan fungsi-fungsi guna mencapai tujuan negara. Alat perlengkapan negara tersebut adalah organ atau lembaga negara. Jabatan yang diduduki dalam lembaga negara tersebut merupakan jabatan negara. Di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini, klasifikasi jabatan dalam kelembagaan negara belum jelas. Masing-masing undang-undang memberikan istilah atau sebutan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan undang-undang tersebut. Hal ini kemudian berimplikasi pada kategori pejabat negara. Kategori pejabat negara yang disebutkan dalam undang-undang saat ini perlu ditetapkan atau disusun ulang dengan menggunakan konsep tiga lapis organ negara, yaitu pejabat tinggi negara atau pejabat negara utama, pejabat negara, dan pejabat daerah.
REDENOMINASI RUPIAH DALAM PRESPEKTIF HUKUM Trias Palupi Kurnianingrum
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 4, No 1 (2013)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v4i1.196

Abstract

Redenomination is one of the discourse that will be conducted by the Government to effecting the economy that will become more efficient and to increase pride in the eyes of the International. But to achieve this goal is not easy, since there are many pros and cons in it. Redenomination does provide many benefits but also can negatively impact the price inflation due to rounding. However, the preparations should be done by Indonesia such as ensuring legal certainty and legal protection, setting up the infrastructure that has been configured in a proper and giving intensive socialization to the community. Comprehensive arrangement is needed to ensure legal certainty so can giving the benefits for many people.ABSTRAKRedenominasi merupakan salah satu wacana yang akan dilakukan oleh Pemerintah dengan tujuan untuk mengefektifkan perekonomian agar menjadi lebih efisien serta untuk meningkatkan kebanggaan rupiah di mata dunia Internasional. Namun untuk mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara yang mudah, mengingat masih banyaknya pro-kontra di dalamnya. Redenominasi memang memberikan banyak manfaat namun juga dapat menimbulkan dampak negatif yakni inflasi akibat pembulatan harga. Kiranya perlu adanya persiapan yang harus dilakukan oleh Indonesia seperti mempersiapkan landasan hukum guna menjamin kepastian dan perlindungan hukum, menyiapkan infrastuktur yang sudah disetting dengan tepat serta sosialisasi intensif kepada masyarakat. Pengaturan yang komprehensif sangat diperlukan untuk menjamin kepastian hukum mengingat hukum sudah sepantasnya bertujuan untuk mewujudkan apa yang menjadi faedah bagi banyak orang.

Page 3 of 23 | Total Record : 223