cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan
ISSN : 2087295X     EISSN : 26142813     DOI : -
Core Subject : Social,
Negara Hukum is a journal containing various documents, analyzes, studies, and research reports in the field of law. Jurnal Negara Hukum has been published since 2010 and frequently published twice a year.
Arjuna Subject : -
Articles 223 Documents
Implikasi Bentuk Hukum Bumd Terhadap Pengelolaan BUMD (The Implication of Regional Owned Enterprises Legal Form to its Management) Dian Cahyaningrum
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 1 (2018): JNH VOL 9 NO. 1 Juni 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1009.522 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v9i1.997

Abstract

Many regional owned enterprises are still low quality because they are not managed well. That matter may be caused by regional owned enterprises legal form. This scientific writing wants to analysis the implication of regional owned enterprises legal form to its management.Base on the results of the study, there are two legal forms of regional owned enterprises. They are regional public company (Perumda) and regional liability company (Perseroda). The Perumda oriented to public service. But Perumda also has to give profit. While Perseroda oriented to profit. To achieve that goals, Perumda and Perseroda have to be managed well base on PP 54/2017, and supported by good human resources and enough modal. The organt of Perumda and Perseroda also should be professional in doing their duties. Other implication of Perumda and Perseroda are regional leader has big authority to establish Perumda and Perseroda regulation. It causes regional leader’s vision, mission, and good intention determine Perumda and Perseroda development. Perumda and Perseroda can develop well if regional leader’s vision, mission, and intention are good. Otherwise, Perumda and Perseroda will be difficult to develop. In order to develop Perumda and Perseroda, regional leader should be have good vision, mission, faith and be serious to develop Perumda and Perseroda; The organt and employer of Perumda and Perseroda should be recruited well base on PP 54/2017; the organ tog Perumda and Perseroda also should have independence in doing their duties without any interfere which are not accordance with the law.AbstrakSaat ini banyak BUMD yang berkualitas rendah karena belum dikelola dengan baik. Salah satu hal yang mempengaruhi pengelolaan BUMD adalah bentuk hukumnya. Untuk itu kajian ini menganalisa implikasi dari bentuk hukum BUMD terhadap pengelolaannya. Berdasarkan hasil kajian ada dua bentuk hukum BUMD yaitu Perumda dan Perseroda. Bentuk hukum Perumda berorientasi pada pelayanan umum. Namun Perumda juga harus mencari keuntungan. Sedangkan bentuk hukum Perseroda berorientasi pada mencari keuntungan. Agar tujuan tersebut tercapai, Perumda dan Perseroda harus dikelola dengan baik sesuai dengan PP No. 54 Tahun 2017, selain juga harus didukung dengan SDM yang handal dan modal yang memadai. Organ Perumda dan Perseroda juga harus profesional dalam menjalankan tugasnya. Implikasi lain dari Perumda dan Perseroda adalah kepala daerah memiliki kewenangan yang besar dalam menentukan kebijakan Perumda dan Perseroda. Akibatnya visi, misi, dan itikad baik kepala daerah menentukan perkembangan Perumda dan Perseroda. Apabila kepala daerah memiliki visi, misi, dan itikad yang baik maka Perumda dan Perseroda dapat berkembang dengan baik. Namun jika sebaliknya, maka Perumda dan Perseroda akan sulit untuk berkembang. Agar Perumda dan Perseroda dapat dikelola dan berkembang dengan baik maka kepala daerah harus memiliki visi, misi, niat baik, dan keseriusan untuk mengembangkannya; organ dan pegawai Perumda dan Perseroda harus direkrut dengan benar sesuai PP No. 54 Tahun 2017; organ Perumda dan Perseroda juga harus memiliki kemandirian dan independensi dalam menjalankan tugasnya tanpa ada campur tangan dari siapa pun dan dalam bentuk apa pun yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aspek Hukum Pembiayaan Infrastruktur Jalan Denico Doly
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 1, No 1 (2010)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v1i1.277

Abstract

Road infrastructure is one that must be constructed in Indonesia. Road construction requires huge capital. Government in order to built roads, make a joint venture with infrastructure-financing institution. Financing institutions is one important institution in Indonesia. Financial institution regulated in Presidential Regulation No. 9 of 2009 on Financing Institutions. Juridical arragements regarding financing institutions have been inadequate. This is because the arragement of financing institutions are regulated in the presidential and ministerial decrees. The importance of these financial institutions need a clear arragement and can also be a “legal foundation” in the regulation of financial institutions. This paper will analyze the legal aspects of infrastructure financing in Indonesia.
ASPEK HUKUM HAK TANGGUNGAN DALAM PELAKSANAAN ROYA Denico Doly
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 2, No 1 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v2i1.185

Abstract

Land is one of the most important needs in Indonesia. Land is a placetostand for the community. It can also be used to build a home, work, grow crops, and can be used as collateral in borrowing at the bank. Land used as collateral in banks typically use Mortgage. On the right there Roya dependents, which is the limination of some debt that has burdened Mortgage. Roya implementation within UUHT must be mentioned in the APHT. Regulations implementing the UUHT is PMA. In PMA, Roya not worth mentioning in APHT. The big difference in making arrangements creditors into difficulties in its implementation. Therefore, the need for regulatory changes, particularly regarding the implementation rules Roya. PMA makes it easy for creditors in the implementation of the Roya, therefore, UUHT need to be changed, especially regarding the implementation of the Roya.ABSTRAKTanah merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting di Indonesia. Tanah merupakan tempat untuk berpijak bagi masyarakat. Selain itu juga dapat digunakan untuk membangun rumah, kantor, bercocok tanam, dan dapat digunakan sebagai jaminan dalam meminjam di bank. Tanah yang digunakan sebagai jaminan di bank biasanya menggunakan Hak Tanggungan. Di dalam Hak Tanggunan terdapat Roya yang merupakan penghapusan dari sebagian hutang yang telah dibebani Hak Tanggungan. Pelaksanaan Roya di dalam UUHT harus disebutkan di dalam APHT. Peraturan pelaksana dari UUHT adalah PMA. Didalam PMA, Roya tidak perlu disebutkan dalam APHT. Adanya perbedaan pengaturan membuat kreditur menjadi kesulitan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan peraturan khususnya mengenai aturan pelaksanaan Roya. PMA memberikan kemudahan bagi kreditur dalam pelaksanaan Roya, oleh karena itu, UUHT perlu dirubah, khususnya mengenai pelaksanaan Roya.
Redesign Of Constitutional Mechanism For The Dissolution Of Political Parties: Comparative Study Of Indonesia and Germany (Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik: Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman) Oly Viana Agustine
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 2 (2018): JNH VOL 9 NO. 2 November 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (362.724 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v9i2.1009

Abstract

Dissolution of political parties is an authority that is monopolized by the Indonesian Constitutional Court and the Federal Constitutional Court of Germany. In contrast to the dissolution of associations, political parties have an important role in determining government policies that require specifically in the constitution. The Federal Constitutional Court of Germany has until now received nine requests for the dissolution of a political party with five decisions, namely two dissolutions granted and three dismissal of a political party has been rejected. While the Indonesian Constitutional Court since its establishment has never examined the dissolution of political parties. Thus it becomes an important and interesting thing to uncover the problem of dissolution of political parties in Germany in order to find the right policy in Indonesia. Normative juridical research methods are used in this study with case studies and comparison approaches. The conclusion obtained is that the dissolution of political parties denied the right of association and assembly which is endorsed by the constitution. The German Constitutional Court has disbanded political parties proportionally by examining and deciding on the dissolution of political parties not only in text but also in the context which meet the criteria of ”clear and present danger” to the sovereignty of the German Federal Government and the free democratic basic order. Therefore, it is necessary to redesign the disruption of the dissolution of political parties in Indonesia with empirical sociological and psychological studies in order to meet the ”clear and present danger” criteria.AbstrakPembubaran partai politik merupakan kewenangan yang dimonopoli, baik oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia maupun Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Pembubaran partai politik berbeda dengan pembubaran organisasi lain, dikarenakan partai politik memiliki peran yang penting dalam penentuan kebijakan pemerintah yang pembatasannya perlu diatur khusus dalam konstitusi. Mahkamah Konstitusi Federal Jerman hingga saat ini telah menerima sembilan kali permohonan pembubaran partai politik dengan lima putusan yakni dua permohonan pembubaran dikabulkan dan tiga permohonan pembubaran partai politik ditolak. Sedangkan Mahkamah Konstitusi Indonesia sejak berdiri belum pernah memeriksa pembubaran partai politik. Dengan demikian, menjadi hal penting dan menarik untuk menganalisa mekanisme pembubaran partai politik di Jerman agar dapat ditemukan mekanisme yang tepat dalam pembubaran partai politik di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan studi kasus dan perbandingan. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini adalah pembubaran partai politik merupakan pembatasan hak berserikat dan berkumpul yang disahkan oleh konstitusi. Mahkamah Konstitusi Jerman telah melaksanakan pembubaran partai politik secara proporsional dengan memeriksa dan memutus pembubaran partai politik tidak hanya secara teks tetapi juga konteksnya yang memenuhi kriteria “clear and present danger” terhadap kedaulatan Pemerintah Federal Jerman dan tatanan demokrasi yang bebas. Oleh karena itu, perlu dilakukan desain ulang mekanisme pembubaran partai politik di Indonesia dengan kajian sosiologis dan psikologis secara empiris agar memenuhi kriteria “clear and present danger”.
URGENSI PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG HAK ANGKET DPR RI (THE URGENCY OF MAKING THE LAW ON THE RIGHT OF INQUIRY OF THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF THE REPUBLIC OF INDONESIA) Novianto Murthi Hantoro
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 8, No 2 (2017): JNH Vol 8 NO. 2 Tahun 2017
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (314.656 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v8i2.1052

Abstract

Prior to the decision of the Constitutional Court (MK), the implementation of the right to inquiry was regulated in two laws, namely Law No. 6 of 1954 on the Establishment of the Rights of Inquiry of the House of Representatives (DPR) and Law No. 27 of 2009 on MPR, DPR, DPD, and DPRD. Through proposal for judicial review, MK decided the Law on the Rights of Inquiry was null and void because it was not in accordance with the presidential system adopted in the 1945 Constitution. Today, the exercise of the right of inquiry is only based on Law on MPR, DPR, DPD, and DPRD. Nonetheless, the Amendment of Law No. 27 of 2009 into Law No. 17 of 2014 could not accommodate some substances of the null and void Law on the Rights of Inquiry. The urgency of the formulation of the law on the right to inquiry, other than to carry out the Constitutional Court’s decision; are to close the justice gap of the current regulation; to avoid multi-interpretation of the norm, for example on the subject and object of the right of inquiry; and to execute the mandate of Article 20A paragraph (4) of the 1945 Constitution. The regulation on the right to inquiry shall be formulated separately from the Law on MPR, DPR, DPD and DPRD, with at least several substances to be discussed, namely: definition, mechanisms, and procedure, as well as examination of witnesses, expert, and documents. AbstrakSebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pelaksanaan hak angket diatur dalam dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR (UU Angket) dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD). Melalui permohonan pengujian undang-undang, MK membatalkan keberlakuan UU Angket karena sudah tidak sesuai dengan sistem presidensial yang dianut dalam UUD 1945. Pelaksanaan hak angket saat ini hanya berdasarkan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Penggantian UU No. 27 Tahun 2009 menjadi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ternyata tidak mengakomodasi beberapa substansi UU Angket yang telah dibatalkan. Berdasarkan hal tersebut, terdapat urgensi untuk membentuk Undang-Undang tentang Hak Angket DPR RI. Urgensi tersebut, selain sebagai tindak lanjut putusan MK, juga untuk menutup celah kekosongan hukum pada pengaturan saat ini dan untuk menghindari multi-interpretasi norma, misalnya terhadap subjek dan objek hak angket. Pengaturan mengenai hak angket perlu diatur di dalam undang-undang yang terpisah dari UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dengan materi muatan yang berisi tentang pengertian-pengertian, mekanisme, dan hukum acara. Pembentukan Undang-Undang tentang Hak Angket diperlukan guna memenuhi amanat Pasal 20A ayat (4) UUD 1945.
KEKUASAAN MEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Andy Wiyanto
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 6, No 2 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v6i2.251

Abstract

Amendment of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia brought a paradigm shift in relationship between state institutions. The division of power in forming of laws changing significantly. However, the separation power among state institutions has a conceptual weakness. Before amandments, the power to make laws tends to be dominant by executive, in recent, now become the dominant in House of Representatives (DPR). The idea to limit the power actually has not been able to be applied in a norm. The President still has the power in forming the laws, but the Regional Representative Council (DPD)’spower to make laws still weak. By the presidential govermental system the power to make laws should be placed as legislature power. So, there will be a balance power distribution of the legislative institution both House of Representatives (DPR) and Regional Representative Council (DPD). Therefore, the position of the President’s power to make the laws should be placed as the implementation on checks and balances system. Hence, the division of powers in the formation of legislation still need to be refined. This paper tries to answer those challenge and seeks to find the answer on how to initiate a better format in the future. ABSTRAKPerubahan UUD 1945 membawa pergeseran paradigma hubungan antar-lembaga negara. Pembagian kekuasaan membentuk undang-undang setelah perubahan UUD 1945 mengalami perubahan secara signifikan. Namun pergeseran kekuasaan tersebut, bukan berarti tanpa kelemahan konseptual. Pendulum kekuasaan yang tadinya dominan eksekutif, kini menjadi dominan DPR. Gagasan untuk membatasi kekuasaan Presiden, ternyata teraplikasikan dalam sebuah norma. Selain karena Presiden masih memiliki kekuasaan yang cukup besar dalam membentuk undang-undang, sementara kekuasaan membentuk undang-undang yang dimiliki DPD tidak terlalu besar. Secara konseptual, kekuasaan membentuk undang-undang dalam sistem pemerintahan presidensial harus ditempatkan sebagai kekuasaan yang dimiliki legislatif. Sehingga terdapat pembagian kekuasaan yang seimbang dalam lembaga legislatif, yaitu antara DPR dan DPD. Sedangkan kedudukan Presiden dalam kekuasaan membentuk undang-undang harus ditempatkan sebagai pengejawantahan atas prinsip checks and balances. Oleh karena itu, pembagian kekuasaan dalam pembentukan undang-undang masih perlu disempurnakan. Tulisan ini berusaha untuk menjawab tantangan tesebut dan berupaya menggagas format yang lebih baik lagi ke depan.
PERLUASAN ASAS LEGALITAS DALAM RUU KUHP Lidya Suryani Widayati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 2, No 2 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v2i2.219

Abstract

Basically, the principle of legality implies that: prohibited acts must be defined in legislation; regulation must exist before it is carried out prohibited acts, and laws are not retroactive. In Article 1 paragraph (3) the Criminal Code Bill 2010, the principle of legality is being expanded so that a person may be prosecuted and convicted on the basis of the law who live in the community, even though such actions are not otherwise prohibited by law. This expansion will create legal uncertainty because the bill of the Criminal Code does not provide a clear understanding of what is meant by the law who live in the community.ABSTRAKPada dasarnya asas legalitas mengandung makna bahwa: perbuatan yang dilarang harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan; peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan yang dilarang itu dilakukan; dan peraturan tersebut tidak berlaku surut. Dalam Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP draft tahun 2010, asas legalitas ini diperluas sehingga seseorang dapat dituntut dan dipidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat, meskipun perbuatan tersebut tidak dinyatakan dilarang dalam perundang-undangan. Perluasan ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena RUU KUHP tidak memberikan pengertian yang jelas apa yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
BENTUK BADAN HUKUM KOPERASI UNTUK MENJALANKAN KEGIATAN USAHA PERBANKAN (COOPERATIVE AS A LEGAL ENTITY TO CONDUCT BANKING BUSINESS ACTIVITIES) Dian Cahyaningrum
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 8, No 1 (2017): JNH VOL 8 NO. 1 Tahun 2017
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (744.581 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v8i1.935

Abstract

The appropriate enterprise is needed in order to face the tight competition in the banking sector in this globalization era. Not like limited enterprise, the cooperative is considered not appropriate to conduct the banking business activities. That statement raise an issue that cooperative should not be given chance to conduct banking business in the Banking Draft (Bill). Through this juridical normative and juridical empirical research, using primary and secondary data which are presented qualitatively and analyzed in discriptive and precriptive method to get the result that the cooperative still should be given a chance to conduct banking business activities in the Banking Draft (Bill). If not, the Banking Draft (Bill) is considered as a breach of the Article 33 (1) and Article 28 I (2) of the Constitution (UUD NRI Tahun 1945) that can be submitted for judicial review to the Constitutional Court. The chance of the cooperative to conduct banking business activities should not be eliminated if the cooperative does not develop however it is necessary to do some efforts to make it develop well. There are so many juridical problems faced by the cooperative which prevent its development. Those problems are dualism of the rules between banking rules and the cooperative rules. The other problem is cooperative is being treated as limited enterprise which cause a breach of the cooperatives rules and principles. In addition, there is no rule that manage a good competition between banks with big capital and cooperative banks with small capital also become problem faced by the coopeerative bank. In order to solve those problems it would need to redesign the cooperative law to separate the cooperative as an legal entity and its business fields, so that the cooperative will be able to develop properly. Therefore, it is necessary to create a law that regulating the cooperative to conduct the banking business activities. In addition, it is also need banking bussiness sector rules that kept banks compete in a healthy competition.ABSTRAKPersaingan yang cukup ketat di bidang perbankan di era global menghendaki adanya bentuk badan hukum yang sesuai untuk dapat menjalankan kegiatan usaha perbankan. Sehubungan dengan hal ini, bentuk badan hukum koperasi diragukan keandalannya untuk dapat menjalankan kegiatan usaha perbankan, seperti halnya perseroan terbatas (PT) sehingga muncul wacana untuk menutup peluang koperasi melakukan kegiatan usaha perbankan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbankan. Melalui penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris dengan menggunakan data primer dan sekunder yang disajikan secara kualitatif dan dianalisis secara deskriptif dan preskriptif diperoleh hasil bentuk badan hukum koperasi perlu tetap dipertahankan dalam RUU Perbankan. Tidak diberinya peluang koperasi untuk menjalankan kegiatan usaha perbankan merupakan pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga dapat diajukan judicial review. Tidak berkembangnya koperasi di bidang perbankan tidak berarti harus menghilangkan koperasi dalam RUU Perbankan melainkan harus diupayakan agar koperasi dapat berkembang dengan baik. Tidak berkembangnya koperasi di bidang perbankan tersebut disebabkan adanya permasalahan hukum yang dihadapi bank koperasi, di antaranya adanya dualisme pengaturan antara bidang perbankan dan koperasi. Permasalahan lainnya, koperasi diperlakukan seperti PT sehingga terjadi pelanggaran terhadap aturan dan prinsip-prinsip perkoperasian. Selain itu, juga tidak ada aturan area usaha bank sehingga bank koperasi yang modalnya kecil harus bersaing dengan bank-bank besar. Solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan melakukan terobosan hukum untuk merancang ulang peraturan perundang-undangan di bidang perkoperasian untuk dapat memisahkan bentuk badan hukum koperasi dan bidang usaha koperasi agar koperasi dapat berkembang dengan baik. Solusi lainnya perlu dibentuk undang-undang perbankan perkoperasian yang mengatur koperasi dalam menjalankan kegiatan usaha perbankan. Selain itu juga perlu ada aturan area usaha bank agar persaingan antar-bank dapat dilakukan secara sehat.
KEDUDUKAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ANTARA PALANG MERAH INDONESIA DENGAN THE INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) TERKAIT DENGAN PEMBERIAN BANTUAN KEMANUSIAAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (POSITION OF MEMORANDUM OF UNDERSTANDING BETWEEN INDONESIA WITH THE RED CROSS INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) LINKED TO HUMANITARIAN RELIEF BASED ON INTERNATIONAL LAW PERSPECTIVE) Novianti -
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 5, No 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v5i2.242

Abstract

Memorandum of Understanding (MoU) between the PMI and ICRC assistance related to humanitarian aid viewed from the perspective of international law is a collaboration created by the subject of international law that the ICRC and PMI. MoU between the ICRC and PMI in the provision of humanitarian aid in addition to providing benefits to the communities affected by various situations of violence and disaster, but also the problems related to the position of the MoU and the scope of cooperation between the Red Cross and the ICRC are so vast. This paper is the result of a research study using the normative and qualitative approach. Data were collected through library research and field research through in-depth interviews with relevant parties. The results of this study reveal the position MoU made by subjects of international law that the ICRC and PMI are included in the category resulting in the implementation of international agreements applicable rules of public international law. Therefore, the ICRC can do a limited form of international cooperation with countries including Indonesia and specifically with PMI. The implementation and the scope of the MoU in international treaty law is a legal instrument that has a binding force that is subject to the Vienna Convention of 1969 and Act 24 of 2000 on International Treaties.ABSTRAKMemorandum of Understanding (MoU) antara PMI dan ICRC terkait dengan pemberian bantuan kemanusiaan ditinjau dari perspektif hukum internasional merupakan suatu kerjasama yang dibuat oleh subjek hukum internasional yakni ICRC dan PMI. MoU antara ICRC dengan PMI dalam pemberian bantuan kemanusiaan selain memberikan manfaat terhadap masyarakat yang terkena dampak dari berbagai situasi kekerasan dan bencana, namun juga menjadi permasalahan terkait dengan kedudukan MoU dan ruang lingkup kerjasama antara PMI dan ICRC yang begitu luas. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang merupakan penelitian yuridis normatif dan menggunakan metode pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan penelitian dilapangan melalui wawancara secara mendalam dengan pihak-pihak terkait. Hasil penelitian ini mengungkapkan kedudukan MoU yang dibuat oleh subjek hukum internasional yakni ICRC dan PMI termasuk dalam kategori perjanjian internasional sehingga dalam implementasinya berlaku kaidah-kaidah hukum internasional publik. Oleh karena itu, ICRC dapat melakukan kerjasama internasional secara terbatas dengan negara-negara termasuk dengan Indonesia dan secara khusus dengan PMI. Pelaksanaan dan ruang lingkup MoU dalam hukum perjanjian internasional merupakan instrumen hukum yang memiliki kekuatan mengikat yang tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP TINDAKAN HAKIM DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH AGUNG (CRIMINALIZATION OF ACTION POLICY FORMULATION JUDGE BILL IN THE SUPREME COURT) Prianter Jaya Hairi
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 5, No 1 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v5i1.210

Abstract

Judges is the key person of justice which protected by independence of judiciary. But ironically, in the process of court, including in the matter of decisions and verdicts, often found ineptness. Freedom of judge actions later on perceived as cause of injustice. As a step in solving this problem, the legislators in Indonesian Parliament as people representation then formulating crimininalization policy for several judge acts in RUU MA (The Supreme Court Bill Draft). The policy intended so that the judges become more cautious in performing job. This study especially intended to examine judicially about criminalization policy formulation for several judge acts in that RUU MA. From the analysis, such as known that generally the prohibited judge actions in RUU MA indeed could be categorized as very harmful and danger behaviour to society. Criminalization policy about judicial corruption, manipulating facts, and asking for reward in relation of his profession even can be called as progress in judges law responsibility. Nevertheless, especially for Article 97 RUU MA, according to the author, it’s quite complicated to understand the intention and the background behind the criminalization. Article 97 RUU MA even potentially become criminogenic factor because could trigger chaotic and commotion acts with intent to condemn court verdicts.ABSTRAKHakim merupakan ujung tombak keadilan yang dilindungi prinsip independensi hakim. Namun ironisnya, dalam proses pengadilan, termasuk dalam hal penetapan ataupun putusan, kerap kali ditemukan kejanggalan-kejanggalan. Keleluasaan hakim kemudian dirasakan menimbulkan ketidakadilan. Sebagai langkah dalam menyelesaikan persoalan ini, para legislator di DPR sebagai representasi rakyat kemudian merumuskan kebijakan kriminalisasi terhadap beberapa tindakan hakim dalam RUU MA. Kebijakan ini dimaksudkan agar hakim lebih hati-hati dalam menjalankan tugasnya. Kajian ini secara khusus bermaksud menelaah secara yuridis terkait rumusan kebijakan kriminalisasi terhadap tindakan hakim yang terkandung dalam RUU MA tersebut. Dari hasil analisis, diantaranya diketahui bahwa secara umum tindakan-tindakan hakim yang dilarang dalam RUU MA memang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang sangat merugikan dan membahayakan masyarakat. Kebijakan kriminalisasi terkait mafia peradilan, rekayasa fakta hukum, dan meminta hadiah terkait jabatannya bahkan merupakan perkembangan dalam tanggung jawab hukum profesi hakim. Namun, khusus untuk Pasal 97 RUU MA, menurut penulis, agak sulit untuk memahami tujuan dan raison déter dibalik kriminalisasinya. Pasal tersebut bahkan berpotensi menjadi faktor kriminogen karena dapat memicu tindakan kerusuhan dan keonaran dengan maksud menyalahkan putusan pengadilan.

Page 4 of 23 | Total Record : 223