cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
JURNAL PANGAN
ISSN : 08520607     EISSN : 25276239     DOI : -
Core Subject : Agriculture, Social,
PANGAN merupakan sebuah jurnal ilmiah yang dipublikasikan oleh Pusat Riset dan Perencanaan Strategis Perum BULOG, terbit secara berkala tiga kali dalam setahun pada bulan April, Agustus, dan Desember.
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol. 20 No. 3 (2011): PANGAN" : 8 Documents clear
Diet Berbasis Sorgum (Sorghum bicolor L Moench) Memperbaiki Proliferasi Limfosit Limfa dan Kapasitas Antioksidan Hati Tikus Fransiska R. Zakaria; Endang Prangdimurti; G. A. Kadek Diah Puspawati; Ridwan Thahir; Suismono Suismono
JURNAL PANGAN Vol. 20 No. 3 (2011): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v20i3.155

Abstract

Sorgum merupakan tanaman serealia yang sangat berguna sebagai sumber karbohidrat alternatif dalam program diversifikasi pangan. Sorgum memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan beras dan berprospek baik untuk dikembangkan di Indonesia. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa sorgum sangat baik untuk kesehatan, antara lain untuk mengurangi resiko penyakit degeneratif. Penelitian secara in vitro sebelumnya, menunjukkan bahwa serealia ini mampu meningkatkan proliferasi limfosit manusia, yang menunjukkan perbaikan sistem imun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari efek sorgum terhadap sistem imun dan kapasitas antioksidan secara in vivo pada tikus. Tiga kelompok tikus diberi pakan kontrol, pakan mengandung 50 persen atau 100 persen sorgum sebagai sumber karbohidrat selama 7 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok tikus yang diberi pakan mengandung 50 persen atau 100 persen sorgum mengalami peningkatan aktivitas proliferasi mencapai berturut-turut 70 persen dan 63 persen, aktivitas antioksidan hati (DPPH) mencapai 38 persen dan 29 persen, aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) mencapai 98 persen dan 91 persen, aktivitas enzim katalase (CAT) mencapai 28 persen dan 21 persen, dan aktivitas glutation peroksida (GPx) mencapai 57 persen dan 33 persen, akan tetapi mengalami penurunan kandungan malondialdehid (MDA) hingga 22 persen dan 16 persen. Penelitian ini menunjukkan bahwa sorgum mempunyai aktifitas imunostimulani dan aktivitas perbaikan antioksidan sehingga baik bagi kesehatan.Sorghum is a cereal that would be useful as alternative carbohydrate source in food diversification program. It has higher protein content than rice and good prospect to be developed in Indonesia. Researches have shown that sorghum has functions in health, such as to decrease degenerative disease risk. Previous in vitro study of sorghum showed that this cereal could increase human lymphocyte cell proliferation in vitro, indicating immune system improvement. The objectives of this research were to study the effects of sorghum on the in vivo immune system and liver antioxidant capacity in rats. Three groups of rats were fed control diet, diet containing 50 percent or 100 percent sorghum as sources of carbohydrate. The results showed that the rats fed with 50 percent or 100 percent sorghum displayed increase in, respectively, proliferation activity by 70 percent and 63 percent; liver antioxidant activity (DPPH) by 38 percent and 29 percent, super dioxide dismutase enzyme activity (SOD) by 98 percent and 91, catalyst enzyme activity (CAT) by 28 percent and 21 percent, and glutathione peroxides enzyme activity (GPx) by 57 percent and 33 percent; but decreased in malondialdehyde (MDA) by 22 percent and 16 percent. This research showed that sorghum has immunostimulation and antioxidant improvement activities and will be very good as source of carbohydrate diet. 
Perancangan Model Sistem Angkutan Studi Kasus Fasika Khaerul Zaman; Yandra Arkeman; Sri Hartoyo
JURNAL PANGAN Vol. 20 No. 3 (2011): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v20i3.162

Abstract

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang paling asasi. Beras masih menjadi komoditi utama penopang ketahanan pangan nasional. Perum BULOG penyelenggara usaha logistik pangan pokok yang melakukan penyebaran persediaan melalui kegiatan angkutan antar Divisi Regional (Divre). Penelitian bertujuan merancang sistem angkutan antar Divre. Metode penelitian menggunakan metode perancangan sistem yaitu kegiatan merancang sistem melalui tahapan-tahapan tertentu untuk menjawab permasalahan yang ada. Menggunakan model optimasi dalam Pemrograman Linieryaitu Transportation Problem (Permasalahan Transportasi). Total biaya angkutan untuk tahun 2010 dengan model optimasi lebih rendah Rp. 17.461.590.772,- apabila dibandingkandengan total biaya yang dihitung dengan metode yang digunakan saat ini. Penggunaan pemrograman linier untuk angkutan antar Divre Perum BULOG menghasilkan optimasijumlah persediaan yang diangkut, jalur dan biaya angkutan. Model optimasi tidak hanya dilakukan terhadap kondisi ideal tetapi juga terhadap kemungkinan adanya perubahan perubahan melalui analisa pasca optimasi. Hasil analisa menunjukkan bahwa sistem operasional angkutan terbagi kedalam Sistem Perencanaan, Sistem Pelaksanaan, Sistem Evaluasi dan Sistem Penunjang. Keempat sistem tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya dengan tujuan akhir adalah pelaksanaan angkutan antar Divre. Sistem ini banyak ditunjang oleh penggunaan pemrograman linier untuk mendapatkan biaya angkutan yang minimum.Food is one of the most basic human rights. Rice is still a major commodity supporting the national food security. Perum BULOG is the business organizer who makes the distribution supplies through transport activities among the Regional Divisions (Divres). The research aims to design a transportation system among the Divres. Research method used for designing the system is a system design activities through certain stages to address existing problems using Linear Programming optimization model in the Transportation Problem. The total cost of transport for 2010 was Rp. 17.461.590.772 which is lower compared to the total cost calculated by the method used today. The use of linear programming to transportation among Divres produces transported amount of inventory optimization, route and transportation costs. Optimization model is not only carried out on ideal conditions but also to the possibility of changes through the postoptimization analysis. The result showed that the operational system of transportation is divided into Planning System, Support System, Evaluation System and Integrated System. The four systems are interconnected with each other with the ultimate goal is the implementation of transport among Divres. This system is much supported by the use of linear programming to obtain the minimum transportation cost. 
Efektivitas dan Neraca Hara Pupuk SNL dan SNP untuk Jagung pada Tanah Inceptisol di Bogor Dedi Nursyamsi
JURNAL PANGAN Vol. 20 No. 3 (2011): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v20i3.164

Abstract

Percobaan lapang yang bertujuan untuk mempelajari efektivitas dan kontribusi hara pupuk SNL dan SNP terhadap tanaman jagung telah dilaksanakan pada tanah Inceptisol,di Bogor pada MK 2008. Percobaan terdiri dari 2 unit, yaitu unit SNL dan SNP dengan menggunakan tanaman indikator jagung hibrida varietas pioneer 21 (P21). Perlakuan ditata dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan merupakan kombinasi dari 2 faktor, yaitu faktor pertama takaran pupuk NPK : 0, 25, 50, dan 100 persen dosis anjuran berdasarkan uji tanah, sedangkan faktor kedua adalah pupuk SNL : 0 dan 10 l/ha (unit I) dan SNP 0 dan 10 kg/ha (unit II). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian SNL dan SNP tidak efektif meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman jagung apabila dosis NPK < 100 persen dosis anjuran. Pupuk SNL efektif meningkatkan pertumbuhan dan hasil jagung jika pupuk NPK diberikan dengan dosis 100 persen dosis anjuran. Pemberian 10 l/ha SNL pada pemupukan NPK 100 persen memberikan hasil biji dan keuntungan bersih tertinggi, yakni masing-masing 8,80 t/ha dan Rp. 6.155.000,-/ha/musim. Walaupun demikian pemberian SNL hanya menyumbang hara : 0,002 kg N; 0,003 kg P2O5; dan 0,002 kg K2O per hektar. Dengan demikian peningkatan hasil biji tersebut sangat tergantung pada kontribusi ketersediaan hara N, P, dan K dalam tanah.Field experiments aimed to study the effectiveness and nutrients contribution of SNL and SNP on maize growth were conducted at Inceptisol, in Bogor at DS 2008. The experiment consisted of 2 units, i.e. SNL and SNP, and used pioneer 21 variety of maize as plant indicator. The experiments used Randomize Complete Block Design with 8 treatments and 3 replicates. The treatments were combination of 2 factors. The first factor was rate of NPK application, i.e.: 0, 25, 50, and 100 percent of reccomendation doses based on soil analyses and the second one was the application of SNL i.e. 0 and 10 l/ha (unit I) or SNP i.e. 0 and 10 kg/ha (unit II). The results showed that application of SNL and SNP were not effective in increasing maize growth unless NPK doses > 100 percent of reccomendation doses. Application of 10 l/ha of SNL combined with 100 percent doses of NPK was effective in increasing maize growth and gave the highest grain yield (8.80 t/ha) as well as net profit (Rp. 6.155.000,-/ha/season). Nutrients contribution from the fertilizer, however, were only 0.002 kg N, 0.003 kg P2O5, and 0.002 kg K2O per hectare. Thus, increase of the yield was depending on contribution of N, P, and K availabilities from the soils. 
Strategi Sinergistik Peningkatan Produksi Pangan Dalam Hutan Lestari Melalui Wanatani Yudi Widodo
JURNAL PANGAN Vol. 20 No. 3 (2011): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v20i3.166

Abstract

Peningkatan produksi pangan merupakan agenda penting guna mencapai TujuanPembangunan Milenium matra pertama bahwa kelaparan dan kemiskinan harusditanggulangi hingga 50 persen pada tahun 2015. Upaya tersebut tidak mudah untukdicapai, karena terjadinya bencana ekologis berupa perubahan iklim global. Perluasanlahan pertanian untuk meningkatkan produksi pangan dipandang sebagai jawabanpilihan. Perluasan lahan pertanian baru berupa sawah maupun ladang hingga 2 jutahektar, akan mengurangi areal kawasan hutan. Pengalaman proyek sejuta hektar konversihutan di tanah gambut untuk lahan pertanian menjadi pelajaran yang perlu disimak,karena secara ekonomi tidak layak dan ekologi rusak. Makanya perluasan lahan pertanianseluas 2 juta hektar harus dipersiapkan cermat, agar keberlanjutan dapat dicapai.Kelestarian hutan harus dipertahankan sebagai wujud komitmen anggota masyarakatglobal dalam mengantisipasi perubahan iklim. Dua matra tersebut seyogyanya disinergikandalam wanatani, agar kepentingan jangka pendek pemenuhan sumber pangan berikutkebutuhan ekonomi tercukupi tanpa mengabaikan kelestarian hutan beserta hasratekologi. Komoditas sumber pangan tahan naungan seperti kelompok ubi-ubian (tuberosa)famili Araceae layak dikembangkan. Varietas tahan naungan padi dan serealia lainmaupun aneka kacang (leguminosa) perlu dirakit guna diintegrasikan ke dalam wanatani.Mengingat kerimbunan tajuk hutan menimbulkan naungan >80 persen, maka perlumenggali potensi hayati kelompok sumber pangan tidak hanya dari phylum Spermatophyta(tumbuhan berbiji) yang masa panen >4 bulan, tetapi juga dari Thalophyta (jamur),Bryophyta (lumut) maupun Pteridophyta (paku) yang dapat dipanen harian atau mingguan.kata kunci: wanatani, pangan dalam hutan lestariIncreasing food-crop production is urgent to meet Millennium Development Goals(MDGs) in which it is stated that the first objective is to decrease hunger and povertyup to 50 percent till the year 2015. This effort is not easily achieved due to ecologicaldisorder in a form of climate change. Addition of new agricultural land to increase foodcrop production is considered as an alternative answer. Consequently, opening forestsfor agricultural areas causes deforestation up to 2 million hectares. Past experience inconverting one million hectares of peat land for agriculture learnt a lesson, becauseeconomical and ecologically was not sustainable. Therefore, expanding agricultural landup to 2 million hectares has to be planned accurately, so sustainability could be attained.Forest sustainability is also a priority to combat against climate change. Those two objectives can be synchronized synergistically under agro-forestry, so food as well asshort economic seductions could be fulfilled without sacrificing forest sustainability aslong term ecological dreams. Shade tolerance root crops under family of Araceae aresuitable to be developed. Shade tolerance varieties of rice and other cereals as well aslegumes need to be generated and incorporated into agro-forestry. Due to shade intensityunder forest up to more than 80 percent, the food requirement is not merely based onSpermatophyta plant that mostly can be harvested at the period of around 4 months. Itis also a need to explore the potential of Thallophyta (mushroom, algae), Bryophyta(musci) as well as Pteridophyta (Azolla etc.) that can be harvested daily or weekly.
Formulasi Definisi Agroindustri dengan Pendekatan Backward Tracking Sukardi Sukardi
JURNAL PANGAN Vol. 20 No. 3 (2011): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v20i3.168

Abstract

Istilah agroindustri telah dikenal selama kurang lebih 30 tahun belakangan ini. Sejak diperkenalkan sampai sekarang istilah ini telah diterima dengan baik di masyarakat terbukti dengan adanya unit-unit kerja bidang agroindustri di sejumlah institusi baik pemerintah maupun swasta. Penerimaan istilah agroindustri yang luas ini menunjukkan peran dan fungsinya yang sangat penting dalam perkembangan pertanian dan ekonomi. Tetapi, pembahasan yang komprehensif tentang definisi dan pengertian agroindustri yang tepat sangat terbatas. Hal ini mungkin disebabkan oleh anggapan bahwa pembahasan definisi agroindustri telah selesai karena mudahnya istilah itu dipahami masyarakat sebagai industri yang mengolah bahan baku hasil pertanian. Artikel ini mengupas tuntas tentang lemahnya definisi agroindustri yang selama ini banyak dianut terutama di beberapa kalangan akademisi. Penelaahan definisi agroindustri dalam artikel ini difokuskan pada kritik terhadap definisi agroindustri yang dipublikasikan oleh The Economic Development Institute of the World Bank pada tahun 1992. Hasil kajian ini menemukan bahwa definisi agroindustri dalam publikasi tersebut bisa bias dalam mengklasifikasikan suatu industri kedalam kelompok agroindustri atau tidak. Dengan menggunakan pendekatan backward tracking, pembahasan dalam artikel ini telah berhasil merumuskan dan menghasilkan definisi yang tepat dari agroindustri. Ketepatan definisi agroindustri diuji terhadap produk-produk agroindustri dengan definisi dari Bank Dunia tersebut sebagai pambanding.The term of agroindustry has been known at least in the last 30 years. It is a well accepted term in the society as indicated by the establishment of a board of control in organizations both in the government and private institutions. The proliferation of this term is believed due to its important role and function to the agricultural and economic development. Nevertheless, a comprehensive discussion of the accuracy of definition of the agroindustry is very limited. It is presumable that the term has been clear, self explained, and understandable explained by the terms agro and industry which mean the industry that processes the agricultural raw materials. This article argues that in spite of the above supposition, the agroindustry definition contains a fundamental error that leads to a bias in classifying of certain industry as to whether or not it is of agroindustrial group. The article criticizes a well establishes agroindustry definition published by The Economic Development Institute of the World Bank. By using the termed method or approach called backward tracking, the article successfully results a more appropriate and precise definition of the agroindustry term. This article also presents the proof of some flaws in the old definition that some products which are incorrect to be classified by old definition to be determined otherwise by the new formulated and established definition of agroindustry. 
Kearifan Lokal dalam Diversifikasi Pangan Winati Wigna; Ali Khomsan
JURNAL PANGAN Vol. 20 No. 3 (2011): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v20i3.171

Abstract

Beras adalah komoditi yang memperoleh perhatian besar dari Kementerian Pertanian. Sudah saatnya kita kembali memperhatikan pangan-pangan potensial seperti umbiumbianyang dapat menjadi substitusi beras, misalnya “rasi” yang terbuat dari singkong. Dengan melalui proses pemarutan, pemerasan, penggilingan, dan penjemuran, makadihasilkan semacam tepung singkong kasar berbentuk granule yang disebut “rasi”. Masyarakat kampung Cireundeu-Cimahi Jawa Barat, dengan tanpa memperhatikan segala macam himbauan tentang diversifikasi pangan, ternyata telah menerapkan pola pangan nonberas sejak tahun 1924. Masyarakat Cireundeu merasa cocok makan “rasi” karena kesesuaian dengan cara hidup mereka. Dengan fluktuasi produksi beras yang dialami Indonesia, maka penggalakan diversifikasi pangan harus terus dilakukan. Diharapkan konsumsi beras dapat dikurangi di masa mendatang. Diversifikasi terkait dengan kesejahteraan seseorang. Masyarakat miskin sulit menerapkan diversifikasi menu karena lauk-pauk (sumber protein) harganya mahal, jadi bagi mereka makan nasi adalah upaya memenuhi kebutuhan fisiologis tanpa merasa perlu memperhatikan keseimbangan gizi.Rice has become the most concerned commodity by the Ministry of Agriculture. However, it is now the time to consider other potential foods as sources of carbohydrate, such as many kinds of tubers (cassava, sweet potato, sago, and taro). Some communities have a habit to eat “rasi”, made of cassava, that has traditionally been a staple food among Cirendeu people who live in Cimahi, West Java. The people of Cirendeu have been practicing food diversification by consuming non-rice foods since 1924. They consider eating “rasi” is better than eating rice because “rasi” fits with the way of their life. As rice production in Indonesia is still fluctuating, diversification should be campaigned again and again. It is hoped that rice consumption then can be reduced in the near future. Diversification is related to people welfare. Poor people have difficulties to diversify their menu because side dishes (which contain protein) are expensive, that’s why eating rice is the only way to satisfy their physiological need without considering nutrition balance. 
Pengembangan Diversifikasi Pangan Pokok Lokal suismono suismono; Nikmatul Hidayah
JURNAL PANGAN Vol. 20 No. 3 (2011): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v20i3.174

Abstract

Usaha diversifikasi pangan hingga kini belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan pemerintah. Salah satu kebijakan pemerintah di bidang konsumsi pangan yaitu mengembangkan diversifikasi pangan dengan menggali sumber karbohidrat danteknologi pengolahan pangan pokok yang berasal dari lokal. Teknologi pengolahan berbasis pangan pokok lokal yang telah ada di daerah masih dilakukan secara tradisional. Oleh karena itu perlu diperbaiki, digalakkan dan dikemas menjadi pangan pokok siap saji yang diterima masyarakat Indonesia menjadi makanan pokok pengganti beras. Sebagai contoh produk makanan pokok lokal yang telah diperbaiki teknologinya antara lain makanan Ledok (bubur dari bahan jagung dan singkong) menjadi produk Ledok Instan, Beras Aruk menjadi Beras Singkong Semi-Instan (BSSI), Beras ubi (Rasbi), Tiwul instan dan Beras Sagu Tiruan. Berdasarkan sebarannya, produk pangan pokok di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu : untuk wilayah Indonesia Bagian Barat mengkonsumsi makanan pokok ”nasi non beras”, untuk wilayah Indonesia Bagian Tengah mengkonsumsi makanan pokok ”bubur dari bahan tepung” dan untuk wilayah Indonesia Bagian Timur mengkonsumsi makanan pokok ”bubur dari bahan pati”.Efforts on food diversification has yet resulted in what expected by the government. One of government policies in food consumption sector is to develop food diversification by exploring the local sources of carbohydrate and local food processing technology. Local-staple-food-based processing technology that has already existed in the area is still traditionally operated. Therefore, the products need to be improved, promoted and packaged into ready-to-eat staple food that can be consumed as the substitution of rice as staple food by the people of Indonesia. For examples, the improved technology of local staple food products among others are Ledok foods (porridge made from maize and cassava) which have been formed into instant products, and Aruk grain which has been transformed into Semi Instant Cassava Grains (BSSI), Cassava grain (Rasbi), Tiwul instant and artificial Sago grain. Based on their distribution, staple foods in Indonesia can be classified into 3 basic non-rice categories. First, boiled kernel non rice is consumed in the Western parts of Indonesia; second, porridge made from flour is consumed as the staple food in Middle zones of Indonesia; and third, slurry of starch material is eaten eastern regions of Indonesia. 
Model Penggilingan Padi Terpadu Untuk Meningkatkan Nilai Tambah Ridwan Rachmat; suismono suismono
JURNAL PANGAN Vol. 20 No. 3 (2011): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v20i3.176

Abstract

Penggilingan padi merupakan titik sentral dari agroindustri padi. Penggilingan padi yang berkembang saat ini tidak dirancang dengan pendekatan sistem agribisnis yang terpadu tetapi dengan teknologi penggilingan padi yang masih sederhana. Lebih dari itu, peralatan penggilingan sudah berumur tua (lebih dari 15 tahun) menyebabkan mutu dan rendemen beras yang diperoleh juga rendah. Untuk meningkatkan mutu dan rendemen beras diperlukan upaya perbaikan kinerja penggilingan padi dengan meningkatkan penggunaan kapasitas terpasang, mengurangi biaya, meningkatkan nilai tambah produk yang memberi dampak positif pada usaha jasa penggilingan padi dan petani padi serta memantapkan kelembagaannya. Untuk mencapai ini perlu strategi usaha penggilingan padi secara terpadu atau terintegrasi yaitu beras menjadi bentuk keuntungan dan pendapatan dari hasil samping serta limbah yang terolah minimal dapat menutup biaya operasional proses produksi. Penerapan sistem manajemen mutu pada penggilingan padi berguna untuk menjaga konsistensi produksi, kualitas dan efisiensi proses penggilingan beras. Untuk membangun sistem penggilingan padi terpadu diperlukan fasilitas yang memadai untuk memproduksi beras berkualitas dan mengolah hasil samping menjadi produk bernilai komersial. Kelengkapan fasilitas untuk penggilingan padi terpadu dapat dikelompokkan sesuai skala usaha untuk memproduksi beras premiun, hasil samping berupa tepung beras, produk bihun, pakan ternak, dan briket arang sekam.kata kunci : padi, model penggilingan padi terpadu, nilai tambahRice milling is the central point of the rice agro-industry. At present, rice milling has been operated by simple and old-age equipment, so that the yield is relatively low. To improve the yield and quality, concerted efforts are needed by improving the utilization of existing capacity, reducing costs, increasing value-added products that makes a positive impact on the benefit of the business and rice farmers, as well as strengthening the business institution. To achieve this necessary business strategy, an integrated rice milling should produce milled rice as the form of profits, while the revenue from the by product is capable of covering the costs of processing. Implementation of quality and management system in rice mills is needed to maintain production consistency especially in quality as well as cost and process efficiency. To establish an integrated rice milling system, it is necessary to improve facilities to produce high quality rice and process by product into valuable commercial products. Complete facilities for integrated rice milling may be grouped according to the scale of business to produce premium quality rice, rice flour, vermicelli, charcoal products, feed, charcoal briquettes.keywords : paddy, milled rice, integrated rice milling, value added

Page 1 of 1 | Total Record : 8


Filter by Year

2011 2011


Filter By Issues
All Issue Vol. 32 No. 1 (2023): PANGAN Vol. 31 No. 3 (2022): PANGAN Vol. 31 No. 2 (2022): PANGAN Vol. 31 No. 1 (2022): PANGAN Vol. 30 No. 3 (2021): PANGAN Vol. 30 No. 2 (2021): PANGAN Vol. 30 No. 1 (2021): PANGAN Vol. 29 No. 3 (2020): PANGAN Vol. 29 No. 2 (2020): PANGAN Vol. 29 No. 1 (2020): PANGAN Vol 29, No 1 (2020): PANGAN Vol. 28 No. 3 (2019): PANGAN Vol 28, No 3 (2019): PANGAN Vol 28, No 2 (2019): PANGAN Vol. 28 No. 2 (2019): PANGAN Vol 28, No 1 (2019): PANGAN Vol. 28 No. 1 (2019): PANGAN Vol 28, No 1 (2019): PANGAN Vol 27, No 3 (2018): Vol 27, No 3 (2018): PANGAN Vol. 27 No. 3 (2018): PANGAN Vol. 27 No. 2 (2018): PANGAN Vol 27, No 2 (2018): PANGAN Vol 27, No 1 (2018): PANGAN Vol. 27 No. 1 (2018): PANGAN Vol 26, No 3 (2017): PANGAN Vol. 26 No. 3 (2017): PANGAN Vol. 26 No. 2 (2017): PANGAN Vol 26, No 2 (2017): PANGAN Vol. 26 No. 1 (2017): PANGAN Vol 26, No 1 (2017): PANGAN Vol. 25 No. 3 (2016): PANGAN Vol 25, No 3 (2016): PANGAN Vol 25, No 3 (2016): PANGAN Vol. 25 No. 2 (2016): PANGAN Vol 25, No 2 (2016): PANGAN Vol 25, No 1 (2016): PANGAN Vol. 25 No. 1 (2016): PANGAN Vol. 24 No. 3 (2015): PANGAN Vol 24, No 3 (2015): PANGAN Vol. 24 No. 2 (2015): PANGAN Vol 24, No 2 (2015): PANGAN Vol 24, No 1 (2015): PANGAN Vol. 24 No. 1 (2015): PANGAN Vol. 23 No. 3 (2014): PANGAN Vol 23, No 3 (2014): PANGAN Vol 23, No 3 (2014): PANGAN Vol 23, No 2 (2014): PANGAN Vol. 23 No. 2 (2014): PANGAN Vol. 23 No. 1 (2014): PANGAN Vol 23, No 1 (2014): PANGAN Vol. 22 No. 4 (2013): PANGAN Vol 22, No 4 (2013): PANGAN Vol 22, No 3 (2013): PANGAN Vol. 22 No. 3 (2013): PANGAN Vol 22, No 2 (2013): PANGAN Vol. 22 No. 2 (2013): PANGAN Vol 22, No 2 (2013): PANGAN Vol 22, No 1 (2013): PANGAN Vol. 22 No. 1 (2013): PANGAN Vol. 21 No. 4 (2012): PANGAN Vol 21, No 4 (2012): PANGAN Vol 21, No 4 (2012): PANGAN Vol. 21 No. 3 (2012): PANGAN Vol 21, No 3 (2012): PANGAN Vol 21, No 2 (2012): PANGAN Vol. 21 No. 2 (2012): PANGAN Vol. 21 No. 1 (2012): PANGAN Vol 21, No 1 (2012): PANGAN Vol. 20 No. 4 (2011): PANGAN Vol 20, No 4 (2011): PANGAN Vol 20, No 3 (2011): PANGAN Vol. 20 No. 3 (2011): PANGAN Vol 20, No 2 (2011): PANGAN Vol. 20 No. 2 (2011): PANGAN Vol 20, No 1 (2011): PANGAN Vol. 20 No. 1 (2011): PANGAN Vol. 19 No. 4 (2010): PANGAN Vol 19, No 4 (2010): PANGAN Vol 19, No 3 (2010): PANGAN Vol. 19 No. 3 (2010): PANGAN Vol. 19 No. 2 (2010): PANGAN Vol 19, No 2 (2010): PANGAN Vol. 19 No. 1 (2010): PANGAN Vol 19, No 1 (2010): PANGAN Vol 18, No 4 (2009): PANGAN Vol. 18 No. 4 (2009): PANGAN Vol. 18 No. 3 (2009): PANGAN Vol 18, No 3 (2009): PANGAN Vol 18, No 2 (2009): PANGAN Vol. 18 No. 2 (2009): PANGAN Vol 18, No 1 (2009): PANGAN Vol. 18 No. 1 (2009): PANGAN Vol. 17 No. 3 (2008): PANGAN Vol 17, No 3 (2008): PANGAN Vol 17, No 2 (2008): PANGAN Vol. 17 No. 2 (2008): PANGAN Vol 17, No 2 (2008): PANGAN Vol 17, No 1 (2008): PANGAN Vol. 17 No. 1 (2008): PANGAN Vol 16, No 1 (2007): PANGAN Vol. 16 No. 1 (2007): PANGAN Vol. 15 No. 2 (2006): PANGAN Vol 15, No 2 (2006): PANGAN Vol 15, No 1 (2006): PANGAN Vol. 15 No. 1 (2006): PANGAN More Issue