Articles
126 Documents
KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS
Muhamad Kholid
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 9, No 1 (2015): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.15575/adliya.v9i1.6162
AbstrakPasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 TentangKekuasaan Kehakiman menerangkan bahwa penyelesaian perkara dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pengadilan(litigation) dan luar pengadilan (non litigation). Untuk kasus sengketa bisnis maka pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Negeri yang berada di lingkungan Peradilan Umum sedangkan luar pengadilan diantaranya dapat dilakukan melalui Lembaga Arbitrase. Dengan demikian masing-masing lembaga merasa memiliki kewenangan untuk memeriksa mengadili, danmemutus suatu perkara bisnis sehingga terjadi tarik-menarikkewenangan yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum. Tulisan ini akan memberikan gambaran tentang kewenangan masing-masing dari Pengadilan Negeri dan Lembaga Arbitrase dalam memeriksa mengadili, dan memutus suatu perkara bisnis yang selaras (konsisten) dengan asas-asas hukum yang berlaku di Indonesia.
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NOMOR: 179/PDT.G/2011/PTA.BDG. DITINJAU DARI ASPEK HUKUM FORMIL
Muhammad Burhanudin
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 9, No 1 (2015): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (374.744 KB)
|
DOI: 10.15575/adliya.v9i1.6157
AbstrakPerkara ini dilatarbelakangi oleh permohonan perceraian yangdiajukan Pemohon/Termohon Banding yang kemudian, pemeriksaan pada tingkat pertama, Termohon mengajukan rekonvensi yang berisi gugatan nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah anak. Jika ditinjau dari aspek hukum formil, putusan tingkat pertama juga memiliki masalah yang mana sebagian gugatan rekonvensi tidak dipertimbangkan dalam pertimbangan putusannya sehingga menurut Yurisprodensi MA Nomor: 672 K/Sip/1972 bahwa suatu putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan, yang sering dalam praktik disebut onvolduende gemetivereed merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan. Selain itu juga, putusan pada tingkat banding tidak mencantumkan ringkasan dasar permohonan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa jika ditinjau dari aspek hukum formil, putusan tersebut tidak menyalahi perundang-undangan meskipun pada putusan banding tersebut tidak mencantumkan posita permohonan dan tidak lantas menyebabkan putusan ini batal demi hukum karena putusannya tetap merujuk pada putusan tingkat sebelumnya. Selain itu, putusan tersebut juga telah memenuhi asas-asas dan struktur putusan. Adapun mengenai tidak dipertimbangkan sebagian rekonvensi pada tingkat pertama, ternyata pada tingkat banding telah disempurnakan pertimbangannya. Sehingga putusannya sah dan tidak cacat hukum.
ANALISIS PRINSIP AL-HURRIYAH TERHADAP HAK POLITIK PEGAWAI NEGERI (TNI DAN POLRI) DI INDONESIA DITINJAU DARI DEMOK¬RASI DAN HAM
Lutfi Fahrul Rizal
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 9, No 2 (2015): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (539.613 KB)
|
DOI: 10.15575/adliya.v9i1.6168
AbstrakHak politik bagi pegawai negeri terutama bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan sejarah bangsa Indonesia. Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah pengaturan tentang hak politik bagi TNI dan Polri dalam Pemilihan Umum di Indonesia apabila dilihat dari perspektif sejarah dan politk hukum serta bagaimanakah analisis prinsip al-Hurriyah dengan tinjauan konsepsi Hak Asasi Manusia dalam konteks masyarakat demokratis di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pengaturan pada tiga periode kekuasaan mengalami kemunduran. Pada masa Orde Lama, angkatan bersenjata dan polisi diberikan hak memilih dalam Pemilu. Pada Orde baru, ABRI tidak diberikan hak untuk memilih, namun keberadaan ABRI dalam ranah-ranah politik diatur secara khusus melalui mekanisme pengangkatan dalam lembaga legislatif. Sedangkan pada era reformasi, hak pilih dan memilih bagi anggota TNI dan Polri dihilangkan sehingga TNI dan Polri hanya melaksanakan tugas negara tanpa adanya hak politik yang melekat dalam diri instansi tersebut. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengaturan hukum tentang hak pilih berdasarkan analisis prinsip Al Hurriyah menurut perspektif Hak Asasi Manusia dalam konteks masyarakat demokratis belumlah sinkron satu dengan lainnya. Hal ini dikarenakan kriteria partisipasi dan keterwakilan sebagaimana termaktub dalam nilai-nilai ideal demokrasi belumlah terwujud.
PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI BRI SYARIAH CABANG BANDUNG SUNIARAJA
Usep Deden Suherman
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 11, No 2 (2017): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (704.184 KB)
|
DOI: 10.15575/adliya.v11i2.4863
AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis (1) budaya organisasi dan kinerja pegawai pada BRI Syariah Cabang Bandung Suniaraja, (2) pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai pada BRI Syariah Cabang Bandung Suniaraja. Metode penelitian yang digunakan ialah metode deskriptif dan verifikatif pada 74 pegawai BRI Syariah Cabang BandungSuniaraja dengan menggunakan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum budaya organisasi pada BRI Syariah Cabang Bandung Suniaraja berada pada kategori baik. Hal ini dapat dilihat dari inovasi dan pengambilan resiko, perhatian kerincian, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan dan kemantapan. Jika ditinjau dari kinerja pegawai BRI Syariah Cabang Bandung Suniaraja berada dalam kategori baik. Hal ini dapat dilihat dari segi kualitas, kuantitas, ketepatan waktu, efektivitas dan komitmen kerja berada dalam kategori baik juga. Selanjutnya, budaya organisasi memiliki pengaruh positif dan siginifikan terhadap kinerja pegawai.
POLIGAMI PERSPEKTIF KEADILAN GENDER
Didi Sumardi
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 9, No 1 (2015): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.15575/adliya.v9i1.6163
AbstrakSecara historis, poligami poligami muncul sebagai dampak daripeperangan pada masa perluasan wilayah Islam, mereka (parasuami) yang gugur di medan pertempuran meninggalkan anakdan isteri, sementara anak dan isterinya masih perlu mendapatkan bimbingan, perhatian, nafkah, dan kasih sayang darisuami yang dicintainya. Sebagai pengganti ayah yang gugur dimedan pertempuran, maka kaum laki-laki diminta untukmengayomi anak yatim dan janda-janda tersebut. Namun menurut kaum feminis tidak demikian, poligami merupakanbentuk ketidakadilan terhadap perempuan, karena perempuandianggapnya sebagai pemuas hawa nafsu kaum laki-laki belaka.Perempuan menjadi subordinasi bagi kaum patriarki, dijadikanselir para raja, dan dipandang sebagai perempuan murah yangdapat ditukar dan diperjualbelikan. Kenyataan seperti ini berlangsung sejak dahulu hingga sekarang, hal ini dapat dilihatdengan maraknya traficking atau penjualan anak gadis atauperempuan lain oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawabuntuk mendapatkan keuntungan materi pribadi belaka, dengantidak memperhatikan kondisi fisik dan fsikis perempuan yangmenjadi korban. Pada tulisan ini, penulis mengkaji mengenaipoligami yang ditinjau dari keadilan gender.
HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA TERHADAP HAK PERWALIAN DAN KEWARISAN ANAK
Ahmad Zahid Hakespelani
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 9, No 1 (2015): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (808.939 KB)
|
DOI: 10.15575/adliya.v9i1.6158
AbstrakTulisan ini menjelaskan tentang akibat hukum perkawinanbeda agama terhadap hak perwalian dan hukum kewarisanbagi anak. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974tentang Perkawinan, bahwa perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan tidak sah, sehingga hal tersebut akan berimplikasi terhadap perwalian dan kewarisan bagi anak. Hasildari tulisan ini adalah bahwa: pertama, kedudukan hukum ahliwaris beda agama dalam hukum Islam jelas dilarang berdasarkan al-Qur‟an, Sunnah, dan Ijtihad Ulama Mazhab; Kedua, hak waris bagi ahli waris beda agama tidak boleh diberikan oleh ahli waris utama bisa dianggap ijtihad yang keliru (haillah syar‟iyyah), karena bertentangan dengan ketentuansyari‟at dan azas ijbari; Ketiga, pemberian harta warisan kepada ahli waris beda dalam Pasal 194-209 KHI dengan menggunakan pertimbangan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan ahli waris utama, hendaknya diamandemen dan direkonstruksi kembali sesuai dengan al-Qur‟an dan Sunnah; dan keempat, pemberian harta warisan kepada ahliwaris beda agama sebagaimana didasarkan kepada Pasal 194-209 di bawah Bab V KHI dengan menggunakan pertimbangan wasiat wajibah juga merupakan fakta yuridis masuknya pengaruh hukum Adat dan hukum Barat ke dalam KHI.
POLA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BANK KAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA PERBANKAN
M. Irsan Nasution
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 9, No 2 (2015): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (307.772 KB)
|
DOI: 10.15575/adliya.v9i1.6169
AbstrakMeningkatnya pertumbuhan ekonomi dan perdagangan, secara selektif meningkat pula tindak pidana ekonomi baik dalam kuantitatif maupun kualitatif, seiring dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Bentuk tindak pidana tradisional sudah berkembang menjadi bentuk tindak pidana yang lebih modern sehingga tindak pidana tersebut sulit ditanggulangi dan hukum yang mengaturpun sulit menjangkaunya. Contohnya tindak pidana perbankan yang pelakunya pengurus bank itu sendiri atau orang lain yang bekerjasama dengan pengurus bank. Jenis tindak pidana perbankan dapat dibagi dalam 3 jenis yaitu: 1) Tindak pidana perizinan atau legalitas bank; 2) Tindak pidana dibidang perkreditan; 3) Tindak pidana dibidang lalu-lintas giral; Tindak pidana yang terjadi hampir tidak mungkin dapat terjadi tanpa kerjasama dengan orang dalam, setidak-tidaknya atas petunjuk orang dalam, paling tidak memanfaatkan ketidak cermatan dan kurang ketelitian pegawai perbankan sendiri, tindak pidana yang diatur dalam Undanga-Undang No.10/1998 tentang Perbankan dapat berupa: 1) Tindak kejahatan perbankan, yang ancaman pidananya lebih tinggi dari pidana pelanggaran (pasal 46, pasal 47, pasal 47A, pasal 49, pasal 50, pasal 50A; 2) Tindak pelanggaran perbankan yang ancaman pidananya lebih rendah dari tindak kejahatan, (pasal 48). Pola pertanggung jawaban pidana suatu bank sebelumnya tanggungjawab pidana adalah pelaku perbuatanlah yang harus bertanggung jawab secara pribadi berasaskan naturlijkpersoon, dan telah berkembang pada dewasa ini umumnya diterima pendirian bahwa badan hukum memiliki tanggungjawab pidana berupa pidana denda.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KETENTUAN PASAL 22 AYAT (1) UUD 1945 TENTANG HAL IHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA SEBAGAI SYARAT PENERBITAN PERPPU
Nasrudin Nasrudin
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 9, No 2 (2015): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (290.874 KB)
|
DOI: 10.15575/adliya.v9i1.6164
AbstrakKewenangan untuk menerbitkan Perppu bagi Presiden adalahkewenangan yang diberikan baik oleh Konstitusi maupunUndang-Undang (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Di dalam UUD 1945 Pasal 22 ayat 1 ditegaskan bahwa “dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang”. Pada hakikatnya, hingga sekarang belum satupun regulasi,utamanya dalam Pasal 22 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menyatakan secara tegas kalau kiranya Perppu dapat dikeluarkan oleh Presiden untuk mencabut atau menggantikan Undang-Undang, dengan alasan UndangUndang tersebut mendapat penolakan oleh publik. Oleh karena itu dalam hemat Penulis, menilai bahwa eksistensi Perppu Pilkada yang mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pilkada dan Perppu Pemda yang mencabut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya tidak konstitusional.
NAZHARIYYAT AL-FIQIH AL-SIYASI DALAM MEMILIH PEMIMPIN PEMERINTAHAN DAN NEGARA MENURUT AL-MAWARDI
Abdul Hamid
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 9, No 1 (2015): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (270.094 KB)
|
DOI: 10.15575/adliya.v9i1.6159
AbstrakTulisan ini menjelaskan mekanisme memilih pemimpin pemerintahan dan Negara menurut teori maslahat Abu Hassan alMawardi. Menurut al-Mawardi, ajaran Islam syarat denganmuatan muatan norma-norma hukum yang erat kaitannyadengan masalah politik dan ketatanegaraan. Berpijak kepadapenafsiran Q.S. Ali Imran ayat 59, al-Mawardi merekonstruksimakna Ulil Amri sebagai representasi politik rakyat dalam sistem kekuasaan negara. Menurutnya, Ulim Amri adalah sekelompok orang terpilih dari berbagai kalangan yakni tentara,ulama, ilmuwan, dan sebagainya yang memiliki kunci pentingdalam proses pengambilan keputusan politik. Hal menarik daripemikiran al-Mawardi adalah ia banyak menonjolkan sisikonsensus politik (ijma fi fiqh al-siyasi) dalam proses pengambilan keputusan politik, yang salah satunya digunakan dalammemilih pemimpin pemerintahan dan negara.
KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERBANKAN SYARI’AH PASCA PUTUSAN MK NOMOR 93/PUU-X/2012
Heris Suhendar
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 9, No 2 (2015): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.15575/adliya.v9i1.6170
AbstrakTulisan ini akan memaparkan tentang sejauh mana kompetensi Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai judicial review atas penjelasan Pasal 55 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Sehingga tulisan ini lebih memfokuskan kepada pembahasan tentang kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah tanpa ada lagi pilihan forum penyelesaian ke Pengadilan Umum. Kemudian bagaimana kedudukan hukum pada pilihan forum lain secara non-litigasi dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah tersebut? Oleh karena itu, tulisan ini memuat penjelasan kompetensi Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, dan implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 terhadap kompetensi absolut Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah.