cover
Contact Name
Vincent Wenno
Contact Email
vincentkalvin@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jurnal.kenosis@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota ambon,
Maluku
INDONESIA
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi
ISSN : 24606901     EISSN : 26564483     DOI : -
Jurnal Kenosis bertujuan untuk memajukan aktifitas dan kreatifitas karya tulis ilmiah melalui media penelitian dan pemikiran kritis analitis di bidang kajian Teologi serta ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan Teologi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial Keagamaan Institut Agama Kristen Negeri Ambon.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI" : 10 Documents clear
Teologi Keagamaan Kwok Pui-lan: Dari Hermeneutika Asia Menuju Keadilan Gender (Sebuah Peta Pemikiran Teologi Kontekstual Asia) Andreas Kristianto
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.499

Abstract

This study refers to Kwok Pui-lan's thoughts on her shift from religious pluralism to gender justice in Asia. Asia experiences a syndrome known as the colonial syndrome, so that postcolonial hermeneutics is needed in the life of the church. The main ideas are as follows, namely a shift from Western hermeneutics to Asian hermeneutics (dialogical interpretation model), from textual interpretation to oral hermeneutics, from Asian interpretation to religious pluralism (multifaith hermeneutics) and from religious pluralism to gender justice. Kwok Pui-lan's theology brings dimensions of intersectionality (cross) between colonialism, gender and religion, which is a fresh material to build a postcolonial theology of religious and gender diversity in Indonesia. The contribution of this article is that Kwok Pui-lan's thoughts build awareness of “multiplicity”, namely about the existence of many identities and layers of domination from the analysis of colonial history, race, class, culture, sexual orientation and gender.Abstrak Studi ini merujuk pada pemikiran Kwok Pui-lan tentang pergeserannya dari Pluralisme agama menuju keadilan gender di Asia. Asia mengalami sindrom yang disebut sebagai sindrom kolonial, sehingga dibutuhkan hermeneutika postkolonial dalam kehidupan menggereja. Pokok-pokok pemikirannya adalah sebagai berikut yaitu adanya pergeseran dari hermeneutika Barat menuju hermeneutika Asia (model penafsiran dialogis), dari intepretasi tekstual menuju hermeneutika lisan (oral), dari intepretasi Asia menuju pluralisme agama (multifaith hermeneutics) dan dari pluralisme agama menuju keadilan gender. Teologi keagamaan Kwok Pui-lan membawa dimensi interseksionalitas (persilangan) antara kolonialisme, gender dan agama, yang mana menjadi bahan segar untuk membangun teologi postkolonialisme di Indonesia. Kontribusi artikel ini adalah bahwa pemikiran Kwok Pui-lan membangun kesadaran akan “multiplisitas”, yaitu adanya banyak identitas dan lapisan dominasi dari analisis sejarah kolonial, ras, kelas, budaya, orientasi seksual dan gender.
Memaknai Bahtera Nuh dalam Kejadian 6-7 pada Konteks Isolasi Mandiri Penderita Covid-19 Eddis Sagala
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.513

Abstract

Self-isolation is temporary isolation in a place because of a situation that is considered dangerous. This study seeks to interpret and relate the story of Noah and his ark to the situation of Covid-19 sufferers who are in self-isolation. The research method in this study is a qualitative method through literature review, namely descriptive analysis of the book of Genesis 6-7. The research method in this study is a qualitative method through literature review, namely descriptive analysis by exegesis the book of Genesis 6-7. The findings obtained were that Noah and his extended family as well as various types of animals in the ark were the first acts of self-isolation on God's instructions because of the very dangerous conditions of the flood. Those who helped isolate themselves in the ark for 150 days to avoid the threat of the danger of a flood. Patients with Covid-19 must now self-isolate for 14 days for their personal safety and for the safety of their families and others around them. Covid-19 sufferers need support and enthusiasm from every community while undergoing independent isolation in an effort to complete recovery.AbstrakIsolasi mandiri merupakan pengasingan dalam sementara waktu di dalam sebuah tempat karena situasi yang dianggap berbahaya. Penelitian ini berupaya untuk memaknai dan merelevansikan kisah Nuh dan bahteranya kepada situasi penderita Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri. Metode penelitian dalam penelitian ini ialah metode kualitatif melalui kajian pustaka yakni analisis deskriptif dengan mengeksegesa kitab Kejadian 6-7. Hasil temuan yang diperoleh ialah ternyata Nuh dan keluarga besarnya serta berbagai jenis binatang dalam bahtera merupakan tindakan isolasi mandiri pertama atas instruksi Tuhan karena kondisi air bah yang sangat berbahaya. Mereka yang turut mengisolasi diri dalam bahtera selama 150 hari supaya terhindar dari ancaman bahaya air bah. Para penderita Covid-19 kini juga harus melakukan isolasi mandiri selama 14 hari demi keselamatan pribadinya dan demi keselamatan keluarganya dan orang lain yang berada di sekitarnya. Penderita Covid-19 membutuhkan dukungan dan semangat dari setiap masyarakat selama menjalani isolasi mandiri dalam upaya pemulihan yang utuh.
Posisi Teks-teks Kitab Keagamaan dalam Dialog Lintas Agama di Kota Poso Pasca Konflik Budi Seprianus Tarusu
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.557

Abstract

Interfaith dialogue is one of the efforts that is always made to find shared values in order to build and strengthen interreligious relations after the conflict. Dialogue like this always presents interfaith figures to convey the values of living together based on their respective perspectives. The delivery of the values of living together is actually based on the truth of religious texts. This study aims to see how the presence of religious texts is positioned in post-conflict interfaith dialogue. This research will focus on interfaith communities in the city of Poso, as one of the benchmarks for achieving peace efforts in post-conflict Poso District. This study uses a qualitative method with a descriptive approach. Data obtained through participatory observation and interviews. The results of this study show that the presence and use of religious texts in interfaith dialogue to build and strengthen interreligious relations in Poso City after the conflict has an important and strategic position that emphasizes the values of living together. The presence and use of religious texts that emphasize the values of living together have encouraged the creation of safe and peaceful interfaith dialogue in the spirit of tolerance and harmony.AbstrakDialog lintas agama merupakan salah satu upaya yang selalu dilakukan untuk menemukan nilai-nilai bersama dalam rangka membangun serta memperkuat kembali relasi antaragama pasca konflik. Dialog seperti ini selalu menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama untuk menyampaikan nilai-nilai hidup bersama yang didasarkan pada sudut pandang masing-masing. Penyampaian nilai-nilai hidup bersama ini sejatinya berpijak pada kebenaran teks-teks kitab keagamaan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimanan kehadiran teks-teks kitab keagamaan diposisikan dalam dialog lintas agama pasca konflik. Penelitian ini akan difokuskan pada masyarakat lintas agama di kota Poso, sebagai salah satu tolok ukur capaian upaya perdamaian di Kabupaten Poso pasca konflik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Data didapatkan melalui observasi-partisipatif dan wawancara. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kehadiran dan penggunaan teks-teks kitab keagamaan dalam dialog lintas agama untuk membangun serta memperkuat kembali relasi antaragama di Kota Poso pasca konflik, memiliki posisi penting dan strategis yang menegaskan nilai-nilai hidup bersama. Kehadiran dan penggunaan teks-teks kitab keagamaan yang menegaskan nilai-nilai hidup bersama ini, telah mendorong terciptanya dialog lintas agama yang aman dan damai dalam semangat toleransi dan kerukunan.
Memahami Ulang Makna Sosio-Ekologis Abad 21: Kespesiesan Manusia dan Personitas Alam dalam Anthropocene Melalui Actor-Network Theory Fiktor Jekson Banoet
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.463

Abstract

Tendency of the post-positivism sociology family to define the social meaning of humans as a way of living together between humans. The social meaning is drawn from the interactions between them and has not included the associative rules with the ecosphere (biotic and abiotic) as forming the social meaning. And conversely, certain parties, from among scientists, even environmental activists, do not include the definition of the environment as having a "personality". In the midst of the ecological crisis context, this paper tries to re-interpret this meaning socio-ecologically. The goal is to obtain alternatives to respond to the environmental crisis in Indonesia. We conceptualize the perspective of Actor Network Theory, or what is also called Actant Rhizome, by Bruno Latour. He discusses that social meaning is no longer centered on humans and society is no longer human society. Rather, society is any non-human entity in the ecosphere, technosphere and sociophere (human environment) which satisfies the presupposition of interaction, which he calls “active”. For Latour, in an era of ecological crisis, many people will mutate themselves according to that crisis. Theologically, it can then be further reflected in the socio-ecological meaning of society, including the mutated whole.AbstrakKecenderungan rumpun sosiologi pascapositivisme mendefinisikan makna sosial manusia sebagai cara hidup bersama antarmanusia. Makna sosialnya ditarik dari interaksi antara manusia dan belum memasukkan kaidah asosiatif ke dalam ekosfer sebagai pembentuk makna sosial tersebut. Sebaliknya, pihak tertentu, dari kalangan saintis, bahkan pegiat lingkungan kurang memasukan definisi lingkungan hidup sebagai yang memiliki ‘kepribadian’. Di tengah konteks krisis ekologi di Indonesia, tulisan ini mencoba memaknai ulang makna tersebut secara sosio-ekologis. Tujuannya supaya memperoleh alternatif menanggapi krisis lingkungan. Studi ini mempertimbangkan perspektif Teori Jaringan-Aktor (actor-network theory), atau yang juga disebut Actant Rhizome, oleh Bruno Latour. Ia mendiskursuskan bahwa makna sosial tidak lagi berpusat pada manusia dan masyarakat bukan saja masyarakat manusia. Tetapi juga setiap entitas non-manusia dalam ekosfer, teknosfer dan sosiofer yang memenuhi pengandaian interaksi, yang ia sebut ‘aktan’.
Titik Temu Hukum Fondrakõ dengan Keluaran 20:3-17 sebagai Tatanan Kehidupan Masyarakat Nias Firman Panjaitan; Steven Anugerah Jaya Ndruru
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.523

Abstract

This article aims to show the equality between the Fondrakõ law and the ten Laws as written in Exodus 20:3-17. The equality of these two laws lies in the pattern of the relationship between humans and God and humans with each other. By looking at the equality between these two laws, it can be ascertained that in fact the application of the Fondrakõ law to the lives of the people of Nias is very contextual. The discussion in this article uses the cross-textual reading method, which refers to a comparative-correlative study approach by looking at and finding similarities and differences between the two selected texts. The results of the research show that the Fondrakõ law and the Torah Law are actually two laws that have similarities and are interrelated to one another. Even if there are differences between the two laws, these differences can be used to complement each other and enrich each other's meanings. Thus, Torah law can actually be applied in the life of Nias people through Fondrakõ laws, especially those that regulate the relationship between humans and God and each other.AbstrakArtikel ini bertujuan untuk menunjukkan kesetaraan antara hukum Fondrakõ dengan sepuluh Hukum Taurat seperti yang ditulis dalam Keluaran 20:3-17. Kesetaraan kedua hukum ini terletak pada pola hubungan antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya. Dengan melihat kesetaraan antara kedua hukum ini, dapat dipastikan bahwa sesungguhnya pemberlakuan hukum Fondrakõ terhadap kehidupan masyarakat Nias sangat kontekstual. Pembahasan dalam artikel ini menggunakan metode pembacaan cross textual, yang mengacu pada pendekatan studi komparatif-korelatif dengan cara melihat dan menemukan persamaan dan perbedaan kedua teks terpilih. Hasil dari penelitian memperlihatkan bahwa hukum Fondrakõ dengan Hukum Taurat sesungguhnya merupakan dua hukum yang memiliki persamaan dan saling bertalian satu sama lain. Kalau pun ada perbedaan di antara kedua hukum tersebut, justru perbedaan itu dapat dipakai untuk saling melengkapi dan memperkaya makna satu sama lain. Dengan demikian sejatinya hukum Taurat dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat Nias melalui hukum Fondrakõ, khususnya yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan sesamanya.
Budak dan Pekabaran Injil di Timor: Studi Historis mengenai Peran Budak dalam Sejarah Pekabaran Injil di Timor, 1820-an – 1840-an. Fransisco de Kr. Anugerah Jacob
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.546

Abstract

This article aims to show the role of slaves in the history of evangelism on the island of Timor in 1820s-1840s. In the context of Timor Island, slaves played an pivotal role in the expansion of Christianity (Protestantism). Based on research result, I noted at least six slaves – and former slaves – who were actively involved in evangelizing. There are three roles of the slaves, namely slaves as a techer, missionary, and influencer. As for the slaves – because they came from the lowest strata of society – they often faced opposition when preaching the gospel. However, these challenges do not stop them from carrying out their duties and vocations.AbstrakArtikel ini bertujuan memperlihatkan peran para budak dalam sejarah pekabaran Injil di pulau Timor pada tahun 1820-an hingga 1840-an. Dalam konteks Pulau Timor, para budak berperan penting dalam perluasan kekristenan (protestan). Berdasarkan hasil penelitian, saya mencatat setidaknya terdapat enam orang budak – dan mantan budak – yang terlibat aktif dalam pekabaran Injil. Adapun terdapat tiga peran budak dalam pekerjaan pekabaran Injil, yakni sebagai guru, misionaris dan pemberi pengaruh (influencer). Para budak – karena datang dari lapisan masyarakat bawah – sering kali menghadapi pertentangan ketika memberitakan Injil. Kendati demikian, tantangan-tantangan tersebut tidak membuat mereka berhenti memberitakan Injil.  
Fenomena Kuburan Campur sebagai Media Dialog Antar-Agama Selvone Christin Pattiserlihun
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.518

Abstract

Several meeting spaces in society have become different in engagement places or media for dialog antar agama in Indonesia unconsciously, such as Graves oft seen as scary spaces can be spaces for dialog antar agama. This paper aims to reveal interfaith dialogue facts from the mixed-grave phenomenon that academics rarely see. This paper uses a qualitative study with the mechanism of observation, interviews, and literature analysis. There are several results. 1) Interfaith dialogue media can be distinguished into three forms of mixed grave phenomena, namely mixed ethnic graves, mixed religions, and mixed ethnicities and religions. 2)These three types of mixed graves conduct dialog antar agama to maintain tolerance through activities carried out by several community groups, both from families and the Indonesian Graveyard community, that hunting activities. 3)Kinship and friendship are important reasons for preserving the values of tolerance in a multicultural and multi-religious society through this phenomenon. Thus, dialog antar agama can be carried out in various public spaces, not just academic areas which are boring and difficult to reach by grassroots communities. Several regions that do not experience religious segregation have practiced these methods for a long time.AbstrakTanpa disadari, beberapa ruang perjumpaan dalam masyarakat menjadi tempat perkawinan perbedaan atau media dialog antar-agama di Indonesia salah satu contohnya adalah kuburan yang dilihat sebagai tempat menakutkan dapat dijadikan sebagai ruang terciptanya dialog antar-agama. Tujuan tulisan ini adalah menganalisis dialog antar agama dari fenomena kuburan campur (mix-grave) yang jarang dilihat para akademisi. Tulisan ini menggunakan studi kualitatif dengan mekanisme observasi, wawancara, dan analisis literatur. Hasilnya, 1) Media dialog antar agama dapat dibedakan dalam 3 bentuk fenomena kuburan campur yakni kuburan campur etnik, campur agama, dan campur etnik dan agama. 2) Ketiga macam kuburan campur ini dapat disadari sebagai ruang baru bagi masyarakat melakukan dialog antar-agama agar tetap memelihara toleransi melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat baik dari keluarga dan juga aktivitas berburu (hunting) kuburan yang dilakukan oleh komunitas Graveyard Indonesia. 3) Hubungan kekerabatan (kinship) dan persahabatan (friendship) menjadi alasan penting pelestarian nilai-nilai toleransi dalam masyarakat yang multikultural dan multiagama melalui fenomena ini. Dengan demikian, dialog antar agama dapat dilakukan di berbagai ruang masyarakat bukan hanya pada ruang akademis yang membosankan dan sulit dijangkau oleh masyarakat akar rumput. Cara-cara ini telah dilakukan dari lama oleh beberapa daerah yang tidak mengalami segregasi agama.
Keadilan Menyeluruh Menurut Pancasila dalam konsep “Sangserekan” di Toraja Serta Sumbangsihnya Bagi Krisis Ekologi Dody Grace Febryanto Rongrean
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.538

Abstract

Fokus studi ini bertujuan untuk menyikapi krisis ekologi yang terjadi hari ini. Penulis melihat bahwa, kerusakan alam diakibatkan oleh ulah manusia yang bertindak semena-mena atas alam. Perlakuan tersebut tak jauh dari konsep bahwa manusia adalah pusat (antroposentrisme), dan karenanya berhak memperlakukan alam semaunya. Akibatnya ialah lingkungan yang tercemar, pemanasan global, polusi, deforestasi dan krisis lingkungan lainnya. Penulis melihat fenomena tersebut dari sudut pandang kearifan lokal masyarakat Toraja, yaitu konsep Sangserekan. Dalam konsep tersebut dijumpai “roh” Pancasila tentang bagaimana berlaku adil secara “menyeluruh”, tidak hanya bagi sesama manusia, tetapi berlaku juga bagi alam. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini ialah kualitatif, dan pendekatan yang digunakan ialah fenomenologis. Penulis sampai pada temuan bahwa keadilan dalam Pancasila berlaku bagi seluruh ciptaan yang ada, termasuk alam. Dan konsep tersebut ditemui dalam konsep Sangserekan masyarakat Toraja. Dengan demikian alam adalah Sangserekan/ saudara, karenanya layak diperlakukan secara adil.AbstractThe focus of this aims to address the ecological crisis that is happening today. The author sees that, the damage to nature is caused by human activities that act arbitrarily upon nature. This treatment is not far from the concept that humans are the center (anthropocentrism), and therefore have the right to treat as they please. The result is a polluted environment, global warming, pollution, deforestation, and other environmental crises. The author looks at this phenomenon from the point of view of the local wisdom of the Toraja people, namely the concept of Sangserekan. In this concept one can find the “spirit” of Pancasila about how to act fairly “overall”, not only for fellow human beings, but also for nature. The methodology used in this study is phenomenological. The author comes to the finding that justice in Pancasila applies to all existing creation, including nature. And this concept is found in the concept of Sangserekan of the Toraja people. Thus, nature is Sangserekan/ brother therefore it deserves to be treated fearly.
Semboyan “Torang Samua Basudara” dalam Interaksi Penganut Kristen dengan Penganut Agama Lain di Manado Kesia Martini Pesik
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.530

Abstract

The motto of torang samua basudara is the unifying spirit of religions in Manado. The image of Manado cannot be separated from the harmony and peace that is maintained continuously. The reality of peace in this city cannot be separated from the motto of torang samua basudara. This motto continues to be lived in the midst of society and becomes a social reality that shows all forms of primordial differences are not obstacles to living together as brothers. This paper specifically wants to describe how the social construction of the motto of torang samua basudara, seen affects the interaction of Christians in Manado with followers of other religions, seen from the Theology of Religions by Paul F. Knitter. This research collects the data by using qualitative research methods with in-depth interviews and literature study. The results showed this harmony cannot be separated from how the society perceive the motto of torang samua basudara and are united in keeping and maintaining harmony and openness in the midst of diversity. The meaning of the motto of torang samua basudara gives a big influence in the interaction of religions. Christians interact with followers of other religions without any discrimination based on religious, ethnic and cultural backgrounds, but all people are considered brothers who love, accept, and help each other. Thus, the interaction of Christians with followers of other religions reflects a model of acceptance. However, the Christian view of salvation reflects a fulfillment model, implying that salvation also exists in other religions but only when it follows the way of Christ. Thus, Christ becomes the fulfillment of religions.AbstractSemboyan torang samua basudara merupakan spirit pemersatu agama-agama di Manado. Citra Manado tidak lepas dari kerukunan dan kedamaian yang terpelihara secara terus-menerus. Adapun realitas kedamaian yang ada di kota ini tidak lepas dari peran semboyan torang samua basudara. Semboyan ini terus dihidupi di tengah-tengah masyarakat dan menjadi realitas sosial yang menunjukkan bahwa segala bentuk perbedaan primordial bukan hambatan untuk hidup bersama sebagai saudara. Tulisan ini secara spesifik ingin mendeskripsikan bagaimana pengaruh penghayatan semboyan tersebut memengaruhi interaksi penganut Kristen di Manado dengan penganut agama lain, ditinjau dari teori Teologi Agama-Agama Paul F. Knitter. Pengambilan data menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik wawancara mendalam dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaknaan terhadap semboyan torang samua basudara memberikan pengaruh yang besar dalam interaksi agama-agama. Penganut Kristen berinteraksi dengan penganut agama lain tanpa membeda-bedakan sikap yang dilakukan berdasarkan latar belakang agama, suku dan budaya, melainkan semua orang dianggap sebagai saudara yang saling mengasihi, saling menerima, dan saling menolong.
Teologi Inkarnasi Sebagai Landasan Praksis Pembentukan Perilaku Sosial Masyarakat Hironimus Resi; Teresia Noiman Derung
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.558

Abstract

The theology of the incarnation is the embodiment of God's highest love for man as the redeemer of man. The event of the incarnation became a very real sign of God's love in all human life that was in line with Him "Imago Dei". However, in the development of science and technology, the love of God manifested in the image of man who is similar to God is disrupted into a tool used for personal satisfaction that results in violence both physically and mentally. The purpose of the study, describes the meaning of the incarnation in relation to the praxis of the formation of social behavior of society. The method used is descriptive qualitative with a contextual approach. Results of the study; first, the theology of the incarnation is the definitive embodiment of God's love for man so that man as a social being is called to love others as the embodiment of His love. Second, in love, God forgives sinful people. The experience of God's infinite forgiveness, as a foundation for forgiving others including enemies. Third, love requires self-sacrifice to serve others who suffer because of life's problems. Followers of Christ are called out of themselves, bearing witness by serving in love. In conclusion, the Incarnation is the embodiment of God's love for the salvation of man. Love is the foundation of praxis for the formation of human behavior in people's lives. In that love, too, man is called to love, forgive and sacrifice himself for others in the image of God.AbstrakTeologi inkarnasi merupakan perwujudan kasih Allah yang tertinggi kepada manusia sebagai penebusan dosa manusia. Peristiwa inkarnasi menjadi tanda kasih Allah yang sangat nyata di dalam seluruh kehidupan manusia yang secitra dengan-Nya “Imago Dei”. Namun, dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kasih Allah yang terwujud dalam gambaran manusia yang serupa dengan Allah mengalami disrupsi menjadi alat yang digunakan untuk kepuasan pribadi sehingga mengakibatkan kekerasan baik fisik maupun mental. Tujuan kajian, mendeskripsikan makna inkarnasi dalam hubungan dengan praksis pembentukan perilaku sosial masyarakat. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan kontekstual. Hasil kajian; pertama, teologi inkarnasi merupakan perwujudan kasih Allah yang definitif kepada manusia sehingga manusia sebagai makhluk sosial dipanggil untuk mengasihi sesama sebagai perwujudan kasih-Nya. Kedua, dalam kasih, Allah mengampuni manusia yang berdosa. Pengalaman akan pengampunan Allah yang tak terbatas, sebagai landasan untuk mengampuni sesama termasuk musuh. Ketiga, kasih menuntut pengorbanan diri untuk melayani sesama yang menderita karena persoalan hidup. Pengikut Kristus dipanggil keluar dari dirinya sendiri, memberi kesaksian dengan melayani dalam kasih. Kesimpulan, peristiwa inkarnasi merupakan perwujudan kasih Allah demi keselamatan manusia. Kasih itu menjadi landasan praksis pembentukan perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam kasih itu pula, manusia dipanggil untuk mengasihi, mengampuni dan mengorbankan diri bagi sesama sebagai citra Allah.

Page 1 of 1 | Total Record : 10