cover
Contact Name
Ali Usman
Contact Email
ali.usman@uin-suka.ac.id
Phone
+628122957493
Journal Mail Official
afi@uin-suka.ac.id
Editorial Address
Jalan Marsda Adisucipto, Papringan, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam
ISSN : 14119951     EISSN : 25484745     DOI : https://doi.org/10.14421/uin-suka.refleksi
Refleksi adalah jurnal filsafat dan pemikiran Islam. Fokus dan ruang lingkup dari jurnal ini adalah Filsafat Islam, Kalam (Teologi Islam), dan Tasawwuf (Sufisme).
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 17, No 1 (2017)" : 7 Documents clear
Relasi Kuasa Tentang Kebebasan Perempuan Dalam Hukum Adat Lampung Di Kampung Menggala Sulistiawati Sulistiawati
Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Keislaman Vol 17, No 1 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1326.489 KB) | DOI: 10.14421/ref.2017.%x

Abstract

This paper intends to explore further about the freedom of women in customary law Megow Pak Tulang Bawang in Kampung Menggala, one of which is about the non- customary party (PNA). As for the rules or customary law within the PNA, regulat- ing the boundaries between men and women should not be adjacent. However, the reality of PNA is currently losing its existence. Most of the women in Kampung Menggala no longer apply PNA custom rules. Judging from the sharing of events, PNA began to be abandoned; even some of them (women) considered the PNA was taboo. On that basis, this article wants to analyze using the theory of power relation Michel Foucault. Through that theory, as a result, the shift of the paradigm of women in interpreting customary law (PNA) is characterized by freedom. The knowledge produced by women has resulted in the discourse of freedom. In the end, the freedom as a form of women’s resistance from customary rules that had been shackling the existence of women in Kampung Menggala. Resistance is a form of power of women.[Tulisan ini bermaksud melakukan eksplorasi lebih jauh mengenai kebebasan perempuan dalam hukum adat Megow Pak Tulang Bawang di Kampung Menggala, salah satunya yakni mengenai pesta non adat (PNA). Ada pun aturan atau hukum adat di dalam PNA, mengatur batasan antara laki-laki dan perempuan tidak boleh berdekatan. Namun, realitanya PNA saat ini kehilangan eksistensinya. Sebagian besar perempuan di Kampung Menggala tersebut tidak lagi mengaplikasikan aturan adat PNA. Dilihat dari berbagi tempat perhelatan pun, PNA mulai ditinggalkan, bahkan sebagian dari mereka (perempuan) menganggap PNA sudah tabu. Atas dasar itulah, artikel ini ingin menganalisis menggunakan teori relasi kuasa Michel Foucault. Melalui teori tersebut, sebagai hasil yang di dapati, adanya pergeseran paradigma perempuan dalam memaknai hukum adat (PNA) yang ditandai dengan kebebasan. Pengetahuan yang diproduksi perempuan sehingga melahirkan wacana kebebasan. Pada akhirnya, kebebasan tersebut sebagai bentuk resistensi perempuan dari aturan adat yang selama ini membelenggu eksistensi perempuan di Kampung Menggala. Resistensi tersebut sebagai wujud kuasa perempuan.]
Filsafat sebagai hikmah: Konteks berfilsafat di dunia islam Imam Iqbal
Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Keislaman Vol 17, No 1 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (514.091 KB) | DOI: 10.14421/ref.2017.%x

Abstract

There is a strong impression on some that the Islamic philosophy is unoriginal, just a duplication of Greek philosophy, and has become extinct or no longer found in modern day development. According to the authors, such an impression and other negative impressions similar to it need to be evaluated and reviewed. The impression is very reductive and less proportional in assessing the existence of Islamic philosophy. One way is to put Islamic philosophy in its distinctive historical context. The author consid- ers that the use of the word $ikmah to define philosophy in the Islamic world implies a distinctive context that surrounds the birth and development of philosophy in the Islamic world, and at the same time exhibits its characteristics. This paper will try to explore and explore more in the context in question, so that the realization of philosophy in the Islamic world can photographed in a more fair and whole.[Ada kesan yang kuat pada sebagian kalangan bahwa filsafat Islam itu tidak orisinal, sekedar duplikasi dari filsafat Yunani, dan telah punah atau tidak ditemukan lagi perkembangannya pada masa modern ini. Menurut penulis, kesan semacam itu dan kesan negatif lainnya yang senada dengannya perlu dievaluasi dan ditinjau ulang. Kesan tersebut sangat reduktif dan kurang proporsional dalam menilai keberadaan filsafat Islam. Salah satu caranya adalah dengan meletakkan filsafat Islam dalam konteks kesejarahannya yang khas. Penulis memandang bahwa penggunaan kata %ikmah untuk mendefinisikan filsafat di dunia Islam menyiratkan adanya konteks khas yang mengitari kelahiran dan perkembangan filsafat di dunia Islam, dan sekaligus menunjukkan karakteristiknya. Tulisan ini akan mencoba menggali dan menelisik lebih dalam konteks yang dimaksud, sehingga perwujudan filsafat di dunia Islam dapat dipotret secara lebih adil dan utuh.]
Dialektika Filsafat Islam Sufistik Wujuddiyah Di Indonesia Syaifan Nur
Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Keislaman Vol 17, No 1 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (488.846 KB) | DOI: 10.14421/ref.2017.%x

Abstract

The first Islamic philosophy that emerged in Indonesia was the Islamic philosophy that had been linked to Sufism, or Sufistic Islamic philosophy, namely Islamic philosophy in Sufism. This is called tasawwuf falsafi. This type is based on the dzauq and ‘irfân which is different from the rational system of rational reasoning. In Indonesia, the philosophical conversation in the earliest of the philosophy of Sufism appeared in the 16th century AD In this period, the philosophical style of Sufism was taught by such figures as Hamzah Fansuri and Shamsuddin al-Sumatrânî. The monistic idea Fansuri expanded and formed the central core of the teachings and writings of al- Sumatrânî. Both are the main characters of the interpretation of the concept of wahdah al- wujûd, which is philosophical-sufistic. The influences of Fansuri and al-Sumatrân teachings are not only found in Aceh, but also to the land of Java. The philosophical Sufism of wujûdiyyah or tasawuf falsafî was strongly opposed by many scholars of the time, especially from orthodox oriented syarî’ah. The most harsh and intolerant opponent and critic of this notion is Nur al-Din al-Raniri. Repudiation and al-Raniri’s opposition to Sufistic philosophy wujûdiyyah of Fansuri is based on some evidence that he considers it deviated from pure Islamic teachings.[Filsafat Islam yang muncul pertama kali di Indonesia adalah filsafat Islam yang telah berkait-kelindan dengan tasawuf, atau filsafat Islam sufistik, yakni filsafat Islam dalam baju tasawuf. Ini disebut tasawuf falsafî. Jenis ini didasarkan pada dzauq dan ilmu ‘Irfân yang berbeda dengan sistem penalaran rasional yang ketat. Di Indonesia, perbincangan filosofis dalam corak tasawuf falsafî yang paling dini muncul pada abad ke-16 M. Pada periode ini, corak filosofis dari tasawuf diajarkan oleh tokoh-tokoh seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrânî. Gagasan monistik Fansuri diperluas dan membentuk inti pokok ajaran-ajaran dan tulisan-tulisan al-Sumatrânî. Keduanya merupakan tokoh utama penafsiran konsep wahdah al-wujûd, yang bersifat sufistik-filosofis. Pengaruh ajaran Fansuri dan al-Sumatrânî tidak hanya ditemukan di Aceh, tetapi juga sampai ke tanah Jawa. Paham filsafat sufistik wujûdiyyah atau tasawuf falsafî ditentang keras oleh banyak ulama saat itu, terutama dari kalangan ortodoks yang berorientasi syarî‘ah. Penentang dan kritikus yang paling keras dan paling tidak toleran terhadap paham ini adalah Nuruddin al-Raniri. Sanggahan dan penentangan al-Raniri terhadap filsafat sufistik wujûdiyyah Fansuri didasarkan atas beberapa bukti yang dianggapnya telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni.]
Kenabian Perspektif Ibnu Sina Radiyatun Adabiyah
Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Keislaman Vol 17, No 1 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (366.049 KB) | DOI: 10.14421/ref.2017.%x

Abstract

Every existing religion certainly based its teachings on revelation. A prophet is nothing but an ordinary human being given the power to be able to relate to God. Al-Fârâbî and Ibnu Sînâ have enormous influence in the intellectual world. This knowledge of prophethood is better known as the “prophetic philosophy”. Ibnu Sînâ in expounding the problem of prophet hood, he acknowledged that the prophethood belongs to the prophet he calls holy intuition that is the highest power that can be obtained by man as a prophet, with this power the prophets can make direct contact with Akal Active without having to work hard. In addition, Ibnu Sînâ also acknowledged al-Fârâbi state- ment that prophet hood also occurs as a result of the emanation of Active Sense. The statement based on the attainment of Active Intellect reaped various debates among philosophers. Ibn Sînâ and al-Fârâbî differ from other Muslim philosophers such as al- Ghazâlî, Ibn Rushd, Ibn Taimiyyah, al-Jâbirî. Al-Ghazâlî, strongly opposed to the pro- phetic theory of al-Fârâbî and Ibnu Sînâ. In the thought of al-Ghazâlî, prophethood can be recognized by history and acceptable according to the mind’s consideration. Ibn Rushd does not blame the previous philosophers because the prophetic theory that the philosophers have made is entirely acceptable. Ibn Taymiyya claimed that the funda- mental heresy of the philosophers lies in the fact they confirm that the origin of revelation is Active Intellect, but the doctrine they use is still human.[Setiap agama yang ada tentu mendasarkan ajaran-ajarannya pada wahyu. Seorang nabi tidak lain adalah manusia biasa yang diberi kekuatan untuk dapat berhubungan dengan Tuhan. Al-Fârâbî dan Ibnu Sînâ yang memiliki pengaruh yang sangat besar di dunia intelektual. Pengetahuan tentang kenabian ini lebih dikenal sebagai “filsafat kenabian”. Ibnu Sînâ dalam memaparkan persoalan kenabian, ia mengakui bahwa kenabian itu dimiliki oleh nabi yang disebutnya dengan intuisi suci yaitu suatu daya paling tinggi yang dapat diperoleh manusia sebagai nabi, dengan daya inilah para nabi dapat melakukan kontak langsung dengan Akal Aktif tanpa harus bekerja keras. Selain dari itu, Ibnu Sînâ juga mengakui pernyataan al-Fârâbî bahwa kenabian juga terjadi akibat emanasi dari Akal Aktif. Pernyataan yang mendasarkan pada pencapaian Akal Aktif tersebut menuai berbagai berdebatan di kalangan dunia filosof. Ibnu Sînâ dan al- Fârâbî berbeda dari filosof muslim lainnya seperti al-Ghazâlî, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyyah, al-Jâbirî. Al-Ghazâlî, sangat menentang teori kenabian dari al-Fârâbî dan Ibnu Sînâ Dalam pemikiran al-Ghazâlî, kenabian dapat diakui menurut riwayat dan dapat diterima menurut pertimbangan pikiran. Berbeda halnya dengan pemikiran Ibnu Rusyd tentang pembahasan yang sama. Ibnu Rusyd tidak menyalahkan filosof-filosof sebelumnya karena teori kenabian yang telah dibuat oleh para filosof dapat diterima keseluruhannya. Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa bid’ah mendasar dari para filosof terletak pada kenyataan mereka mengukuhkan bahwa asal wahyu adalah Akal Aktif, tetapi doktrin yang mereka gunakan masih bersifat manusiawi.]
Filsafat Politik Ibnu Rusyd Halimatuzzahro Halimatuzzahro
Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Keislaman Vol 17, No 1 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (621.362 KB) | DOI: 10.14421/ref.2017.%x

Abstract

During this time Ibn Rushd is known for his Aristotelian philosophy, he is also the greatest commentator on the works of Aristotle. In his political philosophy we will find different things, because in political philosophy he commented on the Republic rather than Aristotle’s Politics. In his political book which is a commentary of Plato’s Repub- lic namely a-arûri fi as-Siyâsah, Ibn Rushd has more in common with Plato than with Aristotle. Nevertheless, Ibn Rushd continued to use the demonstrative method he obtained from Aristotle as a guide in commenting on the Republic. In addition, Ibn Rushd’s political book is also born of the reality of government that he considered not good. This made Ibn Rushd’s political book not only an academic one, but a response to the political situation of his time. His great name as a Muslim philosopher and also a faqih is still clearly visible in his political work which has shari’ah nuances. His ability to make Shari’ah one of the foundations of good and right government made him different from the two Greek philosophers.[Selama ini Ibnu Rusyd dikenal dengan filsafatnya yang beraliran Aristotelian, Ia juga merupakan komentator terbesar atas karya-karya Aristoteles. Dalam filsafat politiknya kita akan menemukan hal berbeda, karena dalam filsafat politik ia mengomentari Re- public bukan Politics Aristoteles. Dalam kitab politiknya yang merupakan komentar dari Republic Plato yaitu a-arûri fi as-Siyâsah, Ibnu Rusyd memiliki lebih banyak kesamaan dengan Plato dibanding dengan Aristoteles. Walaupun demikian, Ibnu Rusyd tetap menggunakan metode demosntratif yang ia dapat dari Aristoteles sebagai pegangan dalam memberikan komentar terhadap Republic. Selain itu, buku politik Ibnu Rusyd juga terlahir dari realita pemerintahan yang ia anggap tidak baik. Hal tersebut menjadikan buku politik Ibnu Rusyd bukan hanya merupakan komentar yang bersifat akademik saja, tetapi merupakan sebuah respon dari keadaan politik pada masanya. Nama besarnya sebagai seorang filsuf muslim dan juga seorang faqih masih terlihat jelas dalam karya politiknya yang memiliki nuansa syari’at. Kemampuannya untuk menjadikan syari’at sebagai salah satu pondasi pemerintahan yang baik dan benar menjadikannya berbeda dengan kedua filsuf Yunani tersebut.]
Melacak Akar Pemikiran Nu Dalam Menetapkan Hadis Sebagai Hujjah Perpektif Michel Foucault Pipin Armita
Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Keislaman Vol 17, No 1 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (435.491 KB) | DOI: 10.14421/ref.2017.%x

Abstract

NU always cite a Hadith of the Prophet to issue a statute of law. Reviewing the Hadith in NU traditions and understanding is exciting and unique. This uniqueness can also be seen on NU tradition of Hadith when they set it as proof when deciding religion contemporary issues. If the attempt is seen by Foucault’s theory, hadith what be NU choice as evidence is a form of power relations and knowledge. If the efforts seen with Foucault’s theory, the hadith which has been selected as a proof (hujjah) is a form of power and knowledge relation. This pa pe r e xa m i ne s how   t he   root s t hought of   NU i n t he   de t e rm i na t i on of the Hadith as proof by analysis genealogu approach and archeological method on Foucault theory carried “power and knowledge relations”. Base on this theory, to know a root thought of NU in determination of the hadits as proof (hujjah), the impor- tant thing to do is: (1) conducting a genealogical approach to trace the roots of the thought of NU, (2) using the method of assignment as the basis for the NU archeological on Hadith, (3) with the approach of the genealogy and the archeol- ogy method, then a discourse can be presented. With the advent of the discourse, it wi l l  be a nswe re d how t he  root s t hought of  NU i n t he  de t e rm i na t i on of the Hadith as proof.[NU senantiasa mencantumkan hadis nabi untuk mengeluarkan suatu ketetapan hukum. Mengkaji hadis dalam tradisi dan pemahaman NU merupakan hal yang menarik dan unik. Keunikan ini juga dapat dilihat pada usaha NU memposisikan hadis sebagai hujjah saat memutuskan persoalan-persoalan agama kontemporer. Jika usaha tersebut dilihat dengan teori Foucault, maka pilihan NU tentang hadis yang dipilih sebagai hujjah merupakan bentuk relasi kuasa (power) dan pengetahuan (knowledge). Tulisan ini mengkaji bagaimana akar pemikiran NU dalam penetapan hadis sebagai hujjah dengan analisis pendekatan genealogi dan metode arkeologi yang diusung Foucault dalam teorinya ‘relasi kuasa dan pengetahuan’. Berdasarkan teori tersebut, untuk mengetahui sebuah akar pemikiran NU dalam penetapan hadis sebagai hujjah, hal yang penting dilakukan adalah: (1) melakukan pendekatan genealogi untuk melacak akar pemikiran NU, (2) menggunakan metode arkeologis NU sebagai dasar penetapan hadis, (3) dengan adanya pendekatan genealogi dan metode arkelogi, maka sebuah wacana dapat dimunculkan. Dengan munculnya wacana tersebut, maka akan terjawab bagaimana akar pemikiran NU dalam penetapan hadis sebagai hujjah tersebut.]
Diskursus Mengenai Tuhan Di Dalam dan Di Luar Metafisika (God Is Being and God Without Being) Muzairi Muzairi
Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Keislaman Vol 17, No 1 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (496.579 KB) | DOI: 10.14421/ref.2017.%x

Abstract

“God” is often identified with “exist”. Theologians often identify “God” with essence, substance, or identity. The following illustrations provide interesting examples of theo- logical alignment and metaphysics. But the philosophical way of speaking about God is perceived to be inadequate. This paper would like to discuss the matter of God in the perspective of metaphysics and theology and its comparison with other anti-meta- physical opinions. What theology needs, according to Jean-Luc Marion, is ‘God with- out Being’. This phase does not mean that God is not to be, but that God must be freed from all the categories and conditions that bind the existence as we are, as human beings, we must be (to be) before we can do all our activities.[“Tuhan” yang seringkali diidentikkan dengan “ada”. Teolog kerap kali mengidentikkan “Tuhan” dengan esensi, substansi, atau identitas. Ilustrasi-ilustrasi berikut ini memberikan contoh menarik kesejajaran teologi dan metafisika. Namun cara filsafat berbicara mengenai Tuhan yang dirasa sudah tidak memadai. Tulisan ini ingin membicarakan masalah ketuhanan dalam perspektif metafisika dan teologi dan perbandingannya dengan pendapat-pendapat lain yang anti metafisika. Yang dibutuhkan teologi, menurut Jean-Luc Marion, adalah ‘Tuhan-tanpa-Ada’ (God without Being). Fase ini tidaklah berarti bahwa Tuhan tidak ada (to be), melainkan bahwa Tuhan harus dibebaskan dari segala kategori dan kondisi yang mengikat eksistensi sebagaimana kita alami sebagai manusia, kita harus ada (to be) dulu, baru dapat melakukan segala kegiatan kita.]

Page 1 of 1 | Total Record : 7