cover
Contact Name
Bhayu Rhama
Contact Email
bhayurhama@fisip.upr.ac.id
Phone
+625363220445
Journal Mail Official
jisparupr@gmail.com
Editorial Address
Kampus FISIP Universitas Palangka Raya Jl. Yos Sudarso Komplek Tunjung Nyaho Palangka Raya
Location
Kota palangkaraya,
Kalimantan tengah
INDONESIA
Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan
ISSN : 20896123     EISSN : 26849119     DOI : -
Core Subject : Humanities, Social,
Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan (JISPAR) memiliki artikel dengan fokus terkait pengetahuan sosial, ilmu politik dan pemerintahan yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya sejak tahun 2012. Jurnal ini telah tercatat pada Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) sehingga telah memiliki kode ISSN 2089-6123 dan e-ISSN 2684-9119. Jurnal ini dijadwalkan terbit 2 kali setiap tahunnya pada bulan Januari dan Juli dengan karya ilmiah yang telah dipublikasikan baik dalam bentuk hardcopy dan jurnal elektronik.
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol. 1 No. 1 (2012): JISPAR" : 7 Documents clear
ANALISIS HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS SDM Di LPMP Kalimantan Tengah Riamona Sadelman Tulis
Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan Vol. 1 No. 1 (2012): JISPAR
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37304/jispar.v1i1.336

Abstract

Perbedaan yang mencolok antara organisasi swasta dan organisasi pemerintah seringkali pada kondisi SDM nya. Saat ini SDM yang handal dan profesional adalah tuntutan bagi masyarakat pada sebuah organisasi, selain itu kinerja organisasi juga bertumpu pada faktor manusianya. Sejalan dengan itu, Kemdiknas sebagai salah satu dari 12 (duabelas) Kementerian/Lembaga yang dipilih menjadi pilot project reformasi birokrasi, melakukan beberapa pendekatan yang meliputi Penguatan Organisasi, Pembenahan Ketatalaksanaan, Penataan dan Penguatan SDM. Untuk dapat memperoleh pegawai yang handal dan professional maka diperlukan berbagai kegiatan yang baik, dan ternyata kegiatan yang mencakup pada proses rekrutmen dan seleksi pada tahapan awal belum cukup untuk membentuk budaya organisasi yang akan melekat menjadi identitas pada diri SDM tersebut. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan pengolahan data juga menggunakan teknik statistik deskriptif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran Budaya Organisasi di LPMP Kalimantan Tengah, yang berdasarkan Permendiknas nomor 7 tahun 2007 merupakan unit pelaksana teknsi Kementerian Pendidikan Nasional, pada umumnya, serta untuk mengetahui hubungan budaya organisasi dengan upaya meningkatkan kualitas SDM. Hasil penelitian secara garis besar menunjukan bahwa peningkatan kualitas SDM berhubungan dengan faktor budaya organisasi yang ada di kantor LPMP Kalimantan Tengah. Nilai-nilai yang ada secara kasat mata dan dipandang sangat penting, perlu ditanamkan dalam sebuah bentuk serta manajemen perlu menciptakan dan menjaga budaya organisasi. Kualitas SDM menunjukan sudah cukup baik sesuai dengan empat kelompok kompetensi sebagai alat ukur kualitas yang dikemukakan oleh Rotthwell dan antara rekrutmen dan seleksi berhubungan signifikan dengan upaya meningkatkan kualitas SDM.
” Analisis Dampak Kebijakan Pemekaran Wilayah Kelurahan Tumbang Rungan Ditinjau Dari Aspek Sosial dan Ekonomi” Mochammad Doddy Syahirul Alam
Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan Vol. 1 No. 1 (2012): JISPAR
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37304/jispar.v1i1.337

Abstract

Dengan semakin berkembangnya kehidupan demokratisasi di sebuah negara akan mendorong pada semakin suburnya semangat desentralisasi, termasuk di Indonesia. Sejak era reformasi digulirkan pada rentang waktu tahun 1998 – 2000 tuntutan desentralisasi semakin menguat. Banyak daerah ingin “melepaskan diri” baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota ingin berdiri sendiri mendirikan pemerintah daerah lepas dari kekuasaan pemerintah daerah induk. Berbagai upaya dan pergerakan banyak dilakukan oleh masyarakat maupun elit politik lokal untuk “melepaskan diri”. Pergerakan tersebut dapat dibaca sebagai salah satu upaya reformasi dan modernisasi pemerintahan. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia secara resmi dimulai pada tanggal 1 Januari 1999 dengan diundangkannya UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang kemudian disempurnakan menjadi UU Nomor 32/2004). Melalui undang-undang tersebut, pemerintah berupaya untuk mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota. Dari semangat desentralisasi inilah diharapkan lahir dan berkembang pemerintahan daerah yang otonom. Ada 3 hal utama yang secara eksplisit diamanatkan oleh UU Nomor 32/2004 yang menjadi tujuan dilaksanakannya Otonomi Daerah di Indonesia, yaitu : meningkatnya kesejahteraan masyarakat, meningkatnya pelayanan public, dan meningkatnya daya saing daerah. Era reformasi telah berlangsung sepuluh tahun lebih , banyak hal positif yang memperkuat eksistensi pemerintahan dan masyarakat lokal. Penguatan tersebut tercermin antara lain dalam upaya pemerintah pusat melakukan pelimpahan berbagai urusan yang semula menjadi kewenangannya kepada pemerintah daerah. Dengan semangat inilah, optimisme akan lahirnya daerah-daerah otonom yang mampu mensejahterakan masyarakat, menyelenggarakan pelayanan public dengan baik, serta berdaya saing tinggi mulai mencuat ke permukaan. Namun demikian, proses pelaksanaan desentralisasi di Indonesia juga diwarnai dengan euphoria. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya daerah ingin melakukan pemekaran wilayah seperti pemekaran provinsi, pemekaran kabupaten/kota, pemekaran kecamatan, dan bahkan pemekaran kelurahan. Pemekaran daerah yang sejatinya ditujukan untuk makin memudahkan pencapaian tujuan desentralisasi, tidak jarang hanya menjadi ajang untuk mengakomodasi kepentingan elit politik lokal yang kalah dalam pemilihan. Salah satu akibat serius dari adanya euforia tersebut adalah terjadinya peningkatan jumlah daerah otonom baru sebagai hasil dari proses pemekaran daerah, tanpa diimbangi oleh kemampuan untuk meningkatkan kinerja daerah yang bersangkutan. Ada beberapa sumber yang bisa dijadikan rujukan terkait masalah pemekaran, baik yang dilakukan oleh Bappenas (2005), Lembaga Administrasi Negara (2005), Kementerian Dalam Negeri (2005) dan BRIDGE (2008); menunjukkan bahwa hasil-hasil yang dicapai oleh daerah pemekaran, baik dalam bidang ekonomi, keuangan daerah, pelayanan public maupun aparatur pemerintah daerah tidaklah seperti yang diharapkan ketika pemekaran dilakukan. Ada indikasi kuat, bahwa proses pemekaran dilakukan terutama untuk mengakomodasi kepentingan elit politik lokal semata, ketimbang didedikasikan bagi usaha pencapaian tujuan desentralisasi seperti yang diamanatkan dalam undang-undang yang mengatur masalah pemekaran. Studi BRIDGE (2008) secara spesifik menyimpulkan, bahwa selama lima tahun posisi daerah induk dan daerah control selalu lebih baik dari daerah otonomi baru dalam semua aspek yang diteliti. Kondisi tersebut diatas juga terjadi di Palangka Raya, sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah yang berpenduduk tidak lebih dari 200.000 jiwa, kota ini juga begitu antusias menyambut era desentralisasi. Semangat desentralisasi diwujudkan dalam berbagai kebijakan, diantaranya ialah pemekaran wilayah kelurahan. Ada beberapa wilayah kelurahan yang dimekarkan, salah satunya Kelurahan Tumbang Rungan, Kecamatan Pahandut. Kelurahan ini sebelumnya masuk wilayah Kelurahan Pahandut Seberang, Kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya. Secara geografis kelurahan ini masuk dalam wilayah perkotaan akan tetapi bila dilihat dari kondisi social dan ekonominya kelurahan seakan berada diwilayah yang jauh dari kemajuan dan hiruk pikuk masyarakat perkotaan. Jarak kelurahan Tumbangan Rungan dengan pusat kota hanya sekitar 10 km. Sungguh suatu jarak yang sangat mudah untuk ditempuh. Kelurahan Tumbang Rungan terletak dipesisir sungai Kahayan dimana sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani karet, penangkap ikan, buruh tani, dan serabutan. Semenjak kelurahan Tumbang Rungan dimekarkan lepas dari kelurahan induk kondisi kelurahan ini relative tidak berkembang. Kurang lebih lima tahun kelurahan ini mencoba untuk mandiri ; memiliki kantor lurah sendiri, puskesmas sendiri, dan Lembaga Keswadayaan Masyarakat. Berbagai program pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan telah masuk dan dilaksanakan di kelurahan ini. Menurut narasumber dalam hal ini Lurah Tumbang Rungan (Purwanto;2010) ; “program-program pemerintah tersebut memang betul telah sampai ke tangan masyarakat, akan tetapi tidak ada satupun program yang bisa dianggap berhasil dalam mengentaskan kemiskinan di kelurahan Tumbang Rungan ”. Menurut narasumber yang lain dalam hal ini tokoh masyarakat setempat (Uhing;2010) berpendapat bahwa; ”kami merasa tidak ada manfatnya membentuk pemerintahan sendiri, ingin mandiri dan lebih sejahtera, kondisi kami tidak ada bedanya dengan sebelum kelurahan ini dimekarkan, kami masih tergolong miskin dan tertinggal, pembangunan fisik diwilayah kami masih sangat kurang”. Kelurahan Tumbang Rungan ialah satu contoh kecil dari sekian ratus wilayah kelurahan/desa pemekaran di Indonesia yang belum dapat merasakan dampak positif dari kebijakan pemekaran wilayah. Dalam kurun waktu kurang lebih lima tahun kelurahan Tumbang Rungan belum bisa mewujudkan impian daripada semangat desentralisasi yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat, meningkatnya pelayanan public, dan meningkatnya daya saing daerah. Hal ini bisa menjadi permasalahan yang sangat penting untuk segera dipecahkan mengingat bahwa untuk membentuk sebuah daerah pemekaran tentulah tidak mudah. Banyak prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah agar sebuah bisa dimekarkan. Selain itu dalam proses pemekaran dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, yang biaya tersebut juga menjadi beban dari pemerintah daerah dalam hal ini Kota Palangka Raya. Dampak Sosial dan Ekonomi Masalah keterbatasan kemudian terjadi pada sarana pelayanan kesehatan yang ada di Kelurahan Tumbang Rungan. Hal ini dikarenakan hanya ada satu Puskesmas Pembantu saja di Tumbang Rungan yang secara kelayakan masih kurang, baik itu dalam segi fasilitas kesehatan yang masih minim, dana kesehatan yang terbatas dan tenaga medis yang masih kurang jumlahnya (baik itu jumlah perawat dan bidan). Hal ini menjadi masalah, karena mengingat ketika kita berbicara masalah pemekaran kelurahan, maka kita juga harus berbicara tentang bagaimana mendekatkan dan mengoptimalisasi pelayanan terhadap masyarakat di berbagai bidang, dan bidang kesehatan adalah salah satu hal yang paling krusial yang menyangkut salah satu pelayanan penting bagi masyarakat di Tumbang Rungan dalam rangka menaikan taraf kehidupan masyarakatnya. Selain itu, masalah lain adalah anak-anak mengalami rentan untuk mengalami keadaan kurang gizi terutama untuk balita akibat orang tua (ibu) tidak punya uang untuk membeli makanan yang sehat dan bergizi. Serta, yang tak ketinggalan adalah pencemaran Sungai Rungan akibat zat merkuri dengan konsentrasi yang boleh dibilang cukup tinggi sekitar 2966-4.687 mikro gram/liter oleh penambang emas liar mengakibatkan warga yang kesulitan mendapatkan air bersih yang sehat. Apalagi, warga Tumbang Rungan sehari-hari menkonsumsi dan menggunakan air sungai yang tercemar seperti untuk MCK, memasak dan lain-lain, sehingga rawan akan gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh zat merkuri dalam jangka panjang seperti kanker kulit, kerusakan ginjal, hati hingga otak. Hal ini dikarenakan, masyarakat masih jarang menggunakan sumur bor karena tidak adanya dana untuk pembuatannya dan tidak adanya akses air bersih dan sehat seperti fasilitas PDAM. Tidak hanya itu, mengingat kelurahan Tumbang Rungan adalah daerah yang rawan banjir ketika musim hujan ekstrim terjadi, maka penyakit yang disebabkan akibat banjir seperti demam berdarah, malaria selalu mengincar warganya. Seharusnya, dalam hal ini Pemerintah harus meningkatkan perhatiannya terhadap bidang kesehatan yang ada di daerah pinggiran. Untuk masalah keamanan, Kelurahan Tumban Rungan cukup dikatakan sebagai daerah yang tergolong aman dan sangat jarang terjadi peristiwa criminal, konflik sosial dan sejenisnya. Jumlah Penduduk yang ada di Kelurahan Tumbang Rungan ialah 602 jiwa. Sedangkan , jumlah penduduk berdasarkan KK ialah 156 KK, dengan penduduk miskin berdasarkan jiwa 413 jiwa dan penduduk miskin berdasarkan KK ialah 112 KK. Jika dilihat dari tabel diatas, maka dapat disimpulkan rata-rata tingkat pendidikan warga yang ada di kelurahan Tumbang Rungan masih rendah berkisar antara lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan bahkan tidak tamat sekolah/putus sekolah sama sekali. Hal ini mungkin karena fasilitas pendidikannya masih terbatas disebabkan seperti SDN 1 Tumbang Rungan dan SMPN 8 Palangkaraya dalam penggunaan gedungnya bergantian atau istilahnya “Sekolah Satu Atap”. Namun faktor kemiskinan lebih terlihat dominan disini. Bagi anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu lebih memilih bekerja membantu orang tua, merantau keluar desa untuk menjadi buruh bangunan/pekerja tidak tetap di Kota Palangkaraya atau bagi yang perempuan menikah di usia yang masih muda. Tenaga kerja yang ada di wilayah Kelurahan Tumbang Rungan ini, rata-rata terbanyaknya adalah yang masih berusia produktif. Namun, karena hampir sebagian tingkat pendidikan masyarakat masih rendah, tidak memungkinkan mereka untuk mencari pekerjaan yang memenuhi kualifikasi cukup tinggi saat ini. Masalah yang paling tinggi frekuensinya adalah rendahnya tingkat pendapatan yang kemudian menyebabkan kerentanan kemiskinan. Hal ini dikarenakan karena warganya mayoritas memiliki profesi yang tidak tetap atau serabutan dengan hasil pendapatan yang tidak menentu juga. Hal ini tentu berdampak secara sosial dimana merembet ke masalah- masalah lain seperti pendidikan yang rendah karena tidak sanggupnya membiayai pendidikan yang kian mahal sementara pendapatan mereka tidak mengalami peningkatan hal ini kemudian berimbas lagi kepada kualitas SDM yang rendah, tingkat kesehatan yang kurang yang mempengaruhi kualitas hidupnya dan lain-lain, sehingga membentuk sebuah lingkaran setan. Pola pemukiman warga di Kelurahan Tumbang Rungan umumnya mengelompok di tengah wilayah kelurahan. Dan umumnya didirikan di tepi-tepi jalan dibuat sejajar atau ada pula yang mengikuti pola aliran sungai. Rumah warga Tumbang Rungan pada umumnya terbuat dari kayu atau papan, dengan ada yang menggunakan atap yang terbuat dari genteng, seng dan daun kelapa atau rumbia. Potensi rekreasi di Kelurahan Tumbang Rungan sebenarnya cukup banyak jika jeli dalam hal melihat peluang dan dikelola dengan optimal baik itu jika dengan bantuan masyarakat setempat dengan bekerja sama dengan Pemerintah. Beberapa potensi wisata yang dapat dikembangkan, misalnya kegiatan wisata alam. Mengenai karakteristik penduduk yang ada di Kelurahan Tumbang Rungan adalah bersifat heterogen dimana komposisi penduduknya berasal dari beragam suku bangsa dan agama., baik itu yang tergolong sebagai penduduk lokal asli (Dayak dan Banjar) maupun penduduk pendatang seperti Jawa, Madura dan Sunda. Masalah kependudukan yang ada di kelurahan Tumbang Rungan lain adalah penyebaran penduduk yang masih tidak merata dan kualitas penduduk masih rendah tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, hal ini lebih dikarenakan banyak yang melakukan pernikahan di usia muda. Biasanya hal ini dikarenakan selain faktor ekonomi, juga dikarenakan minimnya kesadaran untuk mengikuti Program Keluarga Berencana untuk membentuk keluarga kecil, sederhana yang berkualitas. Selain itu minimnya kuantitas dan kualitas sarana, prasarana dan SDM yang mengakibatkan rendahnya kuantitas dan kualitas pelayanan peristiwa kependudukan di Kelurahan Tumbang Rungan. Pemerintahan di kelurahan Tumbang Rungan umumnya berjalan dengan baik, peran lurah disini cukup dominan dalam hal menjalankan pemerintahan di wilayah ini. Hal ini dikarenakan posisi lurah di kelurahan Tumbang Rungan cukup disegani oleh masyarakat yang ada di wilayah ini. Dalam hal nilai politik di wilayah ini, pada dasarnya masyarakat Tumbang Rungan boleh dikatakan cukup memiliki atensi atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Palangka Raya, walaupun tak dapat di pungkiri masih ada sikap yang cenderung apatis dan terbiasa menunggu. Tapi, hal ini bukanlah masalah yang cukup berarti jika pemerintah lebih menstimulasi untuk mendorong kepedulian masyarakat setempat. Warga Kelurahan Tumbang Rungan cenderung memiliki kohesivitas yang tinggi mau berbaur dan ramah sekalipun dengan warga pendatang. Warga Kelurahan Tumbang Rungan yang memilki komposisi yang beragam baik itu suku bangsa dan agama mampu menciptakan harmonisasi dan toleransi antar sesama. Namun, warga Kelurahan Tumbang Rungan sangat rentan mengalami tekanan eksternal akibat kemiskinan. Mobilitas sosial yang ada di Kelurahan Tumbang Rungan ialah cenderung mengalami mobilitas sosial horizontal dan vertical ke bawah. Penyebab mobilitas sosial horizontal, contohnya adalah seperti penduduk pendatang dari Pulau Jawa mengganti statusnya sebagai bagian dari penduduk di Kelurahan Tumbang Rungan. Sementara penyebab mobilitas vertical ke bawah, misalnya petani karet yang memiliki lahan kebun karet namun ketika faktor cuaca tidak mendukung untuk menjalankan usaha karetnya mereka kemudian beralih profesi misalnya menjadi petani keramba sebagai sambilan agar tidak menganggur dan untuk menambah pendapatan. Namun, ketika usaha karet sudah bisa dijalankan kembali maka mereka kembali menjadi petani karet. Dapat dikatakan alih profesi sementara ini sebagai “proses belajar” petani karet merambah menjadi petani keramba sebagai mobilitas vertical. Dampak mobilitas sosial yang lain adalah dengan adanya heterogenitas (multietnik) yang ada di Kelurahan Tumbang Rungan adalah adanya kohesivitas (semangat kebersamaan) yang tinggi dapat menjadi sebuah potensi tapi sekaligus dapat pula menjadi sumber konflik sosial bahkan fisik terutama antara penduduk asli dan penduduk pendatang yang datang dari luar, namun hal ini dapat diantisipasi. Kelurahan Tumbang Ringan sangat rentan akan faktor alam (iklim) terutama di kala musim hujan yang mengakibatkan banjir sehingga menghambat laju perekonomian. Kemurahan alam di Kelurahan Tumbang Rungan mengakibatkan daerah ini memiliki potensi perikanan (usaha keramba), pertanian dan perkebunan karet yang cukup baik. Namun, hal ini masih belum bisa dioptimalkan dalam pengelolaannya, misalnya dalam hal pengelolaan lahan tidur yang luas. Jalan-jalan disana cukup licin dan terjal kala hujan dan berdebu dikala musim kemarau. Namun, geliat perhatian Pemerintah Kota Palangkaraya yang sebelumnya terhambat akibat terbatasnya anggaran mulai terlihat dengan adanya program pembuatan dan pelebaran jalan aspal permanen di Kelurahan Tumbang Rungan serta pembangunan konstruksi jembatan yang sebelumnya amblas dan system sanitasi dan drainase di tahun 2011 yang kondisi sebelumnya cukup memprihatinkan. Menurut, Walikota H. Riban Satia hal ini selain mempercepat pembangunan, membuka keterisolasian juga untuk menangani masalah banjir yang terjadi pada musim hujan. Dapat disimpulkan jika warga masyarakat masyarakat memiilki harapan akan mengecap manisnya pembangunan. Sekalipun daerah mereka termasuk daerah pinggiran, mereka juga tak mau nasibnya juga ikut terpinggirkan. Pengembangan sains dan teknologi yang ada di Kelurahan Tumbang Rungan masih terbatas karena penguasaan dan pengetahuan sains serta teknologi yang masih kurang. Masyarakatnya hanya menguasai teknologi yang bersifat tradisional dan manual misalnya dalam pengembangan tanaman karet, perikanan dan peternakan, hal ini mungkin dipengaruhi oleh kurangnya tingkat pendidikan warga, informasi dan sosialisasi daripada Pemerintah Kota Palangkaraya untuk daerah pinggiran seperti Kelurahan Tumbang Rungan yang masih dirasa masih belum optimal. Padahal saat ini sains dan teknologi saat ini juga memiliki peran penting dalam percepatan pembangunan di suatu wilayah. Pendapatan perkapita di wilayah kelurahan Tumbang Rungan ini adalah sekitar kurang dari Rp.10.000,-/hari. Sehingga boleh dikatakan pendapatan perkapita di wilayah ini masih rendah. Penduduk di Kelurahan Tumbang Rungan dapat dikatakan sebagai masyarakat menengah ke bawah. Rata-rata warga di kelurahan Tumbang Rungan berprofesi sebagai petani dan buruh karet, petani keramba, nelayan tradisional yang dijadikan sebagai sandaran ekonomi keluarga. Umumnya warga yang bermukim di bantaran Sungai Rungan hidup dari usaha menangkap ikan (nelayan tradisonal). Hanya sedikit dari mereka yang memiliki dana dan membuka usaha menjadi petani keramba. Selebihnya menjalani keseharian dengan memancing, malunta dan marengge di anak-anak Sungai Rungan. Sedangkan, mereka yang tinggal agak jauh dari sungai membuka usaha karet. Bagi yang tak punya tanaman, lahan dan modal terpaksa menjadi buruh penyadap. Bagi petani dan buruh penyadap karet, jika cuaca ekstrim terjadi di Januari hingga Desember atau di saat musim hujan yang mengakibatkan banjir akibat luberan Sungai Rungan yang tak mampu lagi menampung tingginya curah hujan, maka warga disana tidak bisa menyadap karet serta terpaksa menganggur dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, warga kelurahan Tumbang Rungan bertahan hidup dengan cara melakukan usaha alternative lain, misalnya dengan memanfaatkan keberadaan sungai dan rawa dengan cara mencari ikan dengan peralatan nelayan tradisional seperti pancing, rengge, tampirai, lukah dan lain sebagainya. Namun, sangat disayangkan hasil usaha seperti ini tidak dapat diandalkan. Hal ini lebih dikarenakan hasil tangkapan masih belum cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, selain itu jumlah tangkapan yang makin hari kian berkurang akibat banyaknya orang yang datang dari kota Palangkaraya yang ikut melakukan penangkapan ikan namun tak pernah dilarang oleh warga setempat. Selain itu, kalaupun hasil tangkapan mereka banyak, mereka kemudian akan dipusingkan dengan begitu murahnya harga jual ikan yang tak sebanding dengan lelah atau modal dan sulitnya rantai distribusi akibat minimnya aksesibilitas masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas sosial ekonomi masih menjadi kendala, sementara penghasilan rumah tangga mereka masih rendah. Beberapa warga mengaku sempat melakukan usaha alternative lainya yaitu dengan membuka usaha keramba dengan modal nekad dan pinjaman uang dari keluarga, salah satunya ialah Bapak Abdul Shani. Namun, usaha itu kemudian bangkrut karena mengalami kerugian, seiring dengan naiknya harga pakan untuk ikan dan harga ikan usaha keramba mengalami penurunan lantaran berlimpahnya suplai ikan yang ada di pasaran kota Palangkaraya . Dapat disimpulkan, bahwa faktor alam (cuaca) dan faktor kendala yang bersifat ekonomi (permintaan, penawaran, distribusi dalam aksesibilitas berupa transportasi) selama ini turut memiliki andil dalam mempengaruhi perekonomian warga di kelurahan Tumbang Rungan terutama bagi petani karet. Namun, ketika faktor cuaca mendukung, maka keadaan ekonomi mereka pun mulai membaik, paling-paling hal yang menjadi kendala adalah harga karet yang jatuh. Oleh karena itu, kaum petani karet di kelurahan Tumbang Rungan berharap agar Pemerintah memiliki mekanisme yang mengatur harga karet standar, hal ini cukup menjadi sebuah pembuktian bagi mereka bahwa Pemerintah mempunyai kepedulian terhadap petani-petani karet terutama di kelurahan Tumbang Rungan. Di wilayah Kelurahan Tumbang Rungan ini masih tingkat pengangguran masih cukup tinggi, ada sekitar ±167 jiwa yang menjadi pengangguran di wilayah ini. Sehingga dirasa perlu adanya sebuah terobosan kebijakan dari Pemerintah Kota Palangkaraya dalam rangka mengurangi tingkat pengangguran Tingkat kemiskinan masih cukup tinggi, dimana berdasarkan jumlah KK ada sekitar ±156 KK dan yang tercatat sebagai keluarga miskin di Kelurahan Tumbang Rungan ini menurut Kep WKP Nomor 57 tahun 2009 Tentang Penetapan Keluarga Miskin di Kota Palangkaraya tahun 2009 adalah ada sekitar 112 KK yang termasuk sebagai bagian dari Keluarga Miskin. Sedangkan, berdasarkan jumlah jiwa dari 602 jiwa, ada sekitar 413 jiwa yang termasuk sebagai kategori miskin. Hal ini dikarenakan usaha masyarakat dirasa masih belum optimal karena banyaknya kendala. Padahal, Kelurahan Tumbang Rungan memiliki potensi di bidang perikanan. Berbagai program penanggulangan kemiskinan seperti BLT, Raskin, PNPM, PM2L, dan Askeskin diluncurkan untuk menurunkan angka kemiskinan, seharusnya hal yang paling difokuskan adalah program yang bersifat pemberdayaan masyarakat. Karena itu, dirasa perlu ada semacam rehabilitasi ekonomi untuk mendorong warga Kelurahan Tumbang Rungan dalam sector perekonomian misalnya dengan cara memberikan bantuan permodalan bagi masyarakat miskin agar usahanya dapat berkembang dan lebih kompetitif, membuka lapangan kerja baru berupa industry lanjutan pengelolaan hasil alam, pemerataan pembangunan, aksesibilitas masyarakat berupa jalan, transportasi ke kecamatan/kota untuk mendukung aktivitas sosial ekonomi masyarakat menjadi poin penting. Kelurahan Tumbang Rungan sebagai kelurahan pemekaran yang masih relative baru, tentu ada begitu banyak hal yang harus dibenahi. Jika dikaji lebih lanjut mengenai dampak sosial yang dipahami ketika kebijakan pemekaran kelurahan Tumbang Rungan ini, ada beberapa hal penting yang disoroti. Dengan memainkan peran pemantauan dalam analisis kebijakan, tentulah kita dapat langsung melihat bahwa kebijakan pemekaran kelurahan untuk kelurahan Tumbang Rungan ini pada dasarnya tidak dapat dinyatakan secara layak untuk dijadikan sebagai kelurahan. Hal ini harus menjadi dasar pemikiran ulang bagi Pemerintah Kota Palangkaraya apabila hendak mengambil sebuah kebijakan. Agar kelak tidak diambil secara serampangan, tanpa memperhatikan aspek sosial, ekonomi, lingkungan fisik dan lain-lain. Karena jika tidak, yang terjadi bukan sebuah kemajuan seperti yang diharapkan melainkan sebaliknya. Aspek sosial memainkan peran penting dalam hal proses pengambilan kebijakan. Pemerintah Kota Palangka Raya boleh saja memiliki rancangan yang baik diatas kertas, tapi rancangan tanpa relevansi di lapangan adalah hal yang mustahil. Pekerjaan berat bagi Pemerintah Kota Palangka Raya dalam rangka untuk menyelesaikan hal ini. Kembali mempersoalkan mengenai dampak sosial akibat pemekaran kelurahan ini berdasarkan pemantauan sebagai analisis kebijakan. Tujuan dari suatu pemekaran wilayah kelurahan ini sendiri adalah dalam rangka peningkatan efektivitas pelayanan pemerintah kepada public, agar masyarakat merasa dekat dan memiliki pemerintah. Namun jika, kebijakan ini tidak dibarengi dengan persiapan seperti penyediaan sarana dan prasarana yang baik serta tidak dibarengi dengan anggaran yang memadai. Alhasil, pemekaran wilayah kelurahan ini menjadi sia-sia. Alih-alih untuk mendapat sebuah kemajuan seperti yang ditargetkan, justru malah terjadi kelalaian. Beberapa hal yang direncanakan menjadi meleset, daerah terpinggir seperti kelurahan Tumbang Rungan ini memiliki kesamaan dengan daerah pinggiran pada umumnya. Dimana sarana prasana yang buruk baik itu kantor, jalan dan lain-lain, masyarakat miskin, taraf pendidikan yang masih rendah, semua itu jelas tergambar di wilayah ini. Perencanaan yang tidak matang hanya akan menimbulkan masalah baru. Artinya kebijakan pemekaran kelurahan ini masih dikatakan premature dan tujuan yang ditargetkan serta manfaat yang seharusnya dirasakan masyarakat masih belum diterima oleh masyarakat kelurahan Tumbang Rungan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian diatas seperti bagaimana tingkat pendidikan masyarakat disana yang masih rendah, putus sekolah karena alasan kemiskinan. Tingkat kesehatan mereka pun masih rendah, tidak adanya perhatian terhadap anak-anak dan wanita sebagai kelompok yang palin rawan kemiskinan, namun begitu tidak atensi yang berarti dari Pemerintah Kota Palangkaraya terkait dengan beberapa hal diatas. Bukan mustahil, masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran yang cukup tinggi di kelurahan Tumbang Rungan jika tidak segera diatasi hanya akan menimbulkan masalah sosial baru yang lainya, yang hanya tinggal menunggu waktu saja. Dari sisi ekonomi berdasarkan fungsi pemantauan, dapat dilihat tidak ada pertumbuhan ekonomi yang begitu berarti atau kearah implikasi yang positif di wilayah kelurahan Tumbang Rungan ini. Persentase kemiskinan dan pengangguran masih cukup tinggi, pendapatan perkapita yang rendah. Hal ini dikarenakan, ketika kebijakan pemekaran wilayah kelurahan ini diambil tanpa mempertimbangkan kebijakan strategis apa yang akan diambil untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di wilayah pinggiran ini. Dari hasil penelitian diatas banyak hal yang mempengaruhi mengapa pertumbuhan ekonomi di wilayah ini sangat lamban. Kebijakan pemekaran kelurahan ini tidak dibarengi dengan langkah-langkah konkrit di bidang ekonomi, misalnya pemberian modal dan pengadaan teknologi tepat guna bagi pengembangan usaha di kelurahan Tumbang Rungan. Keluhan masyarakat di kelurahan Tumbang Rungan mengenai perekonomian, taraf kehidupan dan kesejahteraan yang masih rendah yang terjadi hamper sebagian mereka menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah Kota Palangka Raya untuk lebih memikirkan kelurahan yang tertinggal ini. Dirasa sangat perlu untuk bagi Pemerintah Kota Palangka Raya untuk melakukan rehabilitasi ekonomi di wilayah ini, dengan mendayagunakan segenap potensi yang dimiliki kelurahan Tumbang Rungan dengan memberdayakan masyarakat setempat dan di stimulasi oleh Pemerintah Kota Palangka Raya.
KEBIJAKAN PUBLIK UNTUK EKOWISATA DI KALIMANTAN TENGAH Kebijakan Penataan Kawasan Ekowisata Sungai Kahayan di Kota Palangka Raya Bhayu Rhama
Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan Vol. 1 No. 1 (2012): JISPAR
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37304/jispar.v1i1.338

Abstract

AbstrakEcotourism is an activity that relies on the daily lives of people and their natural combinations in sustainable conditions. Ecotourism is also an economic foundation of the region that is not own by all regions. The government, surrounding community and the tourists who visit the place is also responsible for maintaining the location’s sustainability andharmony. Central Kalimantan province that has a lot of potential to develop eco-tourism should start immediately so the region’s natures and daily lives is not damaged by mismanagement. Local governments are obliged to issue a Public Policy for ecotourismto improve societies’ welfare that can be started to choose Kahajan River in Palangkaraya as an icon of ecotourism in Central Kalimantan.
MENGUBAH PERFORMANCE BIROKRASI DAERAH Dengan Uji Kompetensi Jhon Retei Alfri Sandi Tandjung
Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan Vol. 1 No. 1 (2012): JISPAR
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37304/jispar.v1i1.340

Abstract

Performance birokrasi pemerintah yang baik di semua tingkat pemerintahan dewasa ini menjadi suatu keharusan yang dilaksanakan. Sangat disadari persoalan kualitas kinerja pelayanan pemerintah pada public masih relative sangat rendah demikian pula sensitivitas serta responsibilitas penyelenggaraan tugas. Disana sini masih banyak terdapat keluhan public atas kelambanan pelayanan administrasi, ketidak adilan keputusan atau kebijakan atau orogansi berlebihan dari para penyelenggara negara kepada masyarakat yang seyogianya harus dilayani sehingga birokrasi bukan lagi menjadi alat bantu untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi pelayanan bagi publik namun menjadi mesin momok yang menakutkan dan menjengkelkan. Upaya memperbaiki kinerja birokrasi yang lebih humanis, responsible dan akuntable terus menerus dilakukan. Pergeseran paradigma memerintah dari konsep “government” ke “governance” telah dijalankan demikian pula pola kekuasaan sentralistis menjadi desentralistis turus dilakukan seraya memperkuat peran pemerintah daerah melalui otonomi daerah yang luas dan menumbuhkembangkan proses demokratisasi lokal yang salah satu perwujudannya dengan pemilu langsung kepala daerah kabupaten/kota dan provinsi. Pelayanan umum akan dapat terlaksana dengan baik dan memuaskan apabila didukung oleh beberapa faktor antara lain, kesadaran para pejabat pimpinan dan pelaksana, adanya aturan yang memadai, organisasi dengan mekanisme sistem yang dinamis, pendapatan pegawai yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, kemampuan dan ketrampilan sesuai dengan tugas/pekerjaan yang dipertanggungjawabkandan tersedianya sarana pelayanan sesuai dengan jenis dan bentuk tugas/pekerjaan pelayanan. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa tugas pokok dan fungsi pemerintah yaitu melayani (service) terhadap publik atau warga negaranya, untuk tercapainya tugas dan fungsi tersebut didukung oleh beberapa faktor seperti kehandalan pegawainya mulai dari pimpinan sampai bawahan, aturan yang ditetapkan, prosedur dan sebagainya. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa “seorang pemimpin tanpa pengikut, tidak akan berarti apa-apa” karena itu pemimpin sangat memerlukan bantuan dan kerjasama dari para pengikutnya untuk dapat menterjemahkan, menjalankan, dan mengimplementasikan segala ide-ide maupun keinginan-keinginan yang ingin ia wujudkan. Demikian halnya dengan para kepala daerah di Kalimantan Tengah saat ini, dalam upaya mewujudkan visi dan misinya sangat membutuhkan para pengikut dalam hal ini adalah para birokrat/Pegawai Negeri yang mampu mengerti, memahami dan berusaha secara bersama-sama untuk mewujudkan keinginan mereka sebagaimana visi yang telah ditetapkan. Guna mewujudkan keinginan tersebut,setiap kepala daerah/wakil kepala daerah tentunya dituntut untuk mampu membentuk Tim Kerja yang handal. Tim Kerja yang handal (perangkat pemerintah daerah) sangat diperlukan agar mampu menterjemahkan dan mewujudkan visi dan misi pimpinan ini berikut yang terpenting adalah keinginan dan harapan masyarakat (public) sehingga masyarakat benar-benar merasakan arti kehadiran pemerintah yang berfungsi melindungi, mengayomi dan mensejahterakan secara adil dan demokratis. Penyusunan Tim Kerja yang handal bukanlah suatu pekerjaan yang mudah ditengah-tengah kondisi birokrasi kita yang sangat kurang sehat (buruk). Diperlukan adanya kemampuan dari kedua pimpinan ini untuk dapat mengevaluasi dan menganalisis individu aparatur birokrasi sehingga ditetapkan seorang aparatur birokrasi yang baik dan handal dengan mengedepankan aspek-aspek profesionalitas, proporsionalitas serta aspek ahlak dan moral untuk segenap aparatur birokrasi yang direkrut ke dalam struktur pemerintahan. Tim Kerja yang handal sangat dibutuhkan, terlebih pada era Otonomi Luas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Menurut beberapa pakar ada enam perubahan besar yang terjadi terhadap pilar-pilar atau soko guru pemerintahan daerah dengan adanya otonomi luas sebagaimana UU 32 Tahun 2004 ini, yaitu : 1) Perubahan isi otonomi yang akan merubah cakupan kewenangan pemda; 2) Melembagakan kewenangan-kewenangan tersebut dalam bentuk lembaga/organisasi pemda; 3) Penataan personil yaitu pegawai yang akan menjalankan lembaga tersebut; 4) Perubahan pengelolaan keuangan; 5) Perubahan dalam aspek perwakilan rakyat dan demokratisasi dalam pilkada; serta 6) Perubahan dalam pengelolaan otonomi daerah. Upaya penyesuaian terhadap perubahan 6 (enam) pilar tersebut telah dilaksanakan, namun refleksi keberhasilan masih perlu dipertanyakan. Realitas penyelenggaraan pemerintahan daerah kita masih belum mampu menuju pada organisasi Pemda yang modern dan professional. Dibidang penataan kelembagaan dan penataan personil misalnya, wajah birokrasi Pemda kita masih tetap bersifat bureaucratic polity (Karl Jackson) atau bureaucratic authoritarian (Dwight King) kendatipun rezim dan masa penguasa pemerintahan otoriter ORBA telah berkahir. Bureaucratic polity birokrasi ditunjukan dengan peran partai politik dan elite partai yang sangat besar dalam percaturan politik dan dalam tata penyelenggaraan pemerintahan sehingga birokrasi yang diharapkan menjadi netral sebagaimana cita-cita perjuangan reformasi total tahun 1998, ternyata tetap menjadi bagian alat kekuasaan politik. Bukan rahasia umum saat ini baik ditingkat pusat maupun di daerah bahwa jabatan karier seorang aparatur birokrasi/PNS sangat ditentukan oleh hubungan kedekatannya (DUK) yang tidak hanya dituntukan oleh kedekatan dengan pemimpin daerahnya tetapi juga dengan petinggi-petinggi partai/elite partai. Posisi Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal pada departemen atau sekda atau kepala-kepala dinas (pemegang jabatan esellon II), para kepala bidang/bagian (essellon III) provinsi, kabupaten/kota dan bahkan para pelamar CPNS ternyata lebih “ditentukan oleh proses-proses politik informal” ketimbang proses dan mekanisme formal birokrasi atau Baperjakat atau Tim Penerimaan CPNS. Birokrasi menjadi ajang konspirasi ……. yang dilakukan oleh elite politik, elite pemerintah (daerah/pusat), pengusaha, NGos dan kelompok-kelompok kepentingan lain untuk dan atas nama negara mengelola Negara dan keuangannya demi tujuan segilintir orang atau demi untuk membangun kerajaan atau dinasti baru segelintir orang di daerah dan menjadikannya sebagai raja-raja kecil daerah atau demi untuk mewujudkan doktrin dan cita-cita perjuangan partainya yang telah jauh dari cita-cita philosofis sejati partai politik. Birokrasi juga menjadi arena bagi-bagi kue pembangunan atau arena politik balas jasa kepada para clean-clean yang telah ambil bagian membantu perjuangan memperoleh kekuasaan. Akibat dari itu proses rekruitmen dan penempatan personil-personil tim kerja dalam struktur Pemerintahan Daerah menjadi i-rasional dan tidak mengedepankan integritas dan moralitas. Tapi cenderung mengedepankan dan mempertahankan pola-pola lamayakni karena kedekatan dan karena senioritas. Sehingga dihasilkan manusia pemimpin daerah yang corrupt, angkuh/sombong, arrogan, ingin dihormati, ingin dilayani dan bukan melayani, ingin diberi upeti bukan memberi layanan yang ramah, sopan dan bersahaja dan menjadikan birokrasi sebagai mesin penghambat bukan sebagai mesin yang dapat menciptakan suatu tatanan administrasi pemerintah yang efisien dan efektif. Konfigurasi system tersebut, telah menempatkan pula sistem promosi jabatan struktural dan sistem mutasi cendrung tidak didasarkan atas keahlian, namun lebih atas dasar kepercayaan.Sehingga acap kali ditemukan seseorang menduduki suatu jabatan tertentu berbeda dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya. Hal ini berbanding terbalik dengan keinginan Pemerintah yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 133 yakni : “Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar daerah, dan kompetensi”). Hal ini senada dengan perkataan Drucker yang mengatakan “We are change the world, faster than we can change ourself”.Dan parahnya lagi kondisi ini sepertinya dimaklumi oleh para pimpinan organisasi Pemda. Sehingga tidak aneh kalau dikalangan birokrasi, pegawai yang memiliki kompetensi/kemampuan pemikiran yang baik tidak secara otomatis akan menduduki posisi yang sesuai dengan tingkat kemampuan intelektual/kompetensi yang dimilikinya. Jadi tidaklah mengherankan kalau pegawai saat ini lebih tertarik untuk memperdalam “ilmu kodok”-nya (sepak kanan, sepak kiri, injak bawah-jilat atas untuk mendapatkan kepercayaan) ketimbang meningkatkan kemampuan teknis pemerintahannya. Promosi jabatan yang didasarkan pada kedekatan dengan pimpinan tingkat atas, disebabkankarena adanya pemikiran dari para pegawai (termasuk sang pimpinan) bahwa jabatan struktural adalah kepercayaan(loyalitas pribadi dengan pimpinan/partai). Senioritas dalam pengertian kepangkatan, dilakukan karena menggunakan pendekatan eselonering untuk jabatan struktural (eselonisasi telah melahirkan birokrasi yang sibuk mengejar senioritas pangkat dan eselon yang sering tidak berhubungan dengan peningkatan kinerja). Bukan karena kemampuan atau keahlian yang dimiliki oleh yang bersangkutan sesuai dengan jabatan struktural yang ada, tetapi karena jenjang kepangkatan yang bersangkutan (padahal point ini bukanlah faktor utama sebagaimana dalam pasal 133 UU No. 32 Tahun 2004 di atas). Diera otonomi daerah saat ini, setiap organisasi pemerintah daerah menghadapi tantangan yang sangat kompleks dan tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Untuk itu organisasi membutuhkan model organisasi yang ramping yang didukung oleh personil yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan tugas pokok dan fungsi organisasinya. Stewardmenyatakan :“Yang dibutuhkan organisasi Pemda saat ini adalah orang yang bekerja keras dengan otaknya (brain power), bukan orang yang kuat sehingga hanya dapat bekerja dengan ototnya (muscle power)”. Dengan adanya tantangan seperti ini, dibutuhkan adanya kebijakan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia sesuai dengan keahlian dan kebutuhan organisasi, sehingga setiap personil dalam mengejar prestasi lebih mengarah kepada bagaimana memberikan kontribusi yang optimal kepada organisasinya, bukan sekedar bagaimana mendapatkan jabatan struktural atau membuat asal bapak senang (ABS) atau hanya menjadi “pejabat menara gading”, tanpa ada kontribusi keahlian yang jelas. Agar kegiatan rasionalisasi (perubahan dimensi struktural dan fungsional) tidak menjadi sia-sia belaka sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Pemda sendiri melalui implementasi Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007, maka pemerintah daerah memerlukan adanya perubahan orientasi perilaku personil (dimensi kultural). Salah satu upaya melakukan perubahan orientasi perilaku adalah melakukan Uji Kompetensi bagi pegawai yang akan menduduki jabatan dalam Organisasi Pemerintah Daerah. Kegiatan ini bukanlah sesuatu hal yang baru, untuk beberapa daerah tertentu seperti misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta atau lainnya kegiatan uji kompetensi ini menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan oleh para kepala daerah untuk mendapatkan para pembantunya yang akan menduduki jabatan-jabatan strategis ditingkat pemerintahan daerah dengan cara-cara terhormat, terukur dan elegan serta demokratis. Lain halnya di daerah kita, uji kompetensi ini pada realitasnya masih jarang dilakukan dan kalau pun ada cendrung bersifat tertutup sehingga public menjadi kehilangan akses untuk mengetahui kemampuan dan kompetensi dari seorang calon yang akan menduduki jabatan public di lingkungan pemerintah daerah. Pada dasarnya uji kompetensi jabatan ini dapat memberikan masukan secara lebil benar dan adil bagi pimpinan sendiri atas kompotensi dari seorang bawahannya sehingga mereka mampu memilih dan menetapkan para pembantunya secara baik dan benar. Uji kompetensi jugabermanfaat untuk mengarahkan pimpinan/instansi teknis yang menangani kepegawaian (BKD) untuk mengembangkan berbagai jenis jabatan fungsional. Seperti personil yang mempunyai kemampuan untuk perencanaan ditempatkan di Bappeda dengan jabatan fungsional perencanaan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi menyusun perencanaan pembangunan daerah yang tidak terkooptasi dengan jabatan struktural. Uji kompetensi adalah merupakan suatu standar penilaian/kompetensi bagi para pegawai yang akan dipromosikan untuk duduk dalam suatu jabatan tertentu (Jabatan Fungsional maupun Struktural). Bukan berarti dengan diciptakannya standar penilaian tersebut maka Tim Baperjakat yang ada di Pemerintah Daerah Propinsi, Kota/Kabupaten akan tidak berfungsi lagi. Tetapi dengan adanya standar penilaian ini akan dapat membantu Tim Baperjakat untuk mempromosikan pegawai-pegawai yang akan menduduki suatu jabatan. Sehingga peranan Baperjakat akan dapat berjalan dengan optimal dalam memberikan atau menempatkan pegawai pada posisi yang tepat sesuai dengan kompetensi yang dimiliki (The right man in the right place). Diharapkan pula dengan adanya uji kompetensi tersebut para pegawai terpacu untuk dapat meningkatkan kemampuannya (keterampilan, pengatahuan,dll) agar dapat memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan. Upaya penetapan standar-standar untuk mengadakan uji kompetensi jabatan tentunya harus memperhatikan pula aspek kecerdasan dan kematangan diri, kualifikasi pendidikan, track record, visi dan misi terhadap jabatan yang diembannya maupun aspek psikologis PNS atau moral. Menuju terbangunannya dimensi kultur personil perlu adanya suatu upaya pembaharuan (dari pimpinan/Top Manager) yang sesuai dengan perkembangan lingkungan dimana organisasi tersebut tumbuh dan berkembang. Hal di atas sejalan dengan pemikiran yang diungkapkan Albert Einstein yang mengatakan : “The significant problems we face can not be solved at the same level of thinking we were at when we create them.” (Masalah-masalah mendasar yang kita hadapi saat ini tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan level berpikir sebelumnya yang justru menciptakan masalah-masalah tersebut). Secara teoritis upaya melakukan pembaharuan/menciptakan pergeseran paradigma dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :Pertama, dilakukan secara sadar, sukarela, dan proaktif-antisipatif (inside out). Mengikuti pembelajaran atau pendidikan, memperluas wawasan, belajar dari pengalaman masa lalu, membaca, bergaul dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, berusaha mengenali misi dan visi hidup pribadi dan organisasi, dan melakukan kegiatan spiritual; Kedua, dilakukan dengan terpaksa atau reaktif (outside in), umumnya tanpa disertai dengan kesadaran, karena dipicu oleh berbagai peristiwa traumatis. Keterpaksaan ini dapat terjadi karena paradigma yang kita anut ternyata telah beku atau lumpuh, terperangkap pada realitas semu yang penuh tipu, kepalsuan dan kemunafikan. Berdasarkan dua langkah yang dapat ditempuh dalam upaya menerima serta menghadapi perubahan dimensi kultural tersebut, Penciptaan Standar Kompetensi maupun Uji Kompetensi menjadi salah satu wujud dari upaya menghadapi tuntutan masyarakat akan kinerja pemerintahan yang dilakukan secara sadar, dan proaktif-antisipatif (inside out). Dimana hal ini ditempuh untuk mengobati penyakit di dalam tubuh organisasi pemerintah agar dapat menerima serta beradaptasi dengan iklim lingkungannya yang baru. Di samping itu Uji Kompetensi merupakan sikap keterpaksaan yang harus diambil oleh pemerintah daerah untuk mengatasi permasalah yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berada pada level low trust (semoga tidak berlanjut pada level distrust) sehingga mau tidak mau pemerintah harus segera berbenah diri untuk dapat mengubah image pemerintahan yang buruk di mata masyarakat. Sangat disayangkan jika pesta demokrasi pemilihan kepala daerah yang telah dilakukan secara demokratis pada waktu yang lalu ternoda oleh ketidakmampuan (powerless) pemimpin daerah kita ini untuk membangun tatanan aparatur birokrasi yang kapabel sesuai dengan standar profesionalistas dan menghasilkan para penyelenggara pemerintah daerah (birokrasi) yang ramah, berjiwa melayani, berintegritas, loyalitas dan dedikasi kerja yang tinggi pada masyarakat (menjadi abdi masyarakat dan abdi negara). Uji kompetensi merupakan salah satu syarat penting yang dapat dipertimbangkan bagi berfungsinya organisasi Pemda serta merupakan salah satu syarat sebelum PNS tersebut ditempatkan dalam jabatan dan sangat urgent dilakukan mengingat makin terbatasnya jumlah jabatan struktural yang tersedia sekaligus untuk mengakomodasi penilaian publik yang menilai birokrasi Pemerintah Daerah adalah malas, tidak memiliki potensi, tidak disiplin dan kinerjanya rendah. Pertanyaan berikutnya yang diperhadapkan pada kita adalah bagaimana kita menciptakan standar-standar tersebut ? Bukankah dilingkup organisasi pemerintahan sudah ada DP-3 dan Analisis Jabatan (yang mulai jarang diterapkan/direncanakan semoga tidak dilupakan) yang bermanfaat untuk menilai serta melihat prestasi kerja seorang pegawai. Apakah itu tidak cukup ? Sebagaimana diketahui, kompetensi adalah merupakan kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seseorang pegawai negeri sipil berupa pengetahuan, keahlian dan sikap perilaku yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatannya. Dimana untuk mengukur kompetensi yang dimiliki seorang pegawai tersebut kita dapat menetapkan standar-standar kompetensi yang diperlukan dalam rangka peningkatan profesionalisme PNS yang akan menduduki jabatan struktural eselon I, II, III, IV dan V. Standar-standar yang akan diciptakan itu kemudian dibagi kedalam dua indikator, yaitu indikator umum (Kompetensi umum) dan indikator khusus (Kompetensi khusus). Standar ini tentunya sangat berbeda dengan DP-3 yang selama ini dikenal dikalangan PNS, dimana indikator-indikator dalam DP-3 tersebut berlaku secara menyeluruh bagi semua PNS (nilainya pun selalu meningkat, nda pernah turun........???). Kompetensi umum yang dikembangkan dalam Uji kompetensi ini berisikan indikator-indikator yang bertujuan untuk menilai kemampuan dan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang PNS berupa pengetahuan dan perilaku yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatan struktural yang dipangkunya. Sedangkan Kompetensi khusus berisikan indikator-indikator yang bertujuan untuk menilai kemampuan dan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang PNS berupa keahlian yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatan struktural yang dipangkunya. Dalam proses ini peran daripada analisis jabatan yang saat ini kurang berfungsi dapat lebih digiatkan lagi oleh masing-masing pembina kepegawaian di instansi masing-masing yang berguna untuk menentukan indikator-indikator khusus yang tentunya sesuai dengan keadaan, kenyataan dan kebutuhan kerja yang riil. Dengan terciptanya standar-standar yang berisi indikator-indikator penilaian tersebut dapat dijadikan sebagai standar baku bagi Tim Baperjakat/Pembina Kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS dari dan dalam jabatan, serta sebagai dasar penyusunan/pengembangan program pendidikan dan pelatihan PNS. Sebagai contoh beberapa Standar kompetensi Umum dan khusus dalam Jabatan Eselon III. Seseorang yang akan/dapat menduduki jabatan eselon III paling tidak memenuhi standar kompetensi umum seperti : Mampu memahami dan mewujudkan Kepemerintahan yang baik (Good Governance), Mampu memberikan pelayanan yang baik terhadap kepentingan publik, Mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris, Mampu melakukan pendelagian kewenangan terhadap bawahannya, Mampu melakukan akuntabilitas kinerja unit organisasinya dengan baik, Mampu melakukan evaluasi dan bahkan Mampu memberikan masukan-masukan tentang perbaikan program kepada pejabat atasannya, dan hal terkait lainnya.Standar Kompetensi Umum ini pada dasarnya dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun diklat kepemimpinan. Kemudian Standar Kompetensi khusus, berisi tentang keahlian yang disesuaikan dengan jabatan yang bersangkutan. Misalnya Kepala BKD di tingkat Kota/Kabupaten, Standar Kompetensi khusus yang harus dimiliki antara lain : Mampu menyusun program kebutuhan dan penempatan pegawai, Mampu menyusun program analisis jabatan untuk perencanaan pegawai, Mampu menyusun sistem informasi kepegawaian, Mampu memberikan pertimbangan pemberhentian dan pemensiunan pegawai, dan lainnya. Perlu diingat pula bahwa standar kompetensi khusus ini pada dasarnya dapat ditetapkan oleh Pembina kepegawaian di Instansi masing-masing sesuai dengan uraian tugas/jabatan di unit organisasinya masing-masing. Upaya pergeseran paradigma dari konsep kecakapan menjadi kompetensi (melalui uji kompetensi), diharapkan secara perlahan namun pasti tentunya akan menimbulkan implikasi strategis yang sangat positif bagi kegiatan perencanaan dan pengelolaan sumber daya aparatur pemerintah dilingkup apapun dalam setiap kegiatan. Sehingga dengan demikian kompetensi nantinya merupakan faktor mendasar dalam hal penempatan seseorang dalam jabatan tertentu. Namun demikian, cukup disadari bahwa untuk merealisasikan keinginan ini diperlukan suatu pengorbanan, kerja keras serta komitmen yang kuat dari semua pihak. Karena semakin besar cakupan kepentingannya, semakin besar dimensi kemanusiaan yang dikandungnya, maka semakin besar pula tantangan dan kesulitan yang akan dihadapi dalam proses merealisasikan keinginan tersebut. Kita menaruh harapan besar pada pimpinan daerah yang memerintah untuk ke-2 kalinya ini untuk lebih melakukan berbagai perubahan bagi peningkatan dan kesejahteraan masyarakat, demikian pula segenap aparatur penyelenggara di bawahnya.
PEMBANGUNAN BERBASIS MASYARAKAT Model Pemberdayaan Masyarakat Melalui Corporate Social Responsibility Sidik R. Usop
Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan Vol. 1 No. 1 (2012): JISPAR
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37304/jispar.v1i1.341

Abstract

Pembangunan berbasis masyarakat merupakan perdebatan antara pemikiran strukturalis dengan poststrukturalis berkenaan dengan penggunaan kekuasaan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Pada pemikiran strukturalis, negara sebagai pemegang kekuasaan lebih mengutamakan pembangunan dengan konsep pertumbuhan ekonomi yang secara otomatis menimbulkan efek ganda (multiplier effects) terhadap kegiatan ekonomi di tingkat masyarakat. Pada masyarakat industri, peluang usaha yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi dapat dikembangkan menjadi ekonomi kreatif sehingga berdampak bagi penigkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya pada masyarakat yang masih tergantung pada sektor pertanian, pengembangan ekonomi kreatif perlu didorong dan difasilitasi oleh pemerintah sehingga mereka memiliki kemampuan yang secara bertahap berkembang menjadi masyarakat yang mandiri. Oleh karena itu, pemikiran strukturalis cenderung menciptakan ketidak adilan dan kesenjangan sosial. Pendekatan poststruktukturalis beranggapan bahwa pemegang kekuasaan melakukan dominasi dalam mengatur kehidupan masyarakat, sehingga mengabaikan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan kemampuan mereka sendiri. Dalam konteks ini harus ada pilihan-pilihan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dalam mengatur kehidupan masyarakat dengan mengembangkan inisiatif dan kreativitas masyarakat. Ife dan Tesoriero (2008) menyebutkan bahwa poststrukturalis telah memunculkan wacana alternatif sebagai bagian dari proses perkembangan, walaupun tidak menyediakan resep seperti pada pendekatan strukturalis, namun ia memberikan suatu perspektif pada kerja yang sangat kuat dan dapat memperkuat proses pemberdayaan. Jalan tengah yang dapat menyembatani kedua pendekatan di atas adalah pendekatan konstruksi social dari Berger dan Luckmannn (!980) yang mengintegrasikan secara dinamik peran negara sebagai pemegang mandat kekuasaan dari masyarakat yang seharusnya mendorong inisiatif dan kreativitas masyarakat, sehingga dapat menciptakan transformasi dengan berkembangnya partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan. Merujuk pada pemikiran di atas, maka partisipasi aktif masyarakat merupakan bagian terpenting untuk menciptakan model pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based development) dengan melakukan pemberdayaan kepada masyarakat, salahsatunya adalah melalui Tanggung Jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility)
PERAN NEGARA DAN INSTITUSI INTERNASIONAL DALAM DISTRIBUSI PENDANAAN KARBON KatrianiPuspitaAyu
Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan Vol. 1 No. 1 (2012): JISPAR
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37304/jispar.v1i1.342

Abstract

REDD merupakan mekanisme yang bekerja melalui pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD memberi kompensasi bagi negara-negara berkembang yang berhasil menjaga hutan dari kerusakan. Mekanisme ini mengalami beberapa tantangan seperti bagaimana cara penghitungan karbon, pembayaran, akuntabilitas dan pendanaan karbon kepada negara penerima.Tantangan lainnya adalah belum terbentuknya lembaga yang bertanggung jawab terhadap operasional REDD di tingkat subnasional. Tulisan ini bertujuan menganalisis peran negara sebagai agen penggerak sekaligus pendorong penyelenggaraan REDD dan REDD plus. Bertujuan juga menganalisis peran institusi internasional dalam mendukung REDD plus di negara-negara berkembang. Tulisan ini menggunakan serangkaian studi literatur dan kajian-kajian terkini serta menganalisis setiap stakeholder yang berkaitan. Hasil yang ditemukan adalah peran negara menjadi sentral dalam merumuskan dan memfasilitasi kebijakan untuk menjaga kredibilitas pembayaran dan pengawasan pasar jasa lingkungan. Selain itu negara harus membentuk institusi yang bertugas mengawasi setiap distribusi dana, memperbaiki institusi hukum agar hak kepemilikan tanah dan hutan sebagai mata pencarian masayarakat lokal selalu dilindungi. Peran dunia internasional adalah mendukung REDD maupun REDD plus untuk mencapai tujuan akhir, yaitu menurunkan emisi gas rumah kaca. Dua institusi internasional yaitu UN-REDD, dan World Bank menginisiasi program-program pembelajaran berupa bertukar informasi, mengenalkan variasi model mekanisme pembayaran, maupun pemberian pemahaman tentang penurunan suhu bumi.
SITUASI KESEHATAN MASYARAKAT DI INDONESIA Dewi Klarita Furtuna
Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan Vol. 1 No. 1 (2012): JISPAR
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37304/jispar.v1i1.343

Abstract

Seiring dengan berkembangnya Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat perkembangan yang cukup baik, maka makin tinggi pula harapan hidup penduduknya. Gambaran masyarakat di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa, dan negara yang di tandai oleh penduduknya dalam lingkungan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tinginya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Gambaran keadaan masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai malalui pembangunan kesehatan dirumuskan sebagai Indonesia Sehat 2010.

Page 1 of 1 | Total Record : 7