cover
Contact Name
Bhayu Rhama
Contact Email
bhayurhama@fisip.upr.ac.id
Phone
+625363220445
Journal Mail Official
jisparupr@gmail.com
Editorial Address
Kampus FISIP Universitas Palangka Raya Jl. Yos Sudarso Komplek Tunjung Nyaho Palangka Raya
Location
Kota palangkaraya,
Kalimantan tengah
INDONESIA
Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan
ISSN : 20896123     EISSN : 26849119     DOI : -
Core Subject : Humanities, Social,
Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan (JISPAR) memiliki artikel dengan fokus terkait pengetahuan sosial, ilmu politik dan pemerintahan yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya sejak tahun 2012. Jurnal ini telah tercatat pada Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) sehingga telah memiliki kode ISSN 2089-6123 dan e-ISSN 2684-9119. Jurnal ini dijadwalkan terbit 2 kali setiap tahunnya pada bulan Januari dan Juli dengan karya ilmiah yang telah dipublikasikan baik dalam bentuk hardcopy dan jurnal elektronik.
Articles 319 Documents
ANALISIS HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS SDM DI LPMP KALIMANTAN TENGAH Riamona Sadelman Tulis
Journal Ilmu Sosial, Politik, dan Ilmu Pemerintahan Vol. 1 No. 1 (2012): (7)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (101.299 KB)

Abstract

Perbedaan yang mencolok antara organisasi swasta dan organisasi pemerintah seringkali pada kondisi SDM nya. Saat ini SDM yang handal dan profesional adalah tuntutan bagi masyarakat pada sebuah organisasi, selain itu kinerja organisasi juga bertumpu pada faktor manusianya. Sejalan dengan itu, Kemdiknas sebagai salah satu dari 12 (duabelas) Kementerian/Lembaga yang dipilih menjadi pilot project reformasi birokrasi, melakukan beberapa pendekatan yang meliputi Penguatan Organisasi, Pembenahan Ketatalaksanaan, Penataan dan Penguatan SDM. Untuk dapat memperoleh pegawai yang handal dan professional maka diperlukan berbagai kegiatan yang baik, dan ternyata kegiatan yang mencakup pada proses rekrutmen dan seleksi pada tahapan awal belum cukup untuk membentuk budaya organisasi yang akan melekat menjadi identitas pada diri SDM tersebut. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan pengolahan data juga menggunakan teknik statistik deskriptif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran Budaya Organisasi di LPMP Kalimantan Tengah, yang berdasarkan Permendiknas nomor 7 tahun 2007 merupakan unit pelaksana teknsi Kementerian Pendidikan Nasional, pada umumnya, serta untuk mengetahui hubungan budaya organisasi dengan upaya meningkatkan kualitas SDM. Hasil penelitian secara garis besar menunjukan bahwa peningkatan kualitas SDM berhubungan dengan faktor budaya organisasi yang ada di kantor LPMP Kalimantan Tengah. Nilai-nilai yang ada secara kasat mata dan dipandang sangat penting, perlu ditanamkan dalam sebuah bentuk serta manajemen perlu menciptakan dan menjaga budaya organisasi. Kualitas SDM menunjukan sudah cukup baik sesuai dengan empat kelompok kompetensi sebagai alat ukur kualitas yang dikemukakan oleh Rotthwell dan antara rekrutmen dan seleksi berhubungan signifikan dengan upaya meningkatkan kualitas SDM.
” ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMEKARAN WILAYAH KELURAHAN TUMBANG RUNGAN DITINJAU DARI ASPEK SOSIAL DAN EKONOMI” Mochammad Doddy Syahirul Alam
Journal Ilmu Sosial, Politik, dan Ilmu Pemerintahan Vol. 1 No. 1 (2012): (7)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (24.993 KB)

Abstract

Dengan semakin berkembangnya kehidupan demokratisasi di sebuah negara akan mendorong pada semakin suburnya semangat desentralisasi, termasuk di Indonesia. Sejak era reformasi digulirkan pada rentang waktu tahun 1998 ? 2000 tuntutan desentralisasi semakin menguat. Banyak daerah ingin ?melepaskan diri? baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota ingin berdiri sendiri mendirikan pemerintah daerah lepas dari kekuasaan pemerintah daerah induk. Berbagai upaya dan pergerakan banyak dilakukan oleh masyarakat maupun elit politik lokal untuk ?melepaskan diri?.  Pergerakan tersebut dapat dibaca sebagai salah satu upaya reformasi dan modernisasi pemerintahan. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia secara resmi dimulai pada tanggal 1 Januari 1999 dengan diundangkannya UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang kemudian disempurnakan menjadi UU Nomor 32/2004). Melalui undang-undang tersebut, pemerintah berupaya untuk mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota.  Dari semangat desentralisasi inilah diharapkan lahir dan berkembang pemerintahan daerah yang otonom. Ada 3 hal utama yang secara eksplisit diamanatkan oleh UU Nomor 32/2004 yang menjadi tujuan dilaksanakannya Otonomi Daerah di Indonesia, yaitu : meningkatnya kesejahteraan masyarakat, meningkatnya pelayanan public, dan meningkatnya daya saing daerah. Era reformasi telah berlangsung sepuluh tahun lebih , banyak hal positif yang memperkuat eksistensi pemerintahan dan masyarakat lokal. Penguatan tersebut tercermin antara lain dalam upaya pemerintah pusat melakukan pelimpahan berbagai urusan yang semula menjadi kewenangannya kepada pemerintah daerah. Dengan semangat inilah, optimisme akan lahirnya daerah-daerah otonom yang mampu mensejahterakan masyarakat, menyelenggarakan pelayanan public dengan baik, serta berdaya saing tinggi mulai mencuat ke permukaan. Namun demikian, proses pelaksanaan desentralisasi di Indonesia juga diwarnai dengan euphoria. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya daerah ingin melakukan pemekaran wilayah seperti pemekaran provinsi, pemekaran kabupaten/kota, pemekaran kecamatan, dan bahkan pemekaran kelurahan. Pemekaran daerah yang sejatinya ditujukan untuk makin memudahkan pencapaian tujuan desentralisasi, tidak jarang hanya menjadi ajang untuk mengakomodasi kepentingan elit politik lokal yang kalah dalam pemilihan. Salah satu akibat serius dari adanya euforia tersebut adalah terjadinya peningkatan jumlah daerah otonom baru sebagai hasil dari proses pemekaran daerah, tanpa diimbangi oleh kemampuan untuk meningkatkan kinerja daerah yang bersangkutan. Ada beberapa sumber yang bisa dijadikan rujukan terkait masalah pemekaran, baik yang dilakukan oleh Bappenas (2005), Lembaga Administrasi Negara (2005), Kementerian Dalam Negeri (2005) dan BRIDGE (2008); menunjukkan bahwa hasil-hasil yang dicapai oleh daerah pemekaran, baik dalam bidang ekonomi, keuangan daerah, pelayanan public maupun aparatur pemerintah daerah tidaklah seperti yang diharapkan ketika pemekaran dilakukan. Ada indikasi kuat, bahwa proses pemekaran dilakukan terutama untuk mengakomodasi kepentingan elit politik lokal semata, ketimbang didedikasikan bagi usaha pencapaian tujuan desentralisasi seperti yang diamanatkan dalam undang-undang yang mengatur masalah pemekaran. Studi BRIDGE (2008) secara spesifik menyimpulkan, bahwa selama lima tahun posisi daerah induk dan daerah control selalu lebih baik dari daerah otonomi baru dalam semua aspek yang diteliti. Kondisi tersebut diatas juga terjadi di Palangka Raya, sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah yang berpenduduk tidak lebih dari 200.000 jiwa, kota ini juga begitu antusias menyambut era desentralisasi. Semangat desentralisasi diwujudkan dalam berbagai kebijakan, diantaranya ialah pemekaran wilayah kelurahan. Ada beberapa wilayah kelurahan yang dimekarkan, salah satunya Kelurahan Tumbang Rungan, Kecamatan Pahandut. Kelurahan ini sebelumnya masuk wilayah Kelurahan Pahandut Seberang, Kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya. Secara geografis kelurahan ini masuk dalam wilayah perkotaan akan tetapi bila dilihat dari kondisi social dan ekonominya kelurahan seakan berada diwilayah yang jauh dari kemajuan dan hiruk pikuk masyarakat perkotaan. Jarak kelurahan Tumbangan Rungan dengan pusat kota hanya sekitar 10 km. Sungguh suatu jarak yang sangat mudah untuk ditempuh. Kelurahan Tumbang Rungan terletak dipesisir sungai Kahayan dimana sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani karet, penangkap ikan, buruh tani, dan serabutan. Semenjak kelurahan Tumbang Rungan dimekarkan lepas dari kelurahan induk kondisi kelurahan ini relative tidak berkembang. Kurang lebih lima tahun kelurahan ini mencoba untuk mandiri ; memiliki kantor lurah sendiri, puskesmas sendiri, dan Lembaga Keswadayaan Masyarakat. Berbagai program pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan  telah masuk dan dilaksanakan di kelurahan ini. Menurut narasumber dalam hal ini Lurah Tumbang Rungan (Purwanto;2010) ; ?program-program pemerintah tersebut memang betul telah sampai ke tangan masyarakat, akan tetapi tidak ada satupun program yang bisa dianggap berhasil dalam mengentaskan kemiskinan di kelurahan Tumbang Rungan ?. Menurut narasumber yang lain dalam hal ini tokoh masyarakat setempat (Uhing;2010) berpendapat bahwa; ?kami merasa tidak ada manfatnya membentuk pemerintahan sendiri, ingin mandiri dan lebih sejahtera, kondisi kami tidak ada bedanya dengan sebelum kelurahan ini dimekarkan, kami masih tergolong miskin dan tertinggal, pembangunan fisik diwilayah kami masih sangat kurang?. Kelurahan Tumbang Rungan ialah satu contoh kecil dari sekian ratus wilayah kelurahan/desa pemekaran di Indonesia yang belum dapat merasakan dampak positif dari kebijakan pemekaran wilayah. Dalam kurun waktu kurang lebih lima tahun kelurahan Tumbang Rungan belum bisa mewujudkan impian daripada semangat desentralisasi yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat, meningkatnya pelayanan public, dan meningkatnya daya saing daerah. Hal ini bisa menjadi permasalahan yang sangat penting untuk segera dipecahkan mengingat bahwa untuk membentuk sebuah daerah pemekaran tentulah tidak mudah. Banyak prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah agar sebuah bisa dimekarkan. Selain itu dalam proses pemekaran dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, yang biaya tersebut juga menjadi beban dari pemerintah daerah dalam hal ini Kota Palangka Raya.   Dampak Sosial dan Ekonomi Masalah keterbatasan kemudian terjadi pada sarana pelayanan kesehatan yang ada di Kelurahan Tumbang Rungan. Hal ini dikarenakan hanya ada satu Puskesmas Pembantu saja di Tumbang Rungan yang secara kelayakan masih kurang, baik itu dalam segi fasilitas kesehatan yang masih minim, dana kesehatan yang terbatas dan tenaga medis yang masih kurang jumlahnya (baik itu jumlah perawat dan bidan). Hal ini menjadi masalah, karena mengingat ketika kita berbicara masalah pemekaran kelurahan, maka kita juga harus berbicara tentang bagaimana mendekatkan dan mengoptimalisasi pelayanan terhadap masyarakat di berbagai bidang, dan bidang kesehatan adalah salah satu hal yang paling krusial yang menyangkut salah satu pelayanan penting bagi masyarakat di Tumbang Rungan dalam rangka menaikan taraf kehidupan masyarakatnya. Selain itu, masalah lain adalah anak-anak mengalami rentan untuk mengalami keadaan kurang gizi terutama untuk balita akibat orang tua (ibu) tidak punya uang untuk membeli makanan yang sehat dan bergizi. Serta, yang tak ketinggalan adalah pencemaran Sungai Rungan akibat zat merkuri  dengan konsentrasi yang boleh dibilang cukup tinggi sekitar 2966-4.687 mikro gram/liter oleh penambang emas liar mengakibatkan warga yang kesulitan mendapatkan air bersih yang sehat. Apalagi, warga Tumbang Rungan sehari-hari menkonsumsi dan menggunakan air sungai yang tercemar seperti untuk MCK, memasak dan lain-lain, sehingga rawan akan gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh zat merkuri dalam jangka panjang seperti kanker kulit, kerusakan ginjal, hati hingga otak. Hal ini dikarenakan, masyarakat masih jarang menggunakan sumur bor karena tidak adanya dana untuk pembuatannya dan tidak adanya akses air bersih dan sehat seperti fasilitas PDAM. Tidak hanya itu, mengingat kelurahan Tumbang Rungan adalah daerah yang rawan banjir ketika musim hujan ekstrim terjadi, maka penyakit yang disebabkan akibat banjir seperti demam berdarah, malaria selalu mengincar warganya. Seharusnya, dalam hal ini Pemerintah harus meningkatkan perhatiannya terhadap bidang kesehatan yang ada di daerah pinggiran. Untuk masalah keamanan, Kelurahan Tumban Rungan cukup dikatakan sebagai daerah yang tergolong aman dan sangat jarang terjadi peristiwa criminal, konflik sosial dan sejenisnya. Jumlah Penduduk yang ada di Kelurahan Tumbang Rungan ialah 602 jiwa. Sedangkan , jumlah penduduk berdasarkan KK ialah 156 KK, dengan penduduk miskin berdasarkan jiwa 413 jiwa dan penduduk miskin berdasarkan KK ialah 112 KK. Jika dilihat dari tabel diatas, maka dapat disimpulkan rata-rata tingkat pendidikan warga yang ada di kelurahan Tumbang Rungan masih rendah berkisar antara lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan bahkan tidak tamat sekolah/putus sekolah sama sekali. Hal ini mungkin karena fasilitas pendidikannya masih terbatas disebabkan seperti SDN 1 Tumbang Rungan dan SMPN 8 Palangkaraya dalam penggunaan gedungnya bergantian atau istilahnya ?Sekolah Satu Atap?. Namun faktor kemiskinan lebih terlihat dominan disini. Bagi anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu lebih memilih bekerja membantu orang tua, merantau keluar desa untuk menjadi buruh bangunan/pekerja tidak tetap di Kota Palangkaraya atau bagi yang perempuan menikah di usia yang masih muda. Tenaga kerja yang ada di wilayah Kelurahan Tumbang Rungan ini, rata-rata terbanyaknya adalah yang masih berusia produktif. Namun, karena hampir sebagian tingkat pendidikan masyarakat masih rendah, tidak memungkinkan mereka untuk mencari pekerjaan yang memenuhi kualifikasi cukup tinggi saat ini. Masalah yang paling tinggi frekuensinya adalah rendahnya tingkat pendapatan yang kemudian menyebabkan kerentanan kemiskinan. Hal ini dikarenakan karena warganya mayoritas memiliki profesi yang tidak tetap atau serabutan dengan hasil pendapatan yang tidak menentu juga. Hal ini tentu berdampak secara sosial dimana merembet ke masalah- masalah lain seperti pendidikan yang rendah karena tidak sanggupnya membiayai pendidikan yang kian mahal sementara pendapatan mereka tidak mengalami peningkatan hal ini kemudian berimbas lagi kepada kualitas SDM yang rendah, tingkat kesehatan yang kurang yang mempengaruhi kualitas hidupnya dan lain-lain, sehingga membentuk sebuah lingkaran setan. Pola pemukiman warga di Kelurahan Tumbang Rungan umumnya mengelompok di tengah wilayah kelurahan. Dan umumnya didirikan di tepi-tepi jalan dibuat sejajar atau ada pula yang mengikuti pola aliran sungai. Rumah warga Tumbang Rungan pada umumnya terbuat dari kayu atau papan, dengan ada yang menggunakan atap yang terbuat dari genteng, seng dan daun kelapa atau rumbia. Potensi rekreasi di Kelurahan Tumbang Rungan sebenarnya cukup banyak jika jeli dalam hal melihat peluang dan dikelola dengan optimal baik itu jika dengan bantuan masyarakat setempat  dengan bekerja sama dengan Pemerintah. Beberapa potensi wisata yang dapat dikembangkan, misalnya kegiatan wisata alam. Mengenai karakteristik penduduk yang ada di Kelurahan Tumbang Rungan adalah bersifat heterogen dimana komposisi penduduknya berasal dari beragam suku bangsa dan agama., baik itu yang tergolong sebagai penduduk lokal asli (Dayak dan Banjar) maupun penduduk pendatang seperti Jawa, Madura dan Sunda. Masalah kependudukan yang ada di kelurahan Tumbang Rungan lain adalah penyebaran penduduk yang masih tidak merata dan kualitas penduduk masih rendah tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, hal ini lebih dikarenakan banyak yang melakukan pernikahan di usia muda. Biasanya hal ini dikarenakan selain faktor ekonomi, juga dikarenakan minimnya kesadaran untuk mengikuti Program Keluarga Berencana untuk membentuk keluarga kecil, sederhana yang berkualitas. Selain itu minimnya kuantitas dan kualitas sarana, prasarana dan SDM yang mengakibatkan rendahnya kuantitas dan kualitas pelayanan peristiwa kependudukan di Kelurahan Tumbang Rungan. Pemerintahan di kelurahan Tumbang Rungan umumnya berjalan dengan baik, peran lurah disini cukup dominan dalam hal menjalankan pemerintahan di wilayah ini. Hal ini dikarenakan posisi lurah di kelurahan Tumbang Rungan cukup disegani oleh masyarakat yang ada di wilayah ini. Dalam hal nilai politik di wilayah ini, pada dasarnya masyarakat Tumbang Rungan boleh dikatakan cukup memiliki atensi atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Palangka Raya, walaupun tak dapat di pungkiri masih ada sikap yang cenderung apatis dan terbiasa menunggu. Tapi, hal ini bukanlah masalah yang cukup berarti jika pemerintah lebih menstimulasi untuk mendorong kepedulian masyarakat setempat. Warga Kelurahan Tumbang Rungan cenderung memiliki kohesivitas yang tinggi mau berbaur dan ramah sekalipun dengan warga pendatang. Warga Kelurahan Tumbang Rungan yang memilki komposisi yang beragam baik itu suku bangsa dan agama mampu menciptakan harmonisasi dan toleransi antar sesama. Namun, warga Kelurahan Tumbang Rungan sangat rentan mengalami tekanan eksternal akibat kemiskinan. Mobilitas sosial yang ada di Kelurahan Tumbang Rungan ialah cenderung mengalami mobilitas sosial horizontal dan vertical ke bawah. Penyebab mobilitas sosial horizontal, contohnya adalah seperti penduduk pendatang dari Pulau Jawa mengganti statusnya sebagai bagian dari penduduk di Kelurahan Tumbang Rungan. Sementara penyebab mobilitas vertical ke bawah, misalnya petani karet yang memiliki lahan kebun karet namun ketika faktor cuaca tidak mendukung untuk menjalankan usaha karetnya mereka kemudian beralih profesi misalnya menjadi petani keramba sebagai sambilan agar tidak menganggur dan untuk menambah pendapatan. Namun, ketika usaha karet sudah bisa dijalankan kembali maka mereka kembali menjadi petani karet. Dapat dikatakan alih profesi sementara ini sebagai ?proses belajar? petani karet merambah menjadi petani keramba sebagai mobilitas vertical. Dampak mobilitas sosial yang lain adalah dengan adanya heterogenitas (multietnik) yang ada di Kelurahan Tumbang Rungan adalah adanya kohesivitas (semangat kebersamaan) yang tinggi dapat menjadi sebuah potensi tapi sekaligus dapat pula menjadi sumber konflik sosial bahkan fisik terutama antara penduduk asli dan penduduk pendatang yang datang dari luar, namun hal ini dapat diantisipasi. Kelurahan Tumbang Ringan sangat rentan akan faktor alam (iklim) terutama di kala musim hujan yang mengakibatkan banjir sehingga menghambat laju perekonomian. Kemurahan alam di Kelurahan Tumbang Rungan mengakibatkan daerah ini memiliki potensi perikanan (usaha keramba), pertanian dan perkebunan karet yang cukup baik. Namun, hal ini masih belum bisa dioptimalkan dalam pengelolaannya, misalnya dalam hal pengelolaan lahan tidur yang luas. Jalan-jalan disana cukup licin dan terjal kala hujan dan berdebu dikala musim kemarau. Namun, geliat perhatian Pemerintah Kota Palangkaraya yang sebelumnya terhambat akibat terbatasnya anggaran mulai terlihat dengan adanya program pembuatan dan pelebaran jalan aspal permanen di Kelurahan Tumbang Rungan serta pembangunan konstruksi jembatan yang sebelumnya amblas dan system sanitasi dan drainase di tahun 2011 yang kondisi sebelumnya cukup memprihatinkan. Menurut, Walikota H. Riban Satia hal ini selain mempercepat pembangunan, membuka keterisolasian juga untuk menangani masalah banjir yang terjadi pada musim hujan. Dapat disimpulkan jika warga masyarakat masyarakat memiilki harapan akan mengecap manisnya pembangunan. Sekalipun daerah mereka termasuk daerah pinggiran, mereka juga tak mau nasibnya juga ikut terpinggirkan. Pengembangan sains dan teknologi yang ada di Kelurahan Tumbang Rungan masih terbatas karena penguasaan dan pengetahuan sains serta teknologi yang masih kurang. Masyarakatnya hanya menguasai teknologi yang bersifat tradisional dan manual misalnya dalam pengembangan tanaman karet, perikanan dan peternakan, hal ini mungkin dipengaruhi oleh kurangnya tingkat pendidikan warga, informasi dan sosialisasi daripada Pemerintah Kota Palangkaraya untuk daerah pinggiran seperti Kelurahan Tumbang Rungan yang masih  dirasa masih belum optimal. Padahal saat ini sains dan teknologi saat ini juga memiliki peran penting dalam percepatan pembangunan di suatu wilayah.             Pendapatan perkapita di wilayah kelurahan Tumbang Rungan ini adalah sekitar kurang dari Rp.10.000,-/hari. Sehingga boleh dikatakan pendapatan perkapita di wilayah ini masih rendah.             Penduduk di Kelurahan Tumbang Rungan dapat dikatakan sebagai masyarakat menengah ke bawah. Rata-rata warga di kelurahan Tumbang Rungan berprofesi sebagai petani dan buruh karet, petani keramba, nelayan tradisional yang dijadikan sebagai sandaran ekonomi keluarga. Umumnya warga yang bermukim di bantaran Sungai Rungan hidup dari usaha menangkap ikan (nelayan tradisonal). Hanya sedikit dari mereka yang memiliki dana dan membuka usaha menjadi petani keramba. Selebihnya menjalani keseharian dengan memancing, malunta dan marengge di anak-anak Sungai Rungan. Sedangkan, mereka yang tinggal agak jauh dari sungai membuka usaha karet. Bagi yang tak punya tanaman, lahan dan modal terpaksa menjadi buruh penyadap. Bagi petani dan buruh penyadap karet, jika cuaca ekstrim terjadi di Januari hingga Desember atau  di saat musim hujan yang mengakibatkan banjir akibat luberan Sungai Rungan yang tak mampu lagi menampung tingginya curah hujan, maka warga disana tidak bisa menyadap karet serta terpaksa menganggur dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, warga kelurahan Tumbang Rungan bertahan hidup dengan cara melakukan usaha alternative lain, misalnya dengan memanfaatkan keberadaan sungai dan rawa dengan cara mencari ikan dengan peralatan nelayan tradisional seperti pancing, rengge, tampirai, lukah dan lain sebagainya. Namun, sangat disayangkan hasil usaha seperti ini tidak dapat diandalkan. Hal ini lebih dikarenakan hasil tangkapan masih belum cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, selain itu jumlah tangkapan yang makin hari kian berkurang akibat banyaknya orang yang datang dari kota Palangkaraya yang ikut melakukan penangkapan ikan namun tak pernah dilarang oleh warga setempat. Selain itu, kalaupun hasil tangkapan mereka banyak, mereka kemudian akan dipusingkan dengan begitu murahnya harga jual ikan yang tak sebanding dengan lelah atau modal dan sulitnya rantai distribusi akibat minimnya aksesibilitas masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas sosial ekonomi masih menjadi kendala, sementara penghasilan rumah tangga mereka masih rendah. Beberapa warga mengaku sempat melakukan usaha alternative lainya yaitu dengan membuka usaha keramba dengan modal nekad dan pinjaman uang dari keluarga, salah satunya ialah Bapak Abdul Shani. Namun, usaha itu kemudian bangkrut karena mengalami kerugian, seiring dengan naiknya harga pakan untuk ikan dan harga ikan usaha keramba mengalami penurunan lantaran berlimpahnya suplai ikan yang ada di pasaran kota Palangkaraya . Dapat disimpulkan, bahwa faktor alam (cuaca) dan faktor kendala yang bersifat ekonomi (permintaan, penawaran, distribusi dalam aksesibilitas berupa transportasi) selama ini turut memiliki andil dalam mempengaruhi perekonomian warga di kelurahan Tumbang Rungan terutama bagi petani karet. Namun, ketika faktor cuaca mendukung, maka keadaan ekonomi mereka pun mulai membaik, paling-paling hal yang menjadi kendala adalah harga karet yang jatuh. Oleh karena itu, kaum petani karet di kelurahan Tumbang Rungan berharap agar Pemerintah memiliki mekanisme yang mengatur harga karet standar, hal ini cukup menjadi sebuah pembuktian bagi mereka bahwa Pemerintah mempunyai kepedulian terhadap petani-petani karet terutama di kelurahan Tumbang Rungan. Di wilayah Kelurahan Tumbang Rungan ini masih tingkat pengangguran masih cukup tinggi, ada sekitar ±167 jiwa yang menjadi pengangguran di wilayah ini. Sehingga dirasa perlu adanya sebuah terobosan kebijakan dari Pemerintah Kota Palangkaraya dalam rangka mengurangi tingkat pengangguran             Tingkat kemiskinan masih cukup tinggi, dimana berdasarkan jumlah KK ada sekitar ±156 KK dan yang tercatat sebagai keluarga miskin di Kelurahan Tumbang Rungan ini menurut Kep WKP Nomor 57 tahun 2009 Tentang Penetapan Keluarga Miskin di Kota Palangkaraya tahun 2009 adalah ada sekitar 112 KK yang termasuk sebagai bagian dari Keluarga Miskin. Sedangkan, berdasarkan jumlah jiwa dari 602 jiwa, ada sekitar 413 jiwa yang termasuk sebagai kategori miskin. Hal ini dikarenakan usaha masyarakat dirasa masih belum optimal karena banyaknya kendala. Padahal, Kelurahan Tumbang Rungan memiliki potensi di bidang perikanan. Berbagai program penanggulangan kemiskinan seperti BLT, Raskin, PNPM, PM2L, dan Askeskin diluncurkan untuk menurunkan angka kemiskinan,  seharusnya hal yang paling difokuskan adalah program yang bersifat pemberdayaan masyarakat. Karena itu, dirasa perlu ada semacam rehabilitasi ekonomi untuk mendorong warga Kelurahan Tumbang Rungan dalam sector perekonomian misalnya dengan cara memberikan bantuan permodalan bagi masyarakat miskin agar usahanya dapat berkembang dan lebih kompetitif, membuka lapangan kerja baru berupa industry lanjutan pengelolaan hasil alam, pemerataan pembangunan, aksesibilitas masyarakat berupa jalan, transportasi ke kecamatan/kota untuk mendukung aktivitas sosial ekonomi masyarakat menjadi poin penting. Kelurahan Tumbang Rungan sebagai kelurahan pemekaran yang masih relative baru, tentu ada begitu banyak hal yang harus dibenahi. Jika dikaji lebih lanjut mengenai dampak sosial yang dipahami ketika kebijakan pemekaran kelurahan Tumbang Rungan ini, ada beberapa hal penting yang disoroti. Dengan memainkan peran pemantauan dalam analisis kebijakan, tentulah kita dapat langsung melihat bahwa kebijakan pemekaran kelurahan untuk kelurahan Tumbang Rungan ini pada dasarnya tidak dapat dinyatakan secara layak untuk dijadikan sebagai kelurahan. Hal ini harus menjadi dasar pemikiran ulang bagi Pemerintah Kota Palangkaraya apabila hendak mengambil sebuah kebijakan. Agar kelak tidak diambil secara serampangan, tanpa memperhatikan aspek sosial, ekonomi, lingkungan fisik dan lain-lain. Karena jika tidak, yang terjadi bukan sebuah kemajuan seperti yang diharapkan melainkan sebaliknya. Aspek sosial memainkan peran penting dalam hal proses pengambilan kebijakan. Pemerintah Kota Palangka Raya boleh saja memiliki rancangan yang baik diatas kertas, tapi rancangan tanpa relevansi di lapangan adalah hal yang mustahil. Pekerjaan berat bagi Pemerintah Kota Palangka Raya dalam rangka untuk menyelesaikan hal ini. Kembali mempersoalkan mengenai dampak sosial akibat pemekaran kelurahan ini berdasarkan pemantauan sebagai analisis kebijakan. Tujuan dari suatu pemekaran wilayah kelurahan ini sendiri adalah dalam rangka peningkatan efektivitas pelayanan pemerintah kepada public, agar masyarakat merasa dekat dan memiliki pemerintah. Namun jika, kebijakan ini tidak dibarengi dengan persiapan seperti penyediaan sarana dan prasarana yang baik serta tidak dibarengi dengan anggaran yang memadai. Alhasil, pemekaran wilayah kelurahan ini menjadi sia-sia. Alih-alih untuk mendapat sebuah kemajuan seperti yang ditargetkan, justru malah terjadi kelalaian. Beberapa hal yang direncanakan menjadi meleset, daerah terpinggir seperti kelurahan Tumbang Rungan ini memiliki kesamaan dengan daerah pinggiran pada umumnya. Dimana sarana prasana yang buruk baik itu kantor, jalan dan lain-lain, masyarakat miskin, taraf pendidikan yang masih rendah, semua itu jelas tergambar di wilayah ini. Perencanaan yang tidak matang hanya akan menimbulkan masalah baru. Artinya kebijakan pemekaran kelurahan ini masih dikatakan premature dan tujuan yang ditargetkan serta manfaat yang seharusnya dirasakan masyarakat masih belum diterima oleh masyarakat kelurahan Tumbang Rungan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian diatas seperti bagaimana tingkat pendidikan masyarakat disana yang masih rendah, putus sekolah karena alasan kemiskinan. Tingkat kesehatan mereka pun masih rendah, tidak adanya perhatian terhadap anak-anak dan wanita sebagai kelompok yang palin rawan kemiskinan, namun begitu tidak atensi yang berarti dari Pemerintah Kota Palangkaraya terkait dengan beberapa hal diatas. Bukan mustahil, masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran yang cukup tinggi di kelurahan Tumbang Rungan jika tidak segera diatasi hanya akan menimbulkan masalah sosial baru yang lainya, yang hanya tinggal menunggu waktu saja. Dari sisi ekonomi berdasarkan fungsi pemantauan, dapat dilihat tidak ada pertumbuhan ekonomi yang begitu berarti atau kearah implikasi yang positif di wilayah kelurahan Tumbang Rungan ini. Persentase kemiskinan dan pengangguran masih cukup tinggi, pendapatan perkapita yang rendah. Hal ini dikarenakan, ketika kebijakan pemekaran wilayah kelurahan ini diambil tanpa mempertimbangkan kebijakan strategis apa yang akan diambil untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di wilayah pinggiran ini. Dari hasil penelitian diatas banyak hal yang mempengaruhi mengapa pertumbuhan ekonomi di wilayah ini sangat lamban. Kebijakan pemekaran kelurahan ini tidak dibarengi dengan langkah-langkah konkrit di bidang ekonomi, misalnya pemberian modal dan pengadaan teknologi tepat guna bagi pengembangan usaha di kelurahan Tumbang Rungan. Keluhan masyarakat di kelurahan Tumbang Rungan mengenai perekonomian, taraf kehidupan dan kesejahteraan yang masih rendah yang terjadi hamper sebagian mereka menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah Kota Palangka Raya untuk lebih memikirkan kelurahan yang tertinggal ini. Dirasa sangat perlu untuk bagi Pemerintah Kota Palangka Raya untuk melakukan rehabilitasi ekonomi di wilayah ini, dengan mendayagunakan segenap potensi yang dimiliki kelurahan Tumbang Rungan dengan memberdayakan masyarakat setempat dan di stimulasi oleh Pemerintah Kota Palangka Raya.
KEBIJAKAN PUBLIK UNTUK EKOWISATA DI KALIMANTAN TENGAH KEBIJAKAN PENATAAN KAWASAN EKOWISATA SUNGAI KAHAYAN DI KOTA PALANGKA RAYA Bhayu Rhama
Journal Ilmu Sosial, Politik, dan Ilmu Pemerintahan Vol. 1 No. 1 (2012): (7)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (303.853 KB)

Abstract

AbstrakEcotourism is an activity that relies on the daily lives of people and their natural combinations in sustainable conditions. Ecotourism is also an economic foundation of the region that is not own by all regions. The government, surrounding community and the tourists who visit the place is also responsible for maintaining the location?s sustainability andharmony. Central Kalimantan province that has a lot of potential to develop eco-tourism should start immediately so the region?s natures and daily lives is not damaged by mismanagement. Local governments are obliged to issue a Public Policy for ecotourismto improve societies? welfare that can be started to choose Kahajan River in Palangkaraya as an icon of ecotourism in Central Kalimantan.
MENGUBAH PERFORMANCE BIROKRASI DAERAH DENGAN UJI KOMPETENSI Jhon Retei Alfri Sandi Tandjung
Journal Ilmu Sosial, Politik, dan Ilmu Pemerintahan Vol. 1 No. 1 (2012): (7)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (22.221 KB)

Abstract

Performance  birokrasi  pemerintah yang baik  di semua  tingkat  pemerintahan  dewasa  ini  menjadi  suatu  keharusan yang  dilaksanakan.  Sangat  disadari  persoalan  kualitas  kinerja  pelayanan pemerintah  pada  public  masih  relative  sangat rendah  demikian pula  sensitivitas  serta  responsibilitas  penyelenggaraan  tugas.  Disana sini  masih  banyak terdapat  keluhan  public  atas  kelambanan  pelayanan  administrasi, ketidak adilan  keputusan  atau  kebijakan  atau orogansi  berlebihan dari  para  penyelenggara  negara  kepada  masyarakat  yang  seyogianya  harus  dilayani  sehingga  birokrasi  bukan lagi menjadi  alat  bantu untuk  menciptakan efektivitas dan efisiensi  pelayanan  bagi  publik namun menjadi  mesin momok yang menakutkan dan menjengkelkan. Upaya  memperbaiki  kinerja  birokrasi  yang lebih  humanis, responsible dan  akuntable   terus menerus  dilakukan.  Pergeseran  paradigma memerintah  dari  konsep  ?government?  ke ?governance?  telah dijalankan  demikian pula  pola  kekuasaan  sentralistis menjadi  desentralistis  turus  dilakukan seraya  memperkuat  peran  pemerintah  daerah melalui otonomi  daerah yang luas dan menumbuhkembangkan proses  demokratisasi  lokal  yang salah  satu  perwujudannya   dengan  pemilu  langsung kepala  daerah  kabupaten/kota  dan  provinsi. Pelayanan  umum  akan  dapat terlaksana  dengan  baik  dan  memuaskan  apabila  didukung  oleh  beberapa faktor antara lain, kesadaran para pejabat pimpinan dan pelaksana, adanya aturan yang memadai, organisasi dengan mekanisme sistem yang dinamis, pendapatan pegawai yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, kemampuan dan ketrampilan sesuai dengan tugas/pekerjaan yang dipertanggungjawabkandan tersedianya sarana pelayanan sesuai dengan jenis dan bentuk tugas/pekerjaan pelayanan. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa tugas pokok dan fungsi pemerintah yaitu melayani (service) terhadap publik atau warga negaranya, untuk tercapainya tugas dan fungsi tersebut didukung oleh beberapa faktor seperti kehandalan  pegawainya mulai dari pimpinan sampai bawahan, aturan yang ditetapkan, prosedur dan sebagainya.             Ada  ungkapan  yang  mengatakan  bahwa   ?seorang pemimpin tanpa pengikut, tidak akan berarti apa-apa? karena itu  pemimpin sangat memerlukan bantuan dan kerjasama dari para pengikutnya untuk dapat menterjemahkan, menjalankan, dan mengimplementasikan segala ide-ide maupun keinginan-keinginan yang ingin ia wujudkan.  Demikian halnya dengan para  kepala daerah di Kalimantan Tengah saat ini, dalam upaya mewujudkan visi dan misinya sangat membutuhkan para pengikut dalam hal ini adalah para birokrat/Pegawai Negeri yang mampu mengerti, memahami dan berusaha secara bersama-sama untuk mewujudkan keinginan mereka sebagaimana visi yang telah ditetapkan.  Guna mewujudkan keinginan tersebut,setiap kepala daerah/wakil kepala  daerah  tentunya dituntut untuk mampu  membentuk  Tim Kerja  yang  handal. Tim Kerja yang  handal (perangkat  pemerintah  daerah)  sangat  diperlukan agar mampu  menterjemahkan dan mewujudkan   visi dan  misi  pimpinan ini   berikut  yang terpenting  adalah  keinginan  dan  harapan  masyarakat  (public)  sehingga  masyarakat  benar-benar  merasakan arti  kehadiran  pemerintah yang berfungsi  melindungi, mengayomi  dan mensejahterakan  secara  adil dan demokratis.  Penyusunan  Tim Kerja yang handal  bukanlah  suatu  pekerjaan  yang  mudah  ditengah-tengah  kondisi  birokrasi  kita yang   sangat  kurang  sehat (buruk).  Diperlukan  adanya  kemampuan  dari  kedua  pimpinan  ini untuk  dapat  mengevaluasi  dan menganalisis  individu  aparatur  birokrasi sehingga  ditetapkan seorang  aparatur birokrasi  yang   baik dan  handal  dengan  mengedepankan  aspek-aspek  profesionalitas,  proporsionalitas  serta  aspek ahlak  dan  moral  untuk  segenap aparatur  birokrasi  yang direkrut ke dalam struktur pemerintahan. Tim  Kerja  yang  handal  sangat  dibutuhkan,   terlebih  pada  era  Otonomi  Luas  sebagaimana  diatur dalam  Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Menurut  beberapa  pakar  ada enam perubahan besar yang terjadi terhadap pilar-pilar atau soko guru pemerintahan daerah dengan  adanya  otonomi luas sebagaimana UU 32 Tahun 2004 ini, yaitu : 1) Perubahan isi otonomi yang akan merubah cakupan kewenangan pemda;  2) Melembagakan kewenangan-kewenangan tersebut dalam bentuk lembaga/organisasi pemda; 3) Penataan personil yaitu pegawai yang akan menjalankan lembaga tersebut;  4) Perubahan pengelolaan keuangan;     5) Perubahan dalam aspek perwakilan rakyat dan demokratisasi dalam pilkada;  serta   6)  Perubahan dalam pengelolaan otonomi daerah. Upaya penyesuaian  terhadap  perubahan  6 (enam)  pilar  tersebut  telah dilaksanakan,  namun  refleksi  keberhasilan masih  perlu dipertanyakan.  Realitas penyelenggaraan pemerintahan  daerah kita  masih  belum  mampu  menuju  pada  organisasi  Pemda  yang  modern dan  professional.  Dibidang penataan  kelembagaan  dan  penataan  personil misalnya,  wajah  birokrasi  Pemda kita  masih tetap bersifat  bureaucratic  polity (Karl Jackson)  atau  bureaucratic  authoritarian (Dwight King) kendatipun rezim dan masa penguasa pemerintahan otoriter ORBA  telah  berkahir.  Bureaucratic  polity  birokrasi  ditunjukan dengan peran   partai politik  dan  elite  partai yang sangat  besar  dalam  percaturan politik dan dalam tata  penyelenggaraan  pemerintahan  sehingga birokrasi yang diharapkan menjadi  netral sebagaimana  cita-cita perjuangan    reformasi total  tahun 1998,  ternyata  tetap  menjadi  bagian alat  kekuasaan politik.  Bukan  rahasia umum  saat  ini  baik ditingkat  pusat  maupun  di daerah  bahwa  jabatan  karier seorang  aparatur  birokrasi/PNS  sangat  ditentukan oleh hubungan kedekatannya  (DUK)  yang  tidak hanya dituntukan oleh kedekatan dengan pemimpin daerahnya  tetapi juga dengan petinggi-petinggi  partai/elite partai.   Posisi  Sekretaris  Jenderal,  Direktur  Jenderal pada  departemen  atau sekda  atau  kepala-kepala  dinas (pemegang  jabatan esellon  II), para  kepala  bidang/bagian  (essellon III)  provinsi, kabupaten/kota  dan  bahkan para  pelamar  CPNS ternyata  lebih  ?ditentukan oleh  proses-proses   politik  informal?  ketimbang   proses  dan  mekanisme  formal birokrasi  atau  Baperjakat  atau  Tim Penerimaan CPNS. Birokrasi menjadi  ajang  konspirasi ??.  yang dilakukan  oleh  elite politik,  elite  pemerintah  (daerah/pusat), pengusaha, NGos  dan  kelompok-kelompok  kepentingan lain   untuk  dan atas  nama   negara  mengelola  Negara  dan keuangannya demi  tujuan segilintir orang atau  demi untuk   membangun  kerajaan  atau  dinasti  baru  segelintir orang  di daerah  dan  menjadikannya  sebagai  raja-raja  kecil  daerah  atau  demi  untuk  mewujudkan  doktrin  dan  cita-cita  perjuangan  partainya yang telah jauh dari cita-cita philosofis  sejati partai politik. Birokrasi  juga  menjadi  arena bagi-bagi  kue  pembangunan  atau  arena  politik  balas  jasa  kepada  para  clean-clean  yang  telah  ambil  bagian  membantu    perjuangan memperoleh  kekuasaan.  Akibat  dari  itu  proses  rekruitmen  dan  penempatan  personil-personil tim kerja  dalam  struktur  Pemerintahan  Daerah  menjadi  i-rasional  dan  tidak  mengedepankan  integritas  dan  moralitas.  Tapi cenderung  mengedepankan  dan mempertahankan  pola-pola lamayakni  karena kedekatan dan karena  senioritas.  Sehingga  dihasilkan manusia pemimpin  daerah  yang  corrupt, angkuh/sombong, arrogan,   ingin dihormati, ingin dilayani dan bukan  melayani,  ingin diberi  upeti  bukan memberi  layanan yang ramah, sopan dan bersahaja dan  menjadikan birokrasi sebagai  mesin penghambat bukan  sebagai mesin yang dapat menciptakan suatu tatanan administrasi pemerintah yang efisien dan efektif. Konfigurasi  system  tersebut, telah menempatkan pula sistem promosi jabatan struktural  dan  sistem mutasi   cendrung   tidak didasarkan atas keahlian, namun lebih atas dasar kepercayaan.Sehingga  acap kali ditemukan seseorang  menduduki suatu jabatan tertentu berbeda dengan latar  belakang pendidikan dan keahliannya. Hal ini berbanding terbalik dengan keinginan Pemerintah yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 133 yakni  : ?Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar daerah, dan kompetensi?). Hal ini senada dengan perkataan Drucker yang mengatakan ?We are change the world, faster than we can change ourself?.Dan parahnya lagi kondisi ini sepertinya dimaklumi oleh para pimpinan organisasi Pemda. Sehingga tidak aneh  kalau dikalangan birokrasi, pegawai yang memiliki kompetensi/kemampuan pemikiran yang baik tidak secara otomatis akan menduduki posisi yang sesuai dengan tingkat kemampuan intelektual/kompetensi yang dimilikinya. Jadi tidaklah mengherankan kalau pegawai saat ini lebih tertarik untuk memperdalam ?ilmu kodok?-nya (sepak kanan, sepak kiri, injak bawah-jilat  atas untuk mendapatkan kepercayaan) ketimbang meningkatkan kemampuan teknis pemerintahannya. Promosi jabatan yang didasarkan pada kedekatan dengan pimpinan tingkat atas,  disebabkankarena adanya pemikiran dari para pegawai (termasuk sang pimpinan) bahwa jabatan struktural adalah kepercayaan(loyalitas pribadi dengan pimpinan/partai).  Senioritas dalam pengertian kepangkatan, dilakukan karena menggunakan pendekatan eselonering untuk jabatan struktural (eselonisasi telah melahirkan birokrasi yang sibuk mengejar senioritas pangkat dan eselon yang sering tidak berhubungan dengan peningkatan kinerja).   Bukan karena kemampuan atau keahlian yang dimiliki oleh yang bersangkutan sesuai dengan jabatan struktural  yang ada, tetapi karena jenjang kepangkatan yang bersangkutan (padahal point ini bukanlah faktor utama sebagaimana dalam pasal 133 UU No. 32 Tahun 2004 di atas). Diera otonomi daerah saat ini, setiap organisasi pemerintah daerah menghadapi tantangan yang sangat kompleks dan tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Untuk  itu organisasi membutuhkan model organisasi yang ramping yang didukung oleh personil yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan tugas pokok dan fungsi organisasinya. Stewardmenyatakan :?Yang dibutuhkan organisasi Pemda  saat ini adalah orang yang bekerja keras dengan otaknya (brain power), bukan orang yang kuat sehingga hanya dapat bekerja dengan ototnya (muscle power)?. Dengan adanya tantangan seperti ini, dibutuhkan adanya kebijakan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia sesuai dengan keahlian dan kebutuhan organisasi, sehingga setiap personil dalam mengejar prestasi lebih mengarah kepada bagaimana memberikan kontribusi yang optimal kepada organisasinya, bukan sekedar bagaimana mendapatkan jabatan struktural atau  membuat  asal bapak  senang (ABS)  atau  hanya  menjadi ?pejabat   menara  gading?, tanpa ada kontribusi  keahlian  yang  jelas. Agar kegiatan rasionalisasi (perubahan dimensi struktural dan fungsional) tidak menjadi sia-sia belaka sebagaimana  yang telah dilaksanakan oleh  Pemda sendiri  melalui  implementasi  Peraturan Pemerintah  No. 41 Tahun 2007,  maka pemerintah daerah memerlukan adanya perubahan orientasi perilaku personil (dimensi kultural). Salah satu upaya melakukan perubahan orientasi perilaku adalah melakukan Uji Kompetensi bagi pegawai yang akan menduduki jabatan dalam Organisasi Pemerintah Daerah.  Kegiatan  ini  bukanlah  sesuatu hal  yang baru,  untuk  beberapa  daerah tertentu  seperti  misalnya  Daerah Istimewa Yogyakarta atau  lainnya  kegiatan  uji  kompetensi ini  menjadi  suatu  kebiasaan  yang dilakukan  oleh  para  kepala  daerah  untuk mendapatkan para  pembantunya  yang akan menduduki  jabatan-jabatan  strategis  ditingkat  pemerintahan  daerah  dengan cara-cara  terhormat, terukur dan elegan serta  demokratis. Lain halnya  di daerah kita,  uji  kompetensi  ini pada  realitasnya  masih jarang  dilakukan dan  kalau pun  ada  cendrung bersifat  tertutup  sehingga  public  menjadi  kehilangan akses untuk mengetahui  kemampuan dan  kompetensi  dari  seorang calon yang akan menduduki  jabatan public di lingkungan  pemerintah  daerah.   Pada  dasarnya  uji  kompetensi jabatan  ini  dapat memberikan masukan secara  lebil  benar  dan  adil  bagi pimpinan  sendiri  atas  kompotensi  dari  seorang  bawahannya  sehingga  mereka mampu memilih dan menetapkan para  pembantunya secara  baik dan benar.  Uji  kompetensi  jugabermanfaat untuk   mengarahkan pimpinan/instansi teknis yang menangani kepegawaian (BKD)  untuk  mengembangkan berbagai jenis jabatan fungsional. Seperti personil yang mempunyai kemampuan untuk perencanaan ditempatkan di Bappeda dengan jabatan fungsional perencanaan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi menyusun perencanaan pembangunan daerah yang tidak terkooptasi dengan jabatan struktural. Uji kompetensi adalah merupakan suatu standar penilaian/kompetensi bagi para pegawai yang akan dipromosikan untuk duduk dalam suatu jabatan tertentu (Jabatan Fungsional maupun Struktural). Bukan berarti dengan diciptakannya standar penilaian tersebut maka  Tim Baperjakat yang ada di Pemerintah Daerah Propinsi, Kota/Kabupaten akan tidak berfungsi lagi. Tetapi dengan adanya standar penilaian ini akan dapat membantu Tim Baperjakat untuk mempromosikan pegawai-pegawai yang akan menduduki suatu jabatan. Sehingga peranan Baperjakat akan dapat berjalan dengan optimal dalam memberikan atau menempatkan pegawai pada posisi yang tepat sesuai dengan kompetensi yang dimiliki (The right man in the right place). Diharapkan pula dengan adanya uji kompetensi tersebut para pegawai terpacu untuk dapat meningkatkan kemampuannya (keterampilan, pengatahuan,dll) agar dapat memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan. Upaya penetapan standar-standar untuk mengadakan uji kompetensi jabatan tentunya harus memperhatikan pula  aspek kecerdasan dan kematangan diri, kualifikasi pendidikan, track record, visi dan misi terhadap jabatan yang diembannya maupun aspek psikologis PNS  atau  moral. Menuju  terbangunannya  dimensi  kultur  personil  perlu adanya suatu upaya pembaharuan (dari pimpinan/Top Manager) yang sesuai dengan perkembangan lingkungan dimana organisasi tersebut tumbuh dan berkembang. Hal di atas sejalan dengan pemikiran yang diungkapkan Albert Einstein yang mengatakan : ?The significant problems we face can not be solved at the same level of thinking we were at when we create them.? (Masalah-masalah mendasar yang kita hadapi saat ini tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan level berpikir sebelumnya yang justru menciptakan masalah-masalah tersebut). Secara teoritis upaya melakukan pembaharuan/menciptakan pergeseran paradigma dapat dilakukan dengan dua cara,    yaitu :Pertama, dilakukan secara sadar, sukarela, dan proaktif-antisipatif (inside out). Mengikuti pembelajaran atau pendidikan, memperluas wawasan, belajar dari pengalaman masa lalu, membaca, bergaul dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, berusaha mengenali misi dan visi hidup pribadi dan organisasi, dan melakukan kegiatan spiritual; Kedua, dilakukan dengan terpaksa atau reaktif    (outside in), umumnya tanpa disertai dengan kesadaran, karena dipicu oleh berbagai peristiwa traumatis. Keterpaksaan ini dapat terjadi karena paradigma yang kita anut ternyata telah beku atau lumpuh, terperangkap pada realitas semu yang penuh tipu, kepalsuan dan kemunafikan. Berdasarkan dua langkah yang dapat ditempuh dalam upaya menerima serta menghadapi perubahan dimensi kultural tersebut, Penciptaan Standar Kompetensi maupun Uji Kompetensi menjadi  salah satu wujud dari upaya menghadapi tuntutan masyarakat akan kinerja pemerintahan yang dilakukan secara sadar, dan proaktif-antisipatif (inside out). Dimana hal ini ditempuh untuk mengobati penyakit di dalam tubuh organisasi pemerintah agar dapat menerima serta beradaptasi dengan iklim lingkungannya yang baru. Di samping itu Uji Kompetensi merupakan sikap  keterpaksaan yang harus diambil oleh pemerintah daerah untuk mengatasi permasalah yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berada pada level low trust  (semoga tidak berlanjut pada level distrust)  sehingga mau tidak mau pemerintah harus segera berbenah diri untuk dapat mengubah image pemerintahan yang buruk di mata masyarakat.  Sangat  disayangkan  jika  pesta demokrasi  pemilihan  kepala daerah yang  telah  dilakukan secara  demokratis  pada waktu yang lalu ternoda oleh  ketidakmampuan (powerless)  pemimpin  daerah kita  ini  untuk  membangun tatanan  aparatur  birokrasi yang  kapabel  sesuai  dengan standar  profesionalistas  dan  menghasilkan  para  penyelenggara  pemerintah  daerah (birokrasi)  yang  ramah, berjiwa melayani, berintegritas, loyalitas dan dedikasi  kerja yang  tinggi pada  masyarakat  (menjadi  abdi  masyarakat dan abdi  negara). Uji kompetensi merupakan salah satu syarat penting yang  dapat dipertimbangkan bagi berfungsinya organisasi Pemda serta merupakan salah satu syarat sebelum  PNS  tersebut ditempatkan dalam jabatan dan sangat urgent dilakukan mengingat makin terbatasnya jumlah jabatan struktural yang tersedia sekaligus untuk mengakomodasi penilaian publik yang menilai birokrasi Pemerintah Daerah adalah malas, tidak memiliki potensi, tidak disiplin dan kinerjanya rendah. Pertanyaan berikutnya yang diperhadapkan pada kita adalah bagaimana kita menciptakan standar-standar tersebut ? Bukankah dilingkup organisasi pemerintahan sudah ada DP-3 dan Analisis Jabatan (yang mulai jarang diterapkan/direncanakan semoga tidak dilupakan) yang bermanfaat untuk menilai serta melihat prestasi kerja seorang pegawai. Apakah itu tidak cukup ?   Sebagaimana diketahui, kompetensi adalah merupakan kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seseorang pegawai negeri sipil berupa pengetahuan, keahlian dan sikap perilaku yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatannya. Dimana untuk mengukur kompetensi yang dimiliki seorang pegawai tersebut kita dapat menetapkan standar-standar kompetensi yang diperlukan dalam rangka peningkatan profesionalisme PNS yang akan menduduki jabatan struktural eselon I, II, III, IV dan V. Standar-standar yang akan diciptakan itu kemudian dibagi kedalam dua indikator, yaitu indikator umum (Kompetensi umum) dan indikator khusus (Kompetensi khusus). Standar ini tentunya sangat berbeda dengan DP-3 yang selama ini dikenal dikalangan PNS, dimana indikator-indikator dalam DP-3 tersebut berlaku secara menyeluruh bagi semua PNS (nilainya pun selalu meningkat, nda pernah turun........???). Kompetensi umum yang dikembangkan dalam Uji kompetensi ini berisikan indikator-indikator yang bertujuan untuk menilai kemampuan dan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang PNS berupa pengetahuan dan perilaku yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatan struktural yang dipangkunya. Sedangkan Kompetensi khusus berisikan indikator-indikator yang bertujuan untuk menilai kemampuan dan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang PNS berupa keahlian yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatan struktural yang dipangkunya. Dalam proses ini peran daripada analisis jabatan yang saat ini kurang berfungsi dapat lebih digiatkan lagi oleh masing-masing pembina kepegawaian di instansi masing-masing yang berguna untuk menentukan indikator-indikator khusus yang tentunya sesuai dengan keadaan,  kenyataan dan kebutuhan kerja yang riil. Dengan terciptanya standar-standar yang berisi indikator-indikator penilaian tersebut dapat dijadikan sebagai standar baku bagi Tim Baperjakat/Pembina Kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS dari dan dalam jabatan, serta sebagai dasar penyusunan/pengembangan program pendidikan dan pelatihan PNS.  Sebagai contoh beberapa Standar kompetensi Umum dan khusus dalam Jabatan Eselon III. Seseorang yang akan/dapat menduduki jabatan eselon III paling tidak memenuhi standar kompetensi umum seperti : Mampu memahami dan mewujudkan Kepemerintahan yang baik (Good Governance), Mampu memberikan pelayanan yang baik terhadap kepentingan publik, Mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris, Mampu melakukan pendelagian kewenangan terhadap bawahannya, Mampu melakukan akuntabilitas kinerja unit organisasinya dengan baik, Mampu melakukan evaluasi dan bahkan Mampu memberikan masukan-masukan tentang perbaikan program kepada pejabat atasannya, dan hal terkait lainnya.Standar Kompetensi Umum ini pada dasarnya dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun diklat kepemimpinan. Kemudian Standar Kompetensi khusus, berisi tentang keahlian yang disesuaikan dengan jabatan yang bersangkutan. Misalnya Kepala BKD di tingkat Kota/Kabupaten, Standar Kompetensi khusus yang harus dimiliki antara lain : Mampu menyusun program kebutuhan dan penempatan pegawai, Mampu menyusun program analisis jabatan untuk perencanaan pegawai, Mampu menyusun sistem informasi kepegawaian, Mampu memberikan pertimbangan pemberhentian dan pemensiunan pegawai, dan lainnya.  Perlu diingat pula bahwa standar kompetensi khusus ini pada dasarnya dapat ditetapkan oleh Pembina kepegawaian di Instansi masing-masing sesuai dengan uraian tugas/jabatan di unit organisasinya masing-masing. Upaya pergeseran paradigma dari konsep kecakapan menjadi kompetensi (melalui uji kompetensi), diharapkan secara perlahan namun pasti tentunya akan menimbulkan implikasi strategis yang sangat positif bagi kegiatan perencanaan dan pengelolaan sumber daya aparatur pemerintah dilingkup apapun dalam setiap kegiatan. Sehingga dengan demikian kompetensi nantinya merupakan faktor mendasar dalam hal penempatan seseorang dalam jabatan tertentu. Namun demikian,  cukup disadari bahwa untuk merealisasikan keinginan ini diperlukan suatu pengorbanan, kerja keras serta komitmen yang kuat dari semua pihak. Karena semakin besar cakupan kepentingannya, semakin besar dimensi kemanusiaan yang dikandungnya, maka semakin besar pula tantangan dan kesulitan yang akan dihadapi dalam proses merealisasikan keinginan tersebut. Kita   menaruh  harapan    besar  pada  pimpinan  daerah  yang  memerintah  untuk ke-2 kalinya   ini untuk  lebih  melakukan  berbagai  perubahan    bagi peningkatan   dan  kesejahteraan  masyarakat,   demikian pula  segenap  aparatur   penyelenggara  di  bawahnya.
PEMBANGUNAN BERBASIS MASYARAKAT MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY Sidik R. Usop
Journal Ilmu Sosial, Politik, dan Ilmu Pemerintahan Vol. 1 No. 1 (2012): (7)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (201.227 KB)

Abstract

Pembangunan berbasis masyarakat merupakan perdebatan antara pemikiran strukturalis dengan poststrukturalis berkenaan dengan penggunaan kekuasaan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Pada pemikiran strukturalis, negara sebagai pemegang kekuasaan lebih mengutamakan pembangunan dengan konsep pertumbuhan ekonomi yang secara otomatis menimbulkan efek ganda (multiplier effects) terhadap kegiatan ekonomi di tingkat masyarakat.             Pada masyarakat industri, peluang usaha yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi dapat dikembangkan menjadi ekonomi kreatif sehingga berdampak bagi penigkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya pada masyarakat yang masih tergantung pada sektor pertanian, pengembangan ekonomi kreatif perlu didorong dan difasilitasi oleh pemerintah sehingga mereka memiliki kemampuan yang secara bertahap berkembang menjadi masyarakat yang mandiri. Oleh karena itu, pemikiran strukturalis cenderung menciptakan ketidak adilan dan kesenjangan sosial.             Pendekatan poststruktukturalis beranggapan bahwa pemegang kekuasaan melakukan dominasi dalam mengatur kehidupan masyarakat, sehingga mengabaikan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan kemampuan mereka sendiri. Dalam konteks ini harus ada pilihan-pilihan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dalam mengatur kehidupan masyarakat dengan mengembangkan inisiatif dan kreativitas masyarakat. Ife dan Tesoriero (2008)  menyebutkan bahwa poststrukturalis telah memunculkan wacana alternatif sebagai bagian dari proses perkembangan, walaupun tidak menyediakan resep seperti pada pendekatan strukturalis, namun ia memberikan suatu perspektif pada kerja yang sangat kuat dan dapat memperkuat proses pemberdayaan.             Jalan tengah yang dapat menyembatani kedua pendekatan di atas adalah pendekatan konstruksi social dari Berger dan Luckmannn (!980) yang mengintegrasikan secara dinamik peran negara sebagai pemegang mandat kekuasaan dari masyarakat yang seharusnya mendorong inisiatif dan kreativitas masyarakat, sehingga dapat menciptakan transformasi dengan berkembangnya partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan.             Merujuk pada pemikiran di atas, maka partisipasi aktif masyarakat merupakan bagian terpenting untuk menciptakan model pembangunan   yang bertumpu pada masyarakat (community based development) dengan melakukan pemberdayaan kepada masyarakat, salahsatunya adalah melalui Tanggung Jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility)
PERAN NEGARA DAN INSTITUSI INTERNASIONAL DALAM DISTRIBUSI PENDANAAN KARBON KatrianiPuspitaAyu
Journal Ilmu Sosial, Politik, dan Ilmu Pemerintahan Vol. 1 No. 1 (2012): (7)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1134.534 KB)

Abstract

REDD merupakan mekanisme yang bekerja melalui pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD memberi kompensasi bagi negara-negara berkembang yang berhasil menjaga hutan dari kerusakan. Mekanisme ini mengalami beberapa tantangan seperti bagaimana cara penghitungan karbon, pembayaran, akuntabilitas dan pendanaan karbon kepada negara penerima.Tantangan lainnya adalah belum terbentuknya lembaga yang bertanggung jawab terhadap operasional REDD di tingkat subnasional. Tulisan ini bertujuan menganalisis peran negara sebagai agen penggerak sekaligus pendorong penyelenggaraan REDD dan REDD plus. Bertujuan juga menganalisis peran institusi internasional dalam mendukung REDD plus di negara-negara berkembang. Tulisan ini menggunakan serangkaian studi literatur dan kajian-kajian terkini serta menganalisis setiap stakeholder yang berkaitan. Hasil yang ditemukan adalah peran negara menjadi sentral dalam merumuskan dan memfasilitasi kebijakan untuk menjaga kredibilitas pembayaran dan pengawasan pasar jasa lingkungan. Selain itu negara harus membentuk institusi yang bertugas mengawasi setiap distribusi dana, memperbaiki institusi hukum agar hak kepemilikan tanah dan hutan sebagai mata pencarian masayarakat lokal selalu dilindungi. Peran dunia internasional adalah mendukung REDD maupun REDD plus untuk mencapai tujuan akhir, yaitu menurunkan emisi gas rumah kaca. Dua institusi internasional yaitu UN-REDD, dan World Bank menginisiasi program-program pembelajaran berupa bertukar informasi, mengenalkan variasi model mekanisme pembayaran, maupun pemberian pemahaman tentang penurunan suhu bumi. 
SITUASI KESEHATAN MASYARAKAT DI INDONESIA Dewi Klarita Furtuna
Journal Ilmu Sosial, Politik, dan Ilmu Pemerintahan Vol. 1 No. 1 (2012): (7)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (52.536 KB)

Abstract

Seiring dengan berkembangnya Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat perkembangan yang cukup baik, maka makin tinggi pula harapan hidup penduduknya. Gambaran masyarakat di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa, dan negara yang di tandai oleh penduduknya dalam lingkungan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tinginya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Gambaran keadaan masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai malalui pembangunan kesehatan dirumuskan sebagai Indonesia Sehat 2010.
BAHASA TUBUH DALAM KOMUNIKASI POLITIK Katriani Puspita Ayu
Journal Ilmu Sosial, Politik, dan Ilmu Pemerintahan Vol. 1 No. 2 (2012): (8)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (23.934 KB)

Abstract

Komunikasi non verbal menjadi bahasa yang sering digunakan dalam menyampaikan pesan  atau informasi. Publik memahami bahwa bahasa verbal tidak selalu dapat mewakili maksud dan tujuan si pemberi informasi. Bahasa tubuh membantu khalayak dalam memahami ekspresi yang tidak diucapkan. Bahasa non verbal dapat berupa kinesik atau gerakan tubuh, sentuhan,  intonasi suara, gerakan mata, sikap diam dan postur tubuh. Bahasa tubuh dirasa amat penting eksistensinya dalam setiap aspek kehidupan, termasuk di bidang politik. Komunikator politik menggunakan bahasa tubuh untuk menyampaikan pesan melalui saluran-saluran tertentu untuk mempengaruhi target politiknya. Aktor politik dapat mempengaruhi khalayak dengan pesan- pesan politik yang persuasif sekaligus memberikan pencitraan yang baik melalui bahasa tubuh yang positif. Karenanya gerakan tubuh, kontak mata dan fisik, irama suara, bahkan bentuk  tubuh dapat mempengaruhi konstituen untuk percaya dan akhirnya menjatuhkan pilihan terhadap kandidattertentu.
DEMOKRASI LOKAL DAN BUDAYA BUBUHAN DI KALIMANTAN SELATAN RickyZulfauzan
Journal Ilmu Sosial, Politik, dan Ilmu Pemerintahan Vol. 1 No. 2 (2012): (8)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (132.287 KB)

Abstract

Berakhirnya Orde Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat. Masalah-masalah ini terjadi dikarenakan adat atau budaya setempat dimana demokrasi diterapkan  justru        berbenturan                     dengan kebudayaan    daerah.   Budaya           ?bubuhan? merupakan salah satu dari fragmentasi itu dan masih tetap bertahan hingga saat ini di KalimantanSelatan.  
MENCERMATI ARAH PENDIDIKAN INDONESIA Sri Mujiarti Ulfah
Journal Ilmu Sosial, Politik, dan Ilmu Pemerintahan Vol. 1 No. 2 (2012): (8)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (128.471 KB)

Abstract

Pendidikan bukan lagi untuk semua orang, namun kini telah mengarah hanya untuk sekelompok orang yang memiliki ?kantongtebal?. Adagiomyangmengatakan?orang miskin dilarang sekolah? juga menjadi jargon yang sering kita dengar dan semakin nyaring ketika memasuki tahun ajaranbaru. Masuk ke perguruan tinggi pun seakan menjadi mimpi bagi banyak orang, bahkan tak jarang kita temukan fakta mahasiswa karena keterbatasan biaya terpaksa harus berhenti kuliah. Bahkan yang paling memprihatinkan bagaimana cerita sedih si anak pintar, dengan hati berbunga-bunga karena telah dinyatakan lulus seleksi di perguruan tinggi bergengsi di Indonesia dia melakukan daftar ulang namun apa mau dikata pihak perguruan tinggi bergengsi tersebut meminta uang untuk biaya gedung, sedangkan si anak pintar tadi bersama ibunya tidak memiliki uang sebesar itu, pada akhirnya semua keinginanya untuk kuliah diperguruan tinggi bergengsi di Indonesia itupun pudar. Ironismemang. Sekelumit cerita diatas belum menggambarkan bagaimana output pendidikan bangsa ini. Kita berbangga hati ketika ada sebagian generasi kita memiliki prestasi baik dibidang saints, tekhnologi, dll, atau kalau standarnya adalah banyaknya medali olimpiada ilmiah yang kita raih maka kita tetap berbangga. Namun, semua itu jauh lebih sedikit dibangding bagaimana gambaran generasi kita saat ini. Sek bebas, narkoba, mabuk-mabukan, tawuran, berani dengan orang tua, atau ketika dia bekerja perilaku korupsi dan suap menyuap menjadi hal yang biasa. semua hal itu menambah miris hati kita, akan kita bawa kemana bangsa ini dengan kondisi generasi yang  untuk menentukan masa depannya pun dia tidak mampu? Namun pertanyaan lebih keras tertuju kepada pemeritah sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam memegang kendali pendidikan, kemana arah pendidikanindonesia? Tulisan ini akan mencoba menganalisis untuk menjawab kemana arah pendidikanIndonesia. Komodifikasipendidikan   Gambaran dunia pendidikan kita saat ini sungguh menyedihkan, sebagaimana dituturkan oleh Hanif Saha Ghafur, pengajar UI yang juga penasihat Menteri Pendidikan Nasional (Special   Advisor for the Minister), mengatakan bahwa akses masyarakat terhadap perguruan  tinggi rendah. Pada 2010, hanya 17% yang diterima masuk PTN. Selebihnya, kelas menengah-atas. Tragisnya, persentase itu terus turun menjadi 15%-16%1. Lebih ironis lagi apa yang di gambarkan oleh Darmaningtyas, pakar pendidikan dari Perguruan Tinggi Taman Siswa Yogyakarta, malah melihat kondisi sesungguhnya jauh lebih parah. Menurutnya, jumlah golongan miskin di PTN dan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) tahun 2010 tinggal 4%saja2. Rendahnya akses masyarakat untuk melanjutkan pada jenjang lebih tinggi lebih disebabkan karena biaya pendidikan yang tidak terjangkau. Tak dapat dipungkiri bahwa konsep privatisasi PT BHMN merupakan penyebab mahalnya pendidikan di negarakita3.   Berubahnya manajemen perguruan tinggi menjadi otonomi berawal dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Pada tahun 2000 pemerintah menetapkan status BHMN pada empat PTN yang dipandang siap yaitu Universitas Indonesia dengan PP No. 152/2000. Universitas Gadjah Mada PP.No. 153/2000. IPB menjadi BHMN dengan dikeluarannya PP No.154/2000. Menyusul ITB dengan PP. No. 155/2000 menjadi BHMN. Beberapa tahun kemudian menyusul Universitas Sumatera Utara menjadi BHMN dengan PP.No.56/2003. Universitas Pendidikan indonesia menjadi BHMN dengan PP.No 6 tahun2004. Dan UNAIR menjadi BHMN dengan PP.No.30 tahun2006.   Kemudian, tanggal 17 Desember 2008, melalui jalan yang cukup panjang, yang diwarnai pro dan kontra, DPR RI tetap mensahkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Keberadaan pihak yang pro dan kontra terhadap pengesahan UU BHP karena di satu sisi kehadiran UU BHP dianggap merupakan pencerahan bagi dunia pendidikan, sekaligus dijadikan sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia. Namun, di sisi  lain justru kehadiran UU BHP dianggap sebagai bentuk kapitalisasi dunia pendidikan, yang berdampak pada liberalisasi penyelenggaraan pendidikan, dan sebagai jalan lepas tangannya pemerintah terhadap dunia pendidikan sedikit demisedikit.   1Sudarmadi. Menata Ulang Manajemen Perguruan Tinggi.2011 2ibid 3ibid   Konsekuensi Perguruan Tinggi BHMN menyebabkan mahalnya biaya pendidikan tinggi sehingga semakin tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Kondisi ini berlanjut dengan diajukannya tuntutan judicial review terhadap UU BHP ke Mahkamah Konstitusi oleh sekelompok masyarakat. Hasil judicial review dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 dinyatakan bahwa UU BHP tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alasan yan diberikan MK adalah bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanatkan agar pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh masyarakat, pertama karena secara yuridis UU BHP tidak sejalan dengan UU lainnya dan subtansi yang saling bertabrakan, kedua UU BHP tidak memberikan dampak apapun terhadap peningkatan kualitas peserta didik dan ketiga UU BHP melakukan penyeragaman terhadap nilai-nilai kebhinekaan yang dimiliki oleh badan hukum pendidikan yang telah berdiri lama di Indonesia, seperti yayasan, perkumpulan, badan wakaf danlain-lain.   Lahirnya UU BHP merupakan bagian dari amanat UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, hal ini dikemukakan pada Pasal 53 UU Sisdiknas yang memerintahkan agar penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Sehubungan dengan itu, Pasal 53 Ayat (4) UU Sisdiknas memerintahkan  agar ketentuan tentang badan hukum pendidikan ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. UU BHP  yang telah  disahkan  merupakan  sebuah  konsep  yang sudah 36  kali  direvisidimulai sejak tahun 2003 dan baru di jadikan UU setelah 36 kali revisi di tahun2008.4   MenurutProf.Dr.Jimly Asshiddiqie, ?penerapanBHMNsamadengangejalakapitalis pendidkan    yang    memberatkan    mahasiswa   dan   stakeholder?.5                                                                                             Sedangkan  menurut Darmaningtyas,pengurusMajelisLuhurTamansiswa Yogyakarta,mengatakan?Karenadiprivatisasi dalam bentuk PT BHMN, mereka lalu ingin cari untung karena berpikir bantuan pemerintah  sewaktu-waktu  dapat  distop.  BHMN berpikir  cari dana  abadi  sehingga bayarnya mahal,?. Menurut Ichlasul Amal, guru besar di UGM, Perubahan besar terjadi setelah beberapa lembagapendidikanmenyandangstatusBHMNmulai2003.Statusinimembuatmanajemen   4Aryos Nivada.potensi bahaya laten UU BHP. http://www.achehpress.com/2009.diakses tgl 31 januari2012   5Edwin Tirani. Kelola Uang Di Universitas Idealnya BLU http://www.media-indonesia.com/Rabu, 28/3/ 2007. Diaksestgl 1/2/2012   lembaga PT harus kreatif menggali dana dari calon mahasiswa berhubung pasokan dari pemerintah terhitung minim. Apalagi, dengan status BHMN mereka diberi keleluasan melakukan seleksi mahasiswa sendiri. Tak mengherankan, manajemen PT pun kemudian membuat kebijakan menyaring mahasiswa plus-plus: pintar secara akademis dan mampu di sisi   finansial. ?Kesalahanberada di pihak pemerintahyangmenerapkankebijakanBHMN,bukan pada PT-nya,?.6   Di banyak PTN, untuk masuk fakultas kedokteran tetap harus membayar uang pangkal di atas Rp 100 juta dan untuk jurusanekonomi-bisnis sekitarRp 50 juta.?Itumembuat masyarakat bingung karena seleksinya bersama tapi uang masuknya berbeda-beda, tergantung tingkat penghasilan orang tua. Apa bedanya dengan masuk ujian mandiri?? ujarDarmaningtyas.   Harus diakui, kebijakan BHMN di tahun-tahun lalu telah membawa dampak komersialisasi PTN dalam skala massif. Betapa tidak, memang awalnya hanya beberapa perguruan tinggi yang menentukan uang pangkal dan biaya kuliah dengan nilai tinggi. Namun, tanpa disadari para pembuat kebijakan, apa yang dilakukan sejumlah BHMN diam-diam telah menciptakan standar pasar baru yang kemudian diikuti perguruan tinggi lain, baik yang negeri maupunswasta.   Tentu ini sebuah ironi. Betapapun akses pendidikan tinggi harus diperluas karena merupakan pilar kemajuan bangsa ke depan. Bila komersialisasi pendidikan terus berlangsung dan warga miskin makin terpinggirkan, Indonesia diprediksi akan kehilangan SDM unggul dalam jumlah besar di masa depan. Kondisi yang tragis mengingat akses pendidikan tinggi di Indonesia masih rendah. Dari 237 juta penduduk RI, baru 5,2 juta orang yang mampukuliah.   Memang tak tidak dapat dipungkiri bahwa untuk biaya operasional pengelolaan pendidikan mahal, ditambah dengan riset yang harus dilakukan. Menurut Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Rohmat Wahab, biaya operasional pendidikan untuk mahasiswa prodi IPS berkisar 22 juta per tahun dan untuk prodi IPA 26 juta-28 juta per tahun (Kompas,11/7)   Memang anggaran untuk fungsi pendidikan sudah mencapai 20% dari APBN yang tahun ini sebesar 248 triliun (20,2 % APBN). Dari jumlah itu, 158 triliun (60%) ditransfer ke daerah. Hanya 89 triliun  yang dikelola pemerintah pusat  yang disebar untuk  18  kementerian/lembaga. 6 Rachmanto Aris D. Menata ulang manajemen perguruan tinggi/http://swa.co.id/2011/10/ diakses tgl31/1/2012   Yang dikelola Kemdiknas sendiri hanya 55 triliun yang dibagi untuk program pendidikan dasar 12,7 triliun (23%), pendidikan menengah 5 triliun (9,1%), dan pendidikan tinggi 28,8 triliun (51,9%). Anggaran Dikti (pendidikan tinggi) itu termasuk di dalamnya PNBP (penerimaan negara bukan pajak), sehingga terlihat sangat besar. Dan semua jumlah itu sebagian besarnya untuk gaji guru dandosen.   Latarbelakang liberalisasiPendidikan   Di negara-negara kapitalis besar, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan merupakan penyangga peradaban mereka secara fundamental, sekaligus merupakan lahan  industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan. Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa danperdaganganyanglain.AdalahAmerikaSerikatditahun60-an,melakukanpenelitiandan hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa investasi dalam dunia pendidikan jauh lebih menguntungkan dibandingkan investasi di bidang saham.7 Dengan dana tidak kurang dari 6 milyar dolar, AS lalu membiayai penelitian terapan (applied research) dalam bidang pendidikan. Hasilnya adalah Amerika Serikat memiliki sebuah sistem pendidikan yang pragmatis dan berorientasi pasar, yang meniscayakan standarisasi semua bidang ilmu terhadap kebutuhan industri. Akhirnya mulai tahun 70-an hingga sekarang, Amerika Serikat menjadi kiblat pendidikan didunia.8   Indonesia sendiri mulai mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tentangpengesahan(ratifikasi)?Agreement Establising the World Trade Organization?, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja tidak bisa menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan. Kesepakatan ini dimotori oleh WTO, dimana pada tahun 2005 melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) Indonesia  sepakat  untuk  menandatangani  kesepakatan  tersebut.  GATS  mengaturliberalisasi       7Prof. Abuddin Nata, Pendidikan di Persimpangan Jalan,2009 8Rum Rosyid, Perselingkuhan Dunia Pendidikan dan Kepentingan Kapitalis,2010   perdagangan sektor jasa pendidikan berdampingan dengan liberalisasi layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, serta jasa-jasalainnya9.   Logika perdagangan jasa pendidikan, sebagaimana diutarakan oleh Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Sofian Effendi mengikuti tipologi yang digunakan oleh para ekonom dalam membagi kegiatan usaha dalam masyarakat. Ilmu ekonomi membagi 3 sektor kegiatan usaha dalam masyarakat. Pertama adalah sektor Primer mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Kedua, sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Dan ketiga, sektor tersier yang mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi tersebut, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satuindustrisektortersier,karenakgiatanpokoknyaadalahmentransformasiorangyangtidak berpengetahuan dan orang yang tidak mempunyai keterampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan mempunyaiketerampilan10.   Kontribusi sektor tersier terhadap produk nasional suatu bangsa memang cenderung meningkat seiring dengan kemajuan pembangunan bangsa tersebut. Sejak 1980-an di negara-negara maju, perdagangan jasa tumbuh pesat dan telah memberikan sumbangan yang besar pada produk domestik bruto (PDB), lebih besar dibandingkan dengan sector primer dan sekunder. Tiga negara yang paling mendapaatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggeris dan Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002, hh 104-105). Pada 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar atau Rp. 126 trilyun. Di Inggeris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari peneimaan sector jasa negara tersebut. Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Exports mengungkapkan bahwa pada 1994 sector jasa telah menyumbangkan 70 persen pada PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekpor total negara Kangguru tersebut, Sebuah survey yang diadakan pada 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekpornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan.Ekpor   9 Dani Setiawan, Liberalisasi Pendidikan danWTO. 10 Prof.Dr.SofianEffendi,StrategiMenghadapiLiberalisasiPendidikanTinggi.2005   jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melaluiWTO11.   Inilah pangkal masalah mahalnya biaya pendidikan itu. Yaitu negara ini  menggunakan paradigma kapitalisme dalam mengurusi kepentingan dan urusan rakyat termasuk pendidikan. Ideologi Kapitalisme memandang bahwa pengurusan rakyat oleh Pemerintah berbasis pada sistem pasar (market based system). Artinya, Pemerintah hanya menjamin berjalannya sistem pasar itu, bukan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Dalam pendidikan, Pemerintah hanya menjamin ketersediaan sekolah/PT bagi masyarakat; tidak peduli apakah biaya pendidikannya terjangkau atau tidak oleh masyarakat. Pemerintah akan memberikan izin kepada siapa pun untuk mendirikan sekolah/PT termasuk para investor asing. Anggota masyarakat yang mampu dapat memilih sekolah berkualitas dengan biaya mahal. Yang kurang mampu bisa memilih sekolah yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah. Yang tidak mampu dipersilakan untuk tidakbersekolah.   Jelas, kekhawatiran masyarakat mengenai kian mengentalnya paham neoliberalisme dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi bukan tanpa alasan. Bahkan pemikir-pemikir pendidikan di Amerika-negara asal kelahiran mazhab neoli-beralisme-sekalipun juga risau atas praktik pendidikan tinggi yang berazas pada ideologi kapitalisme pasar bebas yang menjelma dalam mazhab neoliberalisme itu. Seorang pemikir critical pedagogy, Henry Giroux, menyebut neoliberalisme telah meneror ruang-ruang publik ketika lembaga pendidikan tinggi berpraktik menyerupai korporasi yang bersifat dominatif, eksploitatif, danhegemonik.   Proyek komersialisasi sekolah yang sedang berjalan sekarang sangat mungkin mencerminkan kesulitan, bahkan kegagalan pendidikan dalam melepaskan diri dari jerat kapitalisasi. Jerat kapitalisasi pendidikan, menurut Darmaningtyas (2005), menjadikan pendidikan harus 'menyembah' kepada aturan main pasar, sehingga kebijakan dunia pendidikan bukan lagi berorientasi kepada pencerdasan dan pemanusiaan manusia, tetapi justru menjadi ajang  mengeruk keuntunganfinansial.       11idem   bila sekadar terobsesi oleh motif ekonomi semata, perguruan tinggi akan cenderung  mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuanbaru. Skema pembiayaan pendidikangratis Pada tahun 2007 terdapat kesepakatan antara Pemerintah dan DPR tentang danaanggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 51,3 trilyun (hanya 10,3 % dari total APBN), angka itu sedikit naik dari tahun 2006 yang sebesar Rp. 36,7 trilyun (9,1 % dari total APBN). Sepanjang tahun 2006 s/d 2009 alokasi anggaran pendidikan sebesar 210 trilyun, dimana angka tersebut jauh lebih sedikit dibanding beban pembayaran utang luarnegri. Alokasi pembayaran bunga utang dalam negri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga utang luar negri Rp. 25,14 trilyun, cicilan pokok utang luar negri sebesar Rp. 46,84 trilyun. Jika ditotal, maka pembayaran utang luar negri telah menghabiskan 25,10 % dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, yang berarti juga memboroskan pendapatan negara sebesar 29,33%. Indonesia memiliki potensi besar untuk bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, dengan melihat letak geografis Indonesia sangat menguntungkan, karena kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa kaya. Lihat saja pendapatan dari berbagai industri pertambangan asing di Indonesia seperti Exxon Mobil pada tahun 2007 berdasarkan laporannya, yang mencapai angka $ 40,6 Billion atau Rp3.723 trilyun serta Chevron ditahun 2007 mampu memperoleh keuntungan sampai $ 18,7 Billion atau Rp 171 trilliyun. Demikian pula dengan 137 pertambangan asing lainnya di Indonesia yang juga mengeruk keuntungan di negri berlahan subur ini. Bandingkan dengan keuntungan pemerintah dari hasil tambang yang telah dijual ke asing, tidak pernah menembus angka 3%. Tidak seharusnya negeri ini miskin, karena sama sekali tidak memiliki alasan untukitu.

Page 1 of 32 | Total Record : 319