cover
Contact Name
Thomas S. Iswahyudi
Contact Email
tom_wahyudi@staff.ubaya.ac.id
Phone
+6231-2981344
Journal Mail Official
rahmanfibri@staff.ubaya.ac.id
Editorial Address
Jl. Raya Kalirungkut - Surabaya 60293 Gedung Perpustakaan Lt. 4
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran
Published by Universitas Surabaya
ISSN : -     EISSN : 27156419     DOI : https://doi.org/10.24123/kesdok
Core Subject : Health, Agriculture,
The term Keluwih comes from keluwih leaf which is one of the symbols of the University of Surabaya. In this symbol, keluwih leaf means high ideals of knowledge (Linuwih). Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran (Keluwih: Journal of Health and Medicine) is an online, open access, and peer-reviewed journal. JKKd is published twice a year (December, June; First published in December 2019). This journal aims to disseminate the results of original research, case report, and critical reviews in the fields of health and medicine. This focus and scopes include, but are not limited to a pharmacy, medicine, public health, and health biotechnology fields.
Articles 44 Documents
[RETRACTED] Profil Faktor Risiko Dan Sosiodemografis Kanker Serviks: Sebuah Kajian Sistematis Helen Cyntia Mago; Tjie Kok; Winnie Nirmala Santosa
Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran Vol. 3 No. 2 (2022): Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran (June)
Publisher : Direktorat Penerbitan dan Publikasi Ilmiah, Universitas Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract—Cervical cancer is caused by HPV infection type 16 and 18. The risk factors and sociodemographic of HPV transmission is age, parity, number of sexual partners, oral contraceptives, sexual intercourse at young age and education level. The aims is to describe and analyze risk factors and sociodemographic of cervical cancer. This research is a systematic review. There are nine studies that included. The results are the mean age around 31.5-42.8 years old, the number of sexual partners between 0 - ≥ 2, with or without of oral contraceptives, have sexual intercourse at 16-24 years old, have children with 0-8 number of parity, and have an education level between lower - higher education level. This profile of risk factors and sociodemographic can be different between each country depends on culture, government systems and economic status from each country. The conclusion is women aged ≥ 30 years old (mean age around 31,5-42,8 years old) who used or doesn’t used oral contraceptive and have sexual intercourse at young age around 16-20 years old with the number of sexual partner is ≥ 1, also have high number of parity or have ≥ 2 kids and have low education level. Keywords: cervical cancer, sociodemographic, risk factors Abstrak—Kanker serviks disebabkan oleh infeksi dari HPV tipe 16 dan tipe 18. Faktor risiko dan sosiodemografis penularan infeksi HPV adalah usia, paritas, jumlah pasangan seksual, penggunaan kontrasepsi oral, melakukan hubungan seksual pada usia muda dan pendidikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan dan menganalisis faktor risiko dan sosiodemografis kanker serviks. Penelitian ini merupakan sebuah kajian sistematis. Terdapat sembilan literatur yang dikaji. Hasil penelitian adalah rata-rata usia adalah 31,5-42,8 tahun, jumlah pasangan seksual bervariasi antara 0 - ≥ 2 pasang, menggunakan atau tanpa kontrasepsi oral, melakukan hubungan seksual pada usia muda yaitu kisaran 16-24 tahun, memiliki anak dengan jumlah yang bervariasi yaitu antara 0-8 anak, dan memiliki jenjang pendidikan antara pendidikan rendah-pendidikan tinggi. Profil faktor risiko dan sosiodemografis ini dapat berbeda antar tiap negara karena dipengaruhi oleh budaya, sistem pemerintahan dan status ekonomi dari setiap negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa profil faktor risiko dan sosiodemografis kanker serviks adalah wanita berusia ≥ 30 tahun (rata-rata usia 31,5-42,8 tahun) yang menggunakan atau tanpa menggunakan kontrasepsi oral dan pernah melakukan hubungan seksual di usia sekitar 16-20 tahun dengan jumlah pasangan seksual yaitu ≥ 1, serta memiliki anak dengan jumlah yang banyak atau ≥ 2 dan tingkat pendidikan rendah. Kata Kunci: kanker serviks, sosiodemografis, faktor risiko
Steatosis Pada Hepar dan Fruktosa Dosis Tinggi Pada Penelitian Fruktosa Baharuddin Baharuddin
KELUWIH: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran Vol. 1 No. 1 (2019): Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran (December)
Publisher : Direktorat Penerbitan dan Publikasi Ilmiah, Universitas Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (270.325 KB) | DOI: 10.24123/kesdok.V1i1.2484

Abstract

Abstract.Fructose is a natural ingredient that is widely used as a sweetener substitute for glucose. Effectiveness and efficiency are the main reason so many industries use fructose to be consumed. Dosage is based on the toxicity of fructose consumption is divided into: a low-dose, medium-dose and high dose. It said consumption of high doses when someone is 100g / day or more. Many products it does not include the type and quantity of sugar fructose in food and beverage packaging and lack of knowledge lead to uncontrolled fructose consumption in developed countries. Consequences of uncontrolled doses can lead to liver disorder and others tissue. The liver is the organ forming fatty compounds as a homeostatic mechanism. Fructose is based on theoretical and experimental likely responsible for the formation of steatosis. In the organoleptic inspection on the provision of high doses of fructose seen their fat droplets are large, which indicates steatosis. Nevertheless still needed histopathology for diagnosis. Additionally duration of fructose to animals try to be more prolonged (> 2 months) to see the response to the homeostasis of the body fat is formed. Abstrak.Fruktosa merupakan bahan alam yang digunakan secara luas sebagai pemanis pengganti glukosa. Efektivitas dan efisiensi menjadi alasan utama sehingga banyak industri menggunakan fruktosa untuk dikonsumsi. Dosis konsumsi fruktosa berdasarkan toksisitas dibagi menjadi: dosis rendah, dosis sedang dan dosis tinggi. Dikatakan dosis tinggi ketika konsumsi seseorang berada di 100gr/hari atau lebih. Tidak dicantumkannya jenis gula dan kuatitas fruktosa dalam bahan makanan dan minuman kemasan serta kurangnya pengetahuan mengakibatkan konsumsi fruktosa tidak terkontrol pada negara-negara maju. Konsekuensi dosis yang tidak terkontrol ini dapat mengakibatkan gangguan pada organ hati. Hati merupakan organ pembentuk senyawa lemak sebagai mekanisme homeostasis. Fruktosa berdasarkan teoritik dan eksperimental kemungkinan besar bertanggung jawab terhadap pembentukan steatosis. Pada pemeriksaan secara organoleptik pada pemberian fruktosa dosis tinggi terlihat adanya droplet lemak berukuran besar yang menandakan adanya steatosis. Walaupun demikian masih sangat dibutuhkan pemeriksaan histopatologi untuk menegakkan diagnosa. Selain itu durasi pemberian fruktosa terhadap hewan coba harus lebih diperpanjang (>2 bulan) untuk melihat tanggapan homeostasis tubuh terhadap lemak yang terbentuk.
Diare sebagai Konsekuensi Buruknya Sanitasi Lingkungan Ummy Maisarah Rasyidah
KELUWIH: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran Vol. 1 No. 1 (2019): Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran (December)
Publisher : Direktorat Penerbitan dan Publikasi Ilmiah, Universitas Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (251.507 KB) | DOI: 10.24123/kesdok.V1i1.2485

Abstract

Abstract—Diarrhea becomes the second disease after ARI that causes morbidity and death in Indonesia. Riskesdas in 2007 shows diarrhea as an infectious disease with high morbidity and mortality rates. The morbidity survey by the Directorate General of Disease Control and Environmental Health of the Ministry of Health from 2000 - 2010 showed a tendency for the incidence of diarrheal disease to rise, namely the 2000 Incidence Rate of diarrheal disease 301/1000 population, in 2003 it rose to 374/1000 population, in 2006 it became 423 / 1000 residents and in 2010 became 411/1000 residents. This paper wants to find out the preventive actions taken by the government in controlling diarrheal diseases in terms of environmental sanitation. Literature searches are conducted online and manually on scientific publications in Indonesian or English, with keywords in the form of diarrheal disease, environmental sanitation, public health efforts, government and health offices. The results show that from 25 related publications, 17 publications discuss diarrhea and 8 publications discuss environmental sanitation. The conclusion obtained is the incidence of diarrhea fluctuates from year to year. An increase in diarrheal disease is associated with poor environmental sanitation, the root of which is the lack of awareness and knowledge in particular rural communities to maintain and preserve and carry out healthy living behaviors to break the cycle of diarrheal transmission in Indonesia. Abstrak—Diare menjadi penyakit kedua setelah ISPA yang menyebabkan kejadian kesakitan maupun kematian di Indonesia. Riskesdas tahun 2007 menunjukkan diare sebagai penyakit menular dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Tulisan ini ingin mengetahui tindakan preventif yang dilakukan pemerintah dalam usaha mengendalikan terjadinya penyakit diare ditinjau dari sanitasi lingkungan. Penelusuran literatur dilakukan secara online dan manual terhadap publikasi ilmiah berbahasa Indonesia atau Inggris, dengan kata kunci berupa penyakit diare, sanitasi lingkungan, usaha kesehatan masyarakat, pemerintah dan dinas kesehatan. Hasil amatan menunjukkan dari 25 publikasi yang berkaitan, 17 publikasi membahas tentang diare dan 8 publikasi membahas tentang sanitasi lingkungan. Kesimpulan yang didapatkan adalah angka insiden diare berfluktuasi dari tahun ke tahun. Peningkatan penyakit diare berhubungan dengan buruknya sanitasi lingkungan yang akar permasalahannya terdapat pada kurang kesadaran dan pengetahun pada khususnya masyarakat pedesaan untuk menjaga dan melestarikan serta melakukan perilaku hidup sehat untuk memutuskan siklus rantai penularan penyakit diare di Indonesia.
Henoch-Schonlein Purpura (HSP) Lucia Pudyastuti Retnaningtyas
KELUWIH: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran Vol. 1 No. 1 (2019): Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran (December)
Publisher : Direktorat Penerbitan dan Publikasi Ilmiah, Universitas Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (315.295 KB) | DOI: 10.24123/kesdok.V1i1.2486

Abstract

Abstract—Henoch-Schonlein purpura (HSP) is a systemic vasculitic disease (vascular inflammation) characterized by the deposition of immune complexes consisting of IgA in kidney skin. This disease is called Anaphylactoid purpura, rheumatic Purpura, Schonlein-Henoch purpura. In this case, the patient complained of the appearance of red spots on the legs to the buttocks within three days and did not feel itchy. Ankle pain and can not be moved, and do not feel nausea, fever, heartburn, and others. Examination of the extremities contained red lesions and was more prominent than other skin surfaces. Diagnosis of patients suspected of having Henoch-Schonlien purpura. Treatment of HSP patients with Prednisone at a dose of 2 mg/kg/day which is divided into three doses. On the third-day purpura decreases tend to thin out and enkle pain disappears on the fifth day. Red spots appear, after therapy is stopped for 1 month. HSP sufferers 94% recover in children and 89% in adults. HSP recuration is more common in children over the age of 10 years and a kidney biopsy must be performed to determine subsequent therapy. Abstrak—Henoch-Schonlein purpura (HSP) adalah penyakit vaskulitik sistematik (inflamasi vaskuler) ditandai dengan deposisi komplek imun yang terdiri dari IgA pada kulit ginjal. Penyakit ini disebut Anaphylactoid purpura, Purpura rheumatic, Schonlein-Henoch purpura. Pada kasus ini pasien mengeluh timbulnya bercak merah pada kaki sampai bagian pantat dalam waktu tiga hari dan tidak merasa gatal-gatal. Pergelangan kaki nyeri dan tidak bisa digerakkan, serta tidak merasa mual, demam, nyeri ulu hati dan lain-lain. Pemeriksaan ekstremitas terdapat lesi merah dan lebih menonjol dibandingkan premukaan kulit lain. Diagnosa pasien di duga menderita Henoch-Schonlien purpura. Pengobatan pasien HSP dengan Prednison dengan dosis 2mg/kgBB/hari yang terbagi dalam tiga dosis. Pada hari ketiga purpura berkurang cenderung menipis dan nyeri enkle menghilang pada hari kelima. Bercak merah timbul, setelah terapi dihentikan selama 1 bulan. Penderita HSP 94% sembuh pada anak-anak dan 89% pada dewasa. Rekurnasi HSP lebih sering terjadi pada anak usia diatas 10 tahun dan biopsi ginjal harus dilakukan untuk menentukan terapi selanjutnya.
Membandingkan Kejadian Gangguan Gastrointestinal Penggunaan Aminofilin dan Salbutamol pada Pasien Eksaserbasi Asma di Surabaya Amelia Lorensia; Zullies Ikawati; Tri Murti Andayani; Daniel Maranatha; Rizki Amalia
Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran Vol. 1 No. 1 (2019): Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran (December)
Publisher : Direktorat Penerbitan dan Publikasi Ilmiah, Universitas Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (371.315 KB) | DOI: 10.24123/kesdok.V1i1.2487

Abstract

Abstract—Asthma is a heterogeneous disease, which is characterized by inflammation of the respiratory tract with respiratory classification such as wheezing, shortness of breath, distress in the chest and coughing over time and intensity with variations in expiratory air flow. In Indonesia the prevalence of asthma is uncertain, it is not estimated that 2-5% of Indonesia's population has asthma. The main objective of this study is to study gastrointestinal-related cases of the use of aminophylline and salbutamol in asthma exacerbation patients in hospitals in Surabaya and also to discuss gastrointestinal problems related to ADRs (Bad Drug Reactions) using the use of aminophylline and salbutamol on Naranjo scale. In this study using the Quasi Experimental method. This research was conducted in October 2014 to February 2015. The results of the study of 7 samples obtained 14.29% using ADR from the use of aminophylline and from 13 patients in the use of salbutamol was not found ADR can be used in accordance with the existing salbutamol in patients with asthma exacerbations at hospitals in Surabaya. The general benefits of this study are useful in monitoring the treatment of acute asthma patients who need salbutamol and theophylline therapy so as to reduce the incidence of ADR. Abstrak—Asma merupakan penyakit heterogen, yang ditandai dengan peradangan saluran napas kronis dengan disertai riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, rasa tertekan di dada dan batuk dari waktu ke waktu dan intensitas dengan variasi keterbatasan aliran udara ekspirasi. Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2-5 % penduduk Indonesia menderita asma. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kejadian gangguan gastrointestinal pada penggunaan aminofilin dan salbutamol pada pasien eksaserbasi asma di Rumah Sakit di Surabaya serta mengetahui kejadian gangguan gastrointestinal terkait ADRs (Adverse Drug Reaction) akibat penggunaan aminofilin dan salbutamol berdasarkan penilaian Naranjo scale. Pada penelitian ini menggunakan metode Quasi Eksperimental. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2014 sampai Februari 2015. Hasil penelitian dari 7 sampel diperoleh 14,29% mengalami ADR dari penggunaan aminofilin dan dari 13 pasien pada pengguanaan salbutamol tidak ditemukan ADR sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kejadian gangguan gastrointestinal pada penggunaan aminofilin dan salbutamol pada pasien eksaserbasi asma di Rumah Sakit di Surabaya. Manfaat umum dari penelitian ini adalah berguna dalam monitoring pengobatan pasien asma akut terutama yang mendapat terapi salbutamol dan teofilin sehingga dapat mengurangi angka kejadian ADR.
Motivasi Kepesertaan Mandiri BPJS di Era Universal Health Coverage Jaminan Kesehatan Nasional Anita Dahliana
Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran Vol. 1 No. 1 (2019): Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran (December)
Publisher : Direktorat Penerbitan dan Publikasi Ilmiah, Universitas Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (319.069 KB) | DOI: 10.24123/kesdok.V1i1.2488

Abstract

Abstract. This research was conducted to determine the motivation of BPJS Health participants as independent participants. In this study, researchers used a motivational theory developed by Clayton Alderfer with three indicators namely Existence, Relatedness and Growth with a descriptive quantitative research approach with non-random sampling using a purposive method using conditions in selecting respondents ie respondents were outpatients in Specialist Poly Wiyung Hospital, Surabaya. The selected respondents were 43 people.The results of this study were the discovery of community motivation as independent health insurance participants. Abstrak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui motivasi peserta BPJS Kesehatan sebagai peserta mandiri. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori motivasi yang dikembangkan oleh Clayton Alderfer dengan tiga indikator yaitu Existence, Relatedness dan Growth dengan pendekatan penelitian kuantitatif deskriptif. Teknik pengambilan sampel non-random menggunakan cara purposive, yakni pemilihan responden menggunakan syarat tertentu (responden adalah pasien rawat jalan di Poli Spesialis RS Wiyung Surabaya). Responden yang dipilih berjumlah 43 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya motivasi masyarakat yang menjadi peserta mandiri jaminan kesehatan.
Ototoksisitas Aminoglikosida Fransiska Fransiska
KELUWIH: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran Vol. 1 No. 1 (2019): Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran (December)
Publisher : Direktorat Penerbitan dan Publikasi Ilmiah, Universitas Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (382.001 KB) | DOI: 10.24123/kesdok.V1i1.2495

Abstract

Abstract — Aminoglicoside are categorized as cochleotoxic and vestibulotoxic drugs that can cause patients to experience hearing loss or vertigo, depends on what type of aminoglicoside consumed. This paper discuss type, pharmaceutical preparation, pharmacokinetics, work mechanism and clinical use of aminoglycoside. How to diagnose, treatment, and also how to prevent aminoglicoside ototoxicity are also explained further in this paper. Abstrak— Golongan obat aminoglikosida mampu menyebabkan kokleotoksik, maupun vestibulotoksik sehingga penderita mengalami penurunan pendengaran atau vertigo. Hal tersebut tergantung dari jenis aminoglikosida yang dikonsumsi. Tulisan ini membahas berbagai jenis aminoglikosida, sediaan, farmakokinetik, mekanisme kerja, dan penggunaannya secara klinis. Diagnosis yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, terapi, dan pencegahan ototoksisitas yang disebabkan oleh aminoglikosida turut dipaparkan lengkap.
Diabetes Melitus dan Antioksidan Dita Sukmaya Prawitasari
KELUWIH: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran Vol. 1 No. 1 (2019): Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran (December)
Publisher : Direktorat Penerbitan dan Publikasi Ilmiah, Universitas Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (241.012 KB) | DOI: 10.24123/kesdok.V1i1.2496

Abstract

Abstract — Diabetes mellitus is widely known as one of the non-transmittable diseases which is a global problem because its incidence is increasing every year throughout the world. The condition of hyperglycemia in diabetes mellitus has a very influential effect on endothelial blood vessels due to the process of glucose auto-oxidation in forming free radicals which in turn will produce macro and microvascular dysfunction. Next, this condition will further increase morbidity and mortality rates in people with diabetes mellitus. The using of antioxidants in patients with diabetes mellitus was found to be effective in reducing the emergence of arising complications. This is supported by various the benefits of antioxidants related to pathological process of diabetes mellitus due to conditions of oxidative stress. In the future, the safety and effectiveness of supplements or food contain antioxidants in an effort to overcome the condition of diabetes must still be proven further. Abstrak— Diabetes melitus banyak dikenal sebagai salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah global karena insidensinya setiap tahun yang terus meningkat di seluruh dunia. Kondisi hiperglikemia pada diabetes melitus mempunyai efek yang sangat berpengaruh pada endotel pembuluh darah akibat adanya proses auto-oksidasi glukosa dalam membentuk radikal bebas yang pada akhirnya akan menghasilkan disfungsi makro dan mikrovaskular. Kondisi inilah yang selanjutnya akan menimbulkan komplikasi yang selanjutnya akan meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas pada penderita diabetes melitus. Penggunaan antioksidan pada penderita diabetes melitus ternyata diketahui efektif dalam mengurangi munculnya komplikasi yang timbul. Hal ini didukung dengan berbagai penelitian yang membuktikan manfaat antioksidan terkait proses patologi dari diabetes mellitus akibat kondisi stres oksidatif. Pada masa yang akan datang, keamanan dan keefektifan suplemen atau makanan yang mengandung antioksidan dalam upaya mengatasi kondisi diabetes tetap harus dibuktikan lebih lanjut.
Penyakit Jantung Koroner dan Antioksidan Winnie Nirmala Santosa; Baharuddin Baharuddin
KELUWIH: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran Vol. 1 No. 2 (2020): Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran (June)
Publisher : Direktorat Penerbitan dan Publikasi Ilmiah, Universitas Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1061.993 KB) | DOI: 10.24123/kesdok.V1i2.2566

Abstract

Abstract—Coronary heart disease (CHD), one of cardiac diseases, is caused mainly due to the narrowing of the coronary arteries because of atherosclerosis or spasm or a combination of both. Coronary heart disease is one disease that is scary and is still a problem in both the developed and developing countries. The oxidative stress originates mainly in mitochondria from reactive oxygen and reactive nitrogen species (ROS/RNS) and can be identified in most of the key steps in the pathophysiology of atherosclerosis and the consequential clinical manifestations of cardiovascular disease. Treatment of coronary heart disease is by pharmacological treatment and non-pharmacological therapy. One way of non-pharmacological therapy is to eat antioxidant. Several studies have shown that eating antioxidant can reduce LDL oxidation and play a role in inhibiting the process of hardening of the arteries. Keywords: antioxidant, coronary heart diseas, oxidative stress Abstrak—Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan salah satu penyakit jantung mematikan. Penyebab utama terjadinya penyakit ini adalah penyempitan arteri koronaria. Penyempitan terjadi karena adanya kondisi aterosklerosis atau spasme maupun kombinasi dari keduanya. Penyakit jantung koroner masih menjadi masalah utama baik di negara maju maupun negara berkembang. Kejadian ini dipicu oleh stres oksidatif terutama di mitokondria. Adanya oksigen reaktif dan spesies nitrogen reaktif (ROS / RNS) dan dapat diidentifikasi dalam sebagian besar merupakan kunci dalam patofisiologi aterosklerosis dan manifestasi klinis konsekuensial dari penyakit kardiovaskular. Pengobatan penyakit jantung koroner adalah dengan pengobatan farmakologis dan terapi non-farmakologis. Salah satu cara terapi non-farmakologis adalah dengan mengkonsumsi antioksidan. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan antioksidan dapat mengurangi oksidasi LDL dan menghambat proses pengerasan pembuluh darah. Kata kunci: antioksidan, penyakit jantung coroner, stress oksidatif
Vaksinasi Measles, Mumps, dan Rubella (MMR) Sebagai Prophylaxis Terhadap COVID-19 Sajuni Widjaja
KELUWIH: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran Vol. 1 No. 2 (2020): Keluwih: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran (June)
Publisher : Direktorat Penerbitan dan Publikasi Ilmiah, Universitas Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (826.645 KB) | DOI: 10.24123/kesdok.V1i2.2570

Abstract

Abstract-COVID-19 is an infection caused by SARS-CoV-2 and has been declared a pandemic by WHO. At present there is no therapy or vaccine available for handling COVID-19. Data obtained in China, Italy and South Korea show fewer children under 10 years of age are infected with COVID-19, and even if they have an infection they generally experience mild symptoms even without symptoms. Children get routine vaccinations and various infections. This seems to train the immune system of children so that it is more immune to COVID-19. MMR vaccination demonstrates partial preventive protection against COVID-19. This is due to several previous studies that measles vaccine provides protection against pathogens other than measles and also because of the similarity between the protein S in SARS-CoV-2 with protein F in Measles virus (measles) and protein E in Rubella virus (German measles). Prophylaxis is a way to prevent disease. This review will discuss the possibility of giving MMR vaccination as a protection against COVID-19. Keywords: SARS-CoV-2, COVID-19, prophylaxis, MMR Abstrak–COVID-19 merupakan infeksi yang dikarenakan SARS-CoV-2 dan telah dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO. Saat ini belum didapatkan terapi maupun vaksin dalam menangani COVID-19. Data yang didapat di negara China, Itali dan Korea selatan menunjukkan anak-anak usia di bawah 10 tahun lebih sedikit yang terinfeksi COVID-19, dan kalaupun mengalami infeksi umumnya mengalami gejala ringan bahkan tanpa gejala. Anak-anak mendapatkan rutin vaksinasi dan berbagai infeksi. Hal ini nampaknya melatih sistem imun anak-anak sehingga lebih kebal terhadap COVID-19. Vaksinasi MMR menunjukkan perlindungan pencegahan parsial terhadap COVID-19. Hal ini dikarenakan beberapa penelitian sebelumnya bahwa vaksin campak memberikan perlindungan terhadap pathogen selain campak dan juga karena adanya kesamaan antara protein S SARS-CoV-2 dengan protein F pada virus Measles (campak) dan protein E pada virus Rubella (campak jerman). Profilaksis merupakan cara untuk mencegah penyakit. Review ini akan membahas mengenai kemungkinan pemberian vaksinasi MMR sebagai perlindungan terhadap COVID-19. Kata kunci: SARS-CoV-2, COVID-19, profilaksis, MMR