cover
Contact Name
M. Riza Pahlefi
Contact Email
riza.pahlefi@uinbanten.ac.id
Phone
+6285383592121
Journal Mail Official
syakhsia@uinbanten.ac.id
Editorial Address
Jl. Jenderal Sudirman No. 30 Ciceri Serang Banten
Location
Kota serang,
Banten
INDONESIA
Syaksia : Jurnal Hukum Perdata Islam
ISSN : 2085367X     EISSN : 27153606     DOI : https://dx.doi.org/10.37035/syakhsia
Syakhsia: Jurnal Hukum Perdata Islam, is an open access and peer-reviewed journal published biannually (p-ISSN: 2085-367X and e-ISSN: 2715-3606). It publishes original innovative research works, reviews, and case reports. The subject of Syakhsia covers textual and fieldwork with various perspectives of Islamic Family Law, Islam and gender discourse, and legal drafting of Islamic civil law.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 82 Documents
Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia Hikmatullah Hikmatullah
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 19 No 1 (2018): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v17i1.1123

Abstract

Terbentuknya hukum Islam (hukum keluarga) yang tertulis,sebenarnya sudah lama menjadi kebutuhan dan keinginanmasyarakat muslim. Sejak terbentuknya Peradila n Agama yangmempunyai kewenangan untuk menyelesaikan masalah -masalahhukum keluarga, rasanya sangat diperlukan adanya hukumkekeluargaan Islam tertulis. Maka munculah gagasan penyusunanKompilasi Hukum Islam sebagai upaya dalam rangka mencaripola fiqh yang bersifat khas Indonesia atau fiqh yang bersifatkontekstual. Sejatinyaproses ini telah berlangsung lama sejalandengan perkembangan hukum Islam di Indonesia atau paling tidaksejalan dengan kemunculan ide -ide pembaharuan dalam pemikiranhukum Islam Indonesia. Kemunculan KHI di Indonesia dapatdicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam.Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesiatidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan agama,karena kitab yang dijadika n rujukan hakim Peradilan Agamaadalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telahditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku danmengikat seluruh umat Islam Indinesia. Lebih penting dari itu,KHI diharapkan akan lebih mudah diter ima oleh masyarakatIslam Indonesia karena ia digali dari tradisi -tradisi bangsaindonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis dikalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.
Pelanggaran Perjanjian Perkawinan Serta Akibat Hukumnya Analisis Hukum Positif Dan Hukum Islam Iin Ratna Sumirat
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 2 (2019): Juli-Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i2.2353

Abstract

Abstrak Perjanjian kawin melahirkan akibat hukum karena perjanjian tersebut dikehendaki oleh para pihak. Sebagai sebuah perjanjian maka bila salah satu pihak melakukan pelanggaran (ingkar janji) dapat dilakukan gugatan cerai atau ganti rugi. Karena masih saja memikirkan harta sedangkan sudah saling terikat. Hal ini berarti ada indikasi untuk melakukan perceraian atau memang sejak awal motivasi perkawinan tersebut adalah motivasi ekonomi atau politis. Sahnya suatu perjanjian sebenarnya sudah tercermin pada syarat perjanjian yang tersebut dalam pasal 1320 KUH Perdata dan pasal 45-46 Kompilasi Hukum Islam. Hanya dalam KUH Perdata terdapat pemisahan yang cukup tajam antara pelanggaran terhadap persyaratan subyektif dan persyaratan obyektif. Pelanggaran atau tidak terpenuhinya persyaratan subyektif akan berakibat perjanjian dapat dibatalkan sedangkan pelanggaran perjanjian terhadap persyaratan obyektif akan berakibat perjanjian batal demi hukum, tetapi dalam fiqih Islam pelanggaran terhadap syarat subyektif dan obyektif akan berakibat batalnya perikatan. Kata Kunci: Perjanjian,Pelanggaran, Batal demi Hukum
Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Eka Gifriana
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 19 No 2 (2018): Juli - Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v19i2.3311

Abstract

Pernikahan merupakan Sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Didalam pernikahan, adakalanya terjadi sebuah perselisihan antara suami istri yang dikarenakan oleh kesalahfahaman antara keduanya, sehingga akan mengakibatkan sebuah perceraian. Salah satu terjadinya perceraian adalah karena suami telah melakukan Li’an terhadap istrinya. Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1).Apa yang dimaksud dengan li’an menurut Hukum Islam dan Hukum Positif?. 2).Bagaimana pelaksanaan li’an menurut Hukum Islam dan Hukum Positif?. 3).Bagaimana akibat dari terjadinya li’an menurut Hukum Islam dan Hukum Positif?. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang apa yang dimaksud dengan li’an. Untuk mengetahui bagaimana cara pelaksanaan li’an menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Untuk mengetahui akibat dari terjadinya li’an dalam pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif. Metode yang digunakan dalam membahas masalah ini adalah dengan menggunakan metode penelitian pustaka (library research) karena data yang diambil dalam penelitian ini menggunakan buku sebagai sumber datanya. Penulis juga menggunakan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU no.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, KUHPerdata, KUHPidana dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), dengan menggunakan pendekatan komparatif, yaitu membandingkan antara Hukum Islam dan Hukum Positif dalam permasalah li’an. Hasil dari penelitian ini, li’an menurut Hukum Islam yaitu sumpah suami yang menuduh istrinya berzina, sedangkan dia tidak mampu mendatangkan empat orang saksi. Dalam KHI pasal 126, yaitu li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Adapun pelaksanaan li’an menurut Hukum Islam dan Hukum Positif, dinyatakan sah apabila dilaksanakan di Pengadilan Agama di depan Hakim. Kemudian akibat terjadinya li’an menurut Hukum Islam, yaitu suami istri tersebut akan dipisahkan untuk selama-lamanya, dan anak dinasabkan kepada ibunya, bukan kepada ayahnya. Adapun menurut Hukum Positif, Akibat terjadinya li’an itu sendiri, menurut KUHPerdata, anak bisa dinasabkan kepada ayahnya, jika ibu mengizinkannya. Dalam KUHP, suami istri jika salah satu atau keduanya berzina dengan orang lain, maka akan dipidana paling lama 9 bulan kurungan. Dalam KHI, bagian keenam pasal 162, yang intinya suami yang bercerai melalui li’an, maka akan dipisahkan untuk selama-lamanya.
Hak Hadhanah Bagi Anak Yang Belum Mumayyiz Kepada Ayah Jumroh Jumroh
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 19 No 1 (2018): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v17i1.1114

Abstract

Berdasarkan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam poin adan hadits Rasulullah SAW. hak hadhanah bagi anak yangbelum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hakibunya, namun dalam faktanya, yakni dalam putusan perkara1235/Pdt.G/2017/PA.Srg. hak hadhanah anak yang belummumayyiz berada pada asuhan ayah. Maka disini ada kesenjanganteori dengan fakta. Sehingga dengan hal ini penulis tertarik untukmenganalisis putusan hakim Pengadilan Agama Serang PerkaraNo. 1235/Pdt.G/2017/PA. Srg.Perumusan masalah dari penelitian ini adalah Bagaimanapertimbangan hukum yang mendasari putusan perkara No.1235/Pdt.G/2017/PA.Srg?. Bagaimana pand angan fikih danketentuan undang-undang yang berlaku di Indonesia mengenai hakasuh anak (hadhanah)?. Bagaimana kewajiban ayah setelahputusan hak asuh anak di berikan kepadanya?.Kesimpulannya, bahwa putusan hakim dengan perkaraNo. 1235/Pdt.G/2017/PA. Srg. Pertimbangan hukum yangdigunakan Majelis Hakim dalam menetapkan hak hadhanahdengan hukum positif, yaitu KHI pasal 156 poin c. dan denganpasal 1 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak, Serta dikuatkan dengan fakta -fakta yang ada.
Proses Pernikahan Menurut Lembaga Dakwah Kampus Ummul Fikroh UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Raikah Damayanti
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 1 (2019): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i1.1988

Abstract

Kata “proses” menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), memiliki arti ”runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu.” Sedangkan kata “nikah” ialah “ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agma. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan manusia. Proses pacaran merupakan cara yang biasa dilakukan masyarakat Indonesia pada umumnya, termasuk masyarakat yang beragama Islam dalam mengenal dan memilih calon pasangan. Walaupun demikian, tidak sedikit pasangan yang memutuskan sendiri untuk menikah tanpa melalui proses pacaran,tanpa ada paksaan atau campur tangan dari pihak lain. Salah satunya adalah dengan proses ta‟aruf. Pernikahan tanpa pacaran ini dilakukan baik dengan pasangan pilihan sendiri maupun dengan orang yang dijodohkan oleh ustadznya. Fenomena ini banyak terjadi dikalangan mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Lembaga Dakwah Kampus atau yang sering disingkat LDK. Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1).Bagaimana proses pernikahan menurut lembaga dakwah kampus ummul fikroh? 2).Adakah hambatan pelaksanaan proses pernikahan lembaga dakwah kampus ummul fikroh? Tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui proses pernikahan menurut lembaga dakwah kampus ummul fikroh. Untuk mengetahui hambatan dalam melaksankan pernikahan menurut lembaga dakwah kampus ummul fikroh. Metode Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan salah satu dari jenis penelitian yang termasuk dalam jenis penelitian kualitatif Dari penelitian ini dapat disimpulkan: 1) Pernikahan menurut Lembaga Dakwah Kampus Ummul Fikroh UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten pada prinsipnya tidak berbeda dengan proses pernikahan yang telah disyari‟atkan dalam Islam. Rukun dan syarat pernikahan sama dengan ketentuan yang telah diundangundangkan di Indonesia. Rukun pernikahan yang terdiri dari mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua orang saksi dan ijab kabul, sama sekali tidak berbeda. Perbedaan proses pernikahan ini terletak pada proses pemilihan jodoh atau perjodohan, dimana mereka tidak mengenal istilah pacaran, mereka percaya bahwa kebarokahan sebuah pernikahan bisa dicapai salah satunya dengan menjaga proses pernikahan itu. Mulai dari ta‟aruf, hingga selesai terselenggaranya walimatul „ursy. 2) Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan proses ta‟aruf yang dijalani anggota Lembaga Dakwah Kampus terdapat berbagai hambatan yang dapat menyebabkan proses ta‟aruf berlangsung tidak lancar. Hambatan yang terjadi dalam proses ta‟aruf yang dialami informan dalam penelitian ini juga berbeda-beda. (a) Berkaitan dengan waktu yang digunakan dalam proses ta‟aruf lebih lama. (b) Restu orangtua karena belum paham dengan proses ta‟aruf itu sendiri. (c) Proses perkenalan yang dilakukan secara malu dan kurang terbuka menyebabkan kesulitan mengenali watak dan karakter pasangan.
Batas Usia Minimal Pernikahan (Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Positif) Sri Rahmawati
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 21 No 1 (2020): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v22i1.2918

Abstract

Abstrak Pernikahan adalah awal terbentuknya suatu keluarga, dan setiap manusia menginginnkan keluarga yang bahagia. Maka tidak heran jika setiap insan memilih pasangan hidupnya secara berhati-hati, akan tetapi pernikahan bukan hanya tentang menciptakan keluarga yang bahagia, persoalan pernikahan akan berdampak pada semua sendi kehidupan sosial masyarakat, sebab pernikahan bukan hanya urusan para pihak yang akan menikah. Masyarakat pula berkepentingan terhadap tertibnya peristiwa pernikahan tersebut baik administratif atau subtantif. Maka bagaimana jika suatu pernikahan menyangkut masalah usia? sedangkan dalam Hukum Islam tidak menetapkan usia pernikahan hanya saja anjuran untuk seorang yang akan menikah harus mampu dan dewasa, sedangkan dalam Islam dewasa disebut dengan baligh dan baligh ditandai dengan keluarnya air mani bagi laki-laki dan haid bagi perempuan. Maka tidak heran jika hal ini menjadi kontroversi masyarakat karena masyarakat tidak begitu menganggap pentingnya usia dalam pernikahan, sebab terkadang tanda-tanda baligh telah ia dapatka. Sedangkan tanda tersebut datang pada masing-masing orang secara berbeda-beda. Kemudian persoalan batas usia pernikahan dalam hukum positif (Negara) telah di tetapkan secara pasti dalam undang-undang No 16 tahun 2019 yakni 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan, kemudian berdasarkan realita undang-undang tersebut tidak begitu mempengaruhi sebagian masyarakat Indonesia walau aturan tersebut telah pasti adanya, sebab jika keadaan menghendaki seorang yang belum mencapai 19 tahun harus menikah, maka pernikahan dapat dilangsungkan dan para pihak boleh mengesampingkan usia minimal pernikahan dengan mengajukan permohonan atau dispensasi nikah oleh pemohon dari salah satu atau kedua belah pihak calon suami dan isteri hal penyimpangan ini telah ditetapkan dalam pasal 7 ayat 2 tahun 1974. Maka berdasarkan realita sebagian masyarakat Indonesia mengajukan dispensasi menikah dengan alasan-alasan tertentu misalnya hamil diluar nikah atau takut anak terjerumus dari pergaulan bebas tanpa berpikir sebab dan akibatnya terhadap anak yang akan menikah di usia dini.
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Sidang Isbat Nikah Keliling Berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2015 (Studi Di Kecamatan Tanara Kabupaten Serang) Salsabila Salsabila
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 2 (2019): Juli-Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i2.2361

Abstract

Abstrak Isbat nikah adalah penetapan perkawinan bagi pasangan suami isteri yang telah melakukan perkawinan sah secara hukum agama akan tetapi tidak dicatatkan di KUA, sehingga perkawinannya tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak adanya akta nikah sebagai bukti autentik. Dalam KHI Pasal 7 ayat 3 ada beberapa hal yang dapat diisbatkan, salah satunya hilangnya akta nikah atau tidak mempunyai akta nikah. Isbat nikah keliling dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2015 merupakan upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang terkendala jarak dan biaya. Faktanya masih banyak masyarakat Tanara belum memiliki akta nikah, karena masyarakat belum faham arti pentingnya isbat nikah sebagai sarana penghubung untuk mendapat buku nikah dari KUA. Untuk itu masalah yang diajukan adalah bagaimana urgensi pelaksanaan sidang isbat nikah keliling di Kecamatan Tanara. Kemudian bagaimana pelaksanaan sidang isbat nikah keliling di Kecamatan Tanara. Serta bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan sidang isbat nikah keliling di Kecamatan Tanara. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research) dengan metode kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menganalisis data-data yang berkaitan dengan objek pembahasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sidang isbat nikah keliling menjadi sarana penghubung untuk memperoleh perlindungan hukum atas perkawinan yang sah menurut hukum agama dan belum dicatatkan di KUA, program ini merupakan solusi untuk menanggulangi kendala masyarakat Kecamatan Tanara, yaitu kendala jarak dan biaya perkara. Pelaksanaan sidang isbat nikah keliling di Kecamatan Tanara memiliki prosedur beracara yang sama dengan sidang di dalam gedung, yang membedakan hanya dari segi teknisnya yaitu didaftarkan secara kolektif oleh pihak kecamatan, menggunakan dana dari PEMDA Serang serta Hakim yang datang ke lokasi perkara dan satu kali sidang langsung mendapat penetapan. Pelaksanaan sidang isbat nikah keliling di Kecamatan Tanara menurut pandangan hukum Islam diperbolehkan (mubah), karena tidak ada nash yang menganjurkan serta melarangnya dan merupakan maslahah mursalah, sebagai bentuk implementasi kebaikan pemerintah terhadap masyarakat pedesaan yang terkendala jarak dan biaya dalam mengakses hukum ke Pengadilan Agama Serang untuk mendapatkan buku nikah. Kata kunci: Isbat, Nikah, Sidang Keliling
Pembayaran dan Pendistribusian Uang Iwadh di Pengadilan Agama Serang Dalam Persepektif Hukum Islam (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Serang) Muhammad Dzikri Amrullah
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 19 No 2 (2018): Juli - Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v19i2.3322

Abstract

Dalam istilah perceraian dikenal dengan tiga bentuk perceraian diantaranya, talak, cerai gugat, dan khulu. Khulu’ merupakan satu bentuk dari putusnya perkawinan, yang diajukan dari seorang istri kepada suaminya, berbeda dengan bentuk perceraian lainnya, dalam khulu’ terdapat uang tebusan ganti rugi atau ‘iwadh. Istilah iwadh dalam khulu’ menunjukkan kewajiban istri menebus diri dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanya (mahar). Dalam Islam uang iwadh harus disearhkan kepada pihak suami, namun yang teradi saat ini, uang iwadh justru diserhkan kepada pengadilan agama. Perumusan masalah dalam penelitian ini diantaranya: Bagaimana implementasi pembayaran uang iwadh dalam cerai gugat di Pengadilan Agama Serang? Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai implementasi pembayaran uang iwadh dalam cerai gugat di Pengadilan Agama Serang? Penelitian ini memiliki tujuan diantaranya untuk mengetahui penerimaan dan penyaluran uang iwadh dalam cerai gugat di Pengadilan Agama Serang. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam mengenai implementasi pembayaran uang iwadh .dalam cerai gugat di pengadilan agama serang. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama dengan mengguna metode penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan deskriptif/kualitatif. Seluruh data dianalisis secara deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi pembayaran uang iwadh dalam cerai gugat di Pengadilan Agama Serang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada di Indonesia, dan tidak ada kesalahan dalam implementasinya di dalam penerimaan uang iwadh tersebut, karena uang iwadh tersebut dipergunakan untuk kepentingan ibadah sosial. Pandangan hukum Islam mengenai implementasi pembayaran uang iwadh dalam cerai gugat di Pengadilan Agama Serang tidak terjadi perbedaan pendapat namun jika uang iwadh diberikan kepada Pengadilan Agama untuk kemaslahatan umum dan tujuan ibadah maka harus terlebih dahuku diketahui suami. Karena uang iwadh yang di Pengadilan Agama diberikan jika ada pelanggaran dalam taklik talak.
Konsepsi Halal dalam Hukum Islam Ahmad Harisul Miftah
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 1 (2019): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i1.1981

Abstract

Secara bahasa, halal adalah terminology normatif yang memiliki fungsi dogmatis, yaitu identitas internal yang menggambarkan polaritas keagamaan yang pure dan natural. Istilah halal adalah legitimasi keagamaan yang diproyeksikan memberikan pandangan agama secara positif tentang suatu perilaku manusiawi baik berupa tindakan, ucapan, maupun sikap-sikap atas suatu benda bernyawa. Terdapat 10 prinsip halal haram yang digunakan dalam memandang konsepsi halal yang terdapat dalam hukum Islam. 1) Hukum asal segala sesuatu adalah diperbolehkan, 2) Menetapkan halal haram semata-mata merupakan hak Allah, 3) Mengharamkan perkara halal dan menghalalkan perkara haram sama saja dengan menyekutukan Allah, 4) Mengharamkan perkara yang telah ditetapkan halal hanya akan menimbulkan keburukan dan kemadaratan, 5) Perkara yang halal tidak membutuhkan perkara yang haram, 6) Sesuatu yang mengantarkan kepada perkara haram, maka sesuatu itu adalah haram, 7) Menyiasati perkara haram hukumnya adalah haram, 8) Niat yang baik tidak dapat membebaskan perkara yang haram, 9)Tujuan menjauhi perkara syubhat adalah takut terjatuh pada perkara haram, 10) Perkara yang haram berlaku untuk semua orang.
Mendiskusikan Kembali Sistem Sanad: Antara Penalaran Mustafa Azami Dan Joseph Schacht Asep Opik Akbar
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 2 (2019): Juli-Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i2.2355

Abstract

Abstrak Studi tentang “Sistem Sanad” bagi sebagian kalangan, mungkin bukan suatu kajian asing dalam diskursus pemikiran hukum Islam, sehubungan banyaknya informasi, kajian, dan karya terkait topik itu, baik pada tataran mondial maupun kawasan Nusantara. Namun bagi mereka yang haus akan keilmuan utamanya bagi penelitian dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tampaknya akan terus mengkaji dan mendalaminya. Diantara karya-karya monumental, mencuat dua tokoh pemikiran dua eksponen besar pemikir hukum Islam, yang banyak mengulas tentang sistem sanad, yaitu: Joseph Schacht dalam karyanya: The Origins of Muhammadan Jurisprudens, terbitan London: Oxford Press, tahun 1950, dan Mustafa Azami dalam karyanya: On Schacht Origin of Muhammadan Jurisprudence, Pakistan, Suhai Academy, terbit tahun 2004. Joseph Schacht seorang orientalis gaek berbangsa Yahudi, pemikir hukum Islam yang banyak melakukan kajian tentang sejarah pemikiran hukum Islam dengan analisis pendekatan sejarah. Sementara Musthafa al-‘Azami, lebih merefleksikan sosok Muslim oksidentalis, seorang Muslim saleh asal India Utara, mencoba mengkritisi karya Schacht tersebut dengan pendekatan doktriner, etik, disamping historis. Kedua ilmuwan ini: Joseph Schacht dan Mustafa Azami, dari sudut pandang keilmuan memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Sebagai manusia, keduanya memiliki pendukung masing-masing. Para ahli yang terbiasa dengan pendekatan sejarah banyak yang mendukung pandangan Schacht, terlebih kaum orientalis Barat. Sebaliknya sarjana atau pun ulama-ulama Islam, yang pada umumnya memilih sistem sanad sebagai bagian dari ideologi, doktrin normatif (sistem kyakinan), serta etika keislaman yang kuat, memilih dan mendukung pemikiran Azami. Kata Kunci: Sanad, Schacht, Azami