cover
Contact Name
JOKO SANTOSO
Contact Email
ps.johnsantoso@gmail.com
Phone
+6287836107190
Journal Mail Official
jurnalberitahidup@gmail.com
Editorial Address
Jl. Solo-Kalioso KM.7.Solo
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Transformasi Fondasi Iman Kristen dalam Pelayanan Pastoral di Era Society 5.0
ISSN : 26564904     EISSN : 26545691     DOI : https://doi.org/10.38189/jtbh.v4i1.181
Core Subject : Religion,
Focus & Scope Jurnal Teologi Berita Hidup adalah: Teologi Biblikal Teologi Sistematika Teologi Pastoral Kepemimpinan Kristen Pendidikan Agama Kristen
Articles 15 Documents
Search results for , issue "Vol 3, No 1 (2020): September 2020 (Studi Intertestamental)" : 15 Documents clear
Konsep Imam dan Jabatan Imam pada Masa Intertestamental Paulus Kunto Baskoro
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 1 (2020): September 2020 (Studi Intertestamental)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i1.50

Abstract

ABSTRACTThe intertestamental period is a Protestant term, while the deuterocanonical period is a Catholic and Orthodox Christian term to refer to the time gap between the period covered by the Hebrew Bible or "Old Testament" and the period covered by the Christian "New Testament". Traditionally, this period is thought to cover about four hundred years, from the time of Malachi's ministry (420 BC) to the advent of John the Baptist in the early 1st century AD, a period that is almost the same as the Second Temple period (530 BC to 70 M). It is known by members of the Protestant community as "400 Silent Years" (400 Silent Years) because it is believed to be a time period in which God did not reveal anything new to His people.However, it is undeniable that in the intertestamental times there are many parts of history that are sometimes questioned and are being sought for truth. Because after all, even though 400 years of God's silence did not speak to humans, the world's history continues. Although the context is mostly in the form of ruling kingdoms. And religious history also continues, with a tradition built. Among them about the journey of the concept of the priesthood in tradition in Israel as the concept of worship for the Jews. The question which is still being debated and becoming a conversation is First, what are the duties and responsibilities of the high priest during the intertestamental period? Second, are priesthood rules in the Torah still enforced during the intertestamental period, or are there changes and adjustments?Through this paper, the author will give a little understanding of what happened during the intertestamental period in connection with the priestly ministry in Israel. ABSTRAKPeriode intertestamental (bahasa Inggris: Intertestamental period) merupakan suatu istilah Protestan, sedangkan periode deuterokanonikal (bahasa Inggris: deuterocanonical period) adalah istilah Katolik dan Kristen Ortodoks untuk menyebut kesenjangan waktu antara periode yang dicakup oleh Alkitab Ibrani atau "Perjanjian Lama" dan periode yang dicakup oleh "Perjanjian Baru" orang Kristen. Secara tradisional, periode ini dianggap mencakup kira-kira empat ratus tahun, sejak masa pelayanan Maleakhi (420 SM) sampai kepada munculnya Yohanes Pembaptis pada awal abad ke-1 Masehi, suatu periode yang hampir sama dengan periode Bait Suci Kedua (530 SM hingga 70 M). Dikenal oleh anggota komunitas Protestan sebagai "400 Tahun Sunyi" (400 Silent Years) karena diyakini merupakan kurun waktu di mana Allah tidak menyatakan apa-apa yang baru kepada umat-Nya.Namun tidak bisa dipungkiri bahwa dimasa-masa intertestamental banyak sekali bagian-bagian sejarah yang terkadang banyak yang dipertanyakan dan sedang dicari kebenarannya. Sebab bagaimanapun juga meskipun 400 tahun masa Allah diam tidak berbicara kepada manusia, manusia sejarah dunia tetap berjalan. Meskipun konteksnya banyak berupa kerajaan-kerajaan yang berkuasa. Dan sejarah keagamaan juga tetap berjalan, dengan sebuah tradisi-tradisi yang dibangun. Diantaranya tentang pejalanan konsep keimaman dalam tradisi di Israel sebagai konsep penyembahan bagi orang-orang Yahudi. Pertanyaan yang masih menjadi perdebatan dan menjadi perbincangan adalah Pertama, bagaimanakah tugas dan tanggung jawab imam besar pada masa intertestamental?  Kedua, apakah aturan keimaman dalam Taurat tetap ditegakkan pada masa intertestamental, ataukah ada perubahan dan penyesuaian?Lewat makalah ini, penulis akan sedikit memberikan pemahaman tentang apa yang terjadi di masa intertestamental sehubungan dengan perjalanan pelayanan keimaman di Israel.
Studi Historis Ibadah Orang Yahudi pada Masa Intertestamental Mintoni Asmo Tobing
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 1 (2020): September 2020 (Studi Intertestamental)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i1.65

Abstract

The existence of the temple in Jerusalem was closely related to Jewish worship, because the temple was the center of Israel's worship. The Jews living in exile, as well as those who remained in a post-exilic foreign land, had no temple nearby, apart from the existence of a synagogue. Furthermore, foreign nations took turns ruling over the Jews. This raises the question of how their worship was under foreign domination. This paper has been compiled as a result of literature research, to describe how the Jews worshiped during the intertestamental times. The results showed that worship, politics and culture are related in their implementation. In some instances, the priest as leader of Israelite worship had to deal with political affairs, and in other cases the faith of the Israelites was undermined by Hellenism. Keberadaan bait suci di Yerusalem sangat terkait dengan ibadah orang Yahudi, karena bait suci tersebut adalah pusat ibadah orang Israel. Orang-orang Yahudi yang hidup dalam pembuangan maupun mereka yang tetap tinggal di negeri asing pasca-pembuangan, tidak memiliki bait suci di dekat mereka, selain keberadaan sinagoge. Lebih jauh, bangsa asing silih berganti memerintah atas orang-orang Yahudi. Hal ini memunculkan pertanyaan, bagaimana ibadah mereka di bawah dominasi bangsa asing. Tulisan ini disusun sebagai hasil penelitian pustaka, untuk mendeskripsikan bagaimana orang-orang Yahudi beribadah selama masa intertestamental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ibadah, politik, budaya memiliki keterkaitan dalam pelaksanaannya. Dalam beberapa kejadian, imam sebagai pemimpin ibadah orang Israel harus bersinggungan dengan urusan politik, dan dalam kasus yang lain iman orang Israel tergerus oleh Helenisme.
Tinjauan Historis Teologis Tentang Baptisan Pada Masa Intertestamental Wahyu Wahono Adil Kuswantoro
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 1 (2020): September 2020 (Studi Intertestamental)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i1.48

Abstract

Baptisan Kristen berakar pada tulisan suci pada zaman Israel kuno dan berbagai praktik yang muncul pada periode intertestamental. Di berbagai cara, air digunakan pada zaman kuno untuk memurnikan orang atau benda, baik untuk memperbaiki keadaan kenajisan atau untuk mempersiapkan hubungan dengan yang sakral. Dalam memahami perkembangan pada periode intertestamental itu perlu dimulai dengan ikhtisar hukum dan praktik dalam periode Perjanjian Lama. Baptisan dalam Perjanjian Lama merupakan pembasuhan dengan air dan penebusan dengan menggunakan darah. Beberapa pengertian penting baptisan dalam Perjanjian Lama seperti pembasuhan dengan air, penghapusan akan dosa serta penebusan dengan darah. Hukum pencucian tetap berlaku selama intertestamental. Penggalian arkeologis selama empat puluh tahun terakhir ini mengungkap dan mengidentifikasi beberapa kolam pembenaman publik dan pribadi yang disebut miqva’ot (tunggal: miqveh). Selama periode intertestamental, beberapa undang-undang terkait pencucian adalah diperluas dan diberikan penerapan baru. Salah satu fitur penting adalah munculnya hubungan yang erat antara pencucian dan pertobatan. Tindakan pencucian, sering kali melibatkan pencelupan penuh, tidak hanya dikaitkan dengan pertobatan tetapi juga dengan pembaruan dan pemulihan nasional. Metode dalam makalah ini adalah studi pustaka, yang diarahkan kepada pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen yang dapat mendukung dalam proses penulisan.
Misi Allah pada Masa Intertestamental Elisua Hulu
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 1 (2020): September 2020 (Studi Intertestamental)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i1.49

Abstract

The people of God of the Old Testament and the people of God in the New Testament were linked during what is called the intertestamental age. This period is referred to as a state of vacuum which is marked by the absence of a demonstrative role of the prophet. The 400 year period of development, destruction, success and decline of the ruling nations was prophesied by God. The Old Testament Book of Daniel shows clearly that world history is proceeding according to God's sovereignty. Mission is God's work. The important thing from God’s mission is talking about God as a sender, where He is the source, initiator, dynamist, implementer and fulfiller of His mission. The method of study related to God's mission in the Interstestamental era is the method of studying literature, which describes it descriptively. The intertestamental period is the time when other nations know the God of Israel through their existence among them. This is a different way from what happened in the days of Solomon's kingdom where there was a temple in Jerusalem which became an attraction for Gentiles. The political, social, and economic situation in intertestamental times was a preparation for the mission of the church in New Testament times.Umat Allah Perjanjian Lama dan Umat Allah Perjanjian Baru dihubungkan dalam masa suatu yang sebut masa intertestamental. Masa ini disebut sebagai keadaan adanya kevakuman yang ditandai oleh tidak nampaknya peranan nabi secara demonstratif. Masa waktu 400 tahun mengalami perkembangan, kehancuran, kesuksesan dan kemerosotan negara-negara yang menguasai sudah dinubuatkan oleh Tuhan. Kitab Daniel dalam Perjanjian Lama memperlihatkan dengan jelas bahwa sejarah dunia berjalan sesuai dengan kedaulatan Allah. Misi adalah karya Allah. Hal penting dari misi atau pengutusan Allah berbicara tentang Allah sebagai pengutus, dimana Ia adalah sumber, inisiator, dinamisator, pelaksana dan penggenap misi-Nya. Metode pengkajian terkait misi Allah pada masa Interstestamental adalah dengan metode kajian pustaka, yang menguraikan secara deskriptif. Masa intertestamental adalah masa di mana bangsa-bangsa lain mengenal Allah Israel melalui keberadaan mereka di tengah bangsa-bangsa lain. Ini adalah cara yang berbeda dari yang terjadi pada masa kerajaan Salomo di mana ada bait suci di Yerusalem yang menjadi daya tarik bagi bangsa-bangsa lain. Situasi politik, sosial, dan ekonomi pada masa intertestamental merupakan persiapan bagi misi gereja pada masa Perjanjian Baru.
Memahami Penerapan Taurat Pada Masa Yesus dan Implikasinya Dalam Menghayati Firman Tuhan Pada Masa Kini Sri Lina BL Simorangkir
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 1 (2020): September 2020 (Studi Intertestamental)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i1.55

Abstract

The development of the Jewish nation in observing the Torah from the time of the Babylonian exile to the time of Jesus' presence in Judea continued, both amidst the changing cultural effects of politics on the existing government. The Torah is a reference for the Jewish people to live by in worship and in their daily life. The Jewish Torah strictly rules the norms relating to personal and social morals. The material of the Torah had developed at the time of Jesus, been added with interpretations of the 'letters' of the Torah, new attitudes of behavior, which were increasingly distant and increasingly difficult to do. The way they understand the Torah is seen in the attitude and manner of the teachings of Jesus. The scribes were adept at interpreting the Torah literally with convoluted explanations. Jesus declared that He came to fulfill the Torah. The application of the application of the Torah for the present time appears in spiritual values such as spiritual understanding of God's Word, Bible study, understanding the current passages of the Torah, as well as the need for one's qualifications to live the Word of God. Therefore, today we need hermeneutic principles so that we don't misinterpret the Bible.Perkembangan bangsa Yahudi dalam melakukan Taurat sejak dari masa pembuangan di Babel sampai pada masa kehadiran Yesus di Yudea terus berlanjut, baik di tengah perubahan budaya maupun dampak politik pada pemerintah yang ada saat itu. Taurat menjadi acuan pegangan hidup bangsa Yahudi dalam ibadah dan dalam hidup sehari-hari. Taurat orang Yahudi sangat ketat mengatur norma-norma yang menyangkut moral pribadi dan sosial. Materi Taurat sudah berkembang pada masa Yesus, ditambah dengan tafsiran-tafsiran ‘huruf’ Taurat, pedoman sikap tingkah laku, yang semakin jauh dan semakin sulit dilakukan.     Cara mereka memahami Taurat yang terlihat pada sikap dan cara menanggapi ajaran Yesus. Para ahli Taurat mahir dalam menginterpretasikan Taurat secara harafiah dengan keterangan berbelit-belit. Yesus menyatakan bahwa Ia datang untuk menggenapi Taurat. Implikasi penerapan Taurat untuk masa kini muncul pada nilai-nilai rohani seperti kebangunan rohani memahami Firman Tuhan, pendalaman Alkitab, memahami perikop-perikop Taurat untuk masa kini, serta perlu kualifikasi seseorang dalam menghayati Firman Allah. Maka untuk itu di masa kini perlu prinsip-prinsip Hermeneutik agar tidak keliru dalam menafsir Alkitab.
Perjalanan Sejarah Bait Suci dari Perjanjian Lama, Masa Intertestamental hingga Masa Pelayanan Yesus Wisnu Prabowo
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 1 (2020): September 2020 (Studi Intertestamental)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i1.46

Abstract

The Temple is one of the buildings that is very attached to the Israel life. As a place of God's presence in the midst of His people, the Temple is a building that must be holy. However, on one occasion in His ministry, the Lord Jesus came to the Temple and took radical action. The Lord Jesus was angry and drove away the people who were in the court of the Temple. There is a very radical treatment from the Lord Jesus. In the holy Temple, the Lord Jesus showed such a hard attitude. This study is a qualitative study using the bibliography method. This study examines the journey of the Temple from the time of the Old Testament to the time of the Lord Jesus' ministry by going through a period called the Intertestamental Period. The study results obtained are: First, the Temple experienced a shift in circumstances, which were originally holy to be polluted since the end of the Old Testament, the Intertestamental Period to the time of the Lord Jesus ministry. Second, the Temple underwent a change in function, which was originally formed as a place where God was present and met with His people, becoming a place where people, priests, scribes and kings, sought worldly benefits in the Temple.Bait Suci adalah salah satu bangunan yang sangat melekat di dalam kehidupan orang Israel. Sebagai tempat kehadiran Tuhan di tengah-tengah umat-Nya, Bait Suci adalah sebuah bangunan yang harus kudus dan suci. Akan tetapi, di suatu kesempatan di dalam pelayanan-Nya, Tuhan Yesus datang ke Bait Suci dan melakukan tindakan radikal. Tuhan Yesus marah dan mengusir orang-orang yang ada di pelataran Bait Suci. Ada perlakuan yang sangat radikal dari Tuhan Yesus. Di Bait Suci yang kudus dan suci, Tuhan Yesus menunjukkan sikap yang sedemikian keras. Kajian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode studi pustaka. Kajian ini meneliti perjalanan Bait Suci sejak zaman Perjanjian Lama hingga masa pelayanan Tuhan Yesus dengan melewati sebuah masa yang disebut Masa Intertestamental. Hasil kajian yang diperoleh adalah: Pertama, Bait Suci mengalami pergeseran keadaan, yang awalnya kudus dan suci menjadi cemar sejak zaman akhir Perjanjian Lama, Masa Intestamental hingga ke masa pelayanan Tuhan Yesus. Kedua, Bait Suci mengalami perubahan fungsi, yang awal dibentuk sebagai tempat dimana Tuhan hadir dan bertemu dengan umat-Nya menjadi tempat dimana orang-orang, para imam, ahli Taurat dan raja, mencari keuntungan duniawi di Bait Suci.
Sinagoge pada Masa Intertestamental dan Relevansinya dengan Gereja Masa Sekarang Stanley Santoso
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 1 (2020): September 2020 (Studi Intertestamental)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i1.47

Abstract

Abstract:            The synagogue is parallel to the word congregation, which initially means a place to study together, but then refers to a group of people and finally applies to the building where the congregation gather, which then develops to the institutional life of the Jewish church. The synagogue began during the exile, because of the Jewish desire to worship Yahweh, but they were scattered in exile and far from the temple, but they continued to remember God's promises and had hopes of returning to worship in the temple. Synagogues developed during the intertestamental period.            Worship in the Synagogue focuses on prayer and studying the Scriptures. The main form of worship is reading and studying the Scriptures. The synagogue was the most important institutional development in Judaism which also involved Christian origins. The synagogue became a place for the teachings of Jesus and then His apostles, and which later gave birth to early Christian converts. The synagogue is the initial model of the church system.Abstrak:            Sinagoge sejajar dengan kata jemaat, yang pada awalnya sesuai berarti tempat untuk belajar bersama, namun kemudian merujuk kepada kumpulan orang dan akhirnya diterapkan pada bangunan yang menjadi tempat jemaat berkumpul, yang kemudian berkembang kepada kehidupan institusional jemaat Yahudi. Sinagoge bermula pada masa pembuangan, karena kerinduan orang Yahudi untuk beribadah kepada Yahweh, namun mereka tersebar di pembuangan dan jauh dari bait suci, tetapi mereka terus mengingat janji Allah dan memiliki pengharapan akan kembali beribadah di bait suci. Sinagoge berkembang pada masa intertestamental.            Ibadah dalam Sinagoge berfokus pada doa dan mempelajari Kitab Suci. Bentuk utaman ibadahnya adalah pembacaan dan mempelajari Kitab Suci. Sinagoge merupakan perkembangan institusional yang paling penting dalam Yudaisme yang juga menyangkut asal-usul Kristen. Sinagoge menjadi tempat bagi pengajaran Yesus dan kemudian para rasulNya, dan yang kemudian melahirkan para petobat Kristen mula-mula. Sinagoge merupakan model awal dari sistem gereja.
Studi Deskriptif Teologis Pembangunan Bait Suci Orang Samaria di Gunung Gerizim Yonatan Alex Arifianto; Joseph Christ Santo
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 1 (2020): September 2020 (Studi Intertestamental)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i1.61

Abstract

One of the elements of the contention that arose between the Samaritans and the Jews mentioned in John 4 was about the center of worship. The Samaritans recognized the Temple on Mount Gerizim as a center of worship, while the Jews recognized the Temple in Jerusalem. The existence of the Temple on Mount Gerizim is not widely recorded in the Bible. That is why research is needed to describe this Samaritan place of worship which causes conflict between the Samaritan and the Jew. The problem in this research is how the construction of the Temple on Mount Gerizim so that it becomes an element of contention between the Samaritans and the Jews. To answer these questions, the authors used the literature method with a descriptive qualitative approach. The results showed that the temple on Mount Gerizim was not the center of worship that God intended it to be. In New Testament times, what God wanted was for worshipers who were not focused on the temple on Mount Gerizim or in Jerusalem, but worshipers who worshiped God in spirit and in truth.Salah satu unsur pertikaian yang muncul di antara orang Samaria dan orang Yahudi yang disebutkan dalam Yohanes 4 adalah mengenai pusat ibadah. Orang Samaria mengakui Bait Suci di Gunung Gerizim sebagai pusat ibadah, sementara orang Yahudi mengakui Bait Suci di Yerusalem. Keberadaan Bait Suci di Gunung Gerizim tidak banyak dicatat oleh Alkitab. Itu sebabnya dibutuhkan penelitian untuk mendeskripsikan tempat ibadah orang Samaria ini sehingga menimbulkan konflik di antara orang Samaria dan orang Yahudi. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pembangunan Bait Suci di Gunung Gerizim sehingga menjadi salah satu unsur pertikaian antara orang Samaria dan orang Yahudi. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan metode pustaka dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bait suci di Gunung Gerizim bukanlah pusat ibadah yang dikehendaki Tuhan. Pada masa Perjanjian Baru, yang dikehendaki Tuhan adalah penyembah yang tidak terfokus kepada bait suci di Gunung Gerizim ataupun di Yerusalem, melainkan penyembah yang menyembah Allah dalam roh dan kebenaran.
Studi Deskriptif Teologis Pembangunan Bait Suci Orang Samaria di Gunung Gerizim Yonatan Alex Arifianto; Joseph Christ Santo
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 1 (2020): September 2020 (Studi Intertestamental)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i1.61

Abstract

One of the elements of the contention that arose between the Samaritans and the Jews mentioned in John 4 was about the center of worship. The Samaritans recognized the Temple on Mount Gerizim as a center of worship, while the Jews recognized the Temple in Jerusalem. The existence of the Temple on Mount Gerizim is not widely recorded in the Bible. That is why research is needed to describe this Samaritan place of worship which causes conflict between the Samaritan and the Jew. The problem in this research is how the construction of the Temple on Mount Gerizim so that it becomes an element of contention between the Samaritans and the Jews. To answer these questions, the authors used the literature method with a descriptive qualitative approach. The results showed that the temple on Mount Gerizim was not the center of worship that God intended it to be. In New Testament times, what God wanted was for worshipers who were not focused on the temple on Mount Gerizim or in Jerusalem, but worshipers who worshiped God in spirit and in truth.Salah satu unsur pertikaian yang muncul di antara orang Samaria dan orang Yahudi yang disebutkan dalam Yohanes 4 adalah mengenai pusat ibadah. Orang Samaria mengakui Bait Suci di Gunung Gerizim sebagai pusat ibadah, sementara orang Yahudi mengakui Bait Suci di Yerusalem. Keberadaan Bait Suci di Gunung Gerizim tidak banyak dicatat oleh Alkitab. Itu sebabnya dibutuhkan penelitian untuk mendeskripsikan tempat ibadah orang Samaria ini sehingga menimbulkan konflik di antara orang Samaria dan orang Yahudi. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pembangunan Bait Suci di Gunung Gerizim sehingga menjadi salah satu unsur pertikaian antara orang Samaria dan orang Yahudi. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan metode pustaka dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bait suci di Gunung Gerizim bukanlah pusat ibadah yang dikehendaki Tuhan. Pada masa Perjanjian Baru, yang dikehendaki Tuhan adalah penyembah yang tidak terfokus kepada bait suci di Gunung Gerizim ataupun di Yerusalem, melainkan penyembah yang menyembah Allah dalam roh dan kebenaran.
Konsep Imam dan Jabatan Imam pada Masa Intertestamental Paulus Kunto Baskoro
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 1 (2020): September 2020 (Studi Intertestamental)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i1.50

Abstract

ABSTRACTThe intertestamental period is a Protestant term, while the deuterocanonical period is a Catholic and Orthodox Christian term to refer to the time gap between the period covered by the Hebrew Bible or "Old Testament" and the period covered by the Christian "New Testament". Traditionally, this period is thought to cover about four hundred years, from the time of Malachi's ministry (420 BC) to the advent of John the Baptist in the early 1st century AD, a period that is almost the same as the Second Temple period (530 BC to 70 M). It is known by members of the Protestant community as "400 Silent Years" (400 Silent Years) because it is believed to be a time period in which God did not reveal anything new to His people.However, it is undeniable that in the intertestamental times there are many parts of history that are sometimes questioned and are being sought for truth. Because after all, even though 400 years of God's silence did not speak to humans, the world's history continues. Although the context is mostly in the form of ruling kingdoms. And religious history also continues, with a tradition built. Among them about the journey of the concept of the priesthood in tradition in Israel as the concept of worship for the Jews. The question which is still being debated and becoming a conversation is First, what are the duties and responsibilities of the high priest during the intertestamental period? Second, are priesthood rules in the Torah still enforced during the intertestamental period, or are there changes and adjustments?Through this paper, the author will give a little understanding of what happened during the intertestamental period in connection with the priestly ministry in Israel. ABSTRAKPeriode intertestamental (bahasa Inggris: Intertestamental period) merupakan suatu istilah Protestan, sedangkan periode deuterokanonikal (bahasa Inggris: deuterocanonical period) adalah istilah Katolik dan Kristen Ortodoks untuk menyebut kesenjangan waktu antara periode yang dicakup oleh Alkitab Ibrani atau "Perjanjian Lama" dan periode yang dicakup oleh "Perjanjian Baru" orang Kristen. Secara tradisional, periode ini dianggap mencakup kira-kira empat ratus tahun, sejak masa pelayanan Maleakhi (420 SM) sampai kepada munculnya Yohanes Pembaptis pada awal abad ke-1 Masehi, suatu periode yang hampir sama dengan periode Bait Suci Kedua (530 SM hingga 70 M). Dikenal oleh anggota komunitas Protestan sebagai "400 Tahun Sunyi" (400 Silent Years) karena diyakini merupakan kurun waktu di mana Allah tidak menyatakan apa-apa yang baru kepada umat-Nya.Namun tidak bisa dipungkiri bahwa dimasa-masa intertestamental banyak sekali bagian-bagian sejarah yang terkadang banyak yang dipertanyakan dan sedang dicari kebenarannya. Sebab bagaimanapun juga meskipun 400 tahun masa Allah diam tidak berbicara kepada manusia, manusia sejarah dunia tetap berjalan. Meskipun konteksnya banyak berupa kerajaan-kerajaan yang berkuasa. Dan sejarah keagamaan juga tetap berjalan, dengan sebuah tradisi-tradisi yang dibangun. Diantaranya tentang pejalanan konsep keimaman dalam tradisi di Israel sebagai konsep penyembahan bagi orang-orang Yahudi. Pertanyaan yang masih menjadi perdebatan dan menjadi perbincangan adalah Pertama, bagaimanakah tugas dan tanggung jawab imam besar pada masa intertestamental?  Kedua, apakah aturan keimaman dalam Taurat tetap ditegakkan pada masa intertestamental, ataukah ada perubahan dan penyesuaian?Lewat makalah ini, penulis akan sedikit memberikan pemahaman tentang apa yang terjadi di masa intertestamental sehubungan dengan perjalanan pelayanan keimaman di Israel.

Page 1 of 2 | Total Record : 15