cover
Contact Name
Salman Abdul Muthalib
Contact Email
tafse@ar-raniry.ac.id
Phone
+6282165108654
Journal Mail Official
tafse@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Gedung Fakultas Ushuluddin Lantai I, Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, UIN Ar-Raniry, Jln. Lingkar Kampus, Kopelma Darussalam Banda Aceh, Aceh 23111
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies
ISSN : 26204185     EISSN : 27755339     DOI : 10.22373
TAFSE: Journal of Qur’anic Studies is an open access, peer-reviewed journal that is committed to the publications of any original research article in the fields of Alquran and Tafsir sciences, including the understanding of text, literature studies, living Qur’an and interdisciplinary studies in Alquran and Tafsir. Papers published in this journal were obtained from original research papers,which have not been submitted for other publications. The journal aims to disseminate an academic rigor to Qur’anic studies through new and original scholarly contributions and perspectives to the field. Tafse: Journal of Qur’anic Studies DOES NOT CHARGE fees for any submission, article processing (APCs), and publication of the selected reviewed manuscripts. Journal subscription is also open to any individual without any subscription charges.All published manuscripts will be available for viewing and download from the journal portal for free.
Articles 114 Documents
Makna Lafaz al-Ashnām, al-Autsān, al-Anshāb dan al-Tamātsīl dalam Al-Qur’an Salman Abdul Muthalib; Agil Anggia
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (464.815 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9204

Abstract

Lafaz al-ashnām, al-autsān, al-anshāb and al-tamātsīl are translated as statues and idols in the translation of the Qur'an. This is an oddity in the translation, because the four terms are interpreted in the same meaning. To understand in detail, it is necessary to look for the interpretive characteristics of each term, so as to provide a comprehensive meaning or its true meaning. This paper explains that the words al-ashnām, al-autsān, al-anshāb and al-tamātsīl have different meanings. Al-ashnām are idols made of stone, metal, and copper whose images are not carved in three dimensions. Al-autsān idols made of wood, stone, soil, and others. Al-anshāb is a shapeless stone that is used as a place for slaughtering animals to be offered to idols. Meanwhile, al-tamātsīl, everything that is made in the form of a human creation made of wood, marble, copper, and glass which is then called a statue, some even call it an idol. The meaning of the four terms is divided into two parts, namely: first, lafaz al-ashnām, al-autsān, al-anshāb and al-tamātsīl are used for idols in physical form such as idols of 'Uzzā, crosses, statues and others. Second, lafaz al-ashnām and al-autsān, are used for idols in the non-physical, namely everything that can turn away from Allah swt. Lafaz al-ashnām, al-autsān, al-anshāb dan al-tamātsīl diartikan dengan patung dan berhala dalam penerjemahan al-Qur`an. Hal ini merupakan suatu kejanggalan, karena keempat istilah tersebut diartikan dengan makna yang sama. Untuk memahami secara detail, perlu dicarikan karakteristik penafsiran dari masing-masing istilah, sehingga memberikan makna yang komprehensif atau makna sebenarnya. Tulisan ini menjelaskan bahwa lafaz al-ashnām, al-autsān, al-anshāb dan al-tamātsīl memiliki makna yang berbeda. Al-ashnām ialah berhala yang terbuat dari batu, logam, dan tembaga yang gambarannya tidak dipahat secara tiga dimensi. Al-autsān berhala yang terbuat dari bahan kayu, batu, tanah, dan lain-lain. Al-anshāb adalah batu yang tidak memiliki bentuk yang digunakan sebagai tempat penyembelihan binatang yang akan dipersembahkan untuk berhala-berhala. Sedangkan al-tamātsīl, segala sesuatu yang dibuat dalam bentuk seperti ciptaan manusia yang terbuat dari kayu, batu pualam, tembaga, dan kaca yang kemudian disebut patung, bahkan ada yang menyembutnya berhala. Makna dari keempat istilah tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pertama, lafaz al-ashnām, al-autsān, al-anshāb dan al-tamātsīl digunakan untuk berhala dalam bentuk fisik seperti berhala ‘Uzzā, salib, patung-patung dan lainnya. Kedua, lafaz al-ashnām dan al-autsān, digunakan untuk berhala dalam non-fisik, yaitu segala sesuatu yang dapat memalingkan diri dari Allah swt.
Lafal Layta dalam Al-Qur’an Syukran Abu Bakar; Syarifah Maysarah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (493.183 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v5i2.8549

Abstract

This article is a research about the word of layta in the Qur’an. Generally, the use of the word of layta in the Qur'an referred to unbelievers when expressing their remorse in the afterlife. However, there are Qur'an verses that use the word of layta referred to the believers and in the context of the world. Due to the variations of this designation, the author feels the need for more in-depth research related to the use of the word of layta in the Qur'an. This research is library research, using content analysis techniques in processing data. The data sources that the authors refer to are Balâghah books such as al-Balâghat al-Wâdhihah, and the book of interpretation. The results of this study can be concluded that the word of layta is mentioned fourteen times in the Qur'an, with three speakers: believers, unbelievers, and hypocrites. The meanings indicated by this word are regret, delusion, and good wishes. Then, these meanings are connected with psychology. And the result is that if the pronunciation of this word relies on the believer, it shows a positive meaning, such as a sense of empathy. Conversely, if it relies on other than believers, it has a negative meaning. Tulisan ini merupakan penelitian terhadap lafal layta yang terdapat dalam al-Qur’an. Umumnya, penggunaan lafal layta dalam al-Qur’an disandarkan kepada orang-orang kafir ketika mereka mengungkapkan penyesalannya di akhirat. Namun, ada ayat al-Qur’an yang menggunakan lafal layta dengan disandarkan kepada orang mukmin dan dalam konteks dunia. Berangkat dari adanya variasi penyandaran lafal tersebut, penulis merasa perlu meneliti lebih dalam terkait penggunaan lafal layta di dalam al-Qur’an. Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research), dengan menggunakan teknik analisa isi (content analysis) dalam mengolah data. Sumber data yang penulis rujuk adalah kitab-kitab Balâghah seperti  al-Balâghat al-Wâdhihah dan kitab-kitab tafsir. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lafal layta disebut sebanyak empat belas kali dalam al-Qur’an, yang disandarkan kepada tiga subjek, yaitu mukmin, kafir dan munafik. Makna yang ditunjukkan lafal layta adalah penyesalan, angan-angan dan harapan yang baik. Selanjutnya, makna-makna tersebut dihubungkan dengan ilmu psikologi. Maka, hasil yang didapatkan adalah jika pengucapan lafal ini disandarkan kepada orang mukmin, ia menunjukkan makna positif, seperti rasa empati. Sebaliknya, jika disandarkan kepada selain mukmin, maka ia bermakna negatif.
Sistematika dan Persentase Bab-Bab Hadis Suwarni Suwarni; Maizuddin Maizuddin
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (253.317 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v2i1.8076

Abstract

Sunan is a book compiled based on fiqh chapters or contains ahkam (law) traditions to be used as a reference for fiqh scholars in legal matters, such as the books of Sunan al-Nasai, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidhi, Sunan Ibn Majah, and Sunan al-Darimi. However, there are differences in the systematics and percentages in some of these sunan books. To see this problem further, this literature review was carried out descriptively and comparatively by referring to related sources. In the book of sunan, it was found that there were some books that did not strictly use the systematics based on the fiqh chapter, as they were named the book of sunan. The systematics and percentage of hadith chapters in the Sunan book as a whole differ both in terms of the number of chapters and the number of hadith in the Sunan book. Sunan adalah kitab yang disusun berdasarkan bab-bab fikih atau berisi tentang hadis-hadis ahkam (hukum) untuk dipakai sebagai referensi ulama fikih dalam istinbat hukum, seperti kitab Sunan al-Nasai, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan al-Darimi. Namun, ada perbedaan dalam sistematika dan persentase pada beberapa kitab sunan tersebut. Untuk melihat permasalahan ini lebih lanjut, kajian kepustakaan ini dilakukan secara deskriptif dan komparatif dengan merujuk pada sumber-sumber terkait. Dalam kitab sunan, ditemukan ada sebagian kitab yang tidak secara ketat menggunakan sistematika berdasarkan bab fikih, sebagaimana penamaannya sebagai kitab sunan. Sistematika dan persentase bab-bab hadis dalam kitab sunan secara keseluruhannya berbeda-beda baik dari segi jumlah bab maupun jumlah hadis dalam kitab sunan tersebut.
Uslub Muqabalah dalam Al-Qur’an Ummul Aiman; Masnaria Dewi Rahmah Siregar
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (408.497 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v1i1.8067

Abstract

The Qur'an as a miracle for the Prophet SAW is unique and special, especially in terms of language. The beauty of the Qur'an will not be felt meaningfully without paying attention to the uslub used in it. One form of the beauty of the Qur'an in terms of meaning is al-muqabalah, which is to mention two or more words, then bring out the opposite of that meaning in sequence. On the one hand, the Qur'an has a language uslub that is different from other literature, but on the other hand, many people cannot absorb the beauty of the Qur'an in terms of meaning due to the difficulty of understanding Arabic rules that require explanation. This discussion was studied using the maudhu'i method, in the form of library research with descriptive data analysis. Research shows that in the Qur'an there are as many as 66 verses containing uslub muqabalah in different forms and many are mentioned in short verses. Comparison between the blessings and punishment of Allah is 36 verses, relating to the comparison of Allah's power in 8 verses, comparisons regarding the nature of believers and disbelievers in as many as 16 verses, and comparisons between commands and prohibitions in 8 verses. Uslub Muqabalah is one of the elements in Badi' Science which can be used as a tool to reveal beauty and become a uniqueness and privilege for the Qur'an. Al-Qur’an sebagai mukjizat bagi Nabi Saw memiliki keunikan dan keistimewaan khususnya dari segi bahasa. Indahnya al-Qur’an tidak akan dirasakan secara makna tanpa memperhatikan uslub yang digunakan di dalamnya. Salah satu bentuk keindahan al-Qur’an dari segi makna adalah al-muqabalah, yaitu menyebutkan dua kata atau lebih, lalu mendatangkan lawan dari makna tersebut secara berurutan. Di satu sisi, al-Qur’an mempunyai uslub bahasa yang berbeda dari sastra lain, akan tetapi di sisi lain banyak orang yang tidak dapat menyerap keindahan al-Qur’an dalam segi makna dikarenakan sulitnya memahami kaidah Bahasa Arab yang membutuhkan kepada penjelasan. Pembahasan ini dikaji dengan menggunakan metode maudhu’i, berupa riset kepustakaan (library research) dengan analisis data deskriptif. Penelitian menunjukkan bahwa dalam al-Qur’an terdapat sebanyak 66 ayat yang mengandung uslub muqabalah dengan bentuk yang berbeda-beda dan banyak disebutkan dalam ayat-ayat pendek. Perbandingan terkait antara nikmat dan azab Allah sebanyak 36 ayat, terkait perbandingan kekuasaan Allah 8 ayat, perbandingan terkait sifat orang-orang beriman dan orang kafir sebanyak 16 ayat, serta perbandingan antara perintah dan larangan 8 ayat. Uslub Muqabalah ini menjadi salah satu unsur dalam Ilmu Badi’ yang bisa dijadikan sebagai alat untuk menguak keindahan dan menjadi suatu keunikan dan keistimewaan bagi al-Qur’an.
Pembelajaran Tafsir Di Dayah Ummul Ayman Samalanga Zainuddin Zainuddin; Zyaul Haqqi
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (232.137 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9200

Abstract

Dayah Ummul Ayman is one of the largest dayah in Aceh. The teaching of tafsir in this dayah is carried out through dayah curriculum and adapted to the abilities of students. Standardization of teaching is based on the design of the subject of interpretation which is taught according to the level of learning ability of students. On the basis of this phenomenon, there are three issues discussed in this study; first, how is the pattern of learning tafsir used in Dayah Ummul Ayman; second, how is the understanding of Dayah Ummul Ayman's students in understanding of tafsir; third, what are the opportunities and challenges of the students' ability in applying learning of tafsir to Dayah Ummul Ayman. This paper shows that tafsir learning at Dayah Ummul Ayman is carried out by learning in an integrated and separate system, with learning methods such as question and answer, repetition and demonstration. The understanding of students in mastering the material of tafsir is limited to one book of tafsir, namely tafsir al-Jalalain. Santri and teachers (teungku) do not have difficulties in the learning process, but sometimes there are long discussions off-topic. Another challenge is that the students lack mastery of qawai'd tafsir because the learning only focuses on the text of the al-Jalalain commentary, whereas translation and understanding are explained by the teacher. Dayah Ummul Ayman merupakan salah satu dayah terbesar di Aceh. Pembelajaran tafsir pada dayah ini dilakukan melalui kurikulum dayah yang disesuaikan dengan kemampuan santri. Standarisasi pengajaran didasari pada rancangan mata pelajaran tafsir yang diajarkan menurut tingkat kemampuan belajar santri. Atas dasar fenomena tersebut, ada tiga persoalan yang dibahas dalam kajian ini; pertama, bagaimana pola pembelajaran tafsir yang digunakan pada Dayah Ummul Ayman; kedua, bagaimana pemahaman santri Dayah Ummul Ayman dalam memahami tafsir; ketiga, bagaimana peluang dan tantangan kemampuan santri dalam menerapkan pembelajaran tafsir pada Dayah Ummul Ayman. Tulisan ini menunjukkan bahwa pembelajaran tafsir di Dayah Ummul Ayman dilaksanakan dengan belajar secara terpadu dan terpisah, dengan metode belajar seperti tanya jawab, pengulangan dan demontrasi. Pemahaman santri dalam menguasai materi tafsir terbatas pada satu kitab tafsir saja yaitu tafsir al-Jalalain. Santri dan guru (teungku) tidak memiliki kesulitan dalam proses pembelajaran, namun terkadang ada pembahasan yang panjang di luar topik. Tantangan lainnya adalah santri kurang menguasai qawai’d tafsir karena pembelajaran hanya terfokus pada teks kitab tafsir al-Jalalain, terjemahan dan pemahaman yang dijelaskan guru.
Tradisi Mengaji Al-Qur’an di Kuburan dalam Masyarakat Indonesia Nuraini Nuraini; Wardahtul Jannah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (55.899 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v5i2.9174

Abstract

There are many traditions carried out by some Muslims in various parts of Indonesia, such as sprinkling flowers on graves, watering graves with flower water, reciting the Quran in graves, and various other traditions. During the time of the Prophet, there was never any activity to recite the Quran in the grave. Some Muslims in Indonesia who carry out this activity, take several traditions to strengthen the activity of reciting the Quran at the cemetery. The method used is a literature study. This article discusses the arguments for the practice of reciting the Quran in a grave based on the Prophet's hadith, the views of four fiqh scholars and Indonesian Islamic organizations, as well as models of the practice of reciting the Quran in graves. There are five traditions that are included in the article about reciting the Quran in the grave. There are also differences in the views of scholars towards reciting the Quran in the graves. There are three models of the practice of the Quran in the grave, namely reciting the Quran in the grave after burial, reciting the Quran in the grave on Friday, and reciting the Quran after the Eid prayer. Based on the Prophet's hadith, there are two views of the Islamic scholars of fiqh and Indonesian Islamic organizations. Terdapat beberapa tradisi yang dilakukan oleh sebagian muslim di berbagai daerah di Indonesia, seperti menaburkan bunga di atas kuburan, menyiram kuburan dengan air bunga, mengaji al-Qur’an di kuburan, dan berbagai tradisi lainnya. Tradisi mengaji al-Qur’an di kuburan tidak pernah dilakukan  pada masa Rasulullah Saw. Namun, sebagian muslim di Indonesia yang melakukan kegiatan ini, mengambil beberapa hadis untuk memperkuat argumen membolehkan kegiatan mengaji al-Qur’an di kuburan. Fenomena ini memerlukan penelitian untuk melihat dasar yang digunakan imam mazhab serta ormas Indonesia tentang praktek dan model mengaji di kuburan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literature atau content analysis. Yaitu sebuah analisis terhadap hadis Rasulullah Saw, pandangan empat ulama fikih dan organisasi Islam Indonesia, serta model-model praktek mengaji di kuburan yang terdapat di Indonesia. Dari penelitian terhadap literatur yang digunakan tersebut diketahui bahwa mereka tidak menyandarkan pandangannya pada dalil al-Qur’an, akan tetapi kepada hadis-hadis Nabi tentang kedaan si mayit di kuburan sebanyak 5 (lima) buah hadis. Pandangan 4 imam mazhab dan ormas Indonesia terhadap mengaji al-Qur’an di kuburan ada yang membolehkan dan ada yang memakruhkan. Terdapat pula tiga model praktek mengaji di kuburan yaitu mengaji di kuburan setelah penguburan, mengaji di kuburan pada hari Jumat, dan mengaji al-Qur’an setelah shalat ied. 
Zihar dalam Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah Arif Munandar; Muslim Djuned
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (378.822 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v2i1.8072

Abstract

Zihar is a greeting from a husband to his wife who resembles his wife's back with her mother's back. Saying zihar during the period of ignorance is used by husbands who intend to forbid having intercourse with their wives so that the result is that the wife becomes unlawful for the husband forever. Islam stipulates that it is forbidden to say zihar. However, Allah (swt) gave relief to the people and set kafarat in it as education so as not to repeat these words and attitudes. The problem of zihar arises when a woman makes a complaint to the Prophet about her husband. Then the verse in QS. al-Mujadilah regarding Aus bin Shamit when he visited his wife Khaulah bint Tsa'labah. This paper aims to reveal the thoughts of Sayyid Qutb in Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an and M. Quraish Shihab in Tafsir al-Mishbah regarding the issue of zihar. The author uses library research using the maudhu'i and comparative methods. Sayyid Qutb in his commentary concludes that zihar is a husband's saying to his wife that resembles the wife's back with the husband's mother's back, so it must be forbidden like a mother. Meanwhile, Quraish Shihab argues that zihar is a word of a mukallaf to a woman who is lawful to have intercourse with (wife) that the woman is the same as someone who is forbidden to have intercourse, either because of blood relations, marriage, breastfeeding, or for other reasons. Zihar adalah ucapan suami kepada istri yang menyerupakan punggung istri dengan punggung ibunya. Ucapan zihar pada masa jahiliah digunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan untuk menyetubuhi istri sehingga berakibat istri menjadi haram bagi suami untuk selamanya. Islam menetapkan haram hukumnya ucapan zihar. Namun, Allah Swt memberi keringanan bagi umat dan menetapkan kafarat di dalamnya sebagai pendidikan agar tidak mengulang perkataan dan sikap tersebut. Permasalahan zihar muncul ketika seorang perempuan membuat pengaduan kepada Rasul Saw mengenai suaminya. Lalu turun ayat dalam QS. al-Mujadilah berkenaan dengan Aus bin Shamit ketika menzihar istrinya Khaulah binti Tsa’labah. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap pemikiran Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an dan M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah yang berkenaan dengan permasalahan zihar. Penulis menggunakan penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode maudhu’i dan komparatif. Sayyid Quthb dalam kitab tafsirnya menyimpulkan bahwa zihar adalah ucapan suami kepada istri yang menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, sehingga ia mesti diharamkan seperti ibu. Sedangkan Quraish Shihab berpendapat bahwa zihar adalah ucapan seorang mukallaf kepada wanita yang halal digaulinya (istri) bahwa wanita tersebut sama dengan salah seorang yang haram digauli, baik karena hubungan darah, perkawinan, penyusuan, maupun oleh sebab lain.
Konsep Persatuan dalam Al-Qur'an dan Relevansinya dengan Pancasila Sila Ketiga Siti Nazlatul Ukhra; Zulihafnani Zulihafnani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (414.959 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9205

Abstract

Muslims have a way of life, namely the Qur'an. In addition, Indonesian Muslims also have another guideline to be used as a guide in the life of the state and society, namely Pancasila. One of the precepts of Pancasila is the Unity of Indonesia. These two rules for Indonesian Muslims require a study of the relevance between the values of unity in the Qur'an and the values of unity contained in the third Pancasila principle. This paper aims to find the relevance of these two rules. This library research uses the maudhu'i method, namely interpreting the verses of the Qur'an thematically or discussing certain themes. Data collection is done by collecting related verses using Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an al-Karim. Furthermore, the understanding of writer on these verses based on the interpretation of mufassir and from other references. Based on the results of the research, it is known that the difference is a form of gift and mercy from Allah SWT and to prove the power of Allah. The author also finds several verses of the Qur'an that discuss the concept of unity in fullness. Likewise with the explanation of the third Pancasila principle of unity. The values of unity contained in Pancasila do not conflict with the values of unity contained in the Qur'an. Umat muslim memiliki pedoman hidup yaitu al-Qur’an. Di samping itu, muslim Indonesia juga memiliki pedoman lain untuk dijadikan panduan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, yaitu Pancasila. Salah satu sila Pancasila adalah Persatuan Indonesia. Dua aturan yang dihadapkan kepada umat muslim Indonesia ini, memerlukan kajian relevansi antara nilai-nilai persatuan dalam al-Qur’an dan nilai-nilai persatuan yang terkandung dalam Pancasila sila ketiga. Tulisan ini bertujuan menemukan relevansi pada dua aturan tersebut. Penelitian kepustakaan ini menggunakan metode maudhu’i yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an secara tematik atau yang membahas tema-tema tertentu. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang terkait menggunakan Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim. Selanjutnya, penulis memahami ayat-ayat tersebut berdasarkan penafsiran para mufasir dan dari referensi lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa perbedaan yang ada adalah anugerah dan rahmat dari Allah Swt dan untuk membuktikan kekuasaan Allah. Penulis juga mendapatkan beberapa ayat al-Qur’an yang membahas tentang konsep persatuan secara lengkap. Begitu juga dengan penjelasan dari Pancasila sila ketiga tentang persatuan. Nilai-nilai persatuan yang terkandung dalam Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai persatuan yang ada dalam al-Qur’an. 
Ketahanan Pangan dalam Al-Qur’an dan Aktualisasinya dalam Konteks Keindonesiaan Berdasarkan Penafsiran terhadap Surat Yusuf Ayat 47-49 Samsul Bahri; Musdawati Musdawati; Raudhatul Jinan
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (363.877 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v5i2.9100

Abstract

Food is an essential requirement for humans in carrying out their lives. Indonesia is an agrarian country, but in reality, food security is apparently still very fragile. The evidence is evident from the large number of people's food imported from abroad. There is still a lot of wrong food management which causes Indonesia to not have food sovereignty. This article discusses food security in the Koran by analyzing Qs. Joseph verses 47-49. This study is qualitative, literature and will conduct a search of Qs. Joseph 47-49. This article found that, first, Qs. Yusuf explained the meaning contained in the interpretation of dreams of the fertile period and famine explained what people must do to maintain food security. Second, the contextualization of Indonesia's food defense includes: Increasing the quality and quantity of agricultural products, environmentally friendly agriculture, proportional consumption, moderation, and knowledge of weather and disasters. Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi manusia dalam melangsungkan kehidupannya. Indonesia merupakan negara yang agraris, namun ketahanan pangan ternyata masih sangat rapuh. Bukti itu terlihat dari masih banyaknya bahan pangan rakyat yang diimpor dari luar negeri. Masih banyak pengelolaan pangan yang salah sehingga menyebabkan Indonesia tidak mempunyai kedaulatan pangan. Artikel ini membahas tentang ketahanan pangan dalam al-Quran dengan menganalisis QS. Yusuf (12): 47-49. Kajian ini bersifat kualitatif, kepustakaan dan akan melakukan penelusuran ragam penafsiran terhadap QS. Yusuf(12): 47-49. Artikel ini menemukan bahwa, pertama, ayat tersebut menjelaskan makna yang terkandung dalam tafsiran mimpi, terkait masa subur dan paceklik dan menjelaskan apa yang harus dilakukan masyarakat demi menjaga ketahanan pangan. Kedua, kontekstualisasi pertahanan pangan Indonesia meliputi: Peningkatan kualitas dan kuantitas hasil pertanian, pertanian ramah lingkungan, konsumsi yang proporsional dan tidak berlebihan, serta pengetahuan tentang cuaca dan bencana.
Ragam Ungkapan Damai dalam Al-Qur’an Miss Kholeefah Jukeng; Zainuddin Zainuddin
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (375.556 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v2i1.8077

Abstract

Islam has come as a religion that carries a mission of peace and strictly forbids mankind to do tyranny. As social beings, humans must follow certain provisions and regulations if they live and are in the midst of society. The word "peace" in the Qur'an is mentioned in various expressions and styles of language and different editorials according to their respective contexts. Thus, the expression has a different impact. In this paper, the author will discuss the various expressions of peace in the Qur'an and the different meanings of these expressions and their wisdom. From the results of this search, the authors found that in the Qur'an there are five kinds of expressions in the meaningful mention of the word "peace" namely aman, janahu, dzimmah, salam, and shulhu. Peace is salvation for the welfare of individuals, communities and even the entire human race. Islam datang sebagai agama yang membawa misi perdamaian dan dengan tegas mengharamkan umat manusia untuk melakukan keẓaliman. Sebagai makhluk sosial, manusia harus mengikuti ketentuan-ketentuan serta peraturan-peraturan tertentu apabila ia hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat. Kata “damai” dalam al-Qur’an disebutkan dengan beragam ungkapan dan gaya bahasa serta redaksi yang berbeda sesuai dengan konteksnya masing-masing. Sehingga, ungkapan tersebut mengandung dampak yang berbeda pula. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang ragam ungkapan damai dalam al-Qur’an dan perbedaan pengertian dari ungkapan-ungkapan tersebut serta hikmahnya. Hasil dari penelusuran ini, penulis menemukan dalam al-Qur’an ada lima macam ungkapan dalam penyebutan yang semakna dengan kata “damai” yaitu aman, janahu, dzimmah, salam, dan shulhu. Perdamaian adalah keselamatan untuk mendapatkan kesejahteraan, baik individu, masyarakat bahkan seluruh umat manusia.

Page 1 of 12 | Total Record : 114