cover
Contact Name
NI NYOMAN MESTRI AGUSTINI
Contact Email
nyoman.mestri@undiksha.ac.id
Phone
+6281933048631
Journal Mail Official
nyoman.mestri@undiksha.ac.id
Editorial Address
Jalan Udayana no 11 Singaraja Bali
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
GANESHA MEDICINA
ISSN : -     EISSN : 27978672     DOI : -
Core Subject : Health,
Ganesha Medicina Journal is open access; double-blinded peer-reviewed journal aiming to communicate high-quality research articles, case report, reviews and general articles in the field. Ganesha Medicina Journal publish articles that encompass all aspects of basic research/clinical studies related to the field of medical sciences. The Journal aims to bridge and integrate the intellectual, methodological, and substantive diversity of medical scholarship, and to encourage a vigorous dialogue between medical scholars and practitioners.
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol. 1 No. 2 (2021)" : 6 Documents clear
KAJIAN TERHADAP KLAIM “ARAK BALI DAN KOPI CAMPUR ARAK SEMBUHKAN COVID-19” I Wayan Muderawan; Made Kurnia Widiastuti Giri; Made Budiawan; I Wayan Suja
Ganesha Medicina Vol. 1 No. 2 (2021)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (515.123 KB) | DOI: 10.23887/gm.v1i2.38386

Abstract

Covid-19 merupakan penyakit sistem saluran pernapasan yang disebabkan oleh genus β-coronavirus, severe acute respiratory syndrome coronavirus 2, dari famili Coronaviradae. Covid-19 dapat menular dari manusia ke manusia melalui kontak erat dan percikan cairan pada saat bersin dan batuk. Covid-19 menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, dan berdampak pada sistem kesehatan dan sosial ekonomi masyarakat dunia. Virus korona penyebab Covid-19 sudah mengalami mutasi, menghasilkan varian yang sangat berbahaya, meliputi varian alpa, beta, gamma dan delta.Varian baru ini menyebabkan lonjakan kasus Covid-19.  Sampai saat ini belum ada obat anti virus korona yang dapat menyembuhkan Covid-19. Arak Bali dicampur dengan ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix) dan minyak kayu putih (Eucalyptus) serta kopi canpur arak yang diklaim dapat menyembuhkan Covid-19, sampai saat ini belum terbukti dan tidak bisa diyakini kebenarannya. Ini merupakan klaim subjektif dan tidak didukung oleh data ilmiah.
EFEKTIVITAS EKSTRAK PROPOLIS DALAM PENYEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II PADA HEWAN UJI Komang Sherly Ulandari; Putu Cahyani Paramita Yoga; Made Widya Lestari; Ni Nyoman Mestri Agustini
Ganesha Medicina Vol. 1 No. 2 (2021)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (177.749 KB) | DOI: 10.23887/gm.v1i2.39185

Abstract

Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan dari penelitian berdasarkan studi pustaka ini adalah untuk mengetahui efektivitas ekstrak propolis dalam penyembuhan luka bakar derajat II pada hewan uji. Propolis kaya akan manfaat seperti menjadi antimikroba, antibakteri, antimikotik, astringent, spasmolitik, anti-inflamasi, anestesi, antioksidan, antiulcer, antikanker, serta memiliki efek imunomodulator yang dapat mendukung penyembuhan luka bakar derajat II. Senyawa flavonoid, fenol, arginine, asam ferulat, dan albumin berperan baik dalam menurunkan pertumbuhan mikroorganisme, mempercepat perbaikan jaringan dan menghambat munculnya ROS atau Reactive Oxygen Species pada luka bakar.Ekstrak propolis dengan konsentrasi 100% telah terbukti lebih efektif dalam mempercepat penyembuhan luka bakar derajat II pada hewan uji. Pemberian propolis dengan dosis pemberian yang berbeda menunjukkan perbedaan lamanya waktu penyembuhan luka bakar yang ditandai oleh perbedaan nilai rata-rata luas luka bakar dalam setiapwaktu pengukuran. Berdasarkan analisis hipotesis peneliti, efektivitas penyembuhan luka bakar dipengaruhi oleh dosis pemberian ekstrak propolis pada luka bakar tersebut. Dimana keduanya memiliki hubungan yang sebanding, peningkatan dosis pemberian propolis dapat mempercepat penyembuhan luka bakar derajat II.Burns are one of the incidents that often occur in life. The purpose of this research based on literature study was to determine the effectiveness of propolis extract in healing second degree burns in tested animals. Propolis is rich in benefits such as being antimicrobial, antibacterial, antimycotic, astringent, spasmolytic, anti- inflammatory, anesthetic, antioxidant, antiulcer, anticancer, and has an immunomodulatory effect that can support healing of second degree burns. Flavonoids, phenols, arginine, ferulic acid, and albumin have a good role in reducing the growth of microorganisms, accelerating tissue repair and inhibiting the appearance of ROS or Reactive Oxygen Species in burns.Propolis extract with a concentration of 100% has been proven to be more effective in accelerating the healing of second degree burns in test animals. Giving propolis with different doses showed a difference in length of time to heal burns, indicated by differences in the average value of burns in each measurement time. Based on the analysis of the researchers' hypothesis, the effectiveness of healing burns was influenced by the dose of propolis extract on the burns. Both have an equal relation, increasing thedose of giving propolis can accelerate the healing of second degree burns Keywords: second degree burns, propolis, effectiveness of propolisextrac
TATALAKSANA TERKINI INFEKSI KAKI DIABETES I Gede Surya Dinata; Anak Agung Gede Wira Pratama Yasa
Ganesha Medicina Vol. 1 No. 2 (2021)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.38 KB) | DOI: 10.23887/gm.v1i2.39304

Abstract

Laporan dari International Diabetes Federation Tahun 2019 menyebutkan bahwa tingkat kejadian Diabetes Melitus (DM) meningkat setiap tahunnya dan diperkirakan sekitar 629 Juta orang di seluruh dunia menderita DM pada tahun 2045. Hal ini tentunya berdampak pada peningkatan dari komplikasi yang ditimbulkan oleh DM salah satunya adalah Diabetic Foot Infection (DFI) atau Infeksi Kaki Diabetes (IKD). IKD merupakan komplikasi lanjutan dari kaki diabetik yang ditandai oleh adanya proses invasi mikroorganisme yang berkembang di jaringan dalam seperti kulit, otot, tendon, sendi, tulang pada ekstremitas bawah, tepatnya di bawah malleoli. IKD dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan, termasuk kecacatan, mobilitas berkurang, penurunan kualitas hidup pada aspek fisik dan mental, serta ancaman kehilangan anggota tubuh oleh karena amputasi. Selain itu, penyakit ini juga dikaitkan dengan komplikasi DM lainnya seperti komplikasi neuropati perifer, Peripheral Arterial Disease (PAD), dan infeksi pada pasien DM. Dalam melakukan tatalaksana terhadap pasien DM dengan ataupun berisiko IKD, diperlukan perawatan lebih lanjut yang harus didasari dengan tingkat keparahan infeksi. Sebagian besar kasus IKD memiliki kecenderungan amputasi sehingga penting untuk dilakukan penatalaksanaan dan pencegahan secara komprehensif dengan melibatkan manajemen multidisiplin dengan  ahli bedah (umum, vaskular, ortopedi), penyakit dalam, dan perawat luka, sehingga dapat mengurangi waktu penyembuhan luka, tingkat, dan keparahan amputasi.
ASTHENOPIA: DIAGNOSIS, TATALAKSANA, TERAPI Pande Putu Arista Indra Pratama; Komang Hendra Setiawan; Ketut Indra Purnomo
Ganesha Medicina Vol. 1 No. 2 (2021)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (120.315 KB) | DOI: 10.23887/gm.v1i2.39551

Abstract

Asthenopia (kelelahan mata) merupakan sekumpulan gejala berupa permasalahan pada penglihatan (visual), mata (okular), dan muskuloskeletal yang umumnya terjadi hilang timbul. Keluhan ini sering muncul akibat pengaruh penggunaan perangkat digital dalam waktu yang lama terutama lebih dari 6 jam perhari. Penderita asthenopia secara global mencapai 60 juta orang yang didominasi usia muda. Gejala asthenopia yang paling sering dirasakan adalah keluhan mata kering, kesulitan dalam memfokuskan objek, mata tegang, mata lelah, dan sakit kepala. Diagnosis asthenopia dapat dilakukan secara subjektif dengan menggunakan kuesioner standar ataupun secara objektif dengan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa pengukuran Critical Flicker-fusion Frequency (CFF), pengukuran frekuensi berkedip, kemampuan akomodasi, serta refleks cahaya dan ukuran pupil yang dapat memberikan gambaran lebih jelas ke arah asthenopia. Tatalaksana dan terapi pada asthenopia diberikan untuk meredakan gejala dan mengatasi penyebabnya seperti terapi untuk mengatasi mata kering, koreksi gangguan refraksi, terapi gangguan akomodasi dan vergensi, dan penggunaan kacamata filter cahaya biru. Walaupun asthenopia terjadi secara hilang timbul, penyakit ini dapat menjadi menetap dan berkembang menimbulkan keluhan permanen. Artikel ini ditulis berdasarkan hasil literature review dari penelitian terkait diagnosis, tatalaksana, dan terapi asthenopia yang sudah dipublikasi. Penulisan artikel ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menindaklanjuti kasus asthenopia sehingga prevalensi dan insidensinya dapat ditekan.
THE OVERVEW OF SPINAL CORD INJURY I Gede Surya Dinata; Anak Agung Gede Wira Pratama Yasa
Ganesha Medicina Vol. 1 No. 2 (2021)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (384.165 KB) | DOI: 10.23887/gm.v1i2.39735

Abstract

Spinal cord injury (SCI) atau cedera medula spinalis adalah suatu kondisi gangguan pada medula spinalis atau sumsum tulang belakang dengan gejala fungsi neurologis mulai dari fungsi motorik, sensorik, dan otonomik, yang dapat berujung menjadi kecacatan menetap hingga kematian. Menurut WHO, SCI diperkirakan terjadi sebanyak 40-80 kasus per 1 juta penduduk dalam setahun. Kasus traumatis menjadi faktor tersering penyebab SCI (90%) mulai dari kecelakaan lalu lintas, jatuh, rekreasi, dan pekerjaan. Sehingga pasien yang mengalami trauma multipel patut dicurigai terkena SCI. Gejala dapat bervariasi tergantung tingkat lokasi dan keparahan lesi cedera yang dapat berupa gejala neurologis seperti nyeri pada bagian tengah dari punggung, parasthesia, hingga penurunan kesadaran pada pasien. Mekanisme terjadinya SCI dapat terjadi secara langsung atau cedera primer dan apabila pasien tidak diberikan penanganan segera dan adekuat, cedera primer akan berlanjut menjadi cedera sekunder. Informasi yang didapatkan sebelum pasien masuk ke unit gawat darurat penting untuk didapatkan seperti mekanisme dari terjadinya cedera, dan penanganan pre-hospital. Penanganan pasien SCI dapat menggunakan teknik ABCD dan dapat dilakukan tindakan pembedahan darurat apabila pasien memiliki faktor risiko tertentu. Bila pasien tidak mendapat penanganan intensif dan segera, maka cedera dapat berlanjut menjadi defisit neurologis serta kecacatan yang menetap hingga akhir hayat pasien. Maka dari itu, penting bagi kita sebagai seorang klinisi untuk mengetahui dari struktur anatomi dan fisiologi medula spinalis, epidemiologi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, tatalaksana, serta prognosis dari SCI, sehingga dapat melakukan pengamatan dan penanganan awal pada pasien yang terindikasi SCI.
DIABETES MELITUS TIPE 2: FAKTOR RISIKO, DIAGNOSIS, DAN TATALAKSANA Kadek Resa Widiasari; I Made Kusuma Wijaya; Putu Adi Suputra
Ganesha Medicina Vol. 1 No. 2 (2021)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (164.605 KB) | DOI: 10.23887/gm.v1i2.40006

Abstract

AbstrakDiabetes melitus menggambarkan sekelompok penyakit metabolik yang temuan umumnya adalah kadar glukosa darah yang meningkat. Pada usia 20-79 tahun, terdapat 463 juta atau setara 9,3% orang di dunia menderita diabetes pada tahun 2019. Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan defisiensi insulin relatif yang disebabkan oleh disfungsi sel pankreas dan resistensi insulin. Faktor risiko penyebabnya dibagi menjadi dua yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Gejala klasik diabetes seperti poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Empat tes diagnostik untuk diabetes yaitu pengukuran glukosa plasma puasa, glukosa plasma 2 jam setelah TTGO 75 g, HbA1c, dan glukosa darah acak dengan adanya tanda dan gejala klasik diabetes. Tatalaksana dibagi menjadi dua, yaitu farmakologi dan non farmakologi. Tatalaksana non farmakologis terdiri atas edukasi, nutrisi medis, dan latihan fisik. Terapi farmakologis terdiri atas obat oral dan bentuk suntikan dalam bentu obat anti hiperglikemik dan insulin. Terapi farmakologi dan non farmakologi ini berjalan beriringan. Penulisan artikel ini menggunakan metode literature review dan diharapkan dapat dijadikan acuan kedepan dalam melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan pasien diabetes melitus sehingga prevalensi berkurang dan komplikasi dapat dihindari.   AbstractDiabetes mellitus describes a group of metabolic diseases whose common finding is elevated blood glucose levels. At the age of 20-79 years, there were 463 million or 9.3% of people in the world suffer from diabetes in 2019. Type 2 diabetes mellitus is characterized by relative insulin deficiency caused by pancreatic cell dysfunction and insulin resistance. The risk factors that cause it are divided into two, namely modifiable and non-modifiable risk factors. The classic symptoms of diabetes include polyuria, polydipsia, polyphagia and unexplained weight loss. The four diagnostic tests for diabetes are measurement of fasting plasma glucose, plasma glucose 2 hours after OGTT 75 g, HbA1c, and randomized blood glucose in the presence of classic signs and symptoms of diabetes. Treatment is divided into two, namely pharmacological and non-pharmacological. Non-pharmacological management consists of education, medical nutrition, and physical exercise. Pharmacological therapy consists of oral drugs and injections in the form of anti-hyperglycemic drugs and insulin. Pharmacological and non-pharmacological therapy goes hand in hand. The writing of this article uses the literature review method and is expected to be used as a future reference in carrying out prevention and treatment of diabetes mellitus patients so that prevalence is reduced and complications can be avoided.  

Page 1 of 1 | Total Record : 6