cover
Contact Name
Rifandy Ritonga
Contact Email
info@japhtnhan.id
Phone
-
Journal Mail Official
info@japhtnhan.id
Editorial Address
Jln. Kramat VI, No. 18 Kec. Senen, Jakarta Pusat 10410
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
JAPHTN-HAN
ISSN : -     EISSN : 28288378     DOI : https://doi.org/10.55292/japhtnhan
Core Subject : Social,
Ruang lingkup artikel yang dimuat dalam Jurnal Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi (JAPHTN-HAN) membahas berbagai topik di bidang Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara bagian lain terkait isu-isu kontemporer dalam hukum yang berkaitan dengan bidang Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 30 Documents
Kekosongan Hukum Peraturan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu: Hambatan Pemilu Demokratis dan Berintegritas Rezim Orde Baru Rahmat Bijak Setiawan Sapii; Andre Hartian Susanto; Axcel Deyong Aponno
APHTN-HAN Vol 1 No 1 (2022): JAPHTN-HAN, January 2022
Publisher : Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (728.914 KB) | DOI: 10.55292/japhtnhan.v1i1.3

Abstract

Pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia sebagai upaya mewujudkan pemerintahan yang demokratis mengalami pasang surut dan dinamika yang cukup besar. Di mulai dari terbentuknya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang belum mewadahi konsep pelaksanaan pemilu sehingga terjadi kekosongan hukum seiring berjalannya waktu. Puncaknya ketika rezim orde baru menguasai pemerintahan Indonesia yang menutup segala kemungkinan pelaksanaan pemilu yang demokratis karena segala keputusan terintegrasi dari pemerintahan pusat. Undang - Undang yang mengatur tentang pemilu tidak memberi ruang kepada publik untuk memilih opsi yang banyak dan beragam, namun terkesan satu calon sampai bertahun tahun. Kekosongan tersebut diakibatkan dari konfigurasi politik yang tertutup dan otoriter pada zaman orde baru, dan sangat minimnya konsep penyelesaian sengketa proses pemilu. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual yang diperoleh dari bahan hukum primer seperti undang - undang tentang pemilihan umum dan bahan hukum sekunder yang memaksimalkan buku, jurnal, dan kasus sengketa pemilu. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pelaksanaan pemilihan umum pada masa orde baru belum ideal dan jauh dari nilai - nilai demokratis dan berintegritas. Hal tersebut disebabkan oleh instrumen hukum pemilihan umum yang tidak memadai diantarnya yakni adanya kekosongan hukum pengaturan penyelesaian sengketa proses pemilu dan penyelenggara pemilu yang tidak independen. Oleh sebab itu, diperlukan instrumen hukum yang mengatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa proses pemilu sebagai upaya mewujudkan pemilu yang demokratis dan berintegritas.
Bentuk Ideal Tindak Lanjut Atas Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang Eka N.A.M. Sihombing; Cynthia Hadita
APHTN-HAN Vol 1 No 1 (2022): JAPHTN-HAN, January 2022
Publisher : Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (705.134 KB) | DOI: 10.55292/japhtnhan.v1i1.4

Abstract

Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi oleh bukan addressat utama yaitu pembentuk undang-undang justru menimbulkan masalah baru dan produknya tersebut dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung dikarenakan amar putusan Mahkamah Konstitusi tidak ditindaklanjuti dalam bentuk undang-undang. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat, dalam pengujian undang-undang terdapat norma yang telah diuji di Mahkamah Konstitusi tetapi belum mendapat tindak lanjut dari addressat utama sehingga perlu dikaji bentuk ideal atas Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif melalui pendekatan studi komparatif beberapa negara. Tujuan penelitian ini yaitu untuk menemukan bentuk ideal terhadap tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi perlu memiliki kewenangan melalui amandemen konstitusi, memberikan limitasi waktu bagi legislator untuk merevisi undang-undang agar sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian undang-undang sebagaimana praktik di Negara Slovenia, Ceko, Rumania, Amerika Serikat, Perancis, Ukraina.
Tinjauan Rangkap Jabatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Batam Deddik Harianto; Vieta Imelda Cornelis
APHTN-HAN Vol 1 No 1 (2022): JAPHTN-HAN, January 2022
Publisher : Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1048.285 KB) | DOI: 10.55292/japhtnhan.v1i1.5

Abstract

Polemik rangkap jabatan di Kota Batam masih menjadi masalah yang terus diperdebatkan, sehingga untuk menyelesaikan permasalahan antara Pemeintah Kota Batam dan Walikota Batam, Pemerintah Pusat mengambil kebijakan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Batam sebagai solusi namun munculnya Peraturan Pemerintah tersebut menjadi kontroversi, karena dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Penelitian bersifat normatif mencakup asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan, fakta atau temuan dari Ombudsman dan Badan Pemeriksa Keuangan, berupa maladministrasi dan konflik kepentingan, sehingga Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Batam, perlu disikapi dan dikaji ulang dengan melibatkan bukan cuma tenaga ahli pemerintah namun juga dari eksternal pemerintahan, agar bisa memberi rasa keadilan bagi rakyat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kompleksitas Penyelesaian Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Aini Shalihah; Ernawati Huroiroh
APHTN-HAN Vol 1 No 1 (2022): JAPHTN-HAN, January 2022
Publisher : Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1088.739 KB) | DOI: 10.55292/japhtnhan.v1i1.6

Abstract

Penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya dilimpahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 melalui Mahkamah Konstitusi, hal ini masih menyisakan tanda tanya serta problematika. Di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sendiri masih mengandung multi-interpretasi mengenai frasa lembaga negara. Tidak dijelaskan secara spesifik mengenai lembaga-lembaga negara apa saja yang kemudian menjadi lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara. Mengingat bahwa pembahasan lembaga negara di Indonesia itu amat luas, dalam artian tidak hanya ada 1 ataupun 2 lembaga negara saja. Tujuan dari penulisan ini ingin menganalisis tentang bagaimana kompleksitas penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi. Metode yang dipakai ialah penelitian hukum normatif dengan mengambil pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa tingkat kompleksitas dalam penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara yaitu dari konsep lembaga-lembaga negara serta optimalisasi dari proses penyelesaiannya. Dalam hal ini, tampaknya undang-undang memberikan keleluasaan bagi hakim Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan apa dan siapa lembaga negara yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Sehingga melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 hakim Mahkamah Konstitusi memberikan penegasan antara subjectum litis dan objectum litis dalam sengketa kewenangan lembaga negara.
Perdebatan Status Uang dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Pemeriksaan Badan Usaha Milik Negara Fauzan Ghafur
APHTN-HAN Vol 1 No 1 (2022): JAPHTN-HAN, January 2022
Publisher : Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (726.008 KB) | DOI: 10.55292/japhtnhan.v1i1.9

Abstract

Diskursus hukum keuangan kian beragam. Sangat disesalkan tidak diikuti oleh alternatif yang relevan untuk menyelesaikan problem keuangan negara tersebut. Belum lagi peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mengatur keuangan negara di Indonesia cenderung mengabaikan doktrin badan hukum. Terkhusus badan hukum perdata yang memiliki orientasi bisnis. Sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman (insecure feeling) untuk memajukan bisnis yang mengakar (deep rooted business practice) yang dicita-citakan menjadi sokoguru bagi kemajuan perekonomian nasional. Konsekuensinya, konsep keuangan negara menjadi tidak rasional sebab peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dibangun tidak sehaluan dengan teori hukum yang seharusnya. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum peraturan perundang-undangan. Urgensi penelitian ini adalah untuk mengetahui resiko dari perluasan lingkup keuangan Negara dan memberikan manfaat pada pemerintah dalam melaksanakan pengelolaan keuangan negara. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kewenangan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa Badan Usaha Milik Negara bertentangan dengan konsep Badan hukum. Sebab Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara telah mengatur yang berhak untuk memeriksa laporan tahunan Persero adalah auditor eksternal yang ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
Model Pemilihan Serentak dan Peranan Komisi Pemilihan Umum Pada Pemilihan Serentak Tahun 2024 Wilma Silalahi
APHTN-HAN Vol 1 No 1 (2022): JAPHTN-HAN, January 2022
Publisher : Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (698.379 KB) | DOI: 10.55292/japhtnhan.v1i1.11

Abstract

Pemilu merupakan bentuk keikutsertaan rakyat secara langsung serta bentuk partisipasi politik rakyat dalam pemerintahan yang demokratis. Pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD merupakan cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 serta merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan tahapan pemilu agar dapat berjalan dengan lancar serta terjaminnya asas-asas pemilu, dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu. Dengan demikian, yang menjadi permasalahan yang menarik adalah bagaimana model pemilihan serentak dan peranan KPU pada pemilihan serentak Tahun 2024. Oleh karena itu, kajian ini menggunakan pendekatan normatif dengan paradigma post-positivisme. Pelaksanaan pemilu dikatakan berjalan secara demokratis apabila setiap warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dengan dukungan KPU yang berintegritas, bersifat nasional, tetap, dan mandiri, KPU berperan dalam meningkatkan integritas, netralitas, dan independensi anggota KPU, memberikan pendidikan politik yang sehat kepada pemilih, serta meningkatkan partisipasi pemilih. Lebih lanjut, model pemilihan serentak tetap melaksanakan pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan DPRD, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan kepala daerah serentak untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota. Selain itu, KPU memiliki peranan yang sangat penting pada penyelenggaraan pemilihan serentak tahun 2024 dan juga sangat penting dilakukan evaluasi pelaksanaan pemilihan tahun-tahun sebelumnya dalam rangka perbaikan dan peningkatan penyelenggaraan pemilihan serentak tahun 2024.
Disfungsional Proses Dismissal Pada Peradilan Tata Usaha Negara: Studi Kasus Putusan Nomor 41/G/LH/2018/PTUN.PBR Sulistyowati
APHTN-HAN Vol 1 No 1 (2022): JAPHTN-HAN, January 2022
Publisher : Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (982.27 KB) | DOI: 10.55292/japhtnhan.v1i1.12

Abstract

Peradilan tata usaha negara adalah peradilan yang menjadi salah satu sarana untuk melakukan koreksi atas putusan pemerintah yang terkait atau tercakup dalam tata usaha negara atau administrasi negara. Proses pengujian terhadap kebijakan melalui lembaga peradilan seperti tata usaha negara mempunyai tahapan, pertama tahapan awal yaitu pendahuluan terdiri dari administrasi, proses dismissal, dan pemeriksaan persiapan. Setelah proses tersebut kemudian persidangan . Pada dasarnya Peradilan Tata Usaha Negara adalah tempat untuk diajukannya mengadili sengketa terhadap suatu keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara. Namun yang sering terjadi adalah proses dalam peradilan tata usaha negara tidak dilakukan dengan maksimal. Sehingga yang harusnya proses itu bisa dijalankan dengan efektif justru berkepanjangan sehingga pada akhirnya mencederai proses asas persidangan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Untuk lebih memperjelas hal tersebut maka diambil contoh putusan yaitu nomor perkara 41/G/LH/2018/PTUN.PBR. Dalam putusan tersebut tergambar yang disengketakan terkait dengan obyek sengketa yang pada dasarnya tidak pernah ada. Tetapi Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru berpendapat lain, sehingga perkara disidangkan sampai putusan akhir. Terlebih lagi dalam putusan tersebut juga tidak dibahas sama sekali mengenai eksepsi error in objecto yang diajukan salah satu pihak yang berperkara. Kesimpulannya, terjadi disfungsional terhadap proses dismissal sehingga pada akhirnya mengabaikan ketiadaan objek sengketa tersebut.
Pemilihan Umum Serentak Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia Galang Asmara
APHTN-HAN Vol 1 No 1 (2022): JAPHTN-HAN, January 2022
Publisher : Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (563.182 KB) | DOI: 10.55292/japhtnhan.v1i1.13

Abstract

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji makna Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Serentak berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dan implikasinya terhadap perkembangan Hukum Tata Negara Indonesia. Metode pengkajian menggunakan metode pengkajian hukum normatif. Hasil kajian menunjukkan dengan Putusan Mahkamah Nomor 55/PUU-XVII/2019 Pengertian Pemilihan Umum yang semula hanya merupakan pemilihan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Presiden/Wakil Presiden bergeser menjadi Pemilihan selain untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Prsiden/Wakil Presiden juga meliputi pemilihan untuk Gubernur, Bupati/Walikota. Putusan Mahkamah Nomor 55/PUU-XVII/2019 Pengertian Pemilihan Umum Serentak yang semula hanya merupakan pemilihan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Presiden/Wakil Presiden bergeser menjadi Pemilihan selain untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Prsiden/Wakil Presiden juga untuk pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota (bisa lebih dari 5 kotak). Dengan Putusan Mahkamah Nomor 55/PUU-XVII/2019 telah menimbulkan perkembangan baru pada Hukum Tata Negara Indonesia antara lain berkaitan denganĀ  pemahaman tentang pengertian dan macam-macam klasifikasi Pemilihan Umum; Munculnya beberapa asas Pemilihan Umum; Penegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi yang lahir terdahulu dapat berubah dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang muncul kemudian manakala terdapat basis argumentasi baru yang kuat yang dapat mengubah pendirian.
Politik Dinasti Dalam Pemilihan Kepala Daerah: Persimpangan Antara Hak Asasi dan Demokrasi Farida Azzahra; Indah Fitriani Sukri
APHTN-HAN Vol 1 No 1 (2022): JAPHTN-HAN, January 2022
Publisher : Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (523.809 KB) | DOI: 10.55292/japhtnhan.v1i1.27

Abstract

Jika ditinjau secara hukum, praktik politik kekerabatan atau lazim juga disebut sebagai politik dinasti bahwasanya merupakan praktik politik yang konstitusional di Indonesia. Sebelumnya, terdapat upaya untuk menghambat pertumbuhan politik dinasti melalui Pasal 7 huruf Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mengenai persyaratan calon kepala daerah. Namun, pasca lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, perkembangan politik dinasti pada Pemilihan Kepala Daerah semakin massif di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum Yuridis Normatif (Legal Research) dengan pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Dalam penelitian ini ditemukan praktik politik dinasti di Indonesia telah berlangsung sejak zama pra reformasi. Sebelumnya politik dinasti cenderung terjadi di pemerintahan pusat, namun kini praktik politik dinasti lazim ditemukan pada pemerintahan daerah. Masifnya praktik politik dinasti di daerah ini dikhawatirkan dapat menciderai prinsip demokrasi yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi yang kemudian berdampak pada menurunnya tata kelola pemerintahan di daerah. Untuk itu, diperlukan upaya untuk menghambat praktik politik dinasti di Indonesia.
Analisis Final dan Mengikat Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Zulkifli Aspan; Wiwin Suwandi
APHTN-HAN Vol 1 No 1 (2022): JAPHTN-HAN, January 2022
Publisher : Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (384.105 KB) | DOI: 10.55292/japhtnhan.v1i1.28

Abstract

Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 terkait pemberhentian Anggota Komisi Pemilihan Umum Evi Novida Ginting Manik yang dieksekusi Presiden Jokowi melalui Ketetapan Presiden Nomor: 34/P/2020, dibatalkan oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 82/G/2020/PTUN-JKT menunjukan daya tidak final nya putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum. Penelitian dalam ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Temuan dalam penelitian ini diketahui bahwa ketidakjelasan frasa final putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum dalam Undang-Undang Pemilihan Umum menyebabkan multitafsir, apabila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-XI/2013 dalam Pengujian Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu yang menyatakan jika frasa final dan mengikat putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan hanya mengikat bagi Presiden, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi/Kabupaten/Kota, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum. Padahal putusan etik penyelenggara pemilu melalui Komisi Pemilihan Umum sangat penting guna menegakkan muruah penyelenggara pemilihan umum dan menciptakan integritas pemilihan umum.

Page 1 of 3 | Total Record : 30