cover
Contact Name
Rizanizarli
Contact Email
rizanizarli@unsyiah.ac.id
Phone
+62651-7410147
Journal Mail Official
sklj@unsyiah.ac.id
Editorial Address
Jln. Putroe Phang Street No.1. Darussalam, Provinsi Aceh, 23111
Location
Kab. aceh besar,
Aceh
INDONESIA
Syiah Kuala Law Journal
ISSN : 25491742     EISSN : 25809059     DOI : 10.24815/sklj.v5i3.23030
Core Subject : Humanities, Social,
We are interested in topics relating to domestic and international legal issues. it accepts articles relating to Civil Law, Criminal Law, Civil Procedural Law, Criminal Justice Process, Commercial Law, Constitutional Law, International Law, State Administrative Law, Adat Law, Islamic Law, Agrarian Law, Environmental Law and Constitutional Procedural Law.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 185 Documents
Studi Kasus Penerapan Prinsip Pendaftaran First To File Pada Pembatalan Merek Cap Mawar Andre Asmara; Sri Walny Rahayu; Sanusi Bintang
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 2: Agustus 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (518.169 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i2.11899

Abstract

Merek pada dasarnya adalah tanda untuk mengidentifikasi asala barang atau jasa darisuatu perusahaan dengan barang atau jasa perusahaan lain dan salah satu faktor penunjang kesuksesan dalam pemasaran barang.Hak kepemilikan merek berdasarkan peraturan perundang-undangan diperoleh melalui sistem pendaftaran yang bersifat konstitutif dengan prinsip First to File.Sehingga perolehan merek hanya bagi pihak yang pertama kali melakukan pendaftara. Namun pada kenyataanya masih banyak kasus sengketa merek yang dimenangkan oleh pihak yang tidak mendaftarkan mereknya. Pokok permasalahan yang dibahas dalam penulisan ini adalah penerapan dari sistem konstituif dengan prinsip First to File yang seharusnya telah dapat memenuhi perlindungan hukum bagi pihak merek terdaftar. Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis metode penelitian hukum yuridis – normatif yang terdiri dari pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian pada putusan Mahkamah Agung Nomor 512 K/Pdt.Sus-HKI/2016 sengketa merek Cap Mawar, maka dapat dikatakan bahwa hakim kurang memperhatikan konsep gugatan awal yang didasari itikad tidak baik. Oleh karena dalam hal jangka waktu gugatan yang diajukan telah melampaui batas waktu yang ditentukan dan tidak dapat diajukan kapan saja dengan dasar pertimbangan bahwa merek yang menjadi objek gugatan bukanlah merek terkenal. Oleh sebab itu nilai kepastian akan perlindungan sebuah merek dengan dikeluarkanya sertifikat merek tersebut belum sepenuhnya mendapatkan perlindungan sebagaimana mestinya, meskipun telah melalui proses penyaringan dan waktu yang cukup lama. Hal ini dapat menunjukan bahwa kepastian hukum yang hendak dicapai belum sepenuhnya terpenuhi.Brands are basically a sign to identify goods or services from a company with goods or services of other companies and one of the supporting factors for success in marketing goods. The rights of brand ownership based on laws and regulations are obtained through a constitutive registration system with the First to File principle. So that the acquisition of a brand is only for the party who first registered. But in reality there are still many cases of brand disputes won by those who did not register their brands. The main problem discussed in this paper is the application of a constituent system with the principle of First to File that should have been able to fulfill legal protection for registered brands. The type of research method used in this writing is a type of juridical-normative legal research method which consists of the approach of legislation, case approach and conceptual approach. The results of the research on the Supreme Court Decision Number 512 K / Pdt.Sus-HKI / 2016 in the Cap Mawar brand dispute, it can be said that the judge did not pay attention to the initial lawsuit concept based on bad faith. Because in the event that the time period for the lawsuit filed has exceeded the prescribed time limit and cannot be submitted at any time on the basis of consideration that the trademark that is the object of the lawsuit is not a well-known brand. Therefore the value of the certainty of the protection of a brand with the issuance of the brand certificate has not fully received the proper protection, even though it has gone through a screening process and a long time. This can indicate that the legal certainty to be achieved has not been fully fulfilled.
Peranan Hakim Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Pasca Perceraian di Mahkamah Syar’iyah Bahrun Bahrun; Syahrizal Abbas; Iman Jauhari
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 3: Desember 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (598.119 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i3.11718

Abstract

Pasal 4 ayat (1) dan (2) Perma Nomor 1 Tahun 2016 menyatakan bahwa wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui mediasi, begitu pula Pasal 17 ayat (1) Hakim Pemeriksa Perkara mewajibkan Para Pihak menempuh Mediasi. Karena Mediasi diharapkan menjadi wadah pilihan untuk memperoleh solusi yang didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan pihak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan peranan dan hambatan hakim mediator serta untuk mengetahui upaya yang dilakukan untuk mencegah dan mengatasi terjadinya hambatan tersebut. Jenis penelitian dengan pendekatan yuridis empiris. Teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan untuk data sekunder dan penelitian untuk memperoleh data primer. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif. Berdasarkan penelitian diketahui peranan hakim mediator dalam menangani perkara/sengketa sudah berjalan, namun belum optimal. Terbukti dari 18 (delapan belas) kasus, jumlah kasus yang selesai melalui mediasi hanya 2 (dua) kasus, sedangkan tahun 2016 sampai 2017 belum ada kasus yang selesai melalui mediasi. Hal tersebut disebabkan jumlah mediator yang terbatas dan kurang memiliki kapastitas sumber daya yang memadai. Upaya untuk mencegahnya berupa sosialisasi manfaat mediasi dan mengikuti pelatihan mediasi serta mediasi harus dilakukan secara profesional. Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh hendaknya melakukan sosialisasi manfaat Mediasi, dan Mahkamah Agung RI hendaknya mengevaluasi praktik mediasi dan menambah jumlah hakim.Article 4 paragraph (1) and (2) Supreme Court Regulation Number 1 of 2016 states that it must first be pursued a settlement through mediation, as well as Article 17 paragraph (1) of the Judicial Examining Judge requiring the Parties to take Mediation. Because Mediation is expected to be a container of choice to obtain solutions that are based on the interests and needs of the parties. This research aims to know and explain the roles of mediator judges and obstacles faced by the judgesin settling the dispute of marital propertiesafter the divorce at Mahkamah Syar’iyah of Banda Aceh. This research also aims to know the efforts done to prevent and handlethe hurdles in settling the disputes post-divorce at Mahkamah Syar’iyah of Banda Aceh. This is juridical empirical research. The data are collectedthrough library research in order to obtain secondary data and field research is conducted in order to obtain primary data.This research applies qualitative analysis. Based on the research, it is known that the role of mediator judges in handling cases / disputes is already underway, but not optimal. It is evident from 18 cases, the number of cases completed through mediation is only 2 cases, whereas in 2016 until 2017 there have been no cases completed through mediation. This is due to the limited number of mediators and lack of adequate resource capacity. Efforts to prevent it in the form of socializing the benefits of mediation and participating in mediation and mediation training must be carried out professionally. The Chairperson of the Banda Aceh Syar'iyah Court should disseminate the benefits of Mediation, and the Indonesian Supreme Court should evaluate the practice of mediation and increase the number of judges.
Information Inequality With Insider Trading Practices in The Indonesian Capital Market Nararia Aji Bhuana; Celia Rahma Putri Eritika; Brawijaya B Kusuma
Syiah Kuala Law Journal Vol 5, No 2: Agustus 2021
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (55.189 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v5i2.21705

Abstract

This paper focus on discussing the issue of insider trading pratices in the Indonesian capital market. Bearing Act 8 of 1995 concerning the Capital Market does not provide a clear definition of insider trading. Insider trading is a practice carried out by people in the corporation who in carrying out trading activities make use of information exclusively through insiders. Insider trading is one of the crimes in the capital market which has a very detrimental impact on many parties. The existence of inside information that is not yet available to the public is misused to trade shares on that information. The practice of insider trading is a capital market crime which in terms of proof is very difficult to prove. The practice of insider trading is a violation of the principle of transparency, even though the objective of implementing the principle of openness is to ensure transparency in capital market activities.
Analisis Terhadap Aturan Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Aceh di Kabupaten/Kota Ainal Mardhiah; Eddy Purnama; Mahdi Syahbandir
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 2: Agustus 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (268.706 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i2.11628

Abstract

Permendagri Nomor 95 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah Aceh tidak mengatur secara detail tentang Satpol PP dan WH. Satpol PP dan WH diatur dengan Qanun Aceh/Qanun Kabupaten/Kota atau Peraturan Gubernur/Peraturan Bupati/Walikota. Karena tidak ada aturan dari pemerintah pusat yang mengatur khusus tentang Satpol PP dan WH, mengakibatkan adanya perbedaaan struktur organisasi tata kerja, penyebutan nomenklatur dan standar operasional prosedur baik provinsi dengan kabupaten/kota maupun antara sesama kabupaten/kota. Untuk itu perlu aturan khusus yang bersifat nasional atau aturan dari pusat yang mengatur tentang Satpol PP dan WH di Aceh. Kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota diharapkan dapat mendorong Pemerintah Pusat melakukan upaya agar melahirkan regulasi yang bersifat nasional yang mampu mengakomodir kepentigan Satpol PP dan WH di Aceh dan terus melakukan review terhadap aturan yang sudah ada maupun yang akan dilahirkan nantinya. The Internal Affair Ministry Regulation Number 95, 2016 regarding Aceh Official Structure does not mention detailed regarding the organizational structure of the Municipal Police and the Sharia Police. The Governor or Head of Region/Major Regulation is only rule on the Municipal Police and the Sharia Police. Hence it has impact on the different structures of working unit organization, the wording and the standard operating procedure either provincial or local or between regions.  It is recommended that it is necessary to enact special law, which is nationally ruling on the municipal and Sharia Police in Aceh. In addition, the government of Aceh and the Regional/municipal Government should encourage the central government to enact national laws on the interest of the polices in Aceh and these should be reviewed.
Legal Protection For Investors In Crowdfunding Services Through Information Technology Offers (Equity Crowdfunding) Novia Choirunnisa; Nahdlotul Fadilah
Syiah Kuala Law Journal Vol 4, No 2: Agustus 2020
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (542.191 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v4i2.17236

Abstract

The readiness of the community in the era of information technology has opened up opportunities in online businesses such as equity crowdfunding, equity crowdfunding as an alternative capital is increasingly in demand, especially by novice businesses. The Financial Services Authority issues regulations regarding the Equity Crowdfunding transaction model by issuing the Financial Services Authority Regulation Number 37 / POJK.04 / 2018. This provides questions for the regulation of Equity Crowdfunding in Indonesian Capital Market Law. The writer in this study would like to examine and analyze the Equity Crowdfunding activities and legal protection for investors, because legal protection is a form of legal certainty. The research method used is a normative juridical types, the problem approach uses the legislation approach and the conceptual approach. The results show that equity crowd funding is a form of new innovation in funding sources. The service mechanism has many similarities with public offering activities in the capital market, only the implementation is simpler. Equity Crowdfunding legal protection for investors who have been registered in the provisions of Chapter 54 paragraph (2) POJK Number 37 / POJK.04 / 2018, providing the latest information is only placed on the organizer's website or website.
Implementasi Perjanjian Dana Bergulir Antara Badan Kerjasama Antar Desa Dengan Kelompok Masyarakat Gampong Di Pidie Yusriadi Yusriadi; Sri Walny Rahayu; Taqwaddin Taqwaddin
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 1: April 2017 (Print Version)
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (309.887 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i1.12298

Abstract

Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dimana kerjasama antar Desa dilaksanakan oleh Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) yang dibentuk melalui peraturan bersama antar kepala Desa melalui kesepakatan Musyawarah Antar Desa. BKAD bertanggung jawab untuk mengimplementasikan kerja sama Desa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 38 tahun 2007 Tentang Kerjasama Desa dan di dalam Undang-Undang Desa dan BKAD tidak mengatur secara tegas tentang Perjanjian dikarenakan setiap melakukan kerjasama pihak BKAD harus membuat perjanjian untuk memikat antara pihak BKAD dengan kelompok masyarakat gampong di Pidie sebagaimana perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Tujuan penelitian untuk mengetahui implementasi perjanjian dana bergulir antara Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) dengan kelompok masyarakat dan untuk mengetahui hambatan yang ditemukan dalam implementasi perjanjian dana bergulir antara Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) kepada kelompok masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum empiris (yuridis empiris) dengan mengunakan data primer, data sekunder dan tersier. Hasil penelitian bahwa pelaksanaan perjanjian dana bergulir sudah berjalan sesuai dengan mekanisme yang dituangkan dalam Standart Operasional Prosedur ( SOP) perguliran pola syari’ah dan menggunakan sistem murabahah yaitu akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli, hambatan yang terjadi disebabkan oleh gagalnya usaha, lambat lakunya produk usaha, tidak tepat dalam penggunaan dana untuk modal usaha, tidak jujurnya anggota dalam pengembalian utang jual beli.The Act Number 6, 2014 regarding Village. and Government Regulation number . 43, 2014 on the Implementation of Act number . 6, 2014 on Villages where inter-village cooperation is carried out by the Inter-Village Cooperation Agency (BKAD) established through a joint regulation between village heads through an Inter-Village Deliberative Assembly. BKAD is responsible for implementing the Village Cooperation based on the Minister of Home Affairs Regulation number. 38, 2007 on Village Cooperation and in Village Law and BKAD does not expressly stipulate the Agreement due to any cooperation the BKAD has to make an agreement to lure between the BKAD community groups in Pidie as arranged in Article 1313 the Civil Code states: "A covenant is an action by which one or more persons commit themselves to one or more persons. This research aims to know the agreement implementation of rotational budget between the inter-village cooperation board and people groups of village and to explore the obstacles faced in the implementation of the agreement implementation of rotational budget between the inter-village cooperation board and people groups of village. This is doctrinal legal research and juridical empirical research by applying primary, secondary and tertiary data.The research shows that the implementation of the agreement implementation of rotational budget has been going as demanded by the rules which are worded in the Standard Operating Procedure (SOP) the rotational pattern of Sharia and using murabahah principle that is the trading agreement by using the statement of basic prices and margin which is consented by both buyers and traders, the obstacles faced are enterprise’s’ failure, lack of products’ sale, inaccurate in using fund for capital of enterprise, lack of honesty of members in paying loan of trading.
The Level of Community Compliance in Ponorogo Regency With The Covid 19 Health Protocol Latif Setyo Nugroho
Syiah Kuala Law Journal Vol 5, No 1: April 2021
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (390.04 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v5i1.20643

Abstract

This article discusses the level of community compliance in Ponorogo district with the Covid-19 health protocol. The Covid 19 pandemic has spread on a global scale. This has implications for many sectors. In Indonesia itself has implemented the Health Protocol in every region in the regency and city. No exception in Ponorogo which also applies the health protocol. Health protocols include wearing a mask when traveling, maintaining distance and washing hands after traveling. Many impacts were felt during this pandemic. One of them is felt by traders who usually trade in the Car Free Day area who cannot sell because CFDs are eliminated. In addition, the implementation of a curfew where after 8:00 p.m. the street lights will be turned off and traders selling on the side of the road are required to close. This has led to the turnover of traders who usually open roadside stalls, especially those. even so there are still many who violate these health protocols. One of them can be seen during mask raids on motorists on the highway. The method used is descriptive qualitative method, while the theory used is the conflict of Karl Marx due to differences in interests between society and the government.
Pertanggungjawaban Pidana Perusakan Barang Yang Dilakukan Bersama-Sama Syahruman Tajalla; Yanis Rinaldi
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 1: April 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (346.148 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i1.10575

Abstract

Pasal 406 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa orang yang merusak properti orang lain dipidana penjara maksimal dua tahun delapan bulan atau denda maksimal Rp 4.500,-. Tidak dapat dikatakan adil jika perusakan terhadap properti orang lain dipidana dengan pidana penjara dan denda saja tanpa adanya pemulihan terhadap properti tersebut (ganti kerugian). Ketiadaan perbedaan pidana antara orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan pidana berdasarkan Pasal 55 KUHP, tidak dapat dikatakan adil karena perbuatan dan akibat yang ditimbulkan berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pertanggungjawaban pidana atas perusakan barang yang dilakukan bersama-sama berdasarkan konsep keadilan. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Data yang digunakan terdiri bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai keadilan, pidana terhadap pelaku perusakan barang adalah ganti kerugian untuk korban. Dalam tindak pidana perusakan barang secara bersama-sama, maka seharusnya masing-masing orang bertanggung jawab sesuai akibat dan perbuatannya.Article 406 paragraph (1) of the Criminal Code states that the person who damages the property of another person shall be sentenced to a maximum of two years and eight months imprisonment or a maximum fine of Rp 4.500. It can not be said to be fair if the destruction of another person's property is punishable by imprisonment and fine only in the absence of a recovery of the property (compensation). The absence of punishment difference between the perpetrator, person who ordered or involved under Article 55 of the Criminal Code, can not be said to be fair because the actions and consequences inflicted vary from one person to another. This study aims to explain the criminal liability for the destruction of goods carried out jointly based on the concept of justice. This type of research is normative legal research. The data used consist of primary, secondary and tertiary law materials. The results show that to achieve justice, the punishment to the perpetrator of the destruction of goods is a compensation to the victim. In the criminal act of destruction of goods carried out jointly, then each person should be responsible according to the consequences and actions.
Tindak Pidana Menganjurkan Orang Lain Melakukan Pembunuhan Musriza Musriza; M. Iqbal
Syiah Kuala Law Journal Vol 4, No 1: April 2020
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (388.575 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v4i1.16878

Abstract

Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa menentukan seseorang yang menganjurkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dimana orang lain tersebut tergerak untuk memenuhi anjurannya disebabkan karena terpengaruh oleh upaya-upaya yang dilancarkan penganjur. Sedangkan mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Namun prakteknya masih ada masyarakat yang mencoba untuk melakukan percobaan dengan membujuk orang lain untuk melakukan pembunuhan. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan faktor pelaku menganjurkan orang lain melakukan percobaan pembunuhan, menjelaskan alasan penyelesaian kasus di luar proses pengadilan, dan menjelaskan upaya penegakan hukum yang dilakukan kepolisian terhadap pelaku. Metode penelitian dilakukan dengan menggunakan penelitian yuridis empiris. Hasil penelitian menjelaskan bahwa faktor pelaku melakukan percobaan pembunuhan yaitu karena pelaku merasa kesal terhadap korban karena lembu mlik korban dilepas sembarangan sehingga merusak lahan pelaku. Kasus ini diselesaikan diluar pengadilan yaitu melalui musyawarah. Upaya penegakan hukum yang dilakukan belum maksimal karena diselesaikan diluar pengadilan yaitu secara damai. Disarankan kepada masyarakat agar lebih bijak dalam berbicara dan seharusnya permasalahan ini diproses di Pengadilan sehingga menimbulkan efek jera terhadap pelaku.
Kedudukan Kesaksian Polisi Penangkap Dalam Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba Teuku Hendra Gunawan; Dahlan Ali; M. Nur Rasyid
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 1: April 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (236.104 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i1.12530

Abstract

Putusan No. 1531 K/Pid.Sus/2010 Mahkamah Agung memutus bebas terdakwa tindak pidana narkotikabernama Ket San.Salah satu pertimbangan utama Mahkamah Agung adalah perihal kedudukan 2 (dua) orang polisi yang menangkap Ket San yang kemudian juga hadir sebagai saksi dipersidangan. Permasalahan yang perlu dikaji yaitu hubungan antara tersangka dengan polisi penangkapdan pembuktian kesaksian polisi penangkap dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan narkoba.Tujuan penulisan untuk mengetahui hubungan antara tersangka dengan polisi penangkap dan bagaimana kekuatan pembuktian saksipolisi penangkap dalam perkara penyalahgunaan narkoba.Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis empiris. Hasil penelitian diketahui bahwa selama proses pemeriksaan berlangsung, seseorang yang disangka atau didakwa melakukan sesuatu tindak pidana dilindungi oleh hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 50 sampai Pasal 68 KUHAP. Polisi Penangkap boleh bersaksi sepanjang memenuhi kualifikasi saksi sebagaimana diatur Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP dan tidak dapat dipertimbangkan apabila keterangan saksi tersebut bertentangan dengan Pasal 185 ayat (6) KUHAP, secara formal kehadiran polisi penangkap di persidangan pada saat memberi keterangan yang sifatnya verbalisan. Disarankan bagi instansi penegak hukum untuk profesionalisme, wajib menghormati hak orang yang melakukan tindak pidana dalam memperoleh hak-haknya danketerangan saksi yang berasal dari Polisi Penangkap saja dalam satu perkara pidana sebaiknya dihindari kecuali Penuntut Umum memiliki alat bukti lain yang untuk mendukung pembuktian di persidangan.Ruling No. 1531 K/Pid. Sus/2010 Supreme Court break free of narcotics crime defendants named Ket San. One of the main considerations of the Supreme Court is about the position of two policemen who arrested Ket San which is then also present as witness in the courts. Problems that need to be examined are; the relationship between the suspect with police catcher and  the strength of police testimony in the case Crime Catcher drug abuse. The purpose of writing to find out the relationship between the suspect and catcher with the police how the strength of police testimony in the case Crime Catcher drug abuse. The research method used i.e. empirical juridical. The results of the research it is known that during the review process progresses, a person who is suspected or claimed to do something criminal acts are protected by law as set forth in article 50 to Article 68 Code of Criminal Procedure (KUHAP). Police Capture may testify all meet the qualifications of the witness as provided for article 1 numbers 26 and 27 Code of Criminal Procedure and cannot be taken into consideration when the witnesses are contrary to Article 185 paragraph (6) of the Code of Criminal Procedure, formally capture police presence is used at the time of giving the information to its verbalisan. Recommended for law enforcement agencies to work are professionalism, respect the right of the person obligated to perform criminal acts in obtaining his rights. And witnesses who came from the police only Catcher in one criminal cases should be avoided unless the Prosecutor has evidence sufficient to support another proof in court.

Page 1 of 19 | Total Record : 185