cover
Contact Name
Haekal Al Asyari
Contact Email
haekal.al.asyari@ugm.ac.id
Phone
+62274-512781
Journal Mail Official
hk-mimbar@ugm.ac.id
Editorial Address
Unit Riset dan Publikasi FH UGM, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Jalan Sosio Yustisia Nomor 1 Bulaksumur, Yogyakarta 5528.
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Mimbar Hukum
ISSN : 0852100X     EISSN : 24430994     DOI : 10.22146/jmh
Core Subject : Social,
Mimbar Hukum is an academic journal for Legal Studies published by Journal and Publication Unit of the Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada. Mimbar Hukum contains several researches and reviews on selected disciplines within several branches of Legal Studies (Sociology of Law, History of Law, Comparative Law, etc.). In addition, Mimbar Hukum also covers multiple studies on law in a broader sense. We are interested in topics which relate generally to Law issues in Indonesia and around the world. Articles submitted might cover topical issues in, Civil Law, Criminal Law, Civil Procedural Law, Criminal Procedure Law, Commercial Law, Constitutional Law, International Law, State Administrative Law, Adat Law, Islamic Law, Agrarian Law, Environmental Law.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 57 Documents
OPTIMALISASI PERAN PENEGAK HUKUM DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN KEKERASAN KOTA PADANG Yusnita Eva; Firdaus; Witia Oktaviani
Mimbar Hukum Vol 33 No 1 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (290.039 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i1.1951

Abstract

Abstract There seems to be an imbalance between regulations and the implementation of the law enforcement process in seeking justice for child victims of violence. The data from 2017 concerning the violence at the children at the municipality of Padang, as reported by the Police Department, reached 115 cases. This trend did not change, as shown by the cases between January and August 2018, when 77 child abuse cases were tabled to the court of the municipality. Only 36 cases in 2017 were submitted to the District Court for legal proceedings. Furthermore, from 2018 to September, only 17 cases were resolved by the District Court. This paper aims to explain the role of law enforcement in optimizing the law to protect the child and strengthen the function of the child protection institution, including DP3AP2KB and LPA. Further, it linked to the efforts that the judges and police have done as vanguards to defend the interests of the children. This study also shows that the role of the law enforcers remains the small function to be done. It is caused by the fact that this institution possessed limited authority. Likewise, the child protection institution carried out advocacy and the institutions did not have any authority to provide some legal advice. Intisari Terlihat adanya kesan ketidakseimbangan antara peraturan dan pelaksanaan proses penegakan hukum dalam mencari keadilan bagi anak-anak korban kekerasan. Data kekerasan kepada anak kota Padang tahun 2017 mencapai 115 kasus yang dilaporkan ke Polresta. Kasus kekerasan ini tidak mengalami penurunan sebab data tahun 2018 dari Januari sampai Agustus mencapai 77 kekerasan anak, hanya 36 perkara tahun 2017 yang masuk ke Pengadilan Negeri untuk diproses hukum. Selanjutnya tahun 2018 sampai September hanya 17 perkara yang diselesaikan pihak Pengadilan Negeri. Persoalan di atas menjadi tujuan untuk menjelaskan tentang peranan mereka dalam mengoptimalkan penegakan hukum terhadap perlindungan anak dan hubungannya dengan lembaga-lembaga perlindungan anak seperti DP3AP2KB dan LPA. Selanjutnya juga dikaitkan dengan upaya yang telah dilakukan oleh hakim dan polisi (PPA) sebagai garda terdepan yang membela kepentingan anak sebagai korban kekerasan. Faktanya, peran penegak hukum hanya sebagian kecil yang bisa terlaksana, disebabkan keterbatasan wewenang mereka dalam aturan. Begitu juga dengan lembaga-lembaga perlindungan anak, hanya sekedar melakukan advokasi dan tidak punya kewenangan untuk memberikan pertimbangan hukum.
UNCLOS 1982 AND THE LAW ENFORCEMENT AGAINST ILLEGAL FISHING IN INDONESIA: JUDGES’ DIVERGING PERSPECTIVES Agustina Merdekawati; Taufiq Adiyanto; Irkham Afnan Trisandi Hasibuan
Mimbar Hukum Vol 33 No 1 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (381.511 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i1.1954

Abstract

Abstract Indonesia has not been able to come up with an effective punishment enforcement to deal with illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) in its Exclusive Economic Zone (EEZ), partly due to certain legal limitations put forward in United Nations Convention on The Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) regarding the permissible punishment. There are two perspectives of Indonesian judges regarding the imposition of penalties towards IUUF offenders in Indonesia’s EEZ. They agree to impose fines but differ on whether to add substitutive confinement. This study aims to understand the diverging views of judges regarding the implementation of UNCLOS 1982 provisions and to provide recommendations to optimize the law enforcement of fisheries regulations. This study is a normative legal research, which utilizes secondary data. This study concludes that the diverging view is correlated to the judges’ view on the adoption of international laws into national laws and that it is imperative for the Government to choose and optimize one legal policy to achieve an effective law enforcement regime. Intisari Indonesia mengalami kendala dalam menerapkan penegakan hukuman terhadap pelaku illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Terdapat dua perspektif hakim-hakim di Indonesia dalam putusannya terkait penjatuhan hukuman pidana terhadap pelaku IUUF di ZEE Indonesia. Mereka sepakat untuk menjatuhkan pidana denda, namun berbeda pendapat terkait penjatuhan pidana kurungan pengganti denda. Penelitian ini bertujuan untuk memahami alasan perbedaaan pandangan oleh hakim terhadap penerapan ketentuan-ketentuan dalam United Nations Convention on The Law of the Sea Tahun 1982 (UNCLOS 1982) dan memberikan rekomendasi optimasi penegakan hukum di bidang perikanan. Penelitian ini merupakan penelitian legal normatif dengan menggunakan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkanbahwa perbedaan pandangan hakim berkaitan dengan pandangan mereka terhadap penerapan hukum internasional ke dalam hukum nasional, dan penting bagi Indonesia untuk memilih dan melakukan optimasi terhadap satu legal policy untuk menciptakan rezim penegakan hukum yang efektif.
A BRAVE NEW FRONTIER IN THE DICHOTOMOUS INDONESIAN LABOUR LAW: GIG ECONOMY, PLATFORM PARADOX AND WORKERS WITHOUT EMPLOYERS David Tan
Mimbar Hukum Vol 33 No 1 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/mh.v33i1.1956

Abstract

Abstract Historical records have admitted the labour law as a curative mechanism for the disparity of bargaining power in the labour market, with contemporary theories concentrating on essential rights protection and fixing inefficiencies. The emergence of the gig economy brings turmoil despite their beneficial nature. The methodology in this study utilises a normative juridical method. The study reveals that the gig economy is not a new phenomenon, but within the context of precarious work. Recommendations were put forward as the justified necessity for a new personalised labour regulation in Indonesia based on the two general principles of statutory efficiency. Intisari Catatan sejarah telah mengakui hukum ketenagakerjaan sebagai suatu mekanisme kuratif untuk mengatasi masalah disparitas daya tawar di bursa tenaga kerja dengan teori kontemporer saat ini yang berkonsentrasi pada perlindungan hak-hak esensial serta memperbaiki inefisiensi. Munculnya gig economy membawa gejolak hukum meskipun sejatinya tetap bersifat sangat benefisial. Metodologi dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Studi ini mengungkapkan bahwa gig economy bukanlah fenomena baru, melainkan masih tergolong ke dalam konteks pekerjaan tidak tetap. Rekomendasi juga diajukan sebagai suatu kebutuhan yang dijustifikasi untuk memperbarui peraturan ketenagakerjaan yang lebih dipersonalisasi di Indonesia berdasarkan dua prinsip umum efisiensi hukum.
PEMANFAATAN LAW AND ECONOMICS SEBAGAI METODOLOGI ANALISIS HUKUM DI INDONESIA Kristianus Pramudito Isyunanda
Mimbar Hukum Vol 34 No 1 (2022): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (435.33 KB) | DOI: 10.22146/mh.v34i1.2063

Abstract

Abstract There are various dimensions of legal thoughts to solve and provide logical solutions for legal issues or problems. The complexity of problems that require legal solutions creates an urgency to explore interdisciplinary analysis, one of which is between legal science and economic studies. This article is to explore the available options for economic analysis of laws (law and economics as an interdisciplinary approach on laws) and their use in the Indonesian legal system. The desired state is to present an alternative methodological tool for legal studies in Indonesia. Theories, conventions, and economic principles within the law and economics framework are relevant to be methodological tools to solve legal issues in Indonesia. Abstrak Pemikiran hukum memiliki berbagai dimensi, dengan tujuan menjawab isu/permasalahan hukum serta memberikan solusi logis. Kompleksitas masalah yang memerlukan solusi hukum mendorong kebutuhan eksplorasi atas irisan interdisipliner, salah satunya antara ilmu hukum dan ekonomi. Artikel ini mengeksplorasi pilihan-pilihan analisis keekonomian tentang hukum (law and economics sebagai pendekatan interdisipliner tentang hukum) dan pemanfaatannya pada sistem hukum Indonesia. Penulisan bertujuan melengkapi khazanah metodologi analisis hukum di Indonesia. Teori, kaidah, dan prinsip ekonomi dalam kerangka law and economics relevan menjadi kacamata metodologis untuk memecahkan persoalan hukum di Indonesia.
MAHKAMAH AGUNG DAN SUPREMASI KONSTITUSI: DISKRESI YUDISIAL DALAM PENERAPAN UNDANG-UNDANG Titon Slamet Kurnia
Mimbar Hukum Vol 34 No 1 (2022): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (352.838 KB) | DOI: 10.22146/mh.v34i1.2084

Abstract

Abstract This article aims to discuss the role of the Supreme Court in defending the principle of the supremacy of the constitution. The discussion finds that the Supreme Court has inherent judicial authority to defend the supremacy of the constitution over legislation even though the Constitution itself does not confer the authority explicitly. This article uses conceptual or theoretical and comparative approaches. Constitution supremacy is a fundamental constitutional principle that binds all public authorities of the State. As part of the public authorities, the Supreme Court must disregard unconstitutional legislation. To do this the Supreme Court has judicial discretion to set aside legislation whenever it assumes that the legislation in question is contrary to the Constitution before it can be applied in a concrete case. Unlike the Constitutional Court, the Supreme Court does not have the authority to invalidate unconstitutional legislation. The Supreme Court may assess the constitutionality of legislation in the sense of weak-form judicial review. Whereas the Constitutional Court’s authority to review the constitutionality of legislation is a strong-form judicial review. The two models of judicial review should work together because Indonesia adopts the supremacy of the constitutional principle, instead of the supremacy of the Constitutional Court. Abstrak Artikel ini bertujuan hendak mendiskusikan peran Mahkamah Agung dalam mempertahankan asas supremasi konstitusi. Hasil dari diskusi tersebut adalah Mahkamah Agung memiliki kewenangan yudisial inheren dalam mempertahankan supremasi konstitusi terhadap undang-undang meskipun Konstitusi sendiri tidak memberikan kewenangan eksplisit. Artikel ini menggunakan pendekatan teoretis atau konseptual dan pendekatan perbandingan. Supremasi konstitusi adalah asas konstitusional fundamental yang mengikat seluruh badan pemerintah. Sebagai bagian dari badan pemerintah, Mahkamah Agung memiliki diskresi yudisial untuk mengesampingkan undang-undang manakala dia beranggapan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi sebelum menerapkannya ke dalam kasus konkret. Tidak seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan undang-undang tidak memiliki kekuatan mengikat. Mahkamah Agung dapat menilai konstitusionalitas undang-undang dalam pengertian weak-form judicial review. Sementara kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas undang-undang adalah strong-form judicial review. Kedua model pengujian yudisial tersebut seyogianya berjalan bersama karena Indonesia mengadopsi asas supremasi konstitusi, ketimbang supremasi Mahkamah Konstitusi.
MENYOAL PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAKAN MALAPRAKTIK KEDOKTERAN DI TENGAH PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA T. Subarsyah
Mimbar Hukum Vol 34 No 1 (2022): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (290.928 KB) | DOI: 10.22146/mh.v34i1.2257

Abstract

Abstract Indications of malpractice by medical personnel when handling Covid-19 cases are in the public spotlight quite seriously. These actions are feared to be a bad image and a frightening specter for patients and the general public. This paper aims to answer the doctor's criminal responsibility due to negligence in handling the health of patients infected with Covid-19. The approach method is normative juridical by examining the legislation, and various legal literature that supports writing. The result of the study is a description of the doctor's responsibility due to negligence from the juridical aspect in the form of analytical descriptive. As for the conclusions, the impact of malpractice and the responsibility of doctors in terms of criminal, civil and code of ethics. AbstrakIndikasi adanya tindakan malapraktik oleh tenaga medis saat penanganan kasus Covid-19 menjadi sorotan publik yang cukup serius. Tindakan tersebut dikhawatirkan menjadi citra buruk dan momok menakutkan bagi pasien dan masyarakat umum. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanggung jawaban pidana dokter akibat kelalaian penanganan kesehatan pasien yang terinfeksi Covid-19. Metode pendekatan melalui yuridis normatif dengan menelaah peraturan perundang-undangan, dan berbagai literatur ilmu hukum yang mendukung tulisan. Hasil telaah berupa gambaran pertanggung jawaban dokter akibat kelalaian dari aspek yuridis dalam bentuk deskriptif analitis. Adapun kesimpulan, dampak malapraktik dan pertanggung jawaban dokter dari sisi pidana, perdata dan kode etik.
IMPLEMENTATION OF IMAM AL-MAWARDI'S THOUGHTS ON POLITICS AND LAW IN THE INDONESIAN JUDICIAL POWER Hanif Fudin
Mimbar Hukum Vol 34 No 1 (2022): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (371.111 KB) | DOI: 10.22146/mh.v34i1.2276

Abstract

Abstract The constitutional significance in the rule of law within the framework of the political system is the judicial power. This is considered as the benchmark in the implementation of the rule of law. In this case, Imam Al-Mawardi’s doctrine contain relevance to the judicial power in Indonesia, especially in its political and law context related to judges as the figure of the court. This research is a literature research based on literal-descriptive method and using a normative, political, and philosophical approach with the objective of analyzing politics and law as a constitutional discourse in the judicial field based on Imam al-Mawardi's doctrine of the judicial power in Indonesia. The results show that Imam al-Mawardi's conceptual ideas of politics and law in the judicial power led to the strengthening of judge as a central figure in the judicial field showing the integrity of the judicial power in the constitution of Indonesia within the judicial field as a form of accountability. Abstrak Signifikansi konstitusional pada negara hukum dalam kerangka sistem politik adalah kekuasaan kehakiman. Hal tersebut dinilai sebagai bentuk tolakan dalam pelaksanaan suatu negara hukum. Dalam hal ini, pemikiran Imam Al-Mawardi memuat relevansi dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia, terutama dalam konteks politik dan hukumnya terkait figur hakim pengadilan. Oleh karenanya penelitian yang dilakukan adalah penelitian pustaka dengan menggunakan metode deskriptif-literal disertai pendekatan yuridis, politis, dan filosofis dalam rangka mengetahui urgensi politik dan hukum sebagai wacana ketatanegaraan di bidang peradilan dari perspektif Imam al-Mawardi terhadap kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran konseptual Imam al-Mawardi tentang politik dan hukum dalam kekuasaan kehakiman lebih mengarah pada penguatan aspek hakim sebagai figur sentral di bidang peradilan untuk mewujudkan integritas kekuasaan kehakiman sebagaimana dalam ketatanegaraan Indonesia pada bidang peradilan sebagai bentuk pertanggungjawaban.
A SAFE HARBOUR: A PREDETERMINED MARGIN METHOD TO REDUCE TRANSFER PRICING COMPLIANCE BURDEN Maria R.U.D. Tambunan
Mimbar Hukum Vol 33 No 2 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (336.698 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i2.2277

Abstract

Abstract The safe harbour provision was unpopular since the beginning of transfer pricing (TP) implementation in Indonesia, even though this provision has been well-known in several countries. Indonesia’s existing safe harbour provision has solely governed the threshold on TP documentation obligation that could not offer certainty about tax audit treatment. The TP threshold refers to the total transaction volume per fiscal year with an affiliation that allows taxpayers to get relief from submitting TP documentation. A deemed profit also applies to a certain manufacture contract. With current provisions, the TP burden of taxpayers and tax administration could not reduce because no certainty on the tax audit exemption with the existence of the threshold provision. Therefore, it needs to improve the safe harbour rule to enhance the certainty manufacturer and reduce the administrative burden. Abstrak Ketentuan safe harbour sebagai bagian dari ketentuan transfer pricing (TP) belum populer di Indonesia, meskipun ketentuan tersebut cukup popular di berbagai negara. Ketentuan yang ada di Indonesia saat ini hanya terkait penentuan ambang batas kewajiban pendokumentasian TP yang belum memberikan kepastian hukum terkait pemeriksaan pajak. Ambang batas tersebut diperhitungkan berdasarkan total volume transaksi dengan afiliasi selama satu tahun fiskal yang memungkinkan wajib pajak mendapatkan keringanan dari penyerahan dokumentasi TP. Selain itu, terdapat ketentuan deemed profit (perkiraan keuntungan) bagi perusahaan kontrak manufaktur tertentu. Ketentuan saat ini belum mampu mengurangi kewajiban administratif TP bagi wajib pajak dan otoritas pajak karena tidak adanya kepastian bahwa wajib pajak yang tidak memenuhi ambang batas. Oleh karena itu, diperlukan penyempurnaan atas ketentuan yang berlaku saat ini untuk menciptakan ketentuan safe harbour yang memberikan kepastian dan pengurangan beban administrasi.
THE REGULATION OF DISCLOSURE PRINCIPLE IN EQUITY CROWDFUNDING (A COMPARISON BETWEEN INDONESIA AND UNITED STATES OF AMERICA) Syarifah Zahra Al Haddar; Inda Rahadiyan
Mimbar Hukum Vol 33 No 2 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (368.905 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i2.2285

Abstract

Abstract Technological developments greatly make it easy for users, including in matters of financial technology (FinTech), which has also led to the innovation of Equity Crowdfunding (ECF). ECF is a new financing method seeking funding for Small Medium Enterprises (SMEs/UMKM) business development. In some developed countries such as the United States of America (US), the ECF has a systematic regulation of the disclosure principle. These rules are intended to protect the process of organising the ECF legally and professionally. In Indonesia, the ECF has just developed and has undergone two regulatory changes, from Financial Services Authority Regulations (POJK) No. 37 2018 to POJK No. 57 of 2020. The regulation of the disclosure principle in Indonesia is still not clear enough compared to the US based on Title III The Jumpstart Our Business Startups (JOBS) Acts 2012. Thus, this study will explain the comparison between the two countries which is Indonesia and the US, regarding the regulation of the disclosure principle in ECF on the basis law, supervisory institutions, prospectus/ Bidding Documents, the minimum amount of fund. Abstrak Perkembangan teknologi sangat memberikan kemudahan bagi penggunanya tidak terkecuali dalam urusan financial technology (FinTech) yang memunculkan pula inovasi Equity Crowdfunding (ECF). ECF yaitu suatu metode pembiayaan baru mencari pendanaan untuk pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, ECF memiliki pengaturan prinsip keterbukaan secara sistematis. Aturan ini dimaksudkan untuk melindungi proses penyelenggaraan ECF secara legal dan profesional. Di Indonesia sendiri ECF baru saja berkembang dan sudah mengalami dua kali pergantian regulasi yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 37 2018 menjadi POJK No. 57 tahun 2020. Pengaturan prinsip keterbukaan di Indonesia masih belum cukup jelas dibandingkan dengan Amerika Serikat yang berdasarkan Title III The Jumpstart Our Business Startups (JOBS) Acts 2012. Dengan demikian, penelitian ini akan menjelaskan perbandingan kedua negara antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait pengaturan prinsip keterbukaan pada penyelenggaraan Equity Crowdfunding terkait dasar hukum, lembaga pengawas, prospektus/Dokumen Penawaran, batas minimum jumlah penawaran penghimpunan dana, laporan keuangan penerbit, profesi penunjang, dan perlindungan investor.
MENAFSIRKAN PANCASILA: WEWENANG PEMERINTAH ATAU PERAN WARGA NEGARA? SUATU TELAAH DARI PERSPEKTIF HERMENEUTIKA KRITIS HABERMASIAN Conrado M. Cornelius
Mimbar Hukum Vol 33 No 2 (2021): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (388.049 KB) | DOI: 10.22146/mh.v33i2.2299

Abstract

ABSTRACT This article aims at offering an ideal theory of interpreting Pancasila as a state ideology in a context of a democratic society. This essay is arguing against the notion that Pancasila should be interpreted by the Government. In doing so, the author examines the merits of such notion from a legal and philosophical standpoint. The former focuses exclusively on the question of legality, whereas the latter on hermeneutics. This article offers an alternative theory of interpreting Pancasila that is built on a Habermasian Critical Hermeneutics. This article argues that any interpretation on ideology—including Pancasila—should be situated in a deliberative democracy that is directed at emancipating the interpreter, that is the People of Indonesia. At the end of this article, this Article concludes that not only such an interpretation is made possible by law, but it is also philosophically justified. Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk menawarkan sebuah teori yang ideal untuk menafsirkan Pancasila sebagai sebuah ideologi negara. Tulisan ini berpendapat bahwa Pancasila tidak dapat ditafsirkan oleh Pemerintah. Untuk mencapai kepada kesimpulan tersebut, tulisan ini menyajikan suatu diskusi dari dua macam sudut pandang, yakni dari perspektif hukum dan filsafat. Dari perspektif hukum, fokus utama diarahkan pada permasalahan legalitas, sedangkan perspektif filsafat memiliki fokus pada hermeneutika. Berdasarkan dua macam perspektif tersebut, tulisan ini mengajukan sebuah alternatif penafsiran atas Pancasila yang didasarkan pada Hermeneutika Kritis Habermasian. Tulisan ini berpendapat, bertolak dari perspektif Hermeneutika Kritis Habermasian, bahwa segala bentuk penafsiran terhadap ideologi—karenanya juga Pancasila—harus ditempatkan dalam situasi demokrasi yang deliberatif yang bertujuan untuk mengemansipasi penafsirnya, yakni masyarakat Indonesia. Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa penafsiran Pancasila oleh masyarakat Indonesia tidak hanya dimungkinkan secara hukum, tetapi juga dibenarkan secara filosofis.