cover
Contact Name
Heribertus Dwi Kristanto
Contact Email
dwikris@driyarkara.ac.id
Phone
+6221-4247129
Journal Mail Official
admin.diskursus@driyarkara.ac.id
Editorial Address
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jl. Cempaka Putih Indah 100A Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta 10520
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi
ISSN : 14123878     EISSN : 25801686     DOI : https://doi.org/10.36383/diskursus.v18i2
Founded in 2002 DISKURSUS is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Publised semestrally (in April and October), DISKURSUS aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.
Articles 161 Documents
Fiona Woollard, Doing & Allowing Harm, New York: Oxford University Press, 2015, 239 hlm. Antonius Sudiarja
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (137.346 KB)

Abstract

Sejak Immanuel Kant, moral sering diartikan sebagai kewajiban yang berat. Dalam bukunya Doing & Allowing Harm ini, Fiona Woollard tampaknya ingin menolak pemahaman yang rigor. Ia tidak ingin buruburu menilai orang yang tidak menjalankan kewajiban sebagai teledor atau lalai, sebab dalam situasi konkrit, ada berbagai konteks berbeda, yang dalam etika Kant kurang diperhitungkan. Dalam hal ini Woollard membedakan disposisi antara melakukan (doing) dan membiarkan (allowing) terjadinya pencederaan (harming). Woollard hanya menyatakan bahwa melakukan pencederaan lebih sulit untuk dibenarkan daripada hanya membiarkan terjadinya pencederaan (hlm. 5). Artinya kedua tindakan itu tidak diposisikan secara berlawanan (hitam-putih) dalam suatu kerangka kewajiban moral, melainkan hanya gradual saja, khususnya dalam peristiwa yang mengakibatkan kerugian (harm) yang sering menjadi pertimbangan moral. Moral memang berkaitan dengan soal tindakan atau pun sikap, tetapi tindakan atau sikap ini bisa berarti aktif melakukan, mau pun pasif membiarkan. [] Dalam keseluruhan, Woollard, yang mengolah gagasannya dari Philippa Foot, Jonathan Bennett, Warren Quinn, Frances Kamm dan Jeff McMahan (hlm. 206), tidak bermaksud menghilangkan kewajiban moral dari kehidupan, tetapi mau memperlihatkan bahwa banyak situasi yang harus diperhitungkan untuk sampai pada suatu pemaksaan (imposition) yang dianggap wajar sebagai alasan moral. Perbedaan situasi-situasi ini juga membedakan disposisi setiap orang, sehingga tidak dimungkinkan kewajiban yang kiranya berlaku sama untuk semua. Woollard yakin ajaran melakukan dan membiarkan mencegah pemaksaan/ pembebanan yang tidak adil dan campur tangan pihak lain terhadap otonomi tubuh, tetapi tetap menjaga agar orang tidak membiarkan yang lain dicederai. Hal ini dapat membantu memberi pertimbangan konkrit dalam praktek moral. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah kepentingan khusus dari tubuh kita yang merupakan dakuan kepunyaan yang tak terbantahkan, sehingga setiap prinsip moral atau kode etik yang tidak mengakui tubuhku sebagai kepunyaanku tidak menghormati dan menghancurkan pandanganku mengenai diriku sendiri dan hubunganku dengan yang lain (hlm. 192). Namun tetap menjadi soal juga, apakah dalam hal ini tubuh bukannya lebih dari sekedar kepunyaan; apakah pertimbangan tubuh sebagai bagian dari diriku sebagai pelakusepenuhnya (full-fledged agency) justru tidak mengundang pertimbangan serius sebagai otoritas prima facie agar dalam mengambil keputusan mengenai apa yang terjadi atas tubuhku, juga lebih dari sekedar demi kepentingan dan kinginan-ku? Suatu hal yang masih kontroversial dalam pertimbangan moral. (A. Sudiarja, Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, trans. by M. Chase, Cambridge: Harvard UP, 1999, x + 309 hlm. (PWL); Pierre Hadot, What is Ancient Philosophy?, trans. by M. Case, Cambridge: Harvard UP, 2004, xiv + 362 hlm. (WAP). Haryanto Cahyadi
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (137.235 KB)

Abstract

Tidak bisa disangkal bahwa filsafat Barat dewasa ini hampir identik dengan wacana filosofis (philosophical discourse), berupa konsep, teori, atau sistem, yang umumnya berkembang dinamis dan dipelajari sebagai disiplin keilmuan dalam lingkungan akademis melalui satuan kurikulum perguruan tinggi modern. Maka tidak mengherankan bila filsafat cenderung identik dengan filsafat akademis (academic philosophy). Namun berkat dua buku Pierre Hadot (1922-2010) kita terbantu untuk menyadari hilangnya sebagian besar pemahaman filsafat itu sendiri terutama wawasan klasik yang mengungkapkan fokus utama penghayatan maupun lintasan peralihan fokus utama tersebut dalam perkembangan sejarah. Hadot berpendapat bahwa filsafat pada awalnya adalah bios atau way of life (manie de vivre). Filsafat sebagai way of life terungkap dalam serangkaian latihan rohani (melete dalam arti Platonis, askesis dalam arti Stoa dan Kekristenan Yunani, atau exercitium spirituale dalam arti Kekristenan Latin awal), dengan mengembangkan berbagai wacana filosofis sebagai sarana panduan untuk membentuk (to form) alih-alih hanya menginformasikan (to inform) pilihan hidup dan kebebasan eksistensial seseorang menurut bingkai penghayatannya dalam sekolah filsafat. Tujuannya adalah memandu pilihan hidup dan mengembangkan kebebasan eksistensial mereka sesuai kodrat insaninya (phusis tou anthropou), seperti menguasai diri (enkrateia) atau kemandirian diri (autarkheia) di hadapan pengaruh eksternal, serta menyadari tempat (topos) mereka dalam kosmos (phusis tou kosmou). Nilai absolut aktivitas berfilsafat lebih menekankan tindakan baik alih-alih mengetahui kebaikan. Berwacana filosofis tanpa pembalikan sekaligus penentuan arah baru (peristrophe - periagoge) melalui pelatihan rohani hanya akan membentuk seseorang menjadi sofistik atau ahli retorika alih-alih sosok filsuf. Pihak pertama dalam sejarah Yunani antik abad kelima dan keempat SM memang dikenal sebagai sosok terpelajar yang licin bersilat kata (elenkhos) memperdagangkan seni kecakapan dan pengetahuan demi memuaskan hasrat ego. Namun, pihak terakhir sosok filsuf selalu sadar akan ketidaktahuan maupun kekurangan diri (bahwa ia bukan sage atau orang bijak) sehingga ia selalu memandu hasratnya untuk terus mencintai dan mendekatkan diri ke arah kebijaksanaan. Hadot berupaya menjelaskan pandangannya, filsafat sebagai way of life, setidaknya melalui dua pembacaan. Dalam PWL (4 bagian dan 11 bab), ia membingkai pandangannya melalui pembacaan eksegese untuk menguraikan klaimnya dengan mengembangkan metode, materi, tokoh, dan tema terkait. Dalam PAW (3 bagian dan 12 bab), ia mengembangkan pembacaan eksegesenya dengan menelusuri fenomena kerohanian dalam sejarah filsafat Barat, meliputi awal kemunculannya pada era antik, peralihannya pada monastisisme Kristen, keterputusannya pada Abad Pertengahan, dan jejak kesinambungannya pada era modern. [] Akhirnya, dalam PWL dan PAW, Hadot benar-benar menyajikan bingkai pemahaman yang kokoh terhadap klaimnya mengenai filsafat sebagai way of life, termasuk implikasinya dalam merangsang diskusi lebih lanjut baik untuk mengungkap persetujuan atau bantahan maupun kemungkinan alternatif atas klaim tersebut berdasarkan sumber teks serupa. Selain itu, layak untuk diperhatikan bahwa melalui uraiannya yang rinci dan seksama dalam mendekati setiap konteks lintasan filsafat seturut Sitz im Leben, Hadot rupanya juga menawarkan pesan inspiratif dan relevan bagi pembaca budiman ahli, pengajar, pelajar, peminat filsafat, atau siapa saja yang selalu berhasrat mencintai kebijaksanaan untuk bertanya: apa makna berfilsafat dewasa ini? (Haryanto Cahyadi, peneliti filsafat dari Keuskupan Timika, Papua.)
Penggembalaan sebagai Praktik Ekaristi: Suatu Pendekatan Eksegetis-Konstruktif terhadap Yohanes 21:15-19 Finki Rianto Kantohe
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (977.287 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v18i1.55

Abstract

This article seeks to explore the concept of shepherding and its relation to the eucharist in the Gospel of John 21:15-19. Using an exegetical approach, the author tries to highlight word for word, both etymologicallyand contextually, and conducts a comprehensive survey of the Gospel of John, in order to see extensively about the verses under discussion text. In the end, the author shall construct shepherding with the eucharist, so that a new understanding of shepherding could be found as a practice of the eucharist, namely shepherding is not just ecclesiastical practice or leadership, but rather willingness to offer all aspects of life, even shepherd’s own life for the lives of its sheep based on the sacrifice of Christ who revives believers, as Jesus commandedPeter in John 21: 15-19. Abstrak Tulisan ini merupakan sebuah kajian yang berusaha menggali konsep penggembalaan dan relasinya dengan ekaristi dalam Yohanes 21:15-19. Dengan menggunakan pendekatan eksegetis, penulis mencoba menyoroti kata demi kata, baik secara etimologis maupun konteks, serta melakukan survey Injil Yohanes secara komprehensif, agar dapat melihat secara luas mengenai Injil yang dirujuk, dan kemudian berfokus seputar Yohanes 21 mengenai dialog antara Yesus dan Petrus, dengan mengoneksikannya dengan konteks dekat, yaitu Yohanes 21:1-14 dan Yohanes 21:20-23, maupun konteks jauh, yaitu keseluruhan Injil Yohanes. Selain itu, dalam tulisan ini penulis melakukan beberapa kritik terhadap beberapa pandangan lama yang dinilai sudah tidak relevan, sehingga mengganggu pemaknaan teks yang dirujuk. Pada akhirnya, penulis mengonstruksi penggembalaan dengan ekaristi, sehingga dapat ditemukan sebuah pemahaman baru akan penggembalaan sebagai sebuah praktik dari ekaristi, yakni penggembalaan bukan sekedar praktik gerejawi atau kepemimpinan semata, melainkan sebuah kerelaan memberikan seluruh aspek kehidupan, bahkan nyawa untuk kehidupan domba-dombanya, dengan berbasis pada kematian Kristus yang menghidupkan orang percaya, sebagaimana perintah Yesus bagi Petrus dalam Yohanes 21:15-19.
Kosmos Noētos dan Kosmos Aisthētos dalam Filsafat Platon Haryanto Cahyadi
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (224.197 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v14i1.61

Abstract

Abstrak: Apakah truisme kosmos noētos - kosmos aisthētos (dunia idea - dunia inderawi) yang amat populer dalam filsafat Platon benar-benar otentik atau sebuah anakronisme? Tulisan ini hendak menunjukkan bahwa truisme tersebut tidak tepat. Untuk membuktikan argumen ini, penulis akan mengidentifikasi genesis dan dinamika historis berkenaan dengan anakronisme, yakni bahwa kosmos noētos - kosmos aisthētos bukan berasal dari filsafat Platon, melainkan kreasi inovatif Philon dari Alexandria dan Plotinos dalam rangka justifikasi filsafat mereka. Dengan demikian, meskipun tafsir Philon dan terutama Plotinos kemudian mendominasi ‘cara-baca’ filsafat Platon nyaris sepanjang studi Platonisme, ‘cara-baca’ ini tidak identik dengan filsafat Platon yang menempatkan topos noētos - topos horatos (kawasan inteligibel - kawasan terlihat) dalam hubungan dengan kosmos yang satu dalam rangka merealisasikan paideia seturut tarikan Yang Baik. Kata-kata Kunci: Hipostasis, idea, Intelek, Jiwa, topos noētos - topos horatos, Yang Esa. Abstract: Is the popular truism in the philosophy of Plato, kosmos noētos - kosmos aisthētos (the intelligible world - the visible/sensible world), really authentic or an anachronism? This article aims to prove that this truism is incorrect. For this argument, the author will attempt to identify the genesis and historical dynamics with respect to an anachronism, namely, that the kosmos noētos - kosmos aisthētos was not derived from the philosophy of Platon but rather innovative creation of Philon of Alexandria and Plotinos in order to justify their philosophy. Thus, though the interpretation of Philon and especially that of Plotinos has dominated the interpretation of Plato’s philosophy in almost all studies of Platonism, this way of thinking is not identical with the philosophy of Plato that puts topos noētos - horatos topos (the intelligible region - the visible region) in connection with a single kosmos in order to realize the paideia according to the Good. Keywords: hypostasis, idea, Intellect, Soul, topos noētos - topos horatos, the One.
Amartya Sen Membongkar Rasionalitas B Herry-Priyono
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (188.001 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v14i1.62

Abstract

Abstrak: Amartya Sen, penerima hadiah Nobel Ekonomi 1998, dikenal sebagai ekonom dengan kontribusi penting dalam pemikiran pembangunan. Ia pencipta Indeks Pembangunan Manusia, yang kini dipakai luas sebagai pengukur lebih lengkap kualitas pembangunan di seluruh dunia. Apa yang jarang diketahui adalah bahwa berbagai pemikirannya diajukan dalam dialog dengan filsafat moral dan epistemologi. Di jantung dialog Sen itu adalah kritiknya terhadap pengertian rasionalitas. Dengan mengkaji kritik Sen, tulisan ini menyimpulkan bahwa proposal Sen bagi konsepsi rasionalitas lebih merupakan pintu masuk bagi perluasannya daripada sebuah alternatif. Kata-kata Kunci: rasionalitas, kepentingan-diri, simpati, komitmen, preferensi, pilihan. Abstract: Amartya Sen, recipient of the 1998 Nobel Prize in economics, is renowned for his seminal contribution in the area of development. He is the originator of the Human Development Index, a new policy device now adopted worldwide as a more adequate measure of the quality of development. What is rarely known is that his ideas are expounded as part of his dialogue with moral philosophy and epistemology. At the heart of this dialogue is his trenchant critique of the notion of rationality. By examining Sen’s critique of the notion of rationality, this article suggests that the conception of rationality proposed by Sen stands as an entry point for broadening the notion of rationality rather than an alternative to it. Keywords: rationality, self-interest, sympathy, commitment, preference, choice.
The Narrative Of Martyrdom As Postmodern Way Of Doing A Modern Liberation Theology Albertus Bagus Laksana
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (126.619 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v14i1.63

Abstract

Abstract: The survival and significance of the Latin American liberation theology movement relies, to some extent, on the power of the narratives of martyrdom. Precisely by relying on these narratives, through the dynamics of the theological category of memory that leads to solidarity, liberation theology situates itself in the tension between modernity and postmodernity. The categories of narrative, memory and solidarity, which are at play in the whole dynamic of martyrdom, constitute a postmodern way of doing a modern liberation theology. Liberation theology will only be able to retain its “liberative” and “theological” element insofar as it continues to be “modern” and “postmodern” at the same time. Against the postmodern disbelief in the possibility of human emancipation, liberation theology continues to labor precisely under principium liberationis grounded in the promise of liberation contained in God’s revelation in the Scriptures. However, against the “modern” conception of emancipation based on reason and governed by the idea of progress, liberation theology envisions liberation as an integral process which takes place in a concrete, particular historical reality and under the eschatological promise of God. Keywords: liberation theology, martyrdom, modern, postmodern, narrative, memory, solidarity. Abstrak: Relevansi dan pertumbuhan teologi pembebasan, sampai tingkat tertentu, juga bergantung pada kekuatan kisah kemartiran. Dengan mendasarkan diri pada kisah (narrative) yang diolah lewat kategori pengingatan (memory) yang mengarah pada solidaritas, teologi pembebasan menempatkan diri dalam tegangan antara modernitas dan posmodernitas. Kategori kisah, pengingatan, dan solidaritas, yang berada dalam jantung narasi kemartiran, mengetengahkan sebuah cara posmodern untuk melakukan teologi pembebasan yang modern. Teologi pembebasan hanya akan berhasil mempertahankan unsur “teologi” dan “pembebasan” sejauh bersifat modern dan posmodern pada saat yang sama. Melawan ketidakpercayaan posmodernitas terhadap kemungkinan proyek pembebasan, teologi pembebasan mempertahankan prinsip pembebasan atas dasar isi pewahyuan Allah dalam Kitab Suci. Akan tetapi, melawan pemahaman modern tentang pembebasan berdasarkan akalbudi dan kemajuan, teologi pembebasan memahami pembebasan sebagai sebuah proses integral yang terjadi dalam waktu dan tempat yang nyata, dalam realitas sejarah yang partikular dan dalam kerangka janji eskatologis Allah. Kata-kata kunci: teologi pembebasan, kemartiran, modern, posmodern, narasi, pengingatan, solidaritas.
Sains Sebagai Keselamatan Dalam Pandangan Francis Bacon Karlina Supelli
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (201.752 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v14i1.66

Abstract

Abstrak: Sains sebagai keselamatan adalah ungkapan yang kerap digunakan secara peyoratif untuk menggambarkan dampak sains dan teknologi yang mencelakakan manusia. Artikel ini akan menunjukkan bahwa ide ‘sains sebagai keselamatan’ dapat dilacak ke Francis Bacon (1561-1626) dan ditafsirkan secara ketat menurut doktrin keselamatan Kristiani. Bacon merancang suatu program raksasa untuk meningkatkan proses pembelajaran dan pembaharuan pengetahuan. Namun, pada abad ke-16, setiap upaya untuk mencanangkan perluasan pengetahuan perlu terlebih dulu merehabilitasi status moral pengetahuan yang diasosiasikan dengan petaka di Firdaus, yang membawa dosa masuk ke dunia. Secara cermat Bacon menangani keprihatinan moral dan teologis zamannya dengan cara menjalin unsur eskatologis ke dalam programnya. Dia lalu menyuguhkan restorasi pengetahuan sebagai kasus partikular dalam sejarah keselamatan yang akan memulihkan penguasaan dan kuasa manusia atas alam, dan pada waktunya membebaskan manusia dari kesengsaraan material. Kata Kunci: Sains, alam, kejatuhan, pemulihan, instauratio, apokalips, sejarah keselamatan, kemaslahatan. Abstract: Science as salvation' is a term used pejoratively to refer to the harmful impact of science and technology. This article will show that the idea of ‘science as salvation’ can be traced back to Francis Bacon (1561-1626) and was strictly construed according to the Christian doctrine of salvation. Bacon devised a comprehensive programme for the advancement of learning and the restoration of knowledge. But any sixteenth-century proposals for the expansion of knowledge first required a rehabilitation of the moral status of knowledge long tainted by an image of catastrophe leading to the fall from the Garden of Eden, in which knowledge brought sins into the world. Bacon meticulously worked on the moral and theological concern of knowledge by weaving an eschatological element into his programme. He then espoused the restoration of knowledge as a particular case in the history of salvation envisaged to eventually restore human Arcadian mastery and dominion over nature, which in turn was expected to relieve humans from material sufferings. Keywords: Knowledge, sin, fall, salvation, instauratio, apocalyps, sacred history.
Pluralitas Dan Konsep Pengakuan Intersubjektif Dalam Pemikiran Axel Honneth Otto Gusti Madung
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (137.673 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i2.70

Abstract

Abstrak: Pemisahan antara ruang privat dan publik merupakan solusi liberalisme atas tantangan pluralitas masyarakat modern. Dalam kaca mata politik pengakuan, solusi liberalisme tidak mencukupi. Liberalisme dianggap mengenal individu hanya sebagai subjek hukum dan karena itu hanya dapat memperhatikan tuntutan validitas hukum. Dalam kaca mata liberalisme, kesetaraan subjek-subjek hukum hanya dapat dijamin jika aspek-aspek tradisi, kultural dan konsep hidup baik dijauhkan dari politik. Namun apa yang menjadi objek pengakuan justru aspek-aspek ini. Tulisan ini memperkenalkan konsep konsep pengakuan intersubjektif Axel Honneth. Konsep pengakuan intersubjektif melampaui paham pengakuan interkultural seperti diperkenalkan oleh tokoh seperti Charles Taylor. Dalam paradigma intersubjektif, pengakuan tidak hanya dilihat pada tataran relasi interkultural, tapi dipahami sebagai sebuah antropologi. Pengakuan mengkonstruksi manusia sebagai subjek. Hal ini ditunjukkan Honneth dalam uraiannya tentang pelbagai tingkatan interaksi antarmanusia yakni tataran cinta, hukum dan solidaritas. Pada bagian akhir tulisan diajukan beberapa pertimbangan kritis atas konsep pengakuan Honneth ini. Kata-kata Kunci: Pengakuan, multikulturalisme, intersubjektivitas, teleologi, autentisitas. Abstract: The separation between private and public spheres is the solution of liberalism to the challenges of plurality in modern societies. In the perspective of politics of recognition this solution of liberalism is insufficient. Liberalism is considered to recognize the individual only as a subject of law and therefore can only attend to the demands of legal validity. In the perspective of liberalism, equality of legal subjects can only be guaranteed if the aspects of tradition, culture and the concept of a good life are seperated from politics. But precisely these aspects are the object of recognition. This paper introduces the concept of intersubjective recognition of Axel Honneth. The concept of intersubjective recognition goes beyond intercultural recognition as introduced by Charles Taylor, for example. In the intersubjective paradigm, recognition is not only seen at the level of intercultural relations, but understood as an anthropology. Recognition constructs the human being as subject. This is shown by Honneth in his account of the various levels of human interaction, that is the level of love, law and solidarity. At the end of the article the author will give some critical considerations on Honneth's concept of recognition. Keywords: Recognition, multiculturalism, intersubjectivity, teleology, authenticity.
Tolok Ukur Penilaian Moral Dalam Etika Pragmatik John Dewey J Sudarminta
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (135.216 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i2.71

Abstract

Abstrak: Dalam artikel ini pandangan John Dewey tentang tolok ukur penilaian moral, sebagaimana ia jelaskan dalam teori etika pragmatiknya, akan disajikan dan dievaluasi. Artikel dibagi dalam tiga bagian. Pertama, berbeda dengan teori-teori etika teleologis, di mana moralitas tindakan dinilai dari menunjang tidaknya tindakan tersebut dalam upaya mencapai tujuan akhir hidup manusia, dalam pandangan Dewey, suatu tindakan dinilai secara moral baik kalau tindakan tersebut mencapai tujuan yang dimaksudkan untuknya. Tujuan tersebut bersifat kontekstual dan plural serta selalu terkait dengan sarana yang tersedia untuk mencapainya. Kedua, bagi Dewey suatu tindakan dinilai baik atau benar secara moral kalau menunjang proses perwujudan diri si pelaku tindakan. Apa yang menunjang proses perwujudan diri si pelaku tindakan tak pernah dapat ditentukan secara a priori berdasarkan konsep kodrat manusia. Dalam memahami manusia, Dewey menolak paham esensialisme kondrat manusia. Ia memahami pengertian perwujudan diri manusia dalam konteks proses ‘transaksi’ manusia sebagai organisme dengan lingkungan hidup sekitarnya. Ketiga, sebuah evaluasi terhadap pandangan Dewey mengenai tolok ukur penilaian moral dalam teori etika pragmatiknya akan disajikan. Katakunci: etika, penilaian moral, organisme, lingkungan, ends-in-view, pengembangan diri, tradisi moral, pragmatisme, naturalisme, transaksi. Abstract: In this article John Dewey’s criteria for moral judgment, as he expounds in his pragmatic ethics, will be presented and evaluated. The article will be divided into three parts. First, different from traditional teleological ethics, in which the morality of an act is judged from the point of view of certain human final end, an act, in Dewey’s view, should be judged as morally good if it achieves its specific and contextual end-in-view. There are many ends-in-view as there are many moral acts, and an end-in-view can never be determined apart from its actually available means to achieve it. Second, for Dewey, an act is considered good or morally right if it does in practice lead to the human self-realization of the agent. What constitutes an agent’s human self-realization can never be determined in a priori way. Dewey rejects essentialism of human nature in understanding human being. He understands human self-realization within the context human dynamic process of “transactions” with his or her concrete environment. Third, an evaluation of Dewey’s view will be provided. Keywords: ethics, moral judgment, organism, environment, ends-in-view, self-realization, moral tradition, pragmatism, naturalism, transaction.
Craig S. Keener, Gift & Giver: Mengenal dan mengalami Kuasa Roh Kudus, terj. Helda Siahaan & Nancy Pingkan Poyoh, Jakarta: Literatur Perkantas, 2015, 300 hlm. Martin Harun
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (129.882 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v14i1.75

Abstract

Bertepatan waktu dengan Seminar Sola Scriptura bulan Maret 2015, dengan topik Miracles: The Credibility Of The New Testament Accounts, yang dibawakan oleh Prof. Craig Keener, oleh Perkantas diterbitkan terjemahan bukunya yang berjudul Gift and Giver: The Holy Spirit for Today (2001). Apakah eksemplar yang dihadiahkan kepada saya, akan bernasib sama seperti yang selalu saya kira terjadi dengan buku yang tidak dibayar, yakni tidak dibaca? Penampilan Keener yang sederhana, berbobot dan spiritual dalam seminar tersebut, menantang saya untuk membuka dan membaca buku hadiah ini. Keener mau membantu kita untuk lebih memahami bagaimana Roh Kudus menolong kita menjalani kehidupan dan perutusan kristiani. Buku dimulai dari belajar mengenali suara Roh Kudus dan oleh Roh itu belajar mendengar Allah (bab 1-2). Selalu dengan bantuan Alkitab, Keener menguraikan bagaimana Roh Kudus memberdayakan kita untuk penginjilan (bab 3) dan mengerjakan peruba-han dalam pola hidup kita (bab 4). Sesudah itu Keener membicarakan aspek-aspek yang lebih kontroversial dalam karismatik, pertama-tama karunia-karunia Roh (bab 56), juga baptisan dalam Roh Kudus dan kapannya (bab 7-8), dan lebih khusus bahasa lidah (bab 9). Dalam beberapa bab ini Keener, sendiri seorang “karismatik” dalam arti mempraktikkan karunia-karunia Roh (hlm. 14), mempertahankannya terhadap orang-orang yang mengira tak perlu lagi mempraktikkannya setelah zaman rasul-rasul. Keener yakin bahwa karunia-karunia biblis dimaksud untuk terus dijalankan dalam masa sekarang di mana diberi. Ia juga membahas perbedaanperbedaan pemahaman antara pelbagai kelompok karismatik dan pentekostal tentang karunia-karunia tertentu, juga tentang momen pembaptisan dalam Roh, dan menjelaskan apa yang menurutnya dimaksudkan dalam Alkitab. Keener memang seorang pakar Perjanjian Baru yang disegani. Dalam bab terakhir, Mengapa menguji Roh (bab 10), Keener menjawab beberapa pra-sangka yang tidak benar terhadap gerakan karismatik, tetapi di lain pihak tidak menyembunyikan bahwa dalam jemaat karismatik dan pentekostal juga muncul ekses-ekses yang menurutnya menyimpang dari paham Alkitab dan bisa membahayakan iman pelaku dan kehidupan jemaat. Maka diberinya klarifikasi. ................................ Tekanan Keener pada Roh yang memberdayakan untuk penginjilan dalam arti berprakarsa memberitakan dan mengajarkan injil kepada semua orang, mungkin tak menimbulkan masalah di Amerika Serikat yang dominan Kristen, tetapi menjadi pertanyaan pelik bagi Gerejagereja di Asia. Orang kristen Asia yang didorong oleh Roh untuk hadir di tengah orang-orang beragama lain hanya dengan kesaksian hidup dan bekerja sama, dan —baru bila muncul kesempatan—berdialog dalam arti sharing iman dan bukan perdebatan, tidak menemukan pengarahan untuk itu dalam buku ini. Isu Yesus sebagai satu-satunya jalan keselamatan, prinsip yang Keener percaya sebagai inti injil (267), isu yang ia takut dapat menjadi hal utama yang menimbulkan perpecahan di antara orang kristiani sekarang ini, memang rela ia agendakan di tempat kedua demi misi bersama yang mempersatukan kita sebagai Kristen. Apakah itu berarti bahwa ia juga mau berbuat demikian demi misi bersama seluruh umat manusia, semua agama? Eksklusivisme keselamatan dalam agama-agama tetap mengakibatkan perpecahan yang kini merupakan ancaman yang lebih besar lagi bagi dunia daripada perpecahan-perpecahan di dalam agama Kristen. Apakah sikap dialogal antar kristiani yang sangat mewarnai sikap Keener dalam buku ini, juga diperluas kepada semua orang beragama? Beberapa catatan ini tidak mengurangi penghargaan tinggi saya akan penjelasan Keener tentang pemberian-pemberian Roh Kudus dari dalam pemahamannya yang mendalam akan Alkitab, dan sharingnya. yang tulus, berbobot dan personal tentang pengalamannya sendiri akan karunia Roh Kudus itu dalam hidup dan penginjilannya sendiri. Suatu buku penting untuk setiap orang karismatik untuk memahami yang paling pokok, dan bagi orang non karismatik untuk lebih mengenal yang terbaik di dalam gerakan karismatik. (Martin Harun, Guru Besar Ilmu Teologi Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).

Page 4 of 17 | Total Record : 161


Filter by Year

2010 2023


Filter By Issues
All Issue Vol. 19 No. 2 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 2 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 2 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 9 No. 2 (2010): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara More Issue