cover
Contact Name
Heribertus Dwi Kristanto
Contact Email
dwikris@driyarkara.ac.id
Phone
+6221-4247129
Journal Mail Official
admin.diskursus@driyarkara.ac.id
Editorial Address
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jl. Cempaka Putih Indah 100A Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta 10520
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi
ISSN : 14123878     EISSN : 25801686     DOI : https://doi.org/10.36383/diskursus.v18i2
Founded in 2002 DISKURSUS is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Publised semestrally (in April and October), DISKURSUS aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.
Articles 161 Documents
Filsafatisasi Kristianitas Atau Kristianisasi Filsafat Edison R. L. Tinambunan
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (151.194 KB)

Abstract

Abstrak: Filsafat telah memiliki perjalanan panjang dalam hubungannya dengan Kristianitas. Sumbangan filsafat untuk Kristianitas begitu banyak terutama dalam kaitannya dengan teologi. Tulisan ini meneliti soal integrasi filsafat dalam Kristianitas yang selama ini sering diperdebatkan. Periode apologi yang dimulai pada awal abad kedua sampai dengan pertengahan abad ketiga Masehi, memberikan suatu penjelasan konkrit untuk permasalahan ini. Melalui para apologet, yang sebelumnya adalah filsuf, bahkan mampu melangkah lebih jauh dalam penemuan kebijaksanaan yang sesungguhnya yang merupakan obyek dan tujuan filsafat. Bahkan mereka sampai pada suatu pemikiran bahwa filsafat adalah ranah semai yang mempersiapkan filsafat yang sesungguhnya, yaitu Kristianitas. Berkat para apologet, filsafat menjadi bagian penting dalam Kristianitas, bukan saja di bidang teologi, tetapi juga di dalam ranah eksegese, hermeneutika dan terlebih-lebih di dalam hidup. Penulis Kristiani setelah periode apologi mengintegrasikan filsafat dalam tulisan dan di dalam rumusan iman. Berbagai terminologi filosofis yang diintegrasikan ke Kristianitas belum tergantikan sampai dengan saat ini. Kata-kata Kunci: Filsafat, filsuf, teologi, apologi, apologet, kebijaksanaan. Abstract: Philosophy is having a long journey in its relationship with Christianity. There is much influence of philosophy on Christian thinking, but especially on theology. This article researches the integrity of philosophy within Christianity, an integral relationship which has always been debated. During the period of the Apologies, which was begun at the beginning of the second century up to the middle of the third century, an important concrete solution to this debate was given. Through the Apology Fathers of the Church who previously were philosophers, had the capacity to go farther in finding real wisdom, which is the subject and the goal of all research in philosophy. They were able to reach a consideration that their philosophy was a field seed which had prepared for the real philosophy, which is Christianity. Through the apologies, philosophy created an important partnership with Christianity in the areas of theology and biblical exegeses, and even in hermeneutics and way of life. After the period of the Apology Fathers, Christian writers integrated philosophy in a certain way into their writings, even as a formula of faith. And some philosophical terminology, which was integrated into Christianity, could not be replaced after this time. Keywords: Philosophy, philosopher, theology, apology, apolog, virtue.
Pentingnya Forma Substansial Dalam Memahami Esensi Kehidupan Effendi Kusuma Sunur
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (150.836 KB)

Abstract

Abstract: What is life? What does it mean when we say that something is alive? What makes something alive? Biology answers the questions with a lot of answers but the answers to the question what is life? always have its limitation because its status as an empirical science which starts from the diversity of living things on the Earth. In other words, the answers are not sufficient although they are necessary for us to know what life is. Biology needs a metaphysical explanation to understand more completely the question what is life? Metaphysic through the concept of substantial form of the Aristotelian-Thomistic thought can contribute an understanding that complements biology to understand what is life? with its immanent cause. Keywords: Substantial form, immanent cause, formal cause. Abstrak: Apakah itu kehidupan? Apa artinya ketika kita mengatakan sesuatu sebagai yang hidup? Apa yang membuat sesuatu hidup? Biologi menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan berbagai macam jawaban namun jawaban-jawaban biologi terhadap pertanyaan apakah itu kehidupan? selalu memiliki keterbatasan karena statusnya sebagai ilmu empiris yang berangkat dari keanekaragaman hayati yang ada di bumi ini. Dengan kata lain, jawaban-jawaban biologi tidak mencukupi walau merupakan hal yang mutlak perlu untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kehidupan. Biologi memerlukan penjelasan metafisis untuk bisa mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap akan pertanyaan apakah itu kehidupan? Metafisika melalui konsep forma substansial Aristotelian-Thomistik dapat menyumbangkan pemahaman yang melengkapi biologi untuk memahami apakah itu kehidupan? dengan Causa imanennya. Kata-kata Kunci: Forma substansial, causa imanen, causa formal.
ASNAT: Nabi Surgawi Yang Tersembunyi Asnath Niwa Natar
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (125.323 KB)

Abstract

Abstract: There are some salient female figures who play significant roles in the Bibles stories. Unfortunately, their stories are not described sufficiently; or in other words, males roles have dominated mostly and disguised them. Female figures are conveyed in relation to the men, such as wives, mothers and daughters. Patriarchal culture has abolished womens roles in history, cultures and religions which give crucial impacts to the exclusion of women in most of their lifes aspects. One of such women whos deprived is Aseneth, the Josephs wife, the Potipherahs daughter. Aseneth is the significant female figure who plays an outstanding role. Furthermore, shes an heavenly prophet, to whom the mystery of Gods revealed unspeakably. Its related to the event when God touched Aseneths mouth with the honeycomb, the similar significant story of the calling of the prophets, as it happened upon Jeremiah (Jer 1:9) and Isaiah (Isa 6:6ff). Aseneths figure will be able to inspire and strengthen women to come out from their silence and reluctance. Otherwise, she will have encouraged women to struggle against the obstacles of cultures and religion faced for the sake of mens and womens equal life. Keywords: Woman, Patriarchal, Aseneth, Joseph, prophet, Culture, religion, equal. Abstrak: Ada banyak tokoh-tokoh perempuan yang cukup berperan dalam Alkitab, namun kisah mereka dipotong atau dihilangkan demi menonjolkan peran dan dominasi laki-laki. Kaum perempuan hanya disebut sepintas lalu dalam kaitan dengan laki-laki, yaitu sebagai istri, ibu dan anak perempuan. Budaya patriarkhi telah menyingkirkan perempuan dalam sejarah, budaya dan agama yang berdampak pada penyingkiran kaum perempuan hampir dalam semua bidang kehidupan termasuk dalam kehidupan keagamaan. Salah satu kisah perempuan yang dihilangkan atau disembunyikan adalah kisah Asnat, anak Fotifera dan istri Yusuf. Asnat adalah seorang perempuan yang aktif bahkan seorang nabi Surgawi, dimana kepadanya disingkapkan rahasia Allah yang tak terkatakan. Hal ini dihubungkan dengan peristiwa disentuhnya mulut Asnat dengan sarang lebah, sebagai sebuah kisah pemanggilan nabi-nabi. Peristiwa yang sama terjadi pada pemanggilan Yeremia (Yer 1:9) dan Yesaya (Yes 6:6 dst) sebagai nabi. Kisah Asnat akan memberikan inspirasi dan kekuatan bagi kaum perempuan untuk keluar dari kebungkaman dan kepasifan mereka serta berjuang melawan rintangan-rintangan budaya dan agama yang ada demi kehidupan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Kata-kata Kunci: Perempuan, Patriarki, Asnat, Yusuf, nabi, budaya, agama, kesetaraan.
The Strained Relation Between Samaritans and Jews in the Works of Flavius Josephus Albertus Purnomo
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (183.793 KB)

Abstract

Abstract: The strained relation between Samaritans and Jews as a fruit of long-term process from the division of the United Kingdom of Israel (ca. 931 B.C.E) became a dominant issue since the post-exilic period and became more pronounced in the first century C.E. Beside the Old Testament, the story of their relation which was full of conflict can be traced to extra-biblical sources. One of them is Flavius Josephus works (ca. 70 to 100 C.E), i.e., Jewish War and Jewish Antiquities. The root of the conflict is related to the presence of the Second Jerusalem Temple. The peak of the conflict is the construction of the Mount Gerizim temple in which some Jews regarded the adherents of the Samaritan cult as schismatic. The founding of this rival temple of Jerusalem aggravated the bad relations between Samaritans and Jews. The destruction of the Mount Gerizim temple by John Hyrcanus was a crucial incident for their relations. The conflict between Samaritans and Jews still continued in the Roman period. By historical approach, this study would setforth the examination of some Josephus accounts regarding the historical process of the estrangement and rivalry between Samaritans and Jews which resulted in the final split in second century B.C.E. Keywords: Samaritans, Jews, Flavius Josephus, Jewish Antiquities, Temple, Jerusalem, Mount Gerizim. Abstrak: Relasi tegang antara orang Samaria dan Yahudi merupakan buah dari proses yang panjang sejak pecahnya Kerajaan Israel Raya (sekitar 931 B.C.E). Relasi mereka ini menjadi masalah dominan sejak periode setelah pembuangan dan semakin jelas pada abad pertama masehi. Di samping Perjanjian Lama, kisah tentang relasi mereka yang penuh konflik dapat dilacak dalam sumber-sumber di luar Alkitab. Salah satunya adalah karya dari Flavius Josephus (sekitar 70 sampai 100 M), yaitu Perang Yahudi dan Sejarah Yahudi. Akar dari konflik itu adalah kehadiran Bait Allah Yerusalem Kedua. Puncak dari konflik itu adalah pembangunan Bait Allah di Gunung Gerizim di mana sejumlah orang Yahudi kemudian menganggap pengikut ibadah orang Samaria sebagai skismatis. Pendirian tandingan Bait Allah Yerusalem ini memperparah relasi buruk antara Samaria dan Yahudi. Penghancuran Bait Allah di Gunung Gerizim oleh Yohanes Hyrcanus menjadi insiden krusial bagi relasi mereka. Konflik antara orang Samaria dan Yahudi masih terus berlangsung pada periode Romawi. Dengan pendekatan historis, studi ini akan memaparkan penelitian kisah-kisah dari karya Josephus berkaitan dengan proses perpecahan dan persaingan antara orang Samaria dan Yahudi memuncak pada perpecahannya pada abad II SM. Kata-kata Kunci: Samaria, Yahudi, Flavius Josephus, Sejarah Yahudi, Bait Allah, Yerusalem, Gunung Gerizim.
Paul Livingston and Andrew Cutrofello, The Problems of Contemporary Philosophy: A Critical Guide for the Unaffiliated, Cambridge (UK) and Malden (USA): Polity Press, 2015, x + 230 hlm. Yulius Tandyanto
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (96.951 KB)

Abstract

Buku berjudul The Problems of Contemporary Philosophy: A Critical Guide for the Unaffiliated patut dibaca untuk memahami perdebatan dalam filsafat kontemporer. Buku ini ditulis oleh dua profesor filsafat yang berlatarbelakang dari tradisi analitik maupun tradisi kontinental. Paul Livingston adalah profesor filsafat di University of New Mexico. Ia mendalami filsafat kesadaran (mind), filsafat bahasa, fenomenologi, filsafat politik, serta menaruh minat besar pada filsafat ilmu. Beberapa karyanya: The Logic of Being: Realism, Truth, and Time (Northwestern, 2017); The Politics of Logic: Badiou, Wittgenstein, and the Consequence of Formalism (Routledge, 2011); Philosophy and the Vision of Language (Routledge, 2008); serta Philosophical History and the Problem of Consciousness (Cambridge, 2004). Penulis kedua, Andrew Cutrofello, adalah profesor filsafat di Loyola University of Chicago. Cutrofello mengkhususkan ranah penelitiannya pada Kant, Hegel, dan filsafat kontinental. Saat ini, Cutrofello sedang menggeluti soal titik temu antara filsafat dan kesusasteraan, khususnya puisi-puisi berbahasa Inggris. Karya-karya Cutrofello di antaranya: Beyond the Analytic-Continental Divide: Pluralist Philosophy in the Twenty-First Century (Routledge, 2015)buku yang disunting bersama Jeffrey Bell dan Paul Livingston; All for Nothing: Hamlets Negativity (MIT, 2014); dan Continental Philosophy: A Contemporary Introduction (Routledge, 2005). Dalam ranah filsafat kontemporer, Livingston dan Cutrofello berupaya mengembangkan suatu filsafat majemuk, yang berupaya melampaui pemisahan antara tradisi analitik dan tradisi kontinental. Proyek itu pulalah yang mewarnai dan menjadi tema utama buku The Problems of Contemporary Philosophyselanjutnya disingkat PCP. ..... Sebagai catatan, keterbatasan PCP sebagaimana diakui oleh Livingston dan Cutrefello sendiri terletak pada fokus dan pembatasan mengenai persoalan-persoalan filosofis itu sendiri. Kedua penulis tersebut memusatkan perhatian pada beberapa persoalan mendasar yang menarik perhatian para filsuf kontemporer. Karena itu, Livingston dan Cutrefello tidak menawarkan sebuah pemetaan komprehensif dan utuh mengenai semua persoalan filosofis. Keterbatasan lainnya juga terletak pada pembahasan yang berorientasi seputar filsafat Eropa dan Anglo-Amerika sehingga meminggirkan tradisi-tradisi lainnya. Bahkan, pembahasan Livingston dan Cutrefello secara eksklusif terpusat pada filsafat-filsafat yang ditulis atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris saja sehingga mengecualikan berbagai kajian filsafat di luar bahasa Inggris. (Yulius Tandyanto, Alumnus Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta)
Pierre Rosanvallon, Democratic Legitimacy: Impartiality, Reflexivity, Proximity, Translated by Arthur Goldhammer, Princeton: Princeton University Press, (2011), 2015, 235 hlm. Ito Prajna-Nugroho
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (92.668 KB)

Abstract

Sejak 2001 Colle de France, lembaga pendidikan tinggi Prancis paling bergengsi yang berisi para filsuf dan pemikir terkenal dari berbagai bidang, menginisiasi munculnya sebuah fakultas baru. Modern and Contemporary History of the Political adalah nama fakultas baru tersebut. Pierre Rossanvallon, seorang ahli filsafat politik dan penulis buku yang produktif, didaulat sebagai Guru Besar untuk yang pertama kali dan masih menjabat hingga saat ini. Nama fakultas tersebut rupanya sejalan dengan perkembangan termutakhir dalam kajian filsafat politik, yaitu penelaahan kembali asas-asas politik demokratis dalam masyarakat yang heterogen dan plural, bangsa-bangsa yang semakin melintas batas, negara yang tidak lagi digerakkan oleh ideologi-ideologi besar, dunia yang semakin terhubung, serta kecenderungan konflik yang semakin acak menyebar. Perkembangan dalam kajian filsafat politik ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru sebab telah dimulai sejak periode 1980-an oleh beberapa tokoh kunci dalam filsafat politik, seperti Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, Claude Lefort, dan Leo Strauss. Pada umumnya, para ahli filsafat politik tersebut menghidupkan kembali pemikiran Carl Schmitt, seorang pakar hukum dan ahli politik di Republik Weimar, Jerman mengenai Das Politische (Yang Politis/The Political) sebagai dasar penggerak politik yang selalu konfrontatif, konfliktual, agonistik, dan senantiasa mengelak dari prosedur-prosedur rasional demokratis. Pierre Rosanvallon berada di dalam satu barisan para pemikir kontemporer tersebut, barisan yang kini dikenal dengan nama para pemikir post-foundational. Sebelum menerbitkan buku Democratic Legitimacy, Rosanvallon telah menerbitkan beberapa karya monumental dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti Le de lautogestion (1976), Le capitalisme utopique (1979), Le nouvel e des inalit (1996), dan La contre-democratie (2006). Buku Democratic Legitimacy: Impartiality, Reflexivity, Proximity, merupakan kelanjutan dari karya-karya awalnya sekaligus pendalaman dari buku terakhirnya Counter-Democracy: Politics in an Age of Distrust (2008). ..... Sebagai sebuah karya filsafat politik, Democratic Legitimacy memiliki tujuan praktis yang dirumuskan secara jelas. Maka buku ini juga memuat beberapa kemungkinan solusi dan resolusi atas kontradiksi-kontradiksi internal demokrasi seperti misalnya re-institusionalisasi lembaga-lembaga demokrasi. Untuk Indonesia yang sedang bergumul dengan demokrasi, sistem kepartaian, otonomi daerah, serta munculnya persoalan-persoalan seperti fundamentalisme agama, korupsi, inefisiensi birokrasi, dan sebagainya, buku Democratic Legitimacy merupakan buku yang wajib dibaca oleh para ahli filsafat, para politisi, para penasihat penguasa, dan penyelenggara negara serta pengambil kebijakan. Democratic Legitimacy mampu menjelaskan dengan kalem berbagai persoalan yang acapkali dipeributkan dalam politik nasional/lokal kita, sekaligus memberikan kerangka pemahaman yang solid dan jelas mengenai arah demokrasi untuk 50 tahun ke depan. (Ito Prajna-Nugroho, Alumnus Program Sarjana dan Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta)
Peran Gereja Katolik Dalam Membangun Bangsa Indonesia Di Era Reformasi B. A. Rukiyanto
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (157.357 KB)

Abstract

Abstrak: Gereja Katolik Indonesia melalui para Uskupnya sejak 1997 menjadi lebih berani menyuarakan kebenaran dan keadilan. Suara kenabian Gereja ini sangat diperlukan oleh masyarakat pada umumnya dan umat Katolik pada khususnya untuk melanjutkan reformasi yang sudah dimulai dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto. Usulan-usulan perubahan mulai dinyatakan oleh para Uskup untuk memperbaiki situasi masyarakat dan bangsa Indonesia yang sudah kronis mengalami dekadensi moral di segala bidang. Model-model Gereja-nya Avery Dulles akan dipakai untuk menilai model Gereja yang seperti apakah yang dihidupi oleh Gereja Indonesia. Kata kunci: Keadilan, habitus baru, persaudaraan, komunitas basis. Abstract: The Indonesian Catholic Church through the bishops since 1997 has been dare to speak up the truth and justice. The Churchs prophetic voice is needed by society in general and Catholics in particular to continue with the reforms already started by the fall of the Soehartos government. Proposals for change have been expressed by the bishops to improve the situation of the society and the Indonesian nation which has already suffered from chronic moral decadence in all fields. Avery Dulles models of the church are used to reflect which models of the church is lived by the Indonesian church. Keywords: Justice, new habit, fraternity, basic community.
Michel Foucault: Intelektual Spesifik Versus Intelektual Universal Konrad Kebung
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (143.372 KB)

Abstract

Abstrak: Artikel ini menyajikan pandangan Foucault tentang intelektual spesifik sebagai lawan dari intelektual universal atau tradisional yang diklaim oleh para pemikir modernis, yang pada umumnya mendasarkan pemikiran mereka pada esensi, fondasi, transendensi, universalia, atau apa yang disebut narasi-narasi besar. Intelektual spesifik Foucault tidak didasarkan pada akal universal yang dilihat sebagai sumber dari semua kapasitas manusiawi yang membebaskan. Dalam kuliah-kuliah dan seminar-seminarnya yang terakhir, Foucault berbicara mengenai parrhesia (truth-telling), yaitu bagaimana seorang individu menyadari dirinya sebagai subjek kebenaran dan etika. Intelektual sejati disebutnya sebagai parrhesiast yang tidak hanya mampu kebenaran kepada orang lain, tetapi lebih dari itu ia harus mampu menyampaikan kebenaran kepada dirinya sendiri. Ini berarti bahwa ia memiliki relasi khusus dengan dirinya, dalam arti bahwa ia matang dan dewasa dalam penampilannya (model adanya), dan bahwa ia tidak hanya mampu menyampaikan kebenaran melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan dan hidupnya sendiri. Nyata bahwa selalu ada relasi antara kata-kata dengan tindakan. Kata-kata Kunci: Kuasa, wacana, intelektual spesifik, parrhesia, subjek, etika, modalitas, dan permainan kebenaran. Abstract: The paper shows Foucaults own stand on specific intellectual as contrasted to the universal or traditional intellectual claimed by modernist thinkers, which is mainly based on essence, foundation, transcendence, universals, etc, or what one calls grand narratives. Specific intellectual is not based on the universal reason which is claimed to be the source of all human capacities in liberating him or herself. In his last lectures and seminars Foucault talked about parrhesia (truth-telling), that is how the individual is aware of him/her self to be the subject of truth and of ethics. The true intellectual is then called the parrhesiast, who is able not only to tell the truth to other people, but moreover he or she should be able to tell the truth to him/her self. This means that he has a special relation to him/her self, in the sense that he/she is mature in his/her mode of being, and that means he/she is able not only to tell the truth through words but also through his own conduct. There is always a correspondence between words and deeds. Keywords: Power, discourse, specific intellectual, truth-telling, subject, ethics modality, and truth-games.
Bereksistensi Dalam Transendensi Menurut Pemikiran Karl Jaspers Joko Siswanto dkk
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.38 KB)

Abstract

Abstrak: Karl Theodor Jaspers, seperti para eksistensialis lain, bergumul dengan persoalan eksistensi manusia. Kekhususan Jaspers terletak pada titik fokus. Orientasi pemikiran Jaspers tidak bukan pada struktur eksistensi, tetapi pada pencapaian eksistensi. Menurut Jaspers, manusia tidak memiliki kekuatan untuk bereksistensi. Eksistensi hanya dapat dicapai dalam relasi dengan Transendensi. Berangkat dari keyakinan ini, Jaspers membangun pemikiran eksistensial metafisiknya dengan pertanyaan dasar, bagaimana manusia dalam situasi konkrit dapat menjangkau Transendensi. Pergumulan ini membawa Jaspers pada eksplorasi chiffer sebagai medium menuju Transendensi. Transendensi berevelasi dalam chiffer, sehingga untuk menjangkau-Nya, manusia harus masuk dan keluar melalui chiffer. Jalan metafisik Jaspers adalah membaca dan menginterpretasi chiffer. Pembacaan akan membawa manusia pada pengalaman mistik revelasi, dan interpretasi chiffer menghasilkan penerangan untuk membangun hidup secara otentik. Keputusan untuk mengikuti penerangan Transendensi menjadi awal dari eksistensi. Pemikiran eksistensial metafisik Jaspers dapat berkontribusi bagi masyarakat pluralis zaman modern yang cenderung gamang dengan keberadaan dan terkurung dalam pola pikir rasionalitas teknologi. Kata-kata Kunci: Eksistensi, Transendensi, metafisika, chiffer, revelasi jalan panjang. Abstract: Karl Jaspers, like other existentialists, thinks about the problem of human existence. Jaspers speciality lies at the point of focus. The orientation of Jaspers thought is not of the existence structure, but how to reach it. According to Jaspers, human beings have no power to exist. The existence can only be achieved in relation with Transcendence. From this point of faith, Jaspers constructs this existential metaphysical thought, how human being in concrete situation can reach Transcendence. This thought takes Jaspers at chipher exploration as a medium toward Transcendence. Transcendence evelates into chipher so that to achieve it, human being must be in and out through chipher. Jaspers metaphysical way is to read and interpreted chipher. The reading will bring human beings to mystic revelation existence, and interpretation of chipher will result in enlightenment to live a life authentically. The determination to follow the enlightenment of Transcendence becomes the outset of existence. Jaspers existential metaphysical thought can contribute to plural community at the modern era which tends to be confusing with situation and limited in the pattern of rational and technological thought. Keywords: Existence, Transcendence, metaphysics, chiffer, long way revelation.
Polemik dan Inti Perspektivisme Nietzsche Yulius Tandyanto
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (187.535 KB)

Abstract

Abstrak: Nietzsche menegaskan bahwa perspektivisme adalah suatu kondisi dasar manusia di hadapan realitas. Dari gagasan tersebut sekurang-kurangnya muncul dua pendekatan utama. Di satu sisi, kalangan Nietzsche analitik-naturalis cenderung memposisikan perspektivisme sebagai teori pengetahuan belaka. Di sisi lain, kelompok Nietzsche Baru hanya memprioritaskan perspektivisme sebagai metode genealogis psiko-fisiologis yang tidak ada sangkut pautnya dengan realitas sebagaimana adanya. Menurut penulis, kedua pendekatan tersebut sesungguhnya tidak memadai dan mengaburkan inti perspektivisme Nietzsche, yakni sebagai seni penyelubungan yang senantiasa berkaitan dengan tipe manusianya. Dalam hal ini, penulis merujuk pada aforisme The Gay Science 354 untuk memperlihatkan bahwa perspektivisme merupakan seni penyelubungan yang dangkal, sadar, dan berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Kendati demikian, Nietzsche tidak serta-merta membuang perspektivisme. Sebaliknya, Nietzsche menggarisbawahi bahwa perspektivisme sudah selalu mencakup ketegangan antara kesadaran dan insting manusianya di hadapan realitas seada-adanya. Persis di situlah terletak kekuatan dan kewaspadaan sang filsuf masa depan (moral tuan) untuk melawan segala pengetahuan yang dogmatis tentang realitas. Nietzsche menunjukkan bahwa moral tuan pada dasarnya memiliki sikap penuh hormat di hadapan realitas yang kaotis dan enigmatis. Dalam konteks itulah kebenaran moral tuan merupakan kreativitas artistik yang memperlihatkan sikap mawas diri di hadapan realitas seada-adanya. Kata-kata Kunci: Friedrich Nietzsche, perspektivisme, pendekatan analitis-naturalis, Nietzsche Baru, seni penyelubungan, kesadaran, insting, kebutuhan akan komunikasi, moral tuan, realitas seada-adanya, kebenaran. Abstract: Nietzsche asserts that perspectivism is a basic human condition before the reality. From this idea at least two main approaches emerge. On the one hand, analytic-naturalists Nietzsche tends to pose perspectivism only as a theory of knowledge. On the other hand, the New Nietzsche prioritizes perspectivism only as a psycho-physiological genealogical method that has nothing to do with the reality as it is. In this article, I propose that both approaches are inadequate and tend to obscure the essence of Nietzsches perspectivism, namely as the art of dissimulation which is always related to its human being type. In this case, I refer to the aphorisms of The Gay Science 354 to show that perspectivism is a superficial, conscious, and has its function for the survival of human life. Nevertheless, Nietzsche does not necessarily remove perspectivism. In contrast, Nietzsche underlines that perspective has always included the tension between consciousness and its human instinct in the face of reality as such. There lies the power and alertness of the philosopher of the future (master morality) to resist all the dogmatic knowledge about reality. Nietzsche points out that master morality basically being respectful in the presence of the chaotic and enigmatic reality. In that context master moralitys truth is an artistic creativity that shows a self-awareness before the reality it is. Keywords: Friedrich Nietzsche, perspectivism, analytic-naturalistic approach, New Nietzsche, art of dissimulation, consciousness, instinct, need to communicate, master morality, reality as it is, truth.

Page 3 of 17 | Total Record : 161


Filter by Year

2010 2023


Filter By Issues
All Issue Vol. 19 No. 2 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 2 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 2 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 9 No. 2 (2010): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara More Issue