cover
Contact Name
Muh. Ibnu Fajar Rahim
Contact Email
prolev@kejaksaan.go.id
Phone
+62821242602626
Journal Mail Official
prolev@kejaksaan.go.id
Editorial Address
Pusat Strategi Kebijakan Penegakan Hukum, Kejaksaan Agung Gedung Pustrajagakkum Lantai 4 (ex. Puslitbang) Jl. Sultan Hasanuddin No. 1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
The Prosecutor Law Review
ISSN : 29877342     EISSN : 29878314     DOI : -
Core Subject : Social,
The Prosecutor Law Review (Print ISSN 2987-7342, Online ISSN: 2987-8314) is a double blind peer-reviewed journal published quarterly on April, August, and December by the Center for Law Enforcement Policy Strategy, Attorney General of the Republic of Indonesia. The Prosecutor Law Review publishes article (both research or review articles) concerning to legal studies especially in the context of duties, functions, and authorities of the Prosecutor’s Office and Attorney General whether in Indonesian, Asia or global context.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 10 Documents
ASAS-ASAS HUKUM PENUNTUTAN Muh. Ibnu Fajar Rahim
The Prosecutor Law Review Vol 1 No 1 (2023): The Prosecutor Law Review
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Penegakan Hukum, Kejaksaan Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kekuasaan penuntutan merupakan kekuasaan negara di bidang peradilan yang dijalankan secara bebas dan merdeka yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Kekuasaan penuntutan memiliki posisi yang strategis dalam suatu negara. Melalui kekuasaan penuntutan, siapapun yang melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan negara, umum dan hukum dapat dituntut di pengadilan, baik di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu, untuk menjaga agar kekuasaan penuntutan dijalankan secara adil maka diperlukan asas-asas hukum penuntutan yang mampu menjadi rukh atau dasar pembenar dalam mengatur, menjalankan maupun mengawasi kekuasaan penuntutan. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 20 (dua puluh) asas hukum penuntutan yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Asas hukum penuntutan tersebut merupakan rukh atau dasar pembenar dalam pembentukan, pelaksanaan, maupun pengawasan terhadap kekuasaan penuntutan agar mampu mewujudkan penuntutan yang berkeadilan sebagai nilai hukum yang hakiki.
KARYA SASTRA LES MISERABLES VIKTOR HUGO DAN GAGASAN HATI NURANI JAKSA AGUNG BURHANUDDIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM Rudi Pradisetia Sudirdja
The Prosecutor Law Review Vol 1 No 1 (2023): The Prosecutor Law Review
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Penegakan Hukum, Kejaksaan Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tulisan ini merupakan refleksi filosofis atas karya sastra Les Misérables ciptaan Viktor Hugo dan Gagasan Hati Nurani Jaksa Agung Burhanuddin. Sebagai orang yang belajar hukum, Hugo mampu menampilkan aliran­-aliran filsafat hukum dalam setiap kejadian dalam karya sastranya khususnya aliran positivisme hukum dan hukum alam. Artikel ini melakukan refleksi kritis atas aliran positivisme hukum, dan mengkaji apakah aliran hukum alam masih relevan, serta mengkaji hubungan antar aliran tersebut. Dalam konteks Indonesia, dikaji pula gagasan penuntutan berdasarkan hati nurani Jaksa Agung Burhanuddin dalam perspektif filsafat hukum. Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan refleksi filosofis yang bersifat kritis dan argumentatif. Hasilnya menunjukkan aliran positivisme hukum telah berusaha mengejar kepastian hukum tanpa menimbang kemanusiaan, yang membuat cara pandang penegak hukum sangat legalistik dan formalistik. Di sisi lain, sebenarnya aliran hukum alam tidak selalu tertinggal zaman karena sejatinya hukum alam adalah hukum yang abadi, sehingga ia berlaku pada siapa pun, dalam kondisi apa pun, di mana pun dan kapan pun. Aliran hukum alam dapat berkolaborasi dengan aliran positivisme hukum dalam rangka mengubah perilaku seseorang (hukum alam yang bersumber dari Tuhan), dan sebagai dasar untuk membentuk hukum positif yang universal dan dapat diterima oleh akal sehat (hukum alam yang bersumber dari rasio manusia). Terakhir, gagasan penuntutan berdasarkan hati nurani Jaksa Agung, Burhanuddin merupakan respons atas Hukum Acara Pidana Indonesia yang hanya mengakomodir aspek legalitas (aliran positivisme hukum) tanpa menimbang aspek moralitas sebagai inti ajaran hukum alam. Gagasan ini berusaha melakukan elaborasi mazhab positivisme hukum dan hukum alam dalam konsep penuntutan di Indonesia sebagai sebuah sintesis.  Jaksa sebagai aktor sentral dalam peradilan pidana dituntut dapat mengelaborasi dan menyeimbangkan aspek kepastian hukum, kemanfaatan, dan kemanusiaan guna mewujudkan keadilan sebagai tujuan dari penuntutan.  
PERLINDUNGAN JAMINAN KESEHATAN BAGI PEKERJA MIGRAN INDONESIA SEKTOR INFORMAL Ludfie Jatmiko
The Prosecutor Law Review Vol 1 No 1 (2023): The Prosecutor Law Review
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Penegakan Hukum, Kejaksaan Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Terpenuhinya hak atas kesehatan bagi setiap Warga Negara Indonesia merupakan amanat konstitusi yang harus dilaksanakan oleh negara. Negara telah berupaya untuk memenuhi  kewajuban ini melalui penyelenggaraan sistem Jaminan Kesehatan Nasional dimana melalui mekanisme asuransi sosial Pemerintah membantu pembayaran premi bagi mereka yang termasuk dalam kategori miskin agar mereka mendapatkan akses terhadap kesehatan. Melalui Jaminan Kesehatan Nasional, setiap Warga Negara Indonesia diberikan jaminan akan layanan kesehatan melalui sistem asuransi. Sayangnya sistem ini masih belum diberlakukan bagi pekerrja migran sector informal yang bekerja di luar negeri mengingat pemberlakuan perlindungan kesehatan bagi warga di luar negeri harus menyertakan negara dimana tenaga kerja tersebut berada. Oleh sebab itu, dalam perspektif pemenuhan hak dasar warga negara atas kesehatan, Pemerintah terikat tanggungjawab untuk menjamin akses yang memadai bagi setiap warga negara atas pelayanan kesehatan yang layak dan optimal.
KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DAN IRISAN DENGAN TINDAK PIDANA LAINNYA Herry Wiyanto
The Prosecutor Law Review Vol 1 No 1 (2023): The Prosecutor Law Review
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Penegakan Hukum, Kejaksaan Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perbuatan tindak pidana perdagangan orang yang diidentifikasi proses , cara dan tujuan untuk ekspolitasi manusia ternyata diatur dalam berbagai undang­-undang yang saling bersinggungan atau beririsan. Regulasi tersebut adalah undang­undang tentang perdagangan orang, imigrasi, perlindungan pekerja migran, perlindungan anak maupun dalam KUHP. Hal tersebut berdampak pada  ketepatan penerapan pasal yang tepat dalam setiap tindak pidana perdagangan orang oleh aparat penegk hukum. Penelitian ini dibuat dengan tujuan, bagaimana karakteristik tindak pidana perdagangan orang, kedua bagaimana irisan antara perdagangan orang dan tindak pidana lainnya. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang­undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukan pertama menunjukan karakteristik tindak pidana perdagangan orang adalah proses perekrutan melalui cara tertentu untuk ekspolitasi, Kedua, irisan tindak pidana perdagangan orang dengan tindak pidana lain merupakan konsekuensi logis dari ajaran satu perbuatan diatur oleh berbagai peraturan perundang­undangan (concursus idealis).  
DISKRESI PENUNTUTAN DI INDONESIA DAN PERBANDINGAN DENGAN NEGARA-NEGARA EROPA Henry Yoseph Kindangen
The Prosecutor Law Review Vol 1 No 1 (2023): The Prosecutor Law Review
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Penegakan Hukum, Kejaksaan Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ketidakjelasan pengaturan tentang diskresi penuntutan yang melandasi tindakan penuntut untuk tidak melimpahkan perkara ke pengadilan sebagaimana Pasal 139 KUHAP menyebabkan dalam perkembangannya istilah tersebut disamaartikan dengan tindakan menghentikan penuntutan yang diatur dalam Pasal 140 ayat(2) huruf a KUHAP. Kesalahan penafsiran yang mencampukadukkan kedua istilah tersebut telah menyebabkan kekeliruan mendasar dalam memaknai model penuntutan di Indonesia berdasarkan prinsip legalitas yang kaku dimana Penuntut Umum wajib (compulsory) melakukan penuntutan terhadap seluruh perkara apabila terdapat cukup bukti dan tidak terdapat alasan untuk menutup perkara demi hukum. terbitnya Undang­Undang Nomor 11 Tahun 2021 terutama Pasal 34A yang memberikan kewenangan Penuntut Umum dalam bertindak berdasarkan penilaiannya untuk kepentingan hukum menegaskan kembali adanya diskresi penuntutan bagi Penuntut Umum untuk memutuskan tidak melimpahkan perkara ke pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 KUHAP. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan terbitnya Undang­Undang Nomor 11 Tahun 2021 model penuntutan di Indonesia memiliki kemiripan dengan model campuran di Jerman yang semakin melonggarkan penerapan prinsip legalitas secara kaku
Tafsir Otoritatif Jaksa Agung Muh. Ibnu Fajar Rahim
The Prosecutor Law Review Vol 1 No 2 (2023): The Prosecutor Law Review
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Penegakan Hukum, Kejaksaan Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kepastian hukum yang adil merupakan hak asasi yang harus diwujudkan dalam penegakan hukum pidana. Multitafsir, antinomi, dan kekosongan hukum, merupakan realitas yang menghambat masyarakat pencari keadilan (justice bellen). Oleh karena itu, Jaksa Agung memiliki tanggungjawab yang krusial dalam menyelesaikan berbagai hambatan tersebut dan mengefektifikan penegakan hukum sehingga sistem peradilan pidana terpadu bergerak mewujudkan kepastian hukum yang adil. Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi berwenang mengeluarkan kebijakan dalam bentuk peraturan hukum konkret yang merupakan hasil tafsir otoritatif Jaksa Agung. Ruang lingkup kebijakan Jaksa Agung tersebut tidak hanya berlaku bagi jaksa namun juga bagi semua aparat penegak hukum, khususnya bagi penyidik dan pejabat yang ditunjuk menjadi penuntut umum. Meskipun tidak mengikat hakim dan advokat, namun keduanya dapat menggunakan tafsir otoritatif Jaksa Agung tersebut dalam penanganan perkara.
Manifestasi Kewenangan Kejaksaan Dalam Penerapan Denda Damai Dalam Tindak Pidana Ekonomi Guna Mengubah Tatanan Sosial Masyaraka Rolando Ritonga
The Prosecutor Law Review Vol 1 No 2 (2023): The Prosecutor Law Review
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Penegakan Hukum, Kejaksaan Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kewenangan penerapan denda damai dalam tindak pidana ekonomi yang mengakibatkan kerugian negara yang dimiliki Kejaksaan saat ini merupakan salah satu aplikasi kewenangan Kejaksaan sebagai pengendali penuntutan (dominus litis) serta diskresi penuntutan yang bertujuan mengeser paradigma penegakan hukum mengarah pada keadilan restoratif dari sebelumnya yang bertujuan mewujudkan keadilan retributif (pembalasan). Fungsi/manfaat denda damai diharapkan dapat membantu/ mendorong penerapan kebijakan fiskal yang konsolidatif serta berdampak pada peningkatan penerimaan negara dan perbaikan defisit anggaran yang sedang dihadapi oleh Indonesia saat ini sehingga Kejaksaan dapat berperan aktif dalam pembangunan (peningkatan penerimaan) serta berpartisipasi aktif dalam perkembangan hukum antar negara dan Internasional. Penerapan denda damai berdasarkan Undang-Undang merupakan kewenangan Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi Kejaksaaan yang satu dan tidak terpisahkan (een en ondeel baar heid). Hal tersebut dirasa penulis merupakan kebijakan yang tepat guna menghindari adanya penyalahgunaan kewenangan dikemudian hari dalam penanganan perkara tindak pidana ekonomi. Metode yang digunakan penulis dengan menggunakan pendekatan hukum normatif berupa penelitian kepustakaan dengan mengandalkan bahan primer seperti Peraturan Perundang[1]undangan dan diharapkan tulisan ini dapat memberikan pemahaman mengenai penerapan kewenangan Kejaksaan dalam penerapan denda damai sehingga tidak menimbulkan persepsi penyalahgunaan kewenangan oleh Kejaksaan. Penelitian ini menyimpulkan penerapan denda damai dalam perkara tindak pidana ekonomi yang merugikan perekonomian negara bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan yang dapat disalahgunakan oleh pihak Kejaksaan dikarenakan kewenangan tersebut melekat pada pimpinan tertinggi Kejaksaan yaitu Jaksa Agung. Penerapan denda damai dalam perkara tindak pidana ekonomi juga merupakan bentuk diskresi yang dapat diambil dalam tahap karena merupakan kewenangan Jaksa sebagai pengendali penuntutan (dominus litis). Dengan adanya kewenangan dimaksud, Kejaksaan kedepan dapat berperan aktif dalam pembangunan negara sehingga Kejaksaan juga berperan dalam penerapan kebijakan fiskal yang konsolidatif sebagaimana diharapakan oleh undang- undang.
Perlindungan Hukum Terhadap Ahli Dalam Proses Peradilan Abdul Rahim
The Prosecutor Law Review Vol 1 No 2 (2023): The Prosecutor Law Review
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Penegakan Hukum, Kejaksaan Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Keterangan yang diberikan oleh ahli dalam proses peradilan berdasarkan pengetahuan dan/atau pengalamannya yang dimiliki wajib dilindungi. Ahli memberikan keterangan dalam proses peradilan bertujuan membantu penegak hukum untuk menemukan kebenaran materil maupun formil. Realitasnya, masih terdapat ahli yang dituntut secara perdata atas keterangan yang telah diberikannya dalam proses peradilan pidana. Berbagai instrumen hukum internasional telah memberikan perlindungan terhadap ahli dari tuntutan pidana atau perdata, namun instrumen hukum nasional masih belum cukup memberikan pelindungan hukum yang sama. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelindungan hukum bagi ahli dalam proses peradilan.
Penggunaan Denda Damai Dalam Tindak Pidana Ekonomi Indra Gunawan
The Prosecutor Law Review Vol 1 No 2 (2023): The Prosecutor Law Review
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Penegakan Hukum, Kejaksaan Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu wewenang yang diberikan Undang-Undang Kejaksaan yang baru adalah wewenang Jaksa Agung menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Namun, wewenang Jaksa Agung tersebut masih membutuhkan penjelasan, khususnya mengenai hukum acara. Berdasarkan hasil penelitian secara normative, diperoleh kesimpulan bahwa hukum acara denda damai dalam tindak pidana ekonomi merupakan hukum acara yang berdasarkan asas-asas hukum penuntutan. Adapun ruang lingkup hukum acara denda damai tersebut meliputi pengaturan tentang subjek, objek, pendelegasian wewenang, tahapan, metode, serta syarat penggunaan denda damai. Penggunaan denda damai merupakan eksclusive authority Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi berdasarkan asas opurtunitas. Wewenang penggunaan denda damai dapat didelegasikan Jaksa Agung kepada pejabat yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Penggunaan denda damai yang murni, dilakukan sebelum penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan, sedangkan penggunaan denda damai yang tidak murni, dilakukan setelah penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan. Ruang lingkup tindak pidana ekonomi yang dapat dilakukan penghentian penyidikan atau penuntutan karena adanya pembayaran denda damai dari tersangka/terdakwa dapat diartikan sempit, yakni tindak pidana ekonomi yang diatur dalam undang-undang tindak pidana ekonomi atau dalam arti luas, yakni tindak pidana yang memiliki dampak terhadap perekonomian negara.
5 Bentuk Diskresi Jaksa: Solusi Mengatasi Kepadatan Lapas Indonesia Rudi Pradisetia Sudirdja
The Prosecutor Law Review Vol 1 No 2 (2023): The Prosecutor Law Review
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Penegakan Hukum, Kejaksaan Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk melihat pengaturan dan praktik diskresi jaksa di berbagai Negara Eropa (Prancis, Belanda, Inggris, dan Jerman) dalam konteks penghentian perkara, sebagai upaya mengatasi permasalahan kepadatan lembaga pemasyarakatan. Persoalan kepadatan Lapas di Indonesia menjadi salah masalah nasional yang diangkat dalam RPJMN 2019-2024 dan hingga saat ini belum dapat diselesaikan dengan baik. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara Eropa mengatur berbagai bentuk diskresi oleh jaksa pada tahap pra-ajudikasi sebagai bagian dari penerapan prinsip oportunitas. Dalam melakukan penuntutan atau tidak, jaksa selain mempertimbangkan aspek kepentingan hukum, juga mempertimbangkan aspek kepentingan umum. Dalam kaitannya dengan penghentian perkara, setidaknya terdapat 5 bentuk diskresi jaksa dalam tahap pra-ajudikasi yang meliputi (1) Simple Drop: Penghentian Perkara Karena Alasan Teknis, (2) Public Interest Drop: Penghentian Perkara Karena Alasan Kepentingan Umum; (3) Conditional Disposal: Penghentian Perkara Dengan Syarat; (4) Penal Order: Perintah Pidana; dan Negotiated Case Settlements: Penyelesaian Perkara Yang Di Negosiasikan. Variasi bentuk diskresi jaksa tersebut secara efektif dapat mengurangi beban pengadilan dan secara mutatis mutandis mengurangi masalah kepadatan lembaga pemasyarakatan di negara-negara tersebut.

Page 1 of 1 | Total Record : 10