cover
Contact Name
Muhammad Majdy Amiruddin
Contact Email
sipakainge@iainpare.ac.id
Phone
+6281241778806
Journal Mail Official
sipakainge@iainpare.ac.id
Editorial Address
Jalan Amal Bakti No. 08 Soreang Kota Parepare
Location
Kota pare pare,
Sulawesi selatan
INDONESIA
Sipakainge: Inovasi Penelitian, Karya Ilmiah, dan Pengembangan
ISSN : -     EISSN : 30312426     DOI : https://doi.org/10.35905/sipakainge
Sipakainge: Inovasi Penelitian, Karya Ilmiah, dan Pengembangan merupakan jurnal mahasiswa yang diproduksi oleh Institut Agama Islam Negeri Parepare. Ruang lingkup jurnal ini adalah sains Islam (Islamic Science). Pembahasan mengenai sains Islam bisa meliputi berbagai macam aspek, seperti Pendidikan Islam, Ekonomi Islam, Ilmu hukum Islam, Ushuluddin, adab dan dakwah Islamiyah, Perkembangan sains dan teknologi dalam peradaban Islam, serta Konsep, filsafat, dan metodologi sains yang dapat diimplementasikan ke dalam peradaban Islam.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 38 Documents
Search results for , issue "Vol 2 No 9 (2024): Special Issue: Islamic Legal Maxim on Islamic Finance" : 38 Documents clear
Penerapan Kaidah Al-Ashlu Bara'atu Dzimmah dalam Akad Wakalah dan Kafalah anugrah pratiwi
Sipakainge: Inovasi Penelitian, Karya Ilmiah, dan Pengembangan (Islamic Science) Vol 2 No 9 (2024): Special Issue: Islamic Legal Maxim on Islamic Finance
Publisher : IAIN Parepare

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kaidah Al-Ashlu Bara'atu Dzimmah (prinsip bahwa pada dasarnya seseorang terbebas dari tanggungan) memiliki penerapan signifikan dalam akad Wakalah dan Kafalah. Dalam konteks Wakalah (perwakilan), kaidah ini menegaskan bahwa wakil pada dasarnya tidak bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan yang terjadi selama ia bertindak sesuai dengan batas-batas yang diberikan dan dengan itikad baik, kecuali jika terbukti ada kelalaian atau pelanggaran. Sementara dalam Kafalah (penjaminan), kaidah ini menggarisbawahi bahwa kafil (penjamin) hanya bertanggung jawab atas kewajiban yang telah secara jelas disepakati dalam akad, dan tidak bisa diperluas melebihi kesepakatan tersebut. Penerapan kaidah ini dalam kedua akad tersebut memberikan kepastian hukum, melindungi hak-hak individu, mendorong kejujuran dan itikad baik, serta memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan menetapkan dasar untuk menentukan beban pembuktian dan tanggung jawab. Namun, penerapannya harus tetap mempertimbangkan aspek keadilan dan maslahat, dengan kemungkinan pengecualian dalam kasus-kasus tertentu untuk mencegah kerugian yang tidak adil atau melindungi pihak yang lebih lemah.
PENERAPAN KAIDAH AL KITAB KALKHATAB PADA AKAD HIBAH DAN WASIAT Hasbi, Maryam Safitri
Sipakainge: Inovasi Penelitian, Karya Ilmiah, dan Pengembangan (Islamic Science) Vol 2 No 9 (2024): Special Issue: Islamic Legal Maxim on Islamic Finance
Publisher : IAIN Parepare

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penerapan kaidah al-Qur'an, atau alkitab al-khattab, dalam akad hibah dan wasiat menjadi sangat penting dalam konteks pengaturan harta secara Islam. Al-Qur'an sebagai sumber hukum utama umat Islam menegaskan prinsip-prinsip yang harus diikuti dalam proses hibah dan wasiat. Salah satu prinsip utama adalah keadilan, di mana pembagian harta harus adil sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Selain itu, kejelasan dan kepastian juga menjadi faktor penting dalam akad hibah dan wasiat untuk menghindari potensi perselisihan di kemudian hari. Penerapan kaidah al-Qur'an juga mencakup memastikan bahwa niat dalam melakukan hibah dan wasiat adalah murni untuk mencapai tujuan baik, bukan untuk kepentingan pribadi yang egois.
PENERAPAN KAIDAH ALKITAB KALKHATAB PADA AKAD SEWA MENYEWA Emma
Sipakainge: Inovasi Penelitian, Karya Ilmiah, dan Pengembangan (Islamic Science) Vol 2 No 9 (2024): Special Issue: Islamic Legal Maxim on Islamic Finance
Publisher : IAIN Parepare

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penerapan kaidah "al-kitab kalkhattab" (الكتاب كالخطاب) pada akad sewa menyewa (ijarah) memiliki peran penting dalam menjamin kejelasan, keadilan, dan kepastian hukum dalam transaksi tersebut. Kaidah ini menyatakan bahwa dokumen tertulis memiliki kekuatan hukum yang sama dengan pernyataan lisan, sehingga perjanjian sewa menyewa yang dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak dianggap sah dan mengikat. Dalam konteks akad sewa menyewa, perjanjian tertulis mencakup syarat dan ketentuan seperti durasi sewa, jumlah sewa, metode pembayaran, dan tanggung jawab pemeliharaan properti. Dengan mengacu pada kaidah "al-kitab kalkhattab", segala sesuatu yang disepakati dalam perjanjian tertulis tersebut memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perjanjian lisan, memberikan kepastian hukum dan mengurangi risiko perselisihan. Selain itu, dokumen tertulis ini berfungsi sebagai bukti yang kuat jika terjadi sengketa, memastikan bahwa kedua belah pihak memiliki acuan yang jelas mengenai hak dan kewajiban mereka. Dengan demikian, penerapan kaidah "al-kitab kalkhattab" dalam akad sewa menyewa membantu menciptakan transaksi yang lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, meningkatkan kepercayaan dan keamanan bagi semua pihak yang terlibat.
Penerapan Ad Dharuratu Tubiihu Al Mahdhurati pada transaksi peminjaman uang dengan suku bunga Saini, Febrian Saputra
Sipakainge: Inovasi Penelitian, Karya Ilmiah, dan Pengembangan (Islamic Science) Vol 2 No 9 (2024): Special Issue: Islamic Legal Maxim on Islamic Finance
Publisher : IAIN Parepare

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penerapan kaidah “ad-Dharurat tubihul mahdhurat” dalam transaksi peminjaman uang dengan suku bunga dalam konteks syariah Islam mempertimbangkan urgensi kebutuhan dan kesejahteraan individu dalam situasi darurat yang diakui. Meskipun riba atau suku bunga dilarang dalam Islam, kaidah ini memungkinkan penggunaannya dalam kondisi yang memaksa seperti kebutuhan medis mendesak atau ancaman kehilangan mata pencaharian yang dapat membahayakan kesejahteraan ekonomi seseorang. Namun, penerapan kaidah ini harus tetap memperhatikan upaya meminimalkan dampak negatifnya dengan memilih suku bunga yang serendah mungkin atau membatasi jangka waktu pinjaman sesingkat mungkin, sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan syariah. Sebagai contoh kasus seorang kepala keluarga yang menjadi tulang punggung utama kehilangan pekerjaannya akibat krisis ekonomi. Tidak ada simpanan yang cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, termasuk makanan, biaya sekolah anak-anak, dan biaya medis. Setelah mencari bantuan dari keluarga dan teman tanpa hasil, serta tidak ada lembaga keuangan syariah yang dapat memberikan pinjaman tanpa bunga dalam waktu singkat, kepala keluarga ini memutuskan untuk meminjam uang dengan bunga dari bank konvensional. Dalam konteks praktis, setiap keputusan untuk menggunakan peminjaman dengan suku bunga dalam keadaan darurat harus didasarkan pada konsultasi dengan ahli syariah atau ulama yang berwenang. Hal ini penting untuk memastikan bahwa tindakan tersebut benar-benar memenuhi syarat sebagai keadaan darurat yang mendesak dan bahwa langkah yang diambil mempertimbangkan nilai-nilai etika Islam yang mendorong perlindungan terhadap kepentingan individu serta masyarakat secara keseluruhan.
PENERAPAN KAIDAH MA UBIHA LIDDORUROTI YUQODDARU BIQODRIHA PADA AKAD MUDHARABAH IBRIRA, MIFTAHUL
Sipakainge: Inovasi Penelitian, Karya Ilmiah, dan Pengembangan (Islamic Science) Vol 2 No 9 (2024): Special Issue: Islamic Legal Maxim on Islamic Finance
Publisher : IAIN Parepare

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penerapan kaidah “ma ubiha liddoruroti yuqaddaru biqadriha” (ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها) dalam akad mudharabah merupakan aspek penting dalam memastikan keadilan dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah dalam transaksi bisnis. Kaidah ini berarti "sesuatu yang dibolehkan karena darurat harus diukur sesuai dengan kadar daruratnya." Dalam konteks akad mudharabah, yang merupakan kemitraan di mana satu pihak menyediakan modal (rabbul mal) dan pihak lain menyediakan tenaga atau keahlian (mudharib) untuk menjalankan usaha, penerapan kaidah ini menekankan bahwa pengecualian atau kelonggaran yang diberikan dalam kondisi darurat harus dibatasi hanya pada situasi darurat tersebut dan tidak boleh berlebihan. Misalnya, jika terjadi kerugian dalam usaha mudharabah akibat keadaan darurat yang tidak terduga, seperti bencana alam atau krisis ekonomi, pihak yang terlibat diperbolehkan untuk mengambil tindakan khusus yang mungkin tidak diperbolehkan dalam kondisi normal, seperti penundaan pembayaran bagi hasil atau perpanjangan waktu kontrak. Namun, tindakan ini harus sesuai dengan kadar kebutuhan yang mendesak dan tidak boleh melebihi batas yang diperlukan untuk mengatasi situasi darurat tersebut. Dengan demikian, penerapan kaidah "ma ubiha liddoruroti yuqaddaru biqadriha" dalam akad mudharabah memastikan bahwa kelonggaran yang diberikan tetap dalam kerangka keadilan dan tidak mengganggu prinsip dasar kepercayaan dan kerjasama yang menjadi landasan akad ini, sekaligus melindungi kepentingan semua pihak yang terlibat dalam transaksi.
PENERAPAN YUKHTAARU AHWANU SYARRAOINI PADA TRANSAKSI PEMBELIAN NARKOTIKA UNTUK KEPERLUAN MEDIS Nurdin, Aksa Muhammad N
Sipakainge: Inovasi Penelitian, Karya Ilmiah, dan Pengembangan (Islamic Science) Vol 2 No 9 (2024): Special Issue: Islamic Legal Maxim on Islamic Finance
Publisher : IAIN Parepare

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Prinsip "yukhtaaru ahwanu syarraoini" dalam Islam memperbolehkan pemilihan antara dua kebaikan yang lebih rendah atau antara dua kerugian yang lebih besar dengan tujuan untuke menghindari kerugian yang lebih besar. Dalam konteks transaksi pembelian narkotika untuk keperluan medis, prinsip ini dapat diterapkan dengan mempertimbangkan urgensi kebutuhan medis yang tidak dapat diatasi dengan obat lain yang halal dan risiko kesehatan serta legalitas penggunaan narkotika. Misalnya, jika seseorang menderita sakit kronis yang tidak teratasi dengan obat lain, penggunaan narkotika untuk meredakan rasa sakit dapat dipertimbangkan, asalkan dilakukan dengan pengawasan medis yang ketat dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Dalam hal ini contoh-contoh narkotika yang sering digunakan untuk keperluan medis meliputi morfin, oksikodon, hidromorfon, fentanil, dan metadon. Morfin, misalnya, sering digunakan untuk mengatasi rasa sakit yang parah setelah operasi atau cedera serius. Oksikodon digunakan untuk mengobati nyeri sedang hingga parah yang tidak dapat diatasi dengan obat lain. Hidromorfon sering digunakan untuk meredakan nyeri akut atau kronis yang tidak merespons terhadap obat penghilang rasa sakit lainnya. Fentanil digunakan dalam bentuk plester kulit untuk meredakan rasa sakit kronis yang memerlukan dosis obat yang terukur secara terus menerus. Metadon, selain digunakan untuk mengatasi ketergantungan opioid, juga digunakan dalam pengobatan nyeri kronis yang tidak dapat diatasi dengan obat lain. Penerapan prinsip "yukhtaaru ahwanu syarraoini" dalam transaksi pembelian narkotika untuk keperluan medis haruslah dilakukan dengan bijaksana dan bertanggung jawab. Penggunaan narkotika harus selalu sesuai dengan petunjuk medis yang kompeten dan dalam batas-batas yang diizinkan oleh hukum syariat Islam. Dalam hal ini, konsultasi dengan dokter dan ahli medis yang berpengalaman sangatlah penting untuk memastikan bahwa penggunaan narkotika dilakukan dengan benar dan aman. Ketika mempertimbangkan penggunaan narkotika untuk keperluan medis, penting untuk memperhatikan dampaknya terhadap kesehatan fisik, mental, dan sosial individu. Ketergantungan dan efek samping yang mungkin timbul harus dipertimbangkan dengan matang, serta alternatif pengobatan yang lebih aman dan halal juga harus dieksplorasi. Dalam hal ini, pendekatan holistik yang mencakup aspek kesehatan fisik, mental, dan spiritual dapat membantu dalam membuat keputusan yang bijaksana dan berkelanjutan.
PENERAPAN AD-DHARURATU TUBIHU AL-MAHDZURATI A'MMATAN KANA AW KHASHATAN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI Ainun, Ainun
Sipakainge: Inovasi Penelitian, Karya Ilmiah, dan Pengembangan (Islamic Science) Vol 2 No 9 (2024): Special Issue: Islamic Legal Maxim on Islamic Finance
Publisher : IAIN Parepare

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Jual beli (al-bay') adalah salah satu transaksi utama dalam hukum Islam yang memiliki peran penting dalam aktivitas ekonomi umat Muslim. Transaksi ini mencakup pertukaran barang atau jasa antara dua pihak dengan kesepakatan tertentu mengenai harga dan syarat-syarat lainnya. Jual beli diatur berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang mencakup keadilan, kejujuran, dan saling setuju antara penjual dan pembeli. Penerapan ad-dharurat tubihu al-mahdzurati a'mmatan kana aw khashatan dalam transaksi jual beli adalah salah satu aspek penting dalam hukum Islam yang mengatur keadaan darurat atau kebutuhan mendesak yang memaksa seseorang untuk menggunakan hal-hal yang diharamkan dalam keadaan normal. Prinsip ini memungkinkan penggunaan barang-barang atau praktik-praktik yang biasanya diharamkan dalam syariat Islam, baik secara umum maupun khusus, dengan syarat-syarat tertentu. Contoh penerapannya dapat ditemukan dalam situasi di mana seseorang menghadapi kebutuhan mendesak untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan atau sandang, dan tidak ada pilihan lain yang halal atau syariah-compliant. Dalam kasus seperti itu, ad-dharurat tubihu al-mahdzurati a'mmatan kana aw khashatan membenarkan penggunaan barang-barang yang diharamkan, seperti daging babi atau minuman beralkohol, sebagai solusi sementara dalam keadaan darurat yang mempertaruhkan keselamatan atau kesehatan. Namun demikian, penerapan prinsip ini haruslah dilakukan dengan pertimbangan yang hati-hati dan sesuai dengan tujuan yang diizinkan dalam syariat Islam, yaitu untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan serta menghindari bahaya yang lebih besar. Penting juga untuk diingat bahwa ad-dharurat tubihu al-mahdzurati a'mmatan kana aw khashatan tidak boleh disalah gunakan atau dijadikan alasan untuk melanggar prinsip-prinsip syariat dalam keadaan yang tidak benar-benar mendesak.
Penerapan An-niyatu fii Al-yamini Tukhashishu Al-lafdza Al-Amma wala Tua'mmimu Al-Khasha dalam akad Jual Beli darwis, fauziah
Sipakainge: Inovasi Penelitian, Karya Ilmiah, dan Pengembangan (Islamic Science) Vol 2 No 9 (2024): Special Issue: Islamic Legal Maxim on Islamic Finance
Publisher : IAIN Parepare

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Prinsip "An-niyatu fii Al-yamini Tukhashishu Al-lafdza Al-Amma wala Tua'mmimu Al-Khasha" dalam akad jual beli menekankan bahwa niat atau tujuan khusus dalam sebuah perjanjian dapat mempersempit makna umum dari lafaz (kata-kata) yang digunakan, tetapi tidak dapat memperluas makna khusus. Dalam konteks jual beli, ini berarti niat di balik transaksi dapat mempengaruhi interpretasi perjanjian tersebut. Sebagai contoh, jika dalam akad jual beli seorang penjual mengatakan, "Saya menjual semua buah-buahan di kebun saya," tetapi niat penjual sebenarnya hanya untuk menjual buah-buahan tertentu (misalnya, hanya apel dan jeruk, bukan mangga dan pisang), maka niat khusus ini mempersempit makna umum dari pernyataan tersebut. Dalam hal ini, penjual dan pembeli harus memahami bahwa penjualan hanya mencakup buah-buahan yang dimaksudkan oleh penjual, meskipun secara lafaz pernyataannya bersifat umum. Namun, jika niat penjual adalah menjual hanya buah apel dari kebunnya dan ia mengucapkan "Saya menjual buah apel di kebun saya," maka pernyataan tersebut tidak dapat diperluas untuk mencakup semua buah yang ada di kebun. Lafaz khusus ini tidak dapat diinterpretasikan secara umum untuk mencakup buah-buahan lain. Jadi, niat khusus ini mempersempit atau membatasi makna, tetapi tidak memperluasnya. Prinsip ini memastikan bahwa akad jual beli dilakukan dengan kejelasan dan sesuai dengan niat atau maksud yang sebenarnya, menghindari ambiguitas yang dapat menyebabkan perselisihan di kemudian hari. Prinsip ini menekankan pentingnya kejelasan dalam niat dan komunikasi dalam setiap transaksi jual beli agar tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat merugikan salah satu pihak.
PENERAPAN YUKHTAARU AHWANU SYARRAOINI PADA TRANSAKSI PEMBELIAN NARKOTIKA UNTUK KEPERLUAN MEDIS Nurdin, Aksa Muhammad N
Sipakainge: Inovasi Penelitian, Karya Ilmiah, dan Pengembangan (Islamic Science) Vol 2 No 9 (2024): Special Issue: Islamic Legal Maxim on Islamic Finance
Publisher : IAIN Parepare

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Prinsip "yukhtaaru ahwanu syarraoini" dalam Islam memperbolehkan pemilihan antara dua kebaikan yang lebih rendah atau antara dua kerugian yang lebih besar dengan tujuan untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Dalam konteks transaksi pembelian narkotika untuk keperluan medis, prinsip ini dapat diterapkan dengan mempertimbangkan urgensi kebutuhan medis yang tidak dapat diatasi dengan obat lain yang halal dan risiko kesehatan serta legalitas penggunaan narkotika. Misalnya, jika seseorang menderita sakit kronis yang tidak teratasi dengan obat lain, penggunaan narkotika untuk meredakan rasa sakit dapat dipertimbangkan, asalkan dilakukan dengan pengawasan medis yang ketat dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Dalam hal ini contoh-contoh narkotika yang sering digunakan untuk keperluan medis meliputi morfin, oksikodon, hidromorfon, fentanil, dan metadon. Morfin, misalnya, sering digunakan untuk mengatasi rasa sakit yang parah setelah operasi atau cedera serius. Oksikodon digunakan untuk mengobati nyeri sedang hingga parah yang tidak dapat diatasi dengan obat lain. Hidromorfon sering digunakan untuk meredakan nyeri akut atau kronis yang tidak merespons terhadap obat penghilang rasa sakit lainnya. Fentanil digunakan dalam bentuk plester kulit untuk meredakan rasa sakit kronis yang memerlukan dosis obat yang terukur secara terus menerus. Metadon, selain digunakan untuk mengatasi ketergantungan opioid, juga digunakan dalam pengobatan nyeri kronis yang tidak dapat diatasi dengan obat lain. Penerapan prinsip "yukhtaaru ahwanu syarraoini" dalam transaksi pembelian narkotika untuk keperluan medis haruslah dilakukan dengan bijaksana dan bertanggung jawab. Penggunaan narkotika harus selalu sesuai dengan petunjuk medis yang kompeten dan dalam batas-batas yang diizinkan oleh hukum syariat Islam. Dalam hal ini, konsultasi dengan dokter dan ahli medis yang berpengalaman sangatlah penting untuk memastikan bahwa penggunaan narkotika dilakukan dengan benar dan aman. Ketika mempertimbangkan penggunaan narkotika untuk keperluan medis, penting untuk memperhatikan dampaknya terhadap kesehatan fisik, mental, dan sosial individu. Ketergantungan dan efek samping yang mungkin timbul harus dipertimbangkan dengan matang, serta alternatif pengobatan yang lebih aman dan halal juga harus dieksplorasi. Dalam hal ini, pendekatan holistik yang mencakup aspek kesehatan fisik, mental, dan spiritual dapat membantu dalam membuat keputusan yang bijaksana dan berkelanjutan.
PENERAPAN AL-IBRATU FII AL-'UQUUDI LIL MAQASIDIHA WAL MA'ANI LA LILALFADZI WALMABANII DALAM AKAD JUAL BELI Dwiyanti, Renita
Sipakainge: Inovasi Penelitian, Karya Ilmiah, dan Pengembangan (Islamic Science) Vol 2 No 9 (2024): Special Issue: Islamic Legal Maxim on Islamic Finance
Publisher : IAIN Parepare

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Niat merupakan hal yang penting dalam kajian Islam, tidak hanya diimplementasikan pada ibadah (wajib maupun sunnah), niat juga dimplementasikan dalam kegiatan muamalah. Karena niat, seseorang bisa dinilai mengerjakan kebajikan atau kejahatan.Dengan niat sesorang juga dapat diganjar pahala atau dosa. Seseorang bisa dianggap berdosa meskipun melakukan kegiatan yang secara tangible (tampak) merupakan ibadah,Dalam hal jual beli. Transaksi jual beli haruslah memenuhi syarat dan rukun, diantaranya yaitu ijab dan kabul. Ijab merupakan bentuk kerelaan seorang penjual terhadap pembeli dalam melakukan transaksi “misalnya saya jual barang ini dengan harga satu juta”. Sementara kabul adalah bentuk penerimaan seorang pembeli atas barang yang dibelinya dalam suatu transaksi, misalnya “saya terima barang ini dengan harga satu juta”. Seiring berjalannya waktu, era globalisasi memberikan dampak pada segala aspek. Menjamurnya minimarket (swalayan) melahirkan sebuah tradisi baru yaitu jual belinya yang ijab kabulnya tidak secara lafzi (pengucapan). Misalnya seseorang yang hendak berbelanja disupermarket atau minimarket, mereka tinggal mengambil semua barang yang di inginkannya tanpa harus meminta izin kepada 11 penjualnya. Setelah selesai berbelanja, pembeli datang ke kasir dengan menyodorkan barang-barang yang hendak dibayarnya. Setelah dibayar barang- barang tersebut telah bisa membawa pulang barang tersebut. Di sini tidak ada ijab kabul secara ucapan, tetapi hanya dengan perbuatan. Jika dihubungan dengan kaidahUmuru Bi Maqasidiha, maka hal ini dianggap sah saja karena perbuatan tersebut tentu bergantung pada niat dan tujuannya.

Page 1 of 4 | Total Record : 38