cover
Contact Name
Saiful Mustofa
Contact Email
episteme@uinsatu.ac.id
Phone
+62335321513
Journal Mail Official
episteme@uinsatu.ac.id
Editorial Address
Jl. Mayor Sujadi No.46, Kudusan, Plosokandang, Kec. Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur 66221
Location
Kab. tulungagung,
Jawa timur
INDONESIA
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman
FOCUS Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman aims to strengthen transdisciplinary perspective on issues related to Islam and Muslim societies. The journal is committed to publishing scholarly articles dealing with multiple facets of Islam and Muslim societies with a special aim to expand and to deepen a transdisciplinary approach in the study of Islam as tradition, culture, and practice. It focuses on topical issues which include scholarship on classical and contemporary studies on Islam and Muslim societies and takes a transdisciplinary approach that benefits from a cross-cultural perspective. SCOPE Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman specializes in the study of Islam and Muslim societies and aims to strengthen transdisciplinary studies on Islam and Muslim societies. The published articles will explore the discussions on classical and contemporary Islamic studies from different socio-scientific approaches, such as anthropology, sociology, politics, international relations, ethnomusicology, arts, film studies, economics, human rights, law, diaspora, minority studies, demography, ethics, communication, education, economics, philosophy, and philology. Studies grounded in empirical research and comparison of relevance to the understanding of broader intellectual, social, legal, and political developments in contemporary Muslim societies reserve as the crucial scope of the journal.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 186 Documents
HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF SOSIAL-BUDAYA DI ERA REFORMASI Hasyim Nawawie
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 1 (2013)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.1.1-28

Abstract

Hukum Islam di Indonesia muncul bersamaan dengan penyebaran Islam di Nusantara. Hal demikian berlangsung secara bertahap dan menyebabkan kaidah hukum Islam dijadikan sebagai pedoman kehidupan setelah terlebih dahulu mengalami institusionalisasi dan internalisasi karena masyarakat pada umumnya sudah memiliki aturan atau adat istiadat sendiri. Sehingga ketika Islam datang terjadi akulturasi antara hukum Islam dengan hukum adat. Hal ini juga mengakibatkan variasi hukum Islam di kalangan masyarakat Islam di Indonesia. Dari proses interaksi sosial inilah hukum Islam mulai mengakar dan menjadi sistem hukum dalam masyarakat. Di Indonesia sistem hukum Islam adalah sistem hukum yang hidup berdampingan dengan sistem hukum lainnya, hukum Islam itu bisa tumbuh dan berkembang dengan tidak tergantung pada kebijakan politik pemerintah atau tergantung pada kemauan pembentuk undang-undang. Both Islamic law and the spread of Islam in Indonesia take place in phases. It thus takes place gradually and cause the rule of Islamic law to serve as guidelines in life after first experiencing institutionalization and internalization because people generally already have their own rules or customs. So when Islam came occurs acculturation between Islamic law with customary law. This also results in a variation of Islamic law among the people of Islam in Indonesia. From this social interaction processes of Islamic law began to take root and become the legal system in society. In Indonesia, the Islamic legal system is a system of law that coexist with other legal systems, Islamic law it could grow and develop by not depending on government policies or depending upon the will of the legislators.
RASIONALISASI TRADISI BERMAZHAB MENURUT SHAH WALI ALLAH A Asmawi
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 1 (2013)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.1.29-52

Abstract

Shah Wali Allah adalah ulama yang hidup pada masa pra modern abad 17 di India. Seorang tokoh yang mempunyai perhatian yang utuh dalam menyelesaikan problematika umat Islam yang ada di sekitarnya. Salah satu upaya pembaruan yang digagas olehnya adalah usaha untuk mempertemukan berbagai aliran keagamaan yang tumbuh dan berkembang di India. Konsep mazhab oleh Shah Wali Allah adalah hasil dialektika kehidupannya dalam menyelesaikan problematika krisis multidimensi yang dialami oleh umat Islam Indo-Pakistan India. Yaitu adanya deferensiasi antarkelompok keagamaan, tak terkecuali mazhab dalam hukum Islam. Pemikiran ini berusaha memberikan tawaran-tawaran konsep berijtihad, ber-mazhab dan taklid. Pemikiran tentang mazhab yang tertuang dalam kitab al-Ins}a>f fi Asba>b al-Ikhtila>f, walaupun dalam pengelompokan terhadap tahapan-tahapan sejarah lemah, tetapi pemikiran tersebut adalah produk genuine pembaruan hukum Islam dari Shah Wali Allah yang dalam perspektif sosiologis dapat dikategorikan sebagai upaya pemurnian ajaran Islam saat menghadapi krisis dengan solusi rasionalisasi tradisi ber-mazhab. Shah Wali Allah is an theologian who lived in before modern, precisely in 17 century in India. He is a prominent figure who devotes his live to solve Islamic followers problems surround him. One of his efforts is to meet some religion paths which grow up in India. The concept of mazhab proposed by Shah Wali Allah is the result of dialectic of his life in solving multi dimension of crisis experienced by Islamic followers of Indo-Pasistan India. The problem is the emergence of differentiation among group of religion followers, including mazhab in Islamic law. This thinking offers concept of doing ijtihad, mazhab, and taklid. The thinking of mazhab which is presented in book of al-Insaf fi Asbab al-Ikhtilaf, although in grouping the phases of history is weak, however the thinking is genuine product of Shah Wali Allah in renewing Islamic law. This product in sociological perspective can be categorized as an effort to purify Islamic teachings when it is up against crisis with rationalization of tradition in doing mazhab as the Solutions
DAR AL-ISLAM, DAR AL-HARB, DAR AL-SHULH: Kajian Fikih Siyasah Ahmad Muhtadi Anshor
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 1 (2013)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.1.53-68

Abstract

Konsep tentang pembagian wilayah menjadi dar al-Islam, dar al-harb dan dar al-shulh merupakan hasil ijtihad dari para fuqaha’ yang dipengaruhi oleh suasana politik. Yakni ketika kaum musyrikin Makkah, kaum musyrikin Jazirah Arab sampai pula kaum musyrikin Persia dan Romawi telah serentak memaklumkan perang terhadap Islam. Sedangkan orang Islam dalam keadaan selalu membela diri, sehingga ada dua kekuatan yang selalu berhadap-hadapan, yakni kekuatan Islam dan kekuatan musuh-musuhnya. Dalam realitanya, konsep tentang dar al-Islam dapat dilihat dalam kasus India dan Indonesia yang meskipun secara tegas menyatakan bahwa konstitusi negara tidak berdasarkan Islam, namun karena negara memberi kebebasan pada warganya untuk menjalankan ajaran agamanya, maka negara tersebut dapat dianggap sebagai dar al-Islam. Sedangkan untuk dar al-harb dapat dilihat pada kasus negara Persia dan Romawi pada masa awal perkembangan Islam. Dalam perspektif teori, konsep dar al-Islam, dar al-harb dan dar al-shulh dapat dibaca dengan “teori perang” dan “teori perdamaian”. The concept of the division of the area into dar al-Islam, dar al-harb and dar al-shulh is the result of ijtihad of the jurists’ who are affected by the political atmosphere. That is when the polytheists of Mecca, Arabian Peninsula until Persian and Roman have simultaneously proclaim a war to Islam again. While the Moslems in the state has always defended himself, so that there are two forces that are always face to face, namely Islamic strength and power of his enemies. In reality, the concept of dar al-Islam may be seen in the case of India and Indonesia that although expressly states that the state constitution is not based on Islam, but because the state gives freedom to its citizen to live the teaching of his religion, then the country can be considered as dar al-Islam. While for the dar al-harb can be seen in the case of the Persian and Roman state during the early development of Islam. In theory perspective, the concept of dar al-Islam, dar al-harb and dar al-shulh can be read with the “theory of war” and “peace theory”.
KONSEP MASLAHAH IZZUDIN IBN ABDI SALAM: Telaah Kitab Qawa`id al-Ahkam Limashalih al-Anam J Johari
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 1 (2013)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.1.69-88

Abstract

Konsep maslahah dan mafsadah menurut Izzudin lebih menekankan pada pembedaan antara hakiki dan majazi, yang masing-masing dibedakan menjadi dunia dan akhirat dan segala sesuatu yang menjadi perantara untuk sampai pada maslahah dan mafsadah baik di dunia maupun di akhirat. “Maslahah” menurut Izzudin terdiri dari “ladzat” dan ”afrakh” dan segala sesuatu yang menjadi wasilah dari keduanya. Lebih lanjut maslahah dibedakan menjadi dua; hakiki dan majazi. Maslahah hakikiyah terdiri dari ladzat dan afrah sedangkan yang majazi, adalah setiap perantara yang mendatangkan keduanya. Demikian juga mendahulukan kemaslahatan yang lebih kuat dan menolak kerusakan yang lebih kuat, juga merupakan kebaikan dan terpuji. The concept of maslahah and mafsadah according to al Izz emphasizes on the differentiation between haqiqi and majasi in which each is differentiated into two: world and here after and everything which a mediator to achieve maslahah and mafsadah both in the world and in here after. According to Izzudin maslahah consists of ladzat and afrakh and everything as the bond of both. Furthermore, maslahah is divided into two; hakiki and majasi. The maslahah hakikiyah consists of ladzat and afrakh, meanwhile majazi represents every mediator to arrive of both. Activities to do goodness first and to reject badness are believed as good deeds.
IJTIHAD SEBAGAI ALAT PEMECAHAN MASALAH UMAT ISLAM Abd Wafi Has
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 1 (2013)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.1.89-112

Abstract

Secara istilah ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah Saw. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taklid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaruan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks. Tidak semua hasil ijtihad merupakan pembaruan bagi ijtihad yang lama sebab ada kalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad yang lama. Bahkan sekalipun berbeda hasil ijtihad baru tidak bisa mengubah status ijtihad yang lama. Hal itu seiring dengan kaidah ijtihad yang tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad pula. Berdasarkan pelaksanaan ijtihad bahwa sumber hukum Islam menuntun umat Islam untuk memahaminya. Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah al-Qur’an, hadis, ijma dan qiyas. Conceptually, the term ijtihad is an effort to dig out law which had been existed in the Prophet’s live. In its development ijtihad has been done by prophet followers up t now. Although in a certain period as so called taklid period, in which ijtihad is not allowed, however, at another period of time ijtihad is allowed. In fact, ijtihad cannot be avoided and it is a must to cope with more complex problems. It is widely understood that not all the result of ijtihad as the renewal of the old one. The fact shows that the result of new ijtihad has similarity or even the same with the old one. Although the result of the new ijtihad is totally different from the old one, the new one cannot change the status of the old one for there is a rule says that ijtihad cannot be canceled by another ijtihad. Based on the application of ijtihad, the sources of Islamic laws direct Islamic followers to understand them. The sources of Islamic laws admitted and followed by ulama are Holy Qur’an, hadis, ijma and qiyas.
MURABAHAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH EMPAT MAZHAB Muhammad Farid
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 1 (2013)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.1.113-134

Abstract

Banyaknya bank syariah saat ini menjadi perhatian tersendiri bagi para nasabah terutama di Indonesia yang mayoritas Muslim. Sebab dalam praktiknya banyak perbankan syariah justru kurang syariah. Hal itu diakibatkan belum ada formula baru yang bisa mengatasi permasalahan. Taruhlah pembiayaan murabahah sebagai contohnya. Kalangan ulama fikih pada dasarnya membolehkan biaya-biaya pembebanan dalam murabahah yang secara umum bisa timbul dalam transaksi jual beli, namun tidak boleh mengambil keuntungan berdasarkan biaya-biaya yang semestinya ditanggung oleh penjual. Hal itulah yang akan menjadi titik fokus dalam artikel ini. Dengan menggunakan kacamata fikih empat mazhab, artikel ini akan mengurai berbagai polemik yang timbul dalam transaksi jual beli yang menggunakan akad murabahah. Dengan harapan agar silang sengkarut yang terjadi selama ini bisa menemui titik terang. Many Islamic banks an especial concern for customers especially in Moslem Indonesia now. Because in practice many are less syariah Islamic banking. It caused nothing a new formula that could overcome the problems. Such as, murabahah financing as an example. Basically, the Moslem theologian allow the costs of loading in general murabahah which could arise in the sale and purchase transaction, but may not be taking advantage based on the costs that should be borne by the seller. That is what will be the focus point in this article. By using the four mazhab perspective of jurisprudence, this article will break down various polemics arising in sale and purchase transaction using murabahah contract. Hopes that cross chaos that occurred during this time can be a point of light.
HUKUM PROMOSI PRODUK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Syabbul Bahri
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 1 (2013)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.1.135-154

Abstract

Dalam perkembangan dalam sebuah perusahaan, promosi merupakan salah satu cara yang dilakukan produsen untuk menarik konsumen serta pengguna barang agar mampu mendapatkannya, secara definisi promosi suatu perbuatan yang dilakukan oleh shirkah (perusahaan atau produsen) untuk menambah hasil penjualan”. Sedangkan arti promosi secara khusus adalah hubungan komunikatif penjual atau produsen kepada para pembeli dengan maksud untuk memberi tahu mereka, membujuk dan mendorong mereka untuk membeli. Perkembangan pemakaian alat promosi dalam kondisi yang rawan, bahkan pada zaman sekarang konsumen dihadapkan pada apa yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menyeleksi informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk, sehingga hal ini dapat disalahgunakan oleh para pelaku usaha. Dalam keadaan ini, apabila iklan yang mengandung pujian tersebut bersifat nyata dan benar, maka iklan semacam ini hukumnya adalah boleh (ja’iz), namun apabila iklan tersebut mengandung unsur kebohongan dan penipuan atau tidak diketahui oleh pembeli tentang barang atau jasa yang ditawarkan maka hal demikian dalam Islam disebut penipuan (haram). Related to the development of business of producer, an activity of promoting is one of the ways done to attract consumers. Promotion is defined as an activity done by shirkah (business or producer) to enhance the selling income. In more specific meaning, promotion is defined as communicative relation between sellers or producers and buyers for the purpose of showing and persuading the buyers to buy. The result of using promotion vehicle is obvious in which the consumers get what so called consumers ignorance that is inability of the consumers to select information as a results of technology development and various numbers of products that lead to the misuse done by the doers of business. When the advertisement promotes goods which are believed as true, it is judged as ja’iz. Otherwise, if the advertisement has falsehood, it is judged as haram.
ANALISIS DAN MAPPING SYARIAH VERSUS TASAWUF MELALUI PENDEKATAN HISTORIS Ali Mas’ud
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 1 (2013)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.1.155-174

Abstract

Ada perbedaan prinsipil antara fikih dan tasawuf dalam tataran empirik. Fikih bercorak simbolistik, legalistik, eksoterik dan formalistik sehingga cenderung melihat sebuah tindakan dari syarat dan rukun, syah dan tidak syah. Sesungguhnya pemahaman yang demikian sepenuhnya tidaklah dapat diterima karena dimungkinkan keterbatasan memahami pesan dan substansi fikih itu sendiri. Fikih sebagai formulasi pemahaman terhadap pesan syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, dari dalil-dalilnya yang bersifat rinci. Sementara itu, ada pula anggapan bahwa bertasawuf adalah identik dengan pola hidup asketis dan kepasrahan hidup statis. Padahal sebetulnya tidak demikian. Sebab tasawuf bercorak esoterik yang lebih berorientasi pada kedalaman spiritualitas dan mengutamakan pendekatan diri kepada Allah. Sebagai seorang Muslim, sudah barang tentu kaum sufi melaksanakan ritus-ritus Islam lainnya, yang maknanya mereka interpretasikan secara lebih mendalam. Bagi mereka, ritus-ritus ini menuju pada tidurnya jiwa dalam kepasrahan kepada Allah, atau bangunnya kalbu dalam menegaskan watak hakiki kemanusiannya. Karenanya, wudhu tidak sekadar membasuh kotoran lahiriah bahkan batiniah saja, melainkan juga penyucian kalbu min ma siwa Allah. Dengan demikian, setiap kaum sufi selalu menempuh jalan yang menurutnya keluar dari wilayah ego, berikut berbagai ektensi dan proyeksinya, menuju realisasi identitas esensialnya. Empirically, fiqh and sufism are different. Fiqh has the symbolic character, legalistic, eksoteric and formalistic. It tends to see a certain action from point of view of condition and administrative, legal and illegal. In fact, such an understanding is not acceptable as a result of the limitation in understanding fiqh. Fiqh is a basic understanding toward messages of syariat which deals with the heresy’s activities from the detailed argumentations. Furthermore, there is an assumption that sufism is identical with the resignation of static life. Sufism has the character of being exoteric emphasizing on spiritualistic. The sufi community do other Islamic rituals and they try to interpret their meanings by themselves. For the sufi community, those rituals are done to resign themselves to Allah. That is why an activity of doing ablution is intended not only to clean up physical organs but also internal aspect. What the sufi community do is principally out of their ego area to close themselves to the God.
TRANSAKSI LEASING DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Muhammad Izuddin Zakki
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 1 (2013)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.1.175-206

Abstract

Pandangan hukum Islam selama ini menempatkan transaksi leasing ke dalam istilah al-ijarah. Analisa hukum Islam terhadap bentuk transaksi tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa perjanjian leasing dalam praktiknya sering tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Pun pada tataran teoritis, keduanya sering disebut sebagai hal yang sama. Hal ini dapat dilihat dari adanya option right atau hak pilih bagi penyewa untuk membeli barang (buy decision) dalam leasing sehingga lebih mendekatkannya dengan bentuk jual beli cicilan. Menurut sebagian pemikir Islam, praktik transaksi leasing dapat dibenarkan selama tidak keluar dari ketentuan sebagaimana dalam al ijarah. Karena meskipun syariah tidak membolehkan adanya biaya tertentu atas financial capital namun dalam operating lease membolehkan biaya tertentu atas modal riil. Dengan demikian, praktik leasing yang sering menimbulkan salah pengertian dari umat Islam dan adanya sistem hukum ganda, perlu diarahkan kepada bentuk transaksi ijarah muntahia bit tamlik dalam sistem pembiayaan, baik dalam perbankan maupun lembaga pembiayaan lainnya. View of Islamic law has been put leasing transaction into al-ijarah terms. Analysis of Islamic law to form these transactions are based on the fact that the leasing agreement in practice are often not properly enforced. Even on a theoretical level, they are often referred to as the same thing. It can be seen from the right or right to select the option for the tenant to buy decision in leasing so much bringing it close to the form of installment purchase. According to some Islamic thinkers, the practice of leasing transactions can be justified as long as nothing out of the provisions in al-Ijarah. Because even though syariah does not allow for a certain fee on financial capital but the operating lease allows certain costs on real capital. Thus, the leasing practices that often lead to misunderstanding of Moslem and the dual legal system, need to be directed to the form of ijarah muntahia bit tamlik transaction in the system of financing, both in banking and other financial institutions.
PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK UNTUK KASUS KORUPSI: Kajian Antara Hukum Positif dan Hukum Islam Y Yusuf
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 1 (2013)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.1.207-233

Abstract

Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisir dan bersifat lintas batas teritorial (transnasional). Salah satu sebabnya karena pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi dalam sistem birokrasi yang koruptif sehingga memerlukan instrumen hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Perkembangan praktik tersebut memunculkan suatu gagasan dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian beyond reasonable doubt, yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence). Akan tetapi di sisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Penerapan pembuktian terbalik mengalami banyak hambatan sehingga teori tersebut hingga kini belum bisa diaplikasikan di Indonesia karena dianggap bertentangan dengan teori dasar pembuktian. Begitu pula dalam hukum Islam, seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara ketika tidak ada bukti.Corruption is one of an organized wickedness and it is territorial boarder crossing (transnational). The one of cause it is hard to eliminate corruption action in the corrupted bureaucracy and it needs law instruments to prevent and to fight against it. The development of the practice stimulates an idea to conduct authentication of corruption. The admitted theory of authentication that has been used so far is the authentication principal beyond reasonable doubt which is in contradiction with presumption of innocence. However, this principal is hard used during the process of authentication of corruption cases. The implementation of reverse authentication undergoes obstacles and it cannot be applied in Indonesia for it is supposed to be in contradiction with the basic theory of authentication. It also occurs in Islamic law in which a judge should not make a decision of a case if no available proof.

Page 2 of 19 | Total Record : 186