cover
Contact Name
Saiful Mustofa
Contact Email
episteme@uinsatu.ac.id
Phone
+62335321513
Journal Mail Official
episteme@uinsatu.ac.id
Editorial Address
Jl. Mayor Sujadi No.46, Kudusan, Plosokandang, Kec. Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur 66221
Location
Kab. tulungagung,
Jawa timur
INDONESIA
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman
FOCUS Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman aims to strengthen transdisciplinary perspective on issues related to Islam and Muslim societies. The journal is committed to publishing scholarly articles dealing with multiple facets of Islam and Muslim societies with a special aim to expand and to deepen a transdisciplinary approach in the study of Islam as tradition, culture, and practice. It focuses on topical issues which include scholarship on classical and contemporary studies on Islam and Muslim societies and takes a transdisciplinary approach that benefits from a cross-cultural perspective. SCOPE Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman specializes in the study of Islam and Muslim societies and aims to strengthen transdisciplinary studies on Islam and Muslim societies. The published articles will explore the discussions on classical and contemporary Islamic studies from different socio-scientific approaches, such as anthropology, sociology, politics, international relations, ethnomusicology, arts, film studies, economics, human rights, law, diaspora, minority studies, demography, ethics, communication, education, economics, philosophy, and philology. Studies grounded in empirical research and comparison of relevance to the understanding of broader intellectual, social, legal, and political developments in contemporary Muslim societies reserve as the crucial scope of the journal.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 186 Documents
NILAI KEBANGSAAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF SHAYKH AHMAD SURKATI Faizah Nurmaningtyas
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 2 (2013)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.2.451-477

Abstract

Nilai-nilai kebangsaan bersumber, mengakar dan dipersepsikan dari nilai yang telah hidup dalam khazanah budaya. Lalu nilai-nilai itulah yang mengakomodasikan dan menyatukan kemajemukan bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut mengacu pada empat pilar kebangsaan: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika. Shaykh Ahmad Surkati membangkitkan kesadaran Muslim Indonesia akibat penjajahan. Ia menggunakan pendidikan sebagai media pemurnian Islam di Indonesia. Surkati yakin bahwa pendidikan merupakan cara paling efektif untuk mengubah masyarakat agar mencapai kemajuan. Menurutnya, menginternalisasikan nilai-nilai kebangsaan dalam pendidikan Islam masih relevan untuk dilakukan saat ini. Dengan demikian, mengamalkan nilai-nilai kebangsaan melalui pendidikan Islam adalah cara yang paling efektif untuk mewujudkan manusia yang berharkat dan martabat dalam arti yang sesungguhnya. The values of nationality are from, takes root and they are taken from values of Indonesia cultures which accommodate and unify the plurality of Indonesia. Those values refer to the consensus of the four pillars of nation: Pancasila, constitution of 1945, The Unitary State Republic of Indonesia, and Bhinneka Tunggal Ika. Shaykh Ahmad Surkati raise awareness of Indonesian Moslems due to colonization. He used the medium of education as purification of Islam in Indonesia. Surkati believe that education is the most effective way to change society in order to achieve progress. According to him, internalize the values of nationalism in Islamic education is relevant to do nowadays. Thus, the practice of national values through Islamic education is the most effective method to realize dignity human in essential meaning.
TAFSIR ‘AQA’IDI: Metode Melacak Ideologi Tafsir Angki Fauzan
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 9 No 1 (2014)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2014.9.1.1-26

Abstract

Satu dari berbagai bentuk penafsiran muncul dalam kesejarahan tafsir adalah penafsiran yang bernuansa teologis (tafsir ‘aqa’idi). Suatu corak penafsiran yang tentunya memberiakan warna dalam khazanah penafsiran umat Islam. Oleh karena itu, perlu dan relevan untuk menelisik kembali penafsiran yang mempunyai corak teologis agar dapat melihat secara jelas dan sadar dalam mengambil nilai positif dan langkah preventif terhadap aspek negatif yang ditimbulkan. Tulisan ini merupakan repesentasi dari beberapa fokus pertanyaan yaitu: bagaimana latar belakang munculnya tafsir ‘aqa’idi? Bagaimana bentuk penafsiran yang bernuansa‘aqa’idi? Dan bagaimana akseptabilitas tafsir ‘aqa ’idi? One of the various interpretations emerged on the history of interpretation is an interpretation having theological nuance (tafsir aqa’idi). It gives particular colour on the discourse of the Moslems’ interpretation. Therefore, it is important to review such an interpretation in order to get clear view and have full consciuosness in taking positive value and preventive steps agains negative aspects which may emerge. This article is a representation of many questions: the background of the emergence of ‘aqa’idi interpretation? And how the form and acceptability of it?
QIRA’AT PADA MASA AWAL ISLAM Ahmat Saepuloh
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 9 No 1 (2014)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2014.9.1.27-44

Abstract

Ragam bacaan (qira’at) al-Qur’an sudah ada sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad di Mekkah. Akan tetapi qira’at ini mulai dipergunakan saat nabi sudah berada di Madinah. Saat menyampaikan wahyu yang telah diterimanya, nabi selalu menggunakan bacaan yang sesuai dengan kemampuan para sahabat yang hadir pada saat itu. Sehingga kemampuan sahabat dalam membaca al-Qur’an juga bervariasi, tergantung berapa macam bacaan (qira’at) yang telah ia dapatkan dari Rasulullah. Akibatnya, ragam qira’at yang berkembang di setiap daerah mengalami perbedaan. Sesudah Rasulullah wafat, para sahabat semakin giat menyebarluaskan al-Qur’an dengan mendirikan madrasah-madrasah di sekitar tempat mereka bermukim. Sehingga, tidak mengherankan apabila setelah generasi sahabat, muncul para ahli qira’at di kalangan tabi’in. Variant reading of the Qur’an (qira’at) has existed since it was revealed to Prophet Muhammad in Mecca. But it’s began to be used when the prophet was live in Medina. When the Prophet Muhammad extend the revelation, he always use appropriate reading ability of the friends who were present at that time. So, they reading ability of Qur’an have also variation, depending on how wide reading (qira’at) which he had got from the prophet. As a consequence, the kinds of qira’at also different in each region. After the prophet died, the prophet followers more actively disseminate the Qur’an by establishing madrasah around where they live. Thus, it is not surprising that after generations of prophet followers, appear qira’ah expert in tabi’in group
PENAFSIRAN AL-QUR’AN BERBASIS ILMU PENGETAHUAN Izzatul Laila
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 9 No 1 (2014)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2014.9.1.45-66

Abstract

Sains modern menjadi tantangan bagi al-Qur’an. Jika al-Qur’an berdimensi absolut dan mutlak maka sebaliknya pengetahuan modern bersifat dinamis dan berubah seiring dengan penemuan-penemuan sains. Lalu bagaimana jika al-Qur’an dipahami dari kacamata sains modern? Artikel ini menjelaskan bahwa salah satu cara memahami al-Qur’an adalah melalui sains modern. Dengan kata lain, tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dan sains. Bahkan, jika umat Islam mau memahami al-Qur’an secara mendalam sudah barang tentu akan menemukan kebenaran dan pembuktian sains di dalamnya. Modern scientific knowledge provides a challenge to the Qur’an. Whereas the Qur’an is immutable and contains unquestioned truth, the former changes in accordance to the invention so that referring to its relativity vis a vis absolute underpinning character of the Qur’an. What if the scientific approach is applied to the Qur’an? In so doing, the Qur’an is situated in the light of modern knowledge or in other words to understand the absolute within the lens of realtive ones. It is aargued that to deeply understand the Qur’an through the lens of modern knowledge is a waay for Muslim to comprehend divine massage of God. The Qur’an is a comprehensive book of knowledge by which believers could learn all form of knowledge including the mutable ones.
PARADIGMA DAN KONSEP ILMU PENGETAHUAN DALAM AL-QUR`AN Khusnul Khotimah
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 9 No 1 (2014)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2014.9.1.67-84

Abstract

Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat dan kelestarian atau keseimbangan alam. Demi kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Sedangkan universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai parokial seperti ras, ideologi atau agama. Sehingga dalam Islam dilarang keras menyembunyikan ilmu, artinya ilmu itu harus disebarkan untuk bisa dimanfaatkan. Melaui iqra` bismi Rabbika, digariskan bahwa titik tolak atau motivasi pencarian ilmu, demikian juga tujuan akhirnya, haruslah karena Allah. Ilmu harus bernilai Rabbani. Sehingga ilmu yang “bebas nilai”, harus disempurnakan dengan nilai Rabbani. Basically, science should be used and exploited for the benefit and welfare of human beings. In this case, knowledge can be utilized as a means to improve human living standards by taking into account human nature, human dignity, and sustainability or the balance of nature. For the sake of human interests, then the scientific knowledge gained and organized communally and universally used. Communal means that science is knowledge that belongs together, everyone is entitled to make use of science according to his needs. Universal means that science does not have a parochial such as race, ideology or religion. So, strictly prohibited in Islam to hide the science, meaning that science should be shared to be used. Through iqra Bismi rabbika, outlined that the starting point or motivation of pursuits, as well as its final destination, must be for God. Science should be worth Rabbani. So science is “value free”, should be enhanced with the Rabbani.
KAFA’AH IN ISLAM: Towards a Pogressive Interpretation Iffatin Nur
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 9 No 1 (2014)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2014.9.1.85-116

Abstract

Etimologically, the word kafa’ah means egalitarian, equivalent, comparable, orsimilar. In the constellation of the Islamic thought, kafa’ah is meant that a prospective husband is expected to be comparable to the prospective bride in terms of religion, education, social status, profession, descent/ancestry, independence status, physical-spiritual conditions, wealth, position, degree and so on. It is intended to guarantee the relation between a husband and his wife as well as ensuring a harmony oftheir family life in the future. This article describe about kind of Moslem’s thinker perspective, especially about kafa’ah concept. Some of the recommend a strict implementation of kafa’ah from the point of religion to the factor of wealth that the prospective groom must meet all the detailed requirements; but some others do not give much regards to it. The latter grounds their views on a reason that any Moslem, as long as he is not an adulterer, has the right to marry any Moslem’s woman he want. Kafa’ah secara etimologi berarti egaliter; sepadan; sebanding; semisal. Dalam konstalasi pemikiran Islam, kafa’ah dimaksudkan bahwa seorang calon suami diharapkan sebanding dengan calon istri dalam agama, tingkat pendidikan, status sosial, profesi, keturunan, kemerdekaan, kondisi jasmani-rohani, kekayaan, jabatan, derajat dsb. Hal ini dimaksudkan agar terjaminnya keharmonisan pergaulan suami istri dalam berumah tangga di kemudian hari. Artikel ini coba menguraikan beragam pandangan para pemikir Muslim mengenai konsep kafa’ah. Ada yang mensyaratkan secara ketat pelaksanaan kafa’ah, sejak poin agama sampai poin kekayaan; di mana kriteria calon mempelai laki-laki harus memenuhi secara terinci persyaratan di atas. Namun ada juga yang sama sekali tidak melihat kepentingan kafa’ah ini, dengan alasan Muslim mana saja, asal tidak pezina, memiliki hak untuk menikahi Muslimah yang diinginkannya.
CORAK DAN METODE TAFSIR BINT AL-SHATI’: Studi atas al-Tafsir al-Bayaniy li al-Qur’an al-Karim W Wahyuddin
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 9 No 1 (2014)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2014.9.1.117-138

Abstract

Artikel ini menyoal corak dan metode interpretasi Bint al-Shati’ dengan menelaah kitab tafsirnya al-Tafsir al-Baya>niy li al-Qur’an al-Kari>m. Penulis menemukan bahwa metode yang diterapkan oleh Bint al-Shati’ bercorak sastra (literary exegesis) yang didesain menjadi interpretasi inter-teks al-Qur’an dan secara metodologis dapat dikategorikan modern. Metode tersebut menggunakan pendekatan tematik (mawu‘i) dalam menafsirkan al-Qur’an dan menekankan perlunya interpretasi filologi berdasar pada kronologis teks dan penggunaan semantik bahasa Arab. Pendekatan tematik ini lahir sebagai respon terhadap metode penafsiran klasik yang oleh pakar al-Qur’an kontemporer dinilai parsial dan atomistik. This article discusses methods Qur’anic exegete developed by Bint al-Shati’ as mentioned in her al-Tafsir al-Baya>niy li al-Qur’an al-Kari>m. It argues that the method adopted by Bint al-Shati’ is literature patterned (literary exegesis) which design to be inter-text interpretation of the Qur’an and metodologically can be modern considered. The method use a thematic approach (mawu’i) in interpreting the Qur’an and stressed the need for interpretation of chronological philology based on text and using of Arabic language semantics. This thematic approach was born as a respone to the classical method of interpreation which by the Qur’anic contemporary expert assessed partial and atomistic.
ANTISINONIMITAS TAFSIR SUFI KONTEMPORER Waryani Fajar Riyanto
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 9 No 1 (2014)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2014.9.1.139-154

Abstract

Artikel ini menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan istilah (furuq lugawiyyah) sufistik dalam al-Qur’an dengan pendekatan antisinonimitas (diddu taraduf). Misalnya, antara istilah taubah dan inabah, antara jasad dan badan dan seterusnya. Belum ada yang melakukan kajian seperti ini, sehingga kajian ini sangatlah penting untuk menghindari kerancuan pemahaman terhadap konsep-konsep dasar sufistik dalam al-Qur’an. Sebab, antara satu kata dengan kata yang lain dalam al-Qur’an tidak memiliki sinonimitas makna (taraduf), tetapi yang ada adalah kedekatan makna. Kajian ini kemudian hanya difokuskan pada istilah-istilah sufistiknya saja. Hasil akhir yang diharapkan adalah munculnya sebuah Ensiklopedi Sufi semacam al-Furuq al-Lugawiyyah as-Sufiyyah al-Qur’aniyyah. This article describe differences of mystical term (furuq lugawiyyah) in the Qur’an with unsynonymity approach (diddu taraduf). For example, between taubah and ina>bah, the body and organ, and so on. No one has done studies like it, so this is importent study for avoid confusion of the basic concepts of mystical in the Qur’an. Because, between one word with else hasn’t synonymity meaning (taraduf), but there is a closeness meaning. Then, this study just focused on mystical terms. The final results expected is appeared the Encyclopaedia of Sufism like al-Furuq al-Lugawiyyah as-Sufiyyah al-Qur’aniyyah.
KONFLIK TEOLOGIS DAN KEKERASAN AGAMA DALAM KACAMATA TAFSIR AL-QUR’AN Abdul Mustaqim
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 9 No 1 (2014)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2014.9.1.155-176

Abstract

Fenomena konflik dalam sejarah manusia telah terjadi seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Selama masih ada masyarakat, konflk, bahkan yang menjurus pada kekekerasan tak akan sirna sehingga ada perang atau pertempuran (al-qital atau al-harb). Umumnya, konflik yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh setidaknya tiga faktor: etnis (qabilah), teologi (akidah) dan ekonomi (ghanimah). Artikel ini bertujuan untuk membahas tentang konflik teologis dan kekekrasan dalam perspektif al-Qur’an. Dengan menggunakan metode tematik, penulis menyimpulkan bahwa al-Qur’an mengakui adanya beberapa konflik. Al-Qur’an juga mengakui konflik sebagai condicio sine quo non–untuk terus survival for the fittest–yang diwakili oleh istilah al-khasm atau al-mukhashamah, (QS al-Zumar: 31) ikhtilaf (QS Ali Imran [3]: 103, 105) dan tanazu ‘(QS al-Nisa’ [4]: 59). Namun pada saat yang sama, al-Qur’an juga menyarankan untuk membuat resolusi konflik. Sehingga harmoni sosial dalam masyarakat multikultural akan tercapai dengan baik. The conflict phenomena in the history of human being have been happened as described in the Qur’an. As long as there is a society, there is a conflict and sometime it leads to violence, so that there are wars or battle (al-qital or al-harb). Generally, the conflict happened in the society caused by at least three factors: ethnicity (qabilah), theology (aqidah) and economy (ghanimah). The purpose of this article is discuss about the theological conflict and violence in Qur’anic perspective. By using it, the writer conclude that the Qur’an recognizes there are some conflicts. The Qur’an also acknowledges the conflict as condicio sine quo non–to keep on the survival for the fittest–as represented by the terms al-khasm or al-mukhashamah, (Q.S. al-Zumar: 31) ikhtilaf (Q.S. Ali Imran [3]: 103, 105), and tanazu’ (Q.S. al-Nisa’[4]: 59). But at the same time, the Qur’an suggests to make conflict resolution too. Thus, the social harmony will be achieved well in the multicultural societies.
ETIKA BERKOMUNIKASI: Kajian Tematik Term Qaul dalam al-Qur’an Abad Badruzaman
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 9 No 1 (2014)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2014.9.1.177-204

Abstract

Sebagai pedoman hidup umat Muslim, al-Qur`an dipercaya mengandung ajaran dasar bagi segenap aktivitas para pemeluknya. Al-Qur`an diyakini bukan hanya berisi ajaran tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tapi juga mengandung aturan tentang hubungan manusia dengan semesta serta dengan sesamanya. Tulisan ini akan mengintrodusir beberapa etika yang harus diindahkan setiap orang dalam berhubungan lewat komunikasi dengan sesamanya. Tulisan difokuskan pada penelusuran term qaul beserta yang mendahului dan atau mengiringinya dalam al-Qur`an. Dengan demikian, secara metode tulisan ini bersifat tematik. Yakni menjadikan term qaul dalam al-Qur`an—dengan berbagai konteks awalnya—sebagai tema kajian, kemudian disarikan nilai-nilai universalnya untuk dijadikan landasan normatif dalam berkomunikasi antar sesama. As a way of Moslems life, Qur’an is believed to contain the basic teaching for all activities of the adherents. Qur`an is believed to not only contain the doctrine of man relationship with God, but also contains rules about the human relationship with the universe and with each other. This study will introduce some of the ethics that should be ignored everyone in touch with each other through communication. This study focused on searching of qaul term and that precede or accompany in the Qur`an. Thus, in metodologically, this study is thematically. Which make qaul term in Qur`an initially-with a variety of contexts-as a theme study, then abstracted universal values to be used as a normative foundation in communication between each other.

Page 4 of 19 | Total Record : 186